Rabu, 19 Desember 2012

A Long-long Holiday to Grandma’s (Uti’s) House for Ied Mubharak

(Ini tulisan dibuat sepulang dari Jatim, liburan Lebaran. Kupersembahkan buat G sehingga bahasanyapun rada childish gitu dech. Tepatnya dibuat tanggal 7 September (kl gak salah), dan lagi-lagi baru dipost dan dipublish sekarang ini karena akhir-akhir ini malas koneksi pake laptop. Just Read this ... Liburan kali ini berbeda dari biasanya. Bukan karena libur sekolah yang panjang, tetapi karena ini pertama kalinya liburan Idul Fitri di rumah Mbah Uti’ di Jawa Timur. Libur sekolah G dan P hanya seminggu, tetapi jauh-jauh hari mereka sudah libur duluan dengan alasan menghindari lonjakan harga tiket dan padatnya penerbangan. Buat Ibu dan Bapak ini bukan saja menjadi perjalanan yang melelahkan tetapi perjalanan pertama kali yang menguras ‘brankas’ lumayan banyak. Tapi ya, kapan lagi. Bapak bilang, kasihan Mbak Kung, yang sering sakit-sakitan dan dalam beberapa bulan terakhir, Om Adi juga katanya sakitnya serius. Mbah Uti’ dan Aunte juga sering menelepon menanyakan kapan pulang, lebih-lebih lagi karena si Adik Bayi “A” belum sama sekali ‘temu muka’ dengan keluarga di Surabaya sejak ia lahir dan sekarang sudah umur setahun empat bulan. Tradisi anak-anaknya Bapak kalau ke rumah Mbah, pasti kekahan (tradisi Islam). Untuk kedua orang Kakak sudah melewatinya ketika berumur 3 bulan (G) dan 4 bulan (P). Bapak dan Ibu memutuskan untuk berangkat hari Selasa, tanggal 13 Agustus. Kebetulan Bapak juga sudah menyelesaikan komitmen kerjaan dan Ibu tentunya tidak terlalu berpengaruh dengan jadwalini karena dalam satu tahun ini Ibu bekerja tidak kenal jadwal atau jam dan rutin mengurusi rumah tangga alias jadi Ibu Rumah Tangga. Biasanya, ketika dulu Ibu masih bekerja ini akan jadi persoalan tersendiri Buat Ibu dan Bapak (menyesuaikan jadwal). Untungnya, G masih di TK dan P baru saja masuk Play Group jadi rada tidak terlalu strick jadwal. Target liburan kali inipun sebenarnya untung menyenangkan anak-anak selain menuntaskan kerinduan orang-orang rumah di Surabaya, toh sudah 2 tahun tidak pernah pulang kampung baik ke Jawa maupun ke Sintang, terkendala biaya. Route penerbangan yang kami ambil adalah Pontianak – Jakarta – Surabaya. Pilihan yang dianggap tidak terlalu costly ketimbang via Yogya, bukan hanya soal uang tetapi karena satu-satunya penerbangan via Yogya adalah salah satu maskapai yang terkenal suka delay, dan Bapak Kadong cinta naik maskapai domestik kepunyaan Negara karena dianggap maish lumayan baik. Si G sih senangnya karena pasti dapat mainan, di samping itu, penerbangan Jkt-Sby pesawatnya gede, ada monitor TV (karena pesawat untuk penerbangan Intrenasional) . Kalau udah gitu, giliran penerbangan dari dan ke Pontianak, si G suka protes karena pesawatnya lebih kecil, trus kadang ada mainan kadang enggak dan tidak ada TV-nya. Si P yng adem-adem aja pun kadang ikutan protes. Nah, kalau si A juga protes tetapi selalu urusannya dengan seat belt. Dia gak suka dipakekan seat belt. Si Ibu juga seing senewen karena kalau udah gitu gitu, ibu kepalanya disundul-sundul seperti bola, tangan dicubit-cubit serta mesti menahan diri mendengar teriakan si Baby A. Tambah lagi ini anak kalo gak teriak bawaannya senang ngedumel (sebetul bicara dengan bahasanya sendiri – bahasa bayi yang tidak dimengerti) dengan suara keras-keras. Kami mengambil penerbangan siang hari dari Pontianak. Hari itu pas bertepatan dengan ulang tahun sepupu, Jojo yang keempat. Jadinya, sebelum ke airport Supadio, sempat dech tiga kurcaci ke rumah Jojo untuk ucapin selamat dan icip-icip kue dan nasi kuning, tidak untuk Ibu dan Bapak karena masih sedang berpuasa. Hari itu juga tanggal dimana si Kakek berpulang empat tahun lalu. Ibu sempat oret-oret sebentar di blog sebelum berangkat sekedar untuk mengenang beliau.

Releasing Trip

Tulisan ini kubuat di Soetta Airport sembari menunggu flight Jakarta-Palangkaraya, sekaligus ngetes ngeblog dari smartphone-ku. Jadi maklum aja kalo pendek and byk salah. Sengaja tidak di-edit kesalahan penulisan hurufnya, biar bisa dikenang (boleh donk ... emang masalah buat loe...). Inilah dia, ditulis di terminal 4, jam sepuluhan pagi gitu lah... Oh ya, baru diposting sekarang di bulan dua belas tanggal 19 karena ini tulisan nangkring dulu di draf. Gak sempat publish. Judulnya agak aneh memang, releasing trip, tapi memang dalam rangka releasing byk hal yang mengendsp srlams satu tahun lebih ini setelah satu tahun lebih ini aku tidak menekuni kerja di ruang publik. Bekerja 24 jsm, tanpa gaji pula, he, he, he. Honestly, aku mulai berpikir untuk kembali ke dunia luar sana, earning money, he, he, he. Oh ya, lupa bilang perjalananku kemana. Ini perjalananku kedua kalinya ke kalteng dalm rangka hadir di kongres perkumpulan yang aku menjadi angotanya. ini juga sekaligus agenda reunian, lagi transit do airpory Jakarta aja aku sudaj berjumpa banyak kenalam sesama angota dari Jakarta nBengkulu, yang tafi hanya kami bertiga dari Pontianak. Deminggu lumayan buat Cuti neriakin the three musketeers dan . Tetentu bakalan kangen juga. Ehm, tapi gak kebayang si Daddy akan kewalahan kalo si baby Ava minta "Baba Blackship" dan Mama'. Yang jelas aku udah bilang, be a gud boy...! Cuma, lupa bilang Dad untuk jadi gud Dad. Will be missing u all My Three.Musketeers, Dad (kalo untuk Dad sih selamat menjadi Plt Direktur Rumah Institut. Jadi penasaran, seperti apa semuanya ketiks aku pulang nanti ya....

Serba yang Pertama Kali

Palangkaraya,16 November 2012 I return to other part of the big Borneo Island for the second chance. Ya, aku kembali untuk kedua kalinya ke kota ini, setelah dua tahun lalu sempat lima hari berjibaku dengan berbagai pihak yang bercampur baur dalam satu ruangan bak kelas besar sebuah kuliah umum tentang Strategi Nasional REDD+. Kukatakan kuliah umum karena kedatangan kami sebetulnya hanya mendengarkan, diberi waktu untuk berkomentar atau memberi masukan yang sebelumnya telah didiskusikan di tingkat region Provinsi masing-masing. Namun demikian tidak akan memberikan pengaruh apa-apa dalam bentuk perubahan atau perbaikan yang mengarah kepada dimasukannya aspirasi ke dalam draft Stranas REDD+. Wah, aku gak mau cerita banyak soal yang ini. Tadinya Cuma ingin menarasikan perjalananku yang kedua kalinya ke bumi ini. Bumi yang secara geografis satu daratan, tapi untuk mencapainya aku harus jauh-jauh menyeberang laut ke tanah Jawa terlebih dahulu karena jalur penerbangan dari Pontianak ke Palangkaraya hanya melalui Jakarta. Dari Supadio Pontianak, kami berangkat jam 7.10 pagi (penerbangan ke Jakarta 1 jam 10 menit), dari Soekarno Hatta ke Tjilik Riwut hanya memakan waktu satu jam 15 menit. Kami berangkat jam 11.10 dan tiba jam satu siang. Jauh hari sebelum berangkat aku sudah menyiapkan akan memasang status “berharap dapat bonus safe flight dan on time flight” di Twitter dan Facebook. Harapan ini mencerminkan tradisi delay berjam-jam yang kerap kualami dengan maskapai penerbangan non-pemerintah (ya, ada sih kalanya tidak bisa dihindari maskapai milik pemerintah juga sama tapi biasanya karena efek dari maskapai lain yang tidak beres misal tergelincir di landasan sehingga berdampak pada jadwal penerbangan lainnya). Perjalanan kali ini memang dalam rangka kerjaan, tapi bedanya dengan kepergianku sebelum-sebelumnya, aku dalam rangka menjalankan mandat dari dari lembagaku sedangkan ini lebih kepada komitmen pribadi sebagai anggota perkumpulan salah satu lembaga besar berbasis anggota yang mengurusi isu sawit di Indonesia, Sawit Watch (SW). Alasan kongkritnya, sejak menjadi anggota belum pernah sekalipun aku ikut kongres SW, selalu aku sedang cuti bertepatan dengan jadwal kongres. Kali ini kuniatkan memang untuk hadir, sekaligus refreshing atau releasing (istilahku) setelah aku terkungkung dalam rutinitas di Rumah Institute dengan jam kerja yang lebih dari 8 jam dan harus menggunakan tidak saja dominasi kepala, tapi perasaan sampai ke hal tekhnis dan terkecil sekalipun. Bisa nebak gak kerjaannya apa ...??? Jelas pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga. Aku butuh “keluar” karena tekanan pekerjaanku dalam setahun lebih (Per September) sangat dahsyat, dengan tingkat kompromi yang sangat tinggi bukan hanya pada level pasokan income yang berkurang bahkan nyaris tidak ada sama sekali, tetapi juga pada level kejiwaanku yang sudah terbiasa beraktifitas di luar tiba-tiba harus ‘masuk kotak’. Menariknya hubby langsung mengamini kepergianku, padahal ini pertama kali kutinggalkan Baby A, yang juga masih minum ASI-ku. Untungnya si baby gak ada soal dengan makan. Paling-paling kebiasaan bangun tengah malam dan mencari-cari badanku dengan berguling-guling sambil teriak mama’ yang ngangenin dan buat kewalahan si Daddy. Dua Tahun lalu, aku aku menginap di hotel yang biasa-biasa aja, tapi aku suka namanya, Tingaang Dandang. Aku ingat, kami sempat sedikit ‘ngiri’ dengan teman-teman yang bekerja di NGO Internasional yang juga ikutan di acara yang sama. Kenapa?. Ya, soal akomodasi itu. Aku dan rekan-rekan menginap di hotel yang biasa saja (bonus banjir kalo ujan lebat), eh teman-teman yang kusebut ini malah di hotel yang kata mahal dan berkelas di kota ini, Aquarius, aku ingat persis namanya. Nah, kali kedua ini, aku berkesempatan menginap di hotel yang katanya berkelas dan mahal itu. Menurutku, ya iya lah... hotel bintang empat. Tapi balik ke siapa mengundang dan siapa diundang lagi. Terserahlah mau disimpan dimana aja yang namanya diundang, asal (lagi-lagi) ‘safe’. Wah, ini juga pertama kalinya aku menulis untuk bulan November (tapi baru diposting and publish sekarang, udah 19 Desember 2012). Aku kembali mengkhianati janjiku sendiri untuk rajin nulis (ingat postingan beberapa tahun lalu). Yah, jangankan menulis, membaca saja aku tidak sempat ...hiks, kasihannya diriku. Ya, ya, ‘me time’ ku saja sulit mendapatkannya. Tapi ini jangan dianggap keluhan, lebih tepat dianggap ungkapan perasaan (daripada berbagi perasaan, kasihan yang dibagi belum tentu mampu seperti diriku – narsis.com). Whoammmm, aku sudah mengantuk ternyata, lupa menyeruput kopi susu di meja yang sudah kubuat. Aku lagi bingung, gak enak sendirian. Biasanya berlima satu kamar (bersama satu suami dan tiga anak berbagi space yang hanya 3X4 Meter). Now I really miss that room and the contains. Emang akan ada room mateku datang, mungkin besok pagi, dan aku belum kenal. Aku janji dech, akan ada tulisan berikut setelah ini tentang... entah ... apa aja, pokoknya yang kupikir dan mungkin pengalaman menarik esok hari. Dibawa enak ajalah pokoknya. Aku sempat berpikir, Suhu Kriting ngangenin aku gak ya ... terakhir ini hubungan kami diselimuti amarah (akulah yang pemarah), saling cuek dan mrungut (jangan-jangan ini aku lagi). Semoga Suhu sedang sholat saat ini, mendoakan diriku dan Tuhan Allah menegurnya karena telah memasang status yang “tidak mempertimbangkan perasaanku”, dan mem-follow twiter yang “tidak mempertimbangkan perasaanku”. Berharap si Suhu tidak sampai mati rasa padaku, wkwkwkwk ... ngelantur kekenyangan abis dinner kemalaman kayaknya nich. Stop dulu ya, aku mau ancer-ancer kapan menggunakan fasilitas kupon entry fee ke health club (wah, sepertinya valid date-nya hari ini, I missed). Masih ada peluang free pass ke Vino club Live Music and Disco (tadi sore seorang temanku menggoda untuk menggunakan fasilitas ini di Malam Minggu ntar aja). Ehm ... just enjoy your day Iwi .

Jumat, 19 Oktober 2012

Yang berpulang

Coretan ini masih berkaitan dengan 'mudik' dan 'kehilangan'. Tema ini memang harus dipelajari keluargaku akhir-akhir ini. Di hari menjelang kami take off Pnk-Jkt-Sby, aku sempatkan diri posting tentang kerinduanku setelah kepergian Bapak di tanggal dan bulan yang sama pada hari kami berangkat. Jeda sekian lama bergumul dengan 'ground' ini membuatku agak lama menuangkan yang ada dihati dan pikiranku.

Liburan itu, dibulan ramadhan sampai idul fitri - pertama kali di rumah Mbak - berlalu sudah sekitar dua Minggu. Barang bagasi belum semua tersusun ke tempat semula di rumah, kami menerima kabar Adi berpulang. Innalillahi wa innalillahi Rojiun. Ya, yang berasal dari tanah, akhirnya akan kembali ke tanah. Kita semua akan ke sana. Seperti biasa, peristiwa serupa selalu menggetarkan jantungku, apalagi dia adalah adik iparku. Sebelumnya, masih belum begitu hilang raut sendu dan ngiang tangis ibu-anak yang suami-bapaknya berpulang, seorang teman seperjuangan, Bang Alloy dengan tiba-tiba sekali rasanya. Penyakit yang sama dengan Adi, soal di jantung. Kepergian ini juga selang beberapa hari aku mendapat kabar berpulangnya Abang seorang teman dan juga seorang aktivis handal dari Palu (aku kenal tapi tidak dekat, dan siapa sih yang tidak kenal dia di dunia NGO, dan terutama dia sahabat baik hubby).

Ya, itu bukan kuasa manusia, tapi milik-Nya. Itu saja kata-kata yang selalu kuucap. Selamat berpulang kepada yang telah mendahului berpulang. Kelak, kita semua menuju ke sana. Syukur atas kenangan yang tinggal dan boleh dikenang.

Senin, 13 Agustus 2012

In Memoriam: Kompromi dengan Kematian dan Kehilangan


Seandainya aku punya mesin waktu dan punya kuasa untuk memutarnya balik. Hari ini aku akan lakukan itu untuk sekedar mengenang peristiwa tersulit dalam hidupku secara pribadi bahkan keluarga besarku. Peristiwa kehilangan, bukan sekedar kehilangan sesuatu, tetapi sebuah nyawa dan raga yang telah bernafas selama 54 tahun memberi kan suka duka padaku, memapah di masa kecilku, menjadi kepercayaan Tuhanku berkontribusi kepada seorang perempuan hebat untuk menghadirkanku dan 12 mahkluk hidup lain yang disebut manusia ke dalam dunia ini. Ya, dialah seorang ayah, bapak atau kerap kami sebut ‘apak’.

Suatu subuh yang kaku, 5 tahun lalu tepatnya 13 Agustus 2007, selang beberapa hari aku mendengar berita kebakaran tempat kerjaku, aku harus menerima kenyataan pahit lain. Kenyataan pahit karena memang pahit, itulah kata yang sering digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang tidak kita harapkan atau segala sesuatu yang sulit diterima atau terlalu menyakitkan serta menggugah begitu dalam rasa kemanusiaan yang sulit. Kenyataan ‘apak’ telah pergi, ketika fajarpun belum sempat tiba. Bayang-bayang hitam atau kegelapan kematian itu aku tahu sudah dekat menghampiri kami namun rasa kemanusiawian ini sudah mulai berkompromi dengan banyak cara. Aku tidak menolaknya namun aku berusaha memahami kondisi dengan terus mengajari diriku untuk memahami kondisi ini, belajar menerima kenyataan bahwa aku tak punya kuasa atas apapun di dunia ini, apalagi sebuah nyawa. Berkompromi dengan kematian itulah tepatnya. Sekali lagi aku tahu persisi ‘apak’ akan pergi satu Minggu sebelumnya, hanya saja aku bukan tukang ramal yang bisa tahu persisi kapan waktunya, karena itu misteri yang hanya yang Maha Tahu itu yang tahu. Batas kompromiku sebetulnnya sudah hampir sampai pada kerelaan atau ‘ikhlas’ setelah melihat kondisi ‘apak’ yang menderita sakit sekian lama. Aku juga tahu bahkan dirinyapun sulit untuk berkompromi dengan kematiannya sendiri. Aku diberitahu oleh seorang  teman untuk terlebih dahulu ikhlas untuk bisa membantu ‘apak’ sendiri agar ikhlas pula menerima takdirnya yang hanya sebatas pada digit 5 dan 4, usia yang dikatakan masih sangat muda untuk seorang ayah dengan anak terkecil yang masih sangat muda (adikku yang paling kecil masih kelas 4 SD kalau tidak salah). Tapi, sekali lagi itu ranah dan kuasa Tuhan, bukan siapapun.

Aku mengikuti kata temanku, mencoba ikhlas dengan mencoba khusuk meminta keikhlasan yang penuh (rasanya aku tidak pernah berdoa se-khusuk kala itu selama hidupku). Mengikuti saran seorang teman, akupun mencoba membuka banyak informasi di internet di website-website yang menuliskan banyak hal tentang kematian, mencoba memahami dan mengetahui seperti apa kira-kira ayahku menghadapi kematian itu dan seperti apa seharusnya aku dan keluargaku menghadapinya. Aku sampai harus menuliskan beberapa baris permohonan kepada Santo Rafael yang dianggap sebagai Dokter surgawi dan diberi kuasa oleh Tuhan untuk menyembuhkan orang sakit dan berkompromi dengan kematian. Aku sudah tak sanggup lagi untuk langsung memohon kepada Tuhan karena ketakberdayaanku dan seolah-olah aku mengingkari kuasanya. Dan, akhirnya ‘apak ‘ juga pergi. Tak pernah kusesali kepergiannya. Tak pernah kukutuk Tuhan atas peristiwa itu. Tak pernah pula aku menyalahkan siapapun karena setiap orang akan pergi dengan caranya sendiri yang sudah digariskan oleh Tuhan.

Aku tidak punya waktu menuliskan banyak hal mengenang peristiwa itu karena hari ini harus pergi ke Surabaya, tetapi aku rindu untuk ngeblog lagi dan mungkin menulis sosok seorang ‘apak’ yang tangguh bagiku dan keluargaku.

Oh ya, ada peristiwa bahagia juga yang telah hadiahkan Tuhan bagi keluargaku, dan disadari atau tidak sesungguhnya aku yakin itu adalah cara Tuhan mengajari kami sekeluarga untuk tetap bersyukur dalam kondisi yang sulit. Peristiwa lahirnya ponakanku Jojo yang bertepatan sekali dengan (kalau tidak salah) satu Tahun mengenang kepergian bapak. Jojo lahir pas tanggal 13 agustus 2008. Hari ini, 13 Agustus 2012 adalah 5 tahun kepergian Bapak dan genap 4 tahun ponakanku Jojo.

Aku percaya bapak bahagia dan tenang di sana. Aku mencintai bapak, kami mencintai bapak. Terima kasih atas relasi yang indah, bukan hanya sekedar ayah-anak tetapi kau seorang sahabat.

Selamat ulang tahun ponakanku Jojo. Bertumbuhlah menjadi anak cerdas, sehat dan mencintai sesama terutama orang tua dan Tuhan serta cintai dirimu sendiri. I love you.







Sabtu, 07 April 2012

Edisi Ultah Avante Kesatu

 Bertambah satu lagi jadwal purchase b'day cake ke Do & Me (toko kue andalan kami untuk beli kue ultah) setelah jeda satu bulan lebih dari ultah G, satu bulan lebih dari bulan February maksudnya. Sebenarnya, ada yang terlampui untuk tradisi membeli kue ultah ini, yakni di bulan Maret, ultahnya Daddy-nya anak-anak. Aku tidak begitu ingat kenapa ini terlewatkan, dugaanku karena soal yang satu itu (ga etis diomongin kali ye .. tebak aja ndiri, he, he, he ...).

Tidak jauh berbeda, ini hanya acara kumpul-kumpul keluarga dan teman dekat. Hanya ada 20 kotak nasi kuning dari Ayam Goreng remaja, kue ultah, tiga balok brownies almond blubery dan 1 kotak kue bolu. Ini usaha untuk tidak mendiskriminasikan baby A, karena si dua kakaknya selalu 'dirayain' (baca: ada kue dan tiup lilinnya, bukan pesta). Dalam moment ultah, tidak penting tamu yang rame dan kado yang banyak, yang penting ada kue ultah, tiup lilin dan nyanyi lagu Happy B'day. Ya ampun, si babby A senang banget dengarin lagu happy b'day ini, sepertinya dia tahu persis kalau lagu ini untuknya dari ekspresinya, sayangnya dia tidak bisa ungkapkan dengan kata-kata karena blm bisa bicara.

Semua orang senang, dua orang kakaknya, punya kesempatan untuk ikutan tiup lilin karena A belum bisa tiup lilin. Si Daddy didaulat Ibu untuk ngebacain do'a, tante tika (staff daddy) tukang jepret. Aku yang teramat senang karena di ultah A ini, dia terlihat sudah begitu sehat setelah beberapa hari lalu sakit sampai turun BB-nya (tapi setelah sembuh jadi nambah dua kilo). Yang selalu teringat olehku adalah moment menghadirkan makhluk kecil itu ke dunia sama persis ketika aku mengingat moment yang sama kedua kakaknya (dan akan selalu begitu). Babby A lahir tanpa ditolongin oleh bidan yang kuharapkan karena si Ibu Bidan ini sudah pindah ke Jkt. Waktu aku memohon agar dia pulang menjelang lahiranku, dia mesti dampingin anaknya yang sedang ujian di Jakarta. Jadilah, aku direkomendasikan olehnya seorang Bidan senior yang menurutnya baik. Sebelumnya aku bertanya,

"Bu, bidannya galak gak?".
Ia menjawab,
"tidak." Jawab bu bidang.

"Orangnya sudah berumur dan dia respek kog dengan saya. Kabari saja saya kalau sudah keluar tanda, saya akan kasi tahu beliau agar datang ke klinik."

Aku mengikut saran bu Bidan ini, berpikir jangan sampai aku melahirkan hanya dibantu oleh asistennya.

Sampai waktu itu tiba, aku mengikuti semua saran bu Bidan, namun, sebelum bu bidan yang direkomendasikan ini datang, aku sudah melahirkan. Baby A sudah tidak sabar menunggu Bidan datang. tapi, sebetulnya ini juga karena asisten bu bidan terlambat menelpon bosnya sehingga, bidan yang direkomendasikannya pun telat dihubungi. Padahal, begitu datang ke klinik sudah bukaan empat, dan kontraksi terus menerus terjadi dengan interval yang sangat dekat, pertanda sudah mau lahir, meskipun secara teoritis sampai bukaan sepuluh sudah ada estimasi waktunya. Tapi, tidak ada yang bisa memberi 'timing' anak yang begitu aktif dan ingin cepat keluar dari 'jalan lahir'.

Proses ini paling singkat di antara proses dua sebelumnya yang pernah kulalui, kurang dari 2 jam, A sudah lahir. Aku juga jauh lebih sabar secara keseluruhan meski menjelang pecah ketuban, aku sudah merasa tidak sanggup lagi, sampai aku berteriak ke hubbyku,

"Aku tidak sanggup lagi."

Kurang dari itu, merasa sakit yang begitu luar biasa setelah pecah ketuban dan kepala A sudah mau keluar aku ingat berteriak minta tolong ke bidan:
"Bu, tolong saya bu!."

Aku membayangkan Bidan M sendirilah yang membantuku, padahal cuma asistennya. ya, aku mengalami disorientasi, tapi tidak lama.

Modalku hanya breath in-breath out, meski sudah terasa kehabisan nafas, tapi hubby terus menyemangati. Semangat ini yang menghadirkan segera tangis A yang berbobot 3 Kg ini di bulan April, tanggal 4 tahun lalu (2011). Happy B'day Dear A, I love u as I love you. Be smarter.
Posted by Picasa

Selasa, 27 Maret 2012

Ketika A Sakit di Rumah, RS bukan Opsi Utama


Merawat Baby A dengan Cemas
Baby A saat berumur 5 bulan
Dalam dua hari ini, aku menikmati hari dengan lebih santai meski Pontianak terasa semakin panas. Karuan saja, karena sudah lama sekali tidak kubaui bumi basah oleh air hujan. Rasanya sudah cukup lama terik matahari menantangku sendirian tanpa disertai awan hitam yang mengundang hujan. Dalam situasi cuaca panas eksrtim seperti ini, menjadi kesenangan tersendiri bagi para warga yang malas membuang sampah, memuluskan kebiasaan mereka membakar sampah yang kemudian tidak saja menyebarkan asap kemana-mana tetapi bau menyengat dari sampah bakaran seperti karet. Kontra denganku, selain tidak ada kebiasaan membakar sampah (dengan banyak alasan mulai dari yang kukemukan soal asap dan bau atau polusi udara sampai pada ikutannya seperti pelepasan CO2), aku selalu langganan radang tenggorokan sampai ISPA setiap kali musim panas dan tradisi bakar-bakar dilakukan. Anak-anakku, terutama G selalu langganan batuk, P akan meler terus karena pilek dan badannya sampai ke bibirnya akan muncul bercak merah, ruam karena alergi.

Intinya, jangankan anak-anak, orang dewasa sepertiku perlu ekstra menjaga stamina tubuh dalam kondisi cuaca seperti sekarang. Hal terburuk yang kuhadapi dalam seminggu terakhir ini adalah sakitnya si baby boy, A. Tanda-tanda itu sudah muncul seminggu sebelumnya, buang anginnya bau sekali begitu juga pupnya. Ia juga jarang menghabiskan makanannya, terkadang muntah setelah makan sampai-sampai terakhir ia memang kelihatan ogah makan. Ini pertanda buruk karena pada dasarnya ia anak yang senang makan. Puncaknya adalah hari Senin lalu, 19 Maret 2012, aku harus melakukan doctor’s visit, karena dari malam hari ia mulai muntah-muntah dan gelisah tidur, sepertinya karena mules-mules perutnya karena kembung. Dan, kondisi ini terus berlanjut sampai seharian meskipun ia sudah kuberi obat, bahkan tambah parah disertai panas tinggi dan mencret, dan terus menerus muntah yang membuatnya semakin lemah. Lebih dari 24 jam kondisinya tidak semakin membaik, aku memutuskan untuk kembali ke Dokter membawa kekhawatiranku kalau-kalau ini gejala atau mungkin sudah Demam Berdarah (DB). Kami pulang mengantongi antibiotik, obat diare dan turun panas plus surat pengantar untuk test darah ke Lab. Cesilia di Jl. Diponegoro karena Dokter punya kekhawatiran yang sama denganku kalau-kalau itu DB melihat A muntah terus-menerus padahal sudah lebih dari 24 jam minum anti muntah, panas badannya pun tidak turun-turun. Untuk tidak mengatakan tidak ada perubahan sama sekali, setelah kunjungan kedua ini, A selalu terlihat seolah sudah membaik di pagi hari, namun di siang sampai malam hari kondisinya kembali melemah dengan intensitas pupping dan muntah yang semakin sering dengan interval yang semakin dekat (tidak sampai hitungan jam). Ini berlangsung selama dua hari, dan sudah hitungan hari kelima masa sakit A. Keadaan ini membuatku stress dan frustrasi, kadang muncul penyesalan kenapa aku tidak memeriksakan saja dia ke lab untuk memastikan dimana masalahnya sehingga treatment pun tepat. Namun, aku sepakat dengan kata hubby-ku via SMS, kalau itu juga tidak menjamin apa-apa, yang penting memastikan ia tetap mendapat supply makanan dan air sehingga tidak kekurangan cairan. Dan, terakhir hubbyku mengingatkanku unutk memakai ‘feeling’ keibuanku apakah memang perlu untuk ke RS atau tidak. Akupun terbersit untuk pergi saja ke RS, namun kepalaku sudah begitu apriori dengan perawatan rumah sakit yang sering tidak ramah. Tidak tega meliht anakku mesti di-infus dan sedihnya akan menyaksikan dia tidak bebas bergerak karena jarum infus dan akupun akan tidak bebas memenuhi kemauan anaku, misalnya memberinya ASI dan berusaha memenuhi apa saja yang diinginkannya termasuk membiarkannya berguling-guling sesuka hati mencari posisi yang lebih comfort seperti yang ia lakukan di ruang depan TV (yang memaksa kami harus tidur di depan TV sementara, karena A tidak suka di kamar tidur). Aku mengabaikan saja saran beberapa orang (teman dan adik-adikku) untuk mengajak A ke RS karena semakin melemah dengan kondisi aku masih bisa mencekokinya dengan makanan dan air. Ya, ia memang tidak kehilangan selera makan (mungkin karena sangat lapar juga), namun perutnya selalu menolak dan memuntahkan semua yang masuk. Opsi terakhir, aku memutuskan untuk membuatkan rice juice dicampur susu segar dua sendok. Opsi ini berhasil berlangsung selama 2 hari. Hari pertama, rice juice masih dimuntahkan setelah sempat mengendap 45 menit sampai 1 jam di perut. Namun, di hari kedua, aku sudah menambahkan beras hitam dan susu segar dengan selang-seling menyuapinya yoghurt rasa blueberry. Untungnya, A tidak pernah menolak air putih, bahkan terkadang ia marah-marah jika diberi sedikit. Treatment ini sukses membuat A kelihatan lebih segar, ia mulai bermain dan duduk lama serta teriak-teriak, teriakan yang sudah beberapa hari hilang berganti rengekan, bahkan terakhir rengekan itu menjadi tidak begitu nyaring cenderung terdengar menahan sakit yang sedemikian rupa, dan sedikit sengau.

Hari berikutnya, kondisi A berangsur semakin membaik, panasnya sudah turun, pupnya berkurang namun masih muntah dengan interval yang cukup panjang,  4 kali yang berlangsung selama satu hari.  Namun, aku sudah bisa tersenyum karena aku yakin, masa-masa mengkhawatirkan itu sebentar lagi lewat, memang aku masih was-was dan extra attempts (melakukan apa saja yang membuatnya kelihatan nayaman dan memastikan makan dan minum tidak dimuntahkan dengan menyuapi sedikit demi sedikit), serta keep on massaging him – ya rutinitas baru selama dia sakit, satu-satunya yang menenangkan dia sampai tertidur adalah memijatnya dari punggung sampai ke kaki (mempraktek sedikit gerakan shiatsu yang pernah kupelajari) dengan posisinya telungkup. Ini bisa kulakukan sepanjang malam sampai ia benar-benar tidur. Terkadang, aku yang ketiduran.

selama tiga malam berturut-turut, kami sudah seperti pengungsi di rumah sendiri. Menggelar kasur tipis di depan TV, tetap ia lebih banyak memilih di atas ubin dan tikar, dan kubiarkan itu, yang penting dia tidur. Dan setelah tidur aku akan menggotongnya ke kasur kembali, untuk kemudian jika dia beranjak lagi, hal paling buruk yang aku lakukan adalah mengalasi perutnya dengan kain.

Merawat anak yang sakit memang menguras pikiran, perasaan dan tenaga ekstra. Apalagi anak seumuran A (sebelas bulan), yang belum bisa bicara dan menyampaikan keinginannya. Rasanya, aku sudah sangat extra protection terhadap anak-anak, dengan menjaga makan mereka dan menjaga kebersihan alat-alat makan mereka. Namun dengan baby A, satu yang terkadang kecolongan, dia terkadang berhasil meminum air mandinya, dugaanku itulah yang membuatnya terserang virus atau bakteri yang pada akhirnya berhasil ia kalahkan dalam waktu cukup lama, 6 hari.  Ini kali pertama aku harus merawat anak-anak dalam waktu lama, biasanya kalau mereka sakit, paling lama tiga hari. Tentu saja berat, bukan hanya karena hampir selalu ketika hubby-ku tidak ada di rumah, tetapi karena aku juga harus ‘menjaga’ kedua kakaknya agar tidak tertular. 


Mengapa Rumah Sakit BUkan Opsi Utama

Biaya bukan satu-satunya yang menjadi keengganan untuk menjadikan RS sebagai opsi. Memang, pergi ke RS harus memiliki modal, setidaknya jika ingin dirawat, harus memberikan deposit  (saya tidak ingat persis, tapi 5 tahun lalu, di suatu RS Swasta memberikan batas minimal 5 ratus ribu deposit). Bagiku, yang paling utama adalah, aku masih menganggap RS membuat bertambah sakit, bukan sembuh (konteksnya rawat inap). Mungkin juga aku masih trauma terkait dengan pelayanan yang tidak memanusiakan (ingat postinganku Edisi Ultah G). Dan, yang terpenting, aku tidak bisa terlihat tidak berdaya dengan hanya menungguinya saja di bed, paling-paling memanggil perawat jika terjadi sesuatu. Di RS aku tidak bisa bebas membuatkan rice juice (tidak  mungkin membawa blender ke RS) dan menyediakan air putih hangat (RS tidak menyediakan fasilitas seperti itu, kalaupun ada harus beli dengan menyediakan termos pun tidak terjamin kebersihannya). Di rumah, aku bisa melakukan apa saja, bukan saja untuk A tetapi untuk kedua kakaknya yang juga harus kujaga ekstra (meskipun ini bisa diatasi dengan menitipkan mereka di rumah tantenya, yang juga pasti akan merawat mereka dengan baik). Yang pasti, aku sebisanya tidak memisahkan ketiga anakku dan sebisanya aku akan merawat mereka.


Kreatifitas Ibu diperlukan Saat Anak Sakit
Panik adalah satu kata yang kuhindari ketika menghadapi anak yang sakit. Potensi itu ada karena aku banyak merawat anak-anakku sendiri, seringnya mereka sakit ketika hubby tidak di rumah. Rasanya memang akan beda ketika bisa bersama-sama merawat anak sakit. Tapi, hubby selalu memberi support dari jauh termasuk mengingatkan agar tidak panik dan mengingat untuk menjaga kesehatanku juga. Dengan tidak panik, ada banyak hal atau langkah yang bisa diambil oleh Ibu apalagi ketika RS bukan menjadi opsi pertama. Ketika A sakit, aku bukan saja seperti Ibunya tetapi aku menjadi 'perawat dadakan - urgent nurse'. Setiap saat mengobservasi suhu badannya, menghitung muntah dan pup-nya, sesekali bertanya pada tuan Google (ketika ia tidur), memastikan asupan makanan yang memadai dan tetap bisa diterima oleh ususnya sampai memijatnya (ini yang tidak mungkin dilakukan oleh perawat RS) dan menyusuinya (sebelumnya, aku memastikan untuk feed myself susu dan makan lebih banyak, karena kuantitas ASI-ku tidak begitu banyak lagi). 

Dalam stress dan frustrasi (karena keadaannya tidak semakin membaik, dan memuntahkan semua makanan), aku mencoba berkreasi dengan memblender buburnya ditambah garam dan gula serta 2 sdm susu Ultra Cair Putih. Terakhir hubby ku menyarankan susu bear brand (katanya ini baik buat pencernaanya). Ini keputusan berisiko tentunya karena susu cair (pasteurisasi kemasan) seperti ini tidak direkomendasikan bagi anak di bawah 1 tahun. Namun, aku memang mengandalkan feelingku bahwa tidak akan terjadi apa-apa karena aku masih memberi ASI. Persoalannya, ASI sudah tidak cukup lagi memenuhi kebutuhan A, dia sering nangis karena ASI-ku tidak memadai. Jadilah susu pasteurisasi kemasan ini sebagai pilihan dengan memberikannya sedikit saja dan menjaid campuran makanan (tidak langsung). 

Karena A terus menerus muntah dan mencret (muntaber), aku juga selalu menyediakan berbagai opsi air sebegai pengganti cairan mulai dari air putih hangat (yang ia sangat suka), air teh manis hangat (kadang air teh manis-asin hangat - yang ia sangat tidak suka), sampai pada air putih manis-asin hangat (ala cairan oralit) dan susu (baik ASI-ku yang seadanya sampai susu pasteurisasi kemasan Bear Brand dan Ultra Milk Putih). Oh ya, termasuk air rebusan daun jambu merah (A sangat tidak suka, jadilah aku yg memminumnya dengan harapan, setidaknya bisa diserap melalui ASI-ku. 

Untuk perut kembungnya yang tidak surut-surut, aku selalu mengandalkan daun mengkudu disamping rumah. Hanya mengambil beberapa helai, dipanggang di atas api beberapa saat kemudian ditapalkan ke perutnya. Lainnya, aku juga mencoba menggunakan saran seorang Bapak penjual roti yang kami temui ketika pulang dari praktek Dokter, dua helai daun sirih dan satu siung bawang merah tunggal, dikunyah kemudian dibalur dan ditapalkan ke perut. Aku juga rutin membalurkan bawang merah yang diuleg dicampur dengan minyak goreng dan minyak kayu putih ke badannya, kemudian memijit seluruh tubuhnya. Terkadang, aku mencampurkan bawang merah, garam, dan daun sirih ke air mandi A. Wah, Banyaknya, aku mainkan instingku saja, karena tak ada waktu untuk bertanya dan apalagi harus loading internet untuk menanyai Mr. Google. Aku melakukan apa saja yang kupikir mungkin baik. Ini semua sangat membanntu, A terus menerus buang angin, dan menyurutkan perut kembungnya sehingga dia tidak lagi gelisah tidur. Memang perlu kesabaran karena proses seperti ini terkesan lambat tapi efektif dan alami, tidak secepat ketika minum obat efeknya, tetapi obat selalu punya kontra indikasi atau efek samping.

Jumat, 16 Maret 2012

Ultra Kanan???

lagi hit kata2 TOLAK sekarang. Saya menolak KEKERASAN dalam bentuk apapun dan oleh siapapun atas nama etnis, agama, dan kelompok manapun. Saya juga menolak berteman dengan FBkers yang suka posting status RASIS karena saya cinta damai. Mari ciptakan Kalbar yang damai dengan cerdas tanpa mau diprovokasi. PEACE ...
(Status FB-ku, Kamis 15 Maret 2012)
Sudah lama skali aku tidak menjawab pertanyaan "Whta's on your mind?" di dinding FB-ku. "Mau tau aja yang kupikirkan", Paling acungan jempol dan komentar yang kalau diladeni bisa saja 24 jam sehari tidak cukup. Terkadang memang hanya sekedar ada comment, terkadang ada  juga yang serius (banget). Kali ini aku tergoda memasang status karena aku sedang khawatir dengan kondisi akhir-akhir ini di Pontianak, dan puncaknya tiga hari terakhir ini dimana terjadi aksi bentrok antara massa FPI dan warga Dayak. Postingan di wall FB kebanyakan teman juga rada rasis, provokatif dan menambah masalah. Muncullah postinganku di atas. 
Ya, memang FB tidak bisa menjadi indikator tetapi dalam beberapa peristiwa penting (celakanya) aku tahu dari FB, mulai dari postingan link berita dari kawan, status panjang ataupun pendek sampai pada tag foto-foto. Setidaknya, ada 3 peristiwa penting dan menggemparkan rasa etnisitas, atau ke-Dayakan, pertama adalah ketika protes warga Dayak atas statement Pak Thamrin Amal Tomagola terkait kesaksiannya sebagai sasksi ahli di persidangan kasus Ariel (Peter Pan). Pembeberan fakta penelitian beliau (tak perlu kusampaikan di sini) memicu kemarahan orang Dayak, meskipun itu adalah temuan penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya serta kreatifitas intelektual seorang Profesor Sosiologi. Kedua adalah penolakan warga Dayak Kalteng atas FPI di Kalteng yang mengakibatkan gagal mendaratnya pesawat yang ditumpangi oleh beberapa pengurus FPI di airport Tjilik Riwut, kemudian harus kembali ke Jakarta. Aksi ini memicu aksi-aksi lain di berbagai tempat dengan tema sama, penolakan FPI mulai dari Jakarta sampai daerah (tetapi tidak di Pontianak). Ketiga adalah peristiwa dalam 3 hari terakhir ini yang sebetulnya sudah terlihat potensi manifestnya dari Minggu lalu, ketika aku membaca tautan berita seorang teman FB terkait pertemuan Ketua Dewan Adat Dayak Kalbar, degan FPI (tidak perlu juga kujelaskan di sini apa yang dibahsa dalam pertemuan itu). Ini menimbulkan protes kalangan tertentu, merasa DAD mengkhianati Dayak dengan bersekutu dengan FPI yang kerap anarkis dan memilih jalan kekerasan dalam penyelesaian persoalan (meskipun tindakan seperti ini tidak hanya dilakukan FPI, masih banyak kelompok funudamentalis lainnya atas nama etnis yang kerap berlaku sama, memilih jalan kekerasan). 
Sore tadi mestinya kami pergi ke rumah Om di Sungai Raya untuk acara keluarga, tapi urung karena hubbyku terjebak aksi karena ada pemblokiran jalan menuju rumah. Jalan air menggunakan Ferry itulah yang dipilih tetapi harus terjebak lagi oleh antrian panjang lonjakan penumpang ferry. Sudah sangat sore bari my hubby tidab di rumah. Sopir mobil yang harusnya kami tumpangi ke rumah ompun tidak bisa menembus blokiran dan juga tidak berani karena ia seorang Tiong Hoa, salah satu kelompok etnis yang juga pernah bentrok denggan FPI saat perayaan imlek 2 tahun lalu. Aku sendiri tidak yakin kami bisa menembus blokiran jalan dan bisa pulang kembali ke rumah dengan lancar jika niat pergi ke rumah om diteruskan. betul saja, karena situasi ternyata semakin memanas, meskipun diberitakan telah terjadi pertemuan antara wakil kedua belah pihak pada Rabu Malam, 14 Maret 2012. Unggahan video youtube terakhir dari seorang teman menunjukan situasi memanas sementara waktu jam 22.10 (kamis, 15 Maret 2012), membuat Polisi meluncurkan peluru panas ke langit sebagai peringatan. Beberapa info lain menjelaskan masih ada konsentrasi massa setidaknya di  2 tempat, Jalan Veteran dan Tanjung Raya (sebelumnya konsentrasi di Jalan A. Yani, Veteran, dan juga Soetoyo - Rumah Panjang). 
Aku teringat beberapa waktu lalu ketika aksi di kalteng, aku belajar tentang kelompok ultra-kanan. Menurut my hubby, inilah yang disebut dengan kebangkitan ultra-kanan. Bangkitnya kaum fundamentalis-radikal, unjuk kekuatan mengatasnamakan kepentingan - kemaslatan yang tidak jelas. Hari ini aku kembali mencari tautan terkait sampai aku menemukan berita di Republikaonline tentang ultra-kanan ini. Aku tertarik untuk meng-share-nya di FBku, untuk meningatkan kebanyakan orang yang menurutku memang sedang mengikut perasaan, tidak lagi berpikir cerdas dan logis melihat situasi, cenderung provokatif. Setidaknya, dalam situasi yang memanas seperti ini, sedikit orang bisa berpikir tidak sekedar hitam-putih saja. Kembali ke tautan itu, aku mengambil statemen Matthew Collins, seorang aktivis anti fasis Inggris, Mantan Relawan Neo-Nazi dan pernah berada di inti lingkaran grup ultra-kanan di Inggris: "Itu benar-benar kebencian murni. Saya mulai melihat itu sebagai upaya menghancurkan hidup orang lain. Kekerasan hanya satu-satunya cara yang mereka gunakan untuk perubahan," (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/08/10/lpp8nh)
Menurutku, statement ini cocok menggambarkan situasi saat ini. Ini yang disebut dengan istilah my hubby, "kebangkitan ultra-kanan". Aku masih saja mencoba untuk beranalogi dengan orang-orang sepertiku yang hanya bisa ngomong 'damai' via status FB, kemudian mendapat dukungan dari para jempolers dan komentators. Analogi yang disertai daras syukur pada Tuhanku, ternyata masih ada sedikit orang berpikir sama (jikalau lah mereka jujur), membawa visi dan misi 'perdamaian'. HIngga, tak terbendung jua, aku menuliskan dikomentarku untuk para jempolers dan komentators, seperti ini:
"Terima Kasih Tuhan, setidaknya Kalbar masih punya 17 (bahkan 20) orang jempolers dan komentator yg saya anggap memiliki visi sama 'cinta damai', dan saya percaya lebih banyak lagi orang2 di antara saya dan mereka-mereka ini, hanya saja bagai sebutir jarum diantara tumpukan jerami kering, sulit terlihat bahkan tersentuh, di kelilingi oleh kobaran api di sekelilingnya...".
 

Minggu, 11 Maret 2012

Edisi Ultah G yang kelima

Permintaan Sederhana G

G's 1st day to PG (2 th 5 bln)
Dua minggu lalu, tepatnya tanggal 26 february 2012, G berultah yang ke-5. Aku dan hubby memang sudah sepakat untuk akan terus 'mengingat' hari istimewa anak2, termasuk ada bersama mereka (tidak mengagendakan kegiatan jauh dari rumah). Mensyukurinya itu kata yang lebih tepat. Bukan hanya sekedar ultah G, tetapi mengingatkanku pula akan begitu mahadahsyat proses menghadirkan generasi baru yang disebut manusia ke muka bumi ini, Ya, proses penciptaan yang begitu kompleks bagi akal manusiawi. Aku mengingat selalu momen-momen menegangkan sekaligus mengembirakan, menambahkan deretan baris ucap syukurku atas berkat dari Tuhanku.
Ini tentang hari ultah G, jadi aku tidak akan kembali ke 'momenku'  yang telah lewat itu untuk saat ini. Seperti kebanyakan anak2, G sudah jauh2 hari, tepatnya ketika adiknya P berultah ke-3 atau 5 bulan sebelum hari ultahnya dia selalu menanyakan kapan ultahnya dan meminta dibelikan kue ultah, termasuk mengundang kawan2nya ke rumah. seperti yang telah kusampaikan di atas, kami memang tidak pernah melewatkan momen spesial setidaknya ultah hari lahir dan ultah pernikahan. Tentu saja bukan pesta besar, tapi hanya lilin yang menyala dan kue serta makan yang spesial menurut ukuran kami dengan mengundang hanya saudara dan teman dekat yang jumlahnya tidak akan lebih dari 30 orang. Kami lebih memanfaatkan momen ini untuk berbagi dan mendapatkan do'a dari sedikit banyak orang, bukan untuk kepentingan tertentu yang menyangkut hal-hal yang mungkin saja memperlihatkan prestise di kalangan tertentu. Itu hanya pemborosan belaka yang tidak ada gunanya selain berfoya-foya untuk dilihat banyak orang dan kadang dijadikan gaya hidup.
Rasanya, kalaupun kami orang kaya, tidak bijak juga membiasakan anak-anak untuk melakukan hal-hal yang mubazir. Aku percaya, bahwa makhluk-makhluk kecil yang masih polos sebantaran G dan P tidak ‘pandai’ menuntut banyak. Bagaimana bisa ada anak-anak dari kalangan tertentu tidak mau makan kalau tidak pergi ke resto berlabel internasional, atau merayakan ultah disalah satu restoran yang franchise-nya bisa ditemui hampir di seluruh kota besar, dan juga bisa-bisanya anak-anak minta hadiah yang mahal-mahal?. Menurutku, cerminan pola asuh orang tua bisa dilihat di sini. Yah, anak-anak memang polos, dan mereka akan mengingat lekat apapun, termasuk momen seperti ultah. Memilih merayakannya dengan sederhana tidak membuat G marah-marah, ngambek, bahkan ketika satupun teman skul-nya di TK A tidak datang (karena tidak diundang, maklum cuma antar keluarga dan staf-staf Bapaknya di kantor aja) dia Cuma bilang, “tidak satupun teman-temanku yang tahu rumahku, jadi mereka tidak datang.” Padahal, setiap hari dia dijemput mobil sekolahan, ada teman-temannya.
Kembali ke G-ku. Tidak ada hadiah istimewa untuknya. Ketika aku bertanya, 

“kamu mau hadiah apa G?.” 

Dia tidak segera menjawab, bergaya mikir dulu, namun akhirnya muncul juga dari mulutnya. Jauh sebelumnya, aku sudah mengira-ngira mainan baru, baju baru, atau buku baru. Semuanya salah. 

“Ibu, aku minta dibeliin tali aja hadiahnya.”

Aku tercengang dan balik bertanya untuk memastikan yang kudengar,

“Tali???, tali buat apa nak?”. 

Jawab G, “Iya, tali bu. Tali yang warna-warni.” 

Aku baru ngeh, dugaanku tali seperti itu bagian dari hal baru di sekolahnya. Kebiasaan G memang menceritakan hal-hal baru di sekolahnya seperti mainan. Kenapa tali ini menjadi istimewa, pasti karena ada di sekolahnya atau dia pernah mendengar usul dari orang-orang di sekolah, bisa temannya, atau bahkan gurunya. 

“Bu, bisa gak kasi kado tali?”, Tanya G. 
“Bisa lah, tapi tali mau buat apa?, “Tanyaku. 
“Buat ikat dino (bermacam-macam mainan Dino-nya maksudnya), bu.”

Permintaan itupun aku iyakan. Sorenya aku segera menyampaikan permohonan G ke hubby, yang merespon dengan keheranan juga, tapi aku segera menjelaskan sebelum dia menanyakan hal yang sama denganku sebelumnya ke G. Aku mengajak hubby untuk membelikan saja oil pastel sebagai ganti milik G yang sudah lama karena sudah habis dan banyak patah oelh kedua orang adiknya. Ini tidak berlebihan karena oil pastel lamanyapun bukan pemberian kami tapi dari auntienya di Surabaya. Berikut, kami membelikan warship, mainan kapal perang yang bisa dijalankan di air (dengan batre). Ini juga tidak berlebihan karena sudah lama sekali kami tidak membelikannya mainan, dan beberapa Minggu menjelang ultahnya, dia juga lagi gandrung sekali dengan perahu dan kapal, dipengaruhi oleh tema ajar di sekolahnya. Nah, yang terakhir tentulah tali warna/I pengikat dino. Dan, ternyata justeru permintaan sederhana itulah yang paling sulit kami temukan di toko yang kami tuju. Aku nyengir saja, ngomong ke hubby,

“yang kita pikir permintaan yang aneh, terlalu simple untuk sebuah harapan akan kado ultah, ternyata paling sulit didapat”.

Yah, kadang memang kita terlalu menganggap sederhana sesuatu. Termasuk menganggap ‘sederhana’ keinginan anak. Aku belajar banyak dari ‘permintaan’ G ini.


Flash Back: ‘Menghadirkan’ G dengan penuh kerumitan

G (tengah) bersama Dek P n Jo: Gak Sabaran Potong Kue
Untuk G-ku, Selamat ulang tahun, sayang. Ibu ada untukmu, karena memang begitu seharusnya. Dan, akan selalu seperti kau minta dan seperti takdir dari-Nya. Bahkan ketika kau tumbuh dewasa dan jauh, aku adalah Ibumu. Ketika kau bahagia dan sedih, aku Ibumu. Ketika aku marah dan tak setuju dengan pilihanmu, aku Ibumu. Untuk sesuatu yang tak kan pernah bisa kaupahami dengan hanya logika, aku sedih sekaligus bahagia setiap saat menyaksikan kau bertumbuh dari waktu ke waktu. Tapi satu yang pasti, tangan Tuhan bekerja memungkinkan semua, bahkan mendapat ijin melahirkanmu ke dunia ini, dengan beralaskan keyakinanku yang begitu besar akan kasih-Nya. Aku menembus duga tak kan bisa melahirkanmu ke dunia ini, tapi ternyata bukan hanya kamu, hadiah indah dalam bentuk wajah adik-adikmu, pipi bakpao P adik perempuanmu, dan si gigi tajam, baby Ava adik laki-lakimu itu menambah tantangan hidup aku dan Bapakmu. Yah, melatih kesabaran kami dengan tingkah-tingkah kalian yang terkadang harus kami kontrol untuk tidak menjadi emosi.

Untukmu, Ibu bangga. Di usia ke-5, kau terlihat cerdas dari tutur dan tingkahmu. Kau hanya anak-anak, tapi aku tahu kau begitu menyayangiku, dan kau selalu menginginkan Ibu menjadi orang yang lebih ekspresif kepadamu, mengungkap rasa sayang Ibu dengan memelukmu, menciummu dan memuji setiap tingkahmu yang menurutmu ‘luar biasa’. Dan, memang kau selalu melakukan sesuatu yang luar biasa termasuk ketika kau sering menyuruh orang-orang rumah pergi, siapapun yang ‘mengingatkanmu’ ketika kasar, mukulin dan ngusilin adik, menyalahkan orang lain, dsb. Tapi, kau hanya anak-anak, sayang. Kau mengajari kami, orang tua untuk sabar dan mengerti bagaimana memahamimu. Terkadang, kami (tanpa sengaja) terlalu menuntutmu ‘dewasa’, melakukan segala sesuatu seperti orang dewasa, misalnya mengemasi mainan tanpa asistensi, makan sendiri tanpa asistensi, dan banyak lagi. Maafkan untuk ini.

G kecil-ku yang masih bayi dulu, yang hampir lahir di toilet ruang bersalin salah satu RS Swasta di Pontianak, kini berumur lima tahun, sudah bertumbuh tinggi, dia penyayang, selalu mengingatkanku untuk beristirahat, bahkan memijitku. Selalu tidak sabar menceritakan segala sesuatu yang dialaminya di sekolah. Terkadang ia tiba-tiba memeluk dan menciumku, mengingatkanku betapa aku jarang mengungkapkan rasa sayangku dengan gaya verbal seperti itu.

G Kecilku satu-satunya anakku yang lahir tidak disaksikan oleh Bapaknya, karena ‘tertib tak berkelasnya’ aturan di salah satu RS swasta tempatku melahirkan itu. Isteri harusnya mendapat dukungan kejiwaan penuh dari suami, tetapi suamiku tidak diijinkan menungguiku melahirkan. Suamiku juga tidak tahu kalau aku pingsan berkali-kali menahan kontraksi terus menerus di ruang bersalin, ditemani bidan yang tidak peduli (hanya peduli untuk bicara kasar sambil menulis kemudian pergi dalam waktu lama), rasis, dan menganggap remeh pasiennya. Aku ingat, si bidan ini tidak percaya ketika aku bilang aku sudah mau partus, sampai akhirnya G hampir lahir di toilet karena si Bidan memaksaku untuk ‘bersih-bersih’ ke toilet dengan alasan biar bayiku lahir dengan bersih. Tapi aku selalu ingat, tanganku menyentuh kepala G yang sudah mau keluar dari jalan lahirnya. Merinding jika ingat pengalaman ini, betapa seorang Ibu yang bertarung antara hidup dan mati (meskipun ini proses alami), diperlakukan dengan tidak manusiawi. Dimarahi, ketika mengerang kesakitan.

G umur 2 hari
Ah G, tapi kau tahu, kau memecahkan ketuban persis  ketika aku dan hubbyku sedang nonton film, the patriot, jam 10 malam. Tapi lama baru kau lahir, selang 5 jam kemudian. Kau juga minum air ketuban yang membuat kau, bayi merahku, harus diinjeksi macam-macam obat dan antibiotic tanpa pemberitahuan kepada kami orang tuamu. Aku juga tak pernah lupa sulitnya bertemu denganmmu untuk memberimu ASI. Aku menangis setiap kali mendengar tangisan dari ruang perawatan bayi, kupikir itu kau. Dan, aku tak pernah bisa tidur tenang. Malam yang sulit meski Cuma 3 malam. Aku harus meminta bapakmu atau tante sumimu untuk memohon ke suster jika ingin bertemu denganmu dan menyusuimu. Jam-jam yang sulit, harusnya anak baru lahir mendapat ASI dan didekap Ibunya, tapi kau ‘diambil’ dariku untuk dirawat intensif gara-gara minum air ketuban. Menyedihkan sekali G, tapi ini tidak hanya dialami olehku, ada banyak Ibu-ibu lain yang mengalami hal yang hampir serupa. Itulah yang membuatku berjanji (untuk tidak mengatakan bersumpah) tidak akan melahirkan di RS lagi, kecuali ada hal yang darurat seperti harus operasi atau ada persoalan yang mengaharuskan adanya tindakan medis darii RS. Tapi, semua sedih dan risauku tertebus ketika membawamu pulang dan bebas menyusuimu dengan dukungan penuh Bapakmu. Disayangkan kau tidak memperoleh hakmu untuk minum kolostrum dari air susuku karena kau dipisahkan dariku segera setelah kaulahir, apapun alasannya, setidaknya, harusnya RS mengijinkan aku menyusuimu dini dan mendekapmu dalam beberapa jam kemudian toh bisa kembali ke ruang perawatan intensif. Yah, begitulah sayang, di banyak tempat, pelayanan kesehatan tidak berperikemanusiaan memperlakukan perempuan, seolah-olah hamil dan melahirkan itu kutukan. Perempuan melahirkan harus di-exclude, diisolasi dengan tidak ditunggui suami, seperti orang yang berpenyakitan menular. Mereka hanya mau uang kita, tapi tidak melayani dengan hati. Lucunya, itu terjadi di RS. Aku diperlakukan dengan sebaliknya ketika melahirkan di sebuah klinik dekat rumah ketika  melahirkan adik-adikmu. Aku diperlakukan dengan baik dan manusiawi mulai dari ketika aku selalu melakukan kunjungan rutin untuk kontrol selama masa kehamilan. Ditunggui suami dan memberikan ASI dini.

Cerita ini mungkin juga akan kaualami suatu hari kelaj, G. Mudah-mudahan, sistem pelayanan publik kesehatan sudah membaik ketika itu. Kau tidak mengalami hal serupa. Atau kalaupun tidak, pengalamanku bisa mengajarkanmu untuk bagaimana mestinya bertindak daam situasi seperti ini. Termasuk membuat pilihan, jangan percaya pelayanan kesehatan di RS lebih baik dari klinik. 

I Love You with all my heart, just like the sun, the moon and the stars' lihgts that you will always see and feel during your days


Jumat, 10 Februari 2012

Promise

I was touched by a word of my "bed-mate", that I'm supposed to keep on practicing to write. Otherwise, I might difficult to start again after long been 'idle'. Yeah, I have the same thing to worry about. I'm afraid of being stag in sharpening my writing skill. At least I have been many times write case studies and conduct my research writing. 

I want to promise to keep practice to write, but I remember that I've promised myself. I remember one day, I wrote the promise, which the notes still saved in my computer, written on May 15, 2009. This is it...!!!. 

To day is hopefully to be more relax after worked hard to fninsh my writing. It has been too long I work on it but still I have got force my brain to work hard, both to learn and to write and analyse human rigths in general and Ecosoc’s rights particularly as perspective in my case writing.

I feel so free and want to scream, uuuh… finally. Actually, at the same to day is my sadness as I realize that I’m getting poorer and poorer in knowledge and skill of writing. I get trouble in systemize ideas bear in my mind and analyse the case. Damned ….!!!!!. I know that I have to fix this stiuation as well as to break my stupidness. Whatever … thank God, there are many ways you show me to walk through to show who I am and make ease everybody looks at me, so they know that this is I am. Though it is quiet hard to stick on the same way I walked in previous yesterdays.

The most important thing I try to hold from to day is I try to promise to myself, from now on, I will keep on writing everything I see, I feel and I do – the whole of my experience, so I go to make this lovely laptop to be more productive. Hope this is not an empty promise that will bring me to the flexibility of thinking, learning, and analyzing and wrtite them all in at least in a piece of paper.

Oh My God. Back to my writing. I have sent it to Bang Emil and start to imagine what would be happened then; fool analysis that he or some other friends might laught at. Just the same as previously, I can’t really strong enough to admit that  I am the foolish one. At least, this is my start of expectation that I will do to get better and better. I will always guide my hands to keep pressing my keyboard and touching one-by-one letters, create word-by-word, sentence-by-sentence to paragraph, and finally a systematic story paraphrased in pages of my blank sheet. Hopefully.

Well, there is something also touch me to day. A news came to my office yesterday. Sad news… there are two of our friends, Pak Iyon and Bambang  just arrested by the Police for they are hostage the Surveyor team for coal mining project in their area. This reasonable, because, local communities have ever been voiced out their denial obver the project, that the project instead of give benefits to them, it will destroy their forest and brings them to be landless. There will be many other impacts that definitely could happen in the future in many aspect of their life. The most crucial one is their rights to land and health environment. They threaten to get problem in accessing resources they life depend on.

This case brings some of NGOs come together to formulate steps and strategy to help the people.

Ha, ha, and now I'm so shy since I can not prove it to myself, to keep own promise. It doesn't really that bad, coz at least I did to force myself to work on my blog, to write down whatever, no matter what the reader might thing of the quality, This is it. Everybody free to evaluate, to judge or to criticize, but this is the only I can do at this time. I expect to much to have another serious writing to make one day.

Senin, 06 Februari 2012

Menyangkal Naluri Keibuan (Denying Motherhood Instinct)

Thursday, October 7, 2011

Aku dikagetkan dengan kabar kabur. Tentulah maksudnya bukan kabar yang bersifat kabur melainkan kabar tentang kabur. Kabur, begitulah kata yang muncul dari mulut seorang lelaki tua (belum cukup tua sesungguhnya, tetapi gurat wajahnya lebih tua dari usianya, dan konon, guratan itu symbol beban hidup). Kata kabur itu berat terucap dari bibirnya, namun sebaris kalimat muncul, “anakku kabur dari rumah membawa cucuku, hanya karena kata-kata yang keluar dari mulutku didasari cinta”. Begitulah meski tak persis sama yang kudengar. Aku hanya mencoba membuatnya puitis tanpa merubah makna.

Tak tahu persis, apa yang tepat untuk menggambarkan emosiku ketika itu. Pastinya aku tidak senang, tidak juga marah tetapi prihatin. Awalnya aku sedih dan bertarung dengan luapan emosi sampai sedikit air mata tak terbendung ketika kulihat mata malaikat kecil digendongan sang Kakek. Mata tak berdosa, dan terlihat membutuhkan perlindungan dan kasih saying. Aku langsung mendekapnya dengan haru, dan seketika aku melihat wajah anaku yang terpaut hanya 3 Minggu usianya, dia 5 bulan lebih dan anaku pas 6 bulan. Dia hanya diam dalam dekapku karena belum bisa berkata-kata, tapi tatap matanya seolah menghujan ke relung jiwaku yang entah apa. Mungkin itu naluri keibuanku. Aku mencoba menyingkap bajuku hendak memberinya ASI-ku karena kulihat dia lapar, tetapi dia enggan. Pantas saja, si kakek bilang, dia sudah lama berhenti ASI. Aku jadi “malu” karena naluri keibuanku yang seolah-olah sok tahu. Kenapa tidak, tiga orang anaku kuberikan haknya untuk minum ASI ekslusif selama 6 bulan dan banyak kesenangan, ketenaran dan petualangan yang kutolak hanya karena aku memilih memberikan ASI ekslusif pada anak-anakku. Bali, Philippine, Swiss, tempat-tempat dimana aku diundang namun aku tak hirau demi anakku. Alangkah “bodohnya” aku demi naluari keibuanku. Sebenarnya bukan hanya arena naluri itu, tetapi memberikan apa yang seharusnya menjadi hak anak-anaku yang secara sadar aku tahu konsekwensinya saat aku memutuskan menjadi Ibu.

Itu adalah cerita kemarin dengan segala luapan emosi dan bayang-bayang laluku dalam menghadapi tantangan menjadi Ibu.

Hari ini, hari kedua malaikat kecil yang dipanggil “My Baby” oleh Ibunya itu berada di rumah. Rasaku masih sama, tetapi aku lebih bertambah prihatin ketika melihat sang Kakek terus menerus menggendong dan selang beberapa saat meletakkan cucu untuk membuatkannya susu. Aku mendekati malaikat kecil itu dan berkata padanya, “sayang, kamu beruntung masih memiliki kakek yang begitu memperhatikanmu.” Kata-kataku berhenti di situ, tetapi berlanjur di dalam hatiku “...  kamu masih beruntung memiliki kakek yang menyayangimu daripada seorang Ibu yang menyangkal naluri keibuannya”.

Mungkin kata hatiku begitu kejam, tapi aku sudah mencoba memahami bahwa ada banyak Ibu dimuka bumi ini yang memang ‘tidak siap’ dengan ‘keibuannya’ dengan alasan yang aku tak tahu. Apakah itu karena bukan keputusan sadar??? Mungkin. Tapi dengan kondisi sadar memutuskan sekalipun, seorang Ibu bisa menjual anaknya karena himpitan ekonomi, seorang ibu bisa membunuh anaknya hanya karena merusak lipstick dengan menulis kata “mama, I love you so much”. Setidaknya, itulah berita yang muncul di TV akhir-akhir ini.

Kembali ke soal si Kakek dan Cucu. Aku melihat sang Kakek terus menyembunyikan kesedihan. Kulihat (meski tak terucap), dia masih berharap si anak atau si Ibunya cucu datang menjenguk mereka. Aku berkali-kali menanyakan kepastian mereka pulang, tapi 3 jawaban berubah-ubah selalu muncul dari mulut sang Kakek. Terkadang dia bilang Pagi ini, Besok, besok malam. Sampai akhirnya kuminta suamiku untuk membeli tiket untuk besok malam. Setidaknya cukup memberi peluang dugaanku akan harapan sang Kakek bisa menjadi kenyataan. Toh, tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan berkehendak. Dugaanku ini semakin mendekati kebenaran bahwa sang kakek berharap si Ibu datang karena pagi ini si kakek mengakui mengirim SMS kepada anaknya dan mencoba menelpon tetapi tidak aktif. Aku sendiri sebetulnya berharap sama, karena menurutku seorang Ibu pasti akan merindukan anaknya dan anak akan merasa aman di dekap Ibunya. Setidaknya, situasi yang kubayangkan tidak ekstrim, bahwa setidaknya Ibu memberanikan diri datang untuk mengucapkan selamat jalan atau bahkan menemani si Ayahnya/mengantar pulang anaknya dan ayahnya karena bagaimanapun terbayang repotnya seorang laki-laki, sekalipun dia pernah punya anak, harus mengurus bayi berumur 5 bulan lebih yang bukan anaknya, bahkan cucunya sekalipun. Kasihan sekali aku memikirkannya.

Siang ini, aku mendapati si Cucu dan si Kakek baring bersisian di atas kasur empukku didepan TV. Si Kakek terlihat lelah sampai ketiduran berusaha menidurkan si cucu. Terliah si cucu belum juga tidur siang meski terlihat mengantuk, dan susupun dia tolak. Dan,  si Kakek ketiduran di samping si cucu. Aku lihat tatapan malaikat kecil itu begitu sendu padaku ketika kutanya,

“mengapa tidak mau tidur, nak?.” Seandainya dia bisa menjawab, mungkin dia akan bilang, “aku ingin Ibu!.” “aku rindu Ibu!.” Sama ketika anaku Pravda yang sudah bisa bicara selalu  bertanya, “mana Ibunya?”, ketika dia mencariku.

Tuhan, sudahlah. Aku lelah dengan pikiranku ini. Aku menuliskan ini karena aku tahu bahwa seorang Ibu tak seharusnya menolak karuniamu dalam bentuk naluri keibuannya, apalagi menyangkalnya untuk alasan apapun. Ibu dari Malaikat kecil bernama “My Baby berinisial P”  itu adalah seorang perempuan hebat karena dia mampu menerima titipanmu melalui sakitnya melahirkan. Tentu seorang Ibu juga mampu menjaga anaknya dan memberikan kasih sayang sama seperti ketika ia dikasihi oleh Tuhan dengan memberinya ayah dan ibu yang memeliharanya dengan cinta.

Aku ingin berhenti di sini, sambil menunggu keajaiban. Keajaiban sederhana tapi sangat bermakna bagi malaikat kecil dan sang Kakek yang sedang berharap. Oh ya Tuhan, hari ini kulihat sang Kakek berdo’a makan cukup panjang, dan aku yakin do’a harapan itu disampaikannya pada-Mu dan juga sudah kau dengar Tuhan. Kabulkanlah.


Catatan Malam tentang seorang Ayah (Kakek si Baby ‘ P’ ), yang kusebut Paman, apresiasiku atas cintanya dan kesabarannya untuk anaknya dan cucunya.

Monolog Tiga dan Satu [tulisanku pada saat berultah ke-31]


 
Selasa, 23 Juni 2009

Sore itu, di ruang yang terkesan kaku …

Hanya ada aku, 1 laptop menyala tempat jari jemariku bermain dari satu huruf ke huruf lain dan satu angka ke angka lain. Tadinya, aku log in facebook, fasilitas di internet yang lagi heboh saat ini, sampai-sampai MUI-pun mengancam mengharamkannya. Banyak ucapan selamat dari friends, friends of friends. Aku mencoba membalas satu persatu. Tak lazim dengan yang sering dilakukan beberapa kawan, mereka memilih efisiensi (mungkin karena banyak kerjaan atau sibuk, atau menganggap basa/i) dengan membalasa secara kolektif ucapan selamat. Aku pikir, hanya sehari, mungkin akan sedikit berkesan lain, untuk tidak mengatakan tidak sama sekali. Aku mencoba mengucap balik harapan dan doa orang2 itu dengan menyebut satu persatu nama mereka. Kelihatan sederhana dan biasa, tapi aku percaya kekuatan kata-kata. Aku menulisnya dengan hati. Ucapan-ucapan itu bukan sekedar untuk menambah ‘recent activity’ pada halaman facebook tetapi di dalamnya memuat spirit yang juga mengingatkan aku untuk melakukan hal yang sama, berdo’a dan berharap kebaikan kepada orang lain. Aku sering meminta kepada Tuhan, tetapi itu mungkin terbatas untukku, keluargaku dan orang-orang terdekatku saja. Tak banyak alasan untuk meminta bagi orang-orang yang secara tidak langsung bersentuhan dengan kehidupanku karena batas jarak dan waktu. Tapi, tekhnologi facebook membantu untuk itu.

Hanya ada aku, ‘si putih’ (sebutanku buat laptop apple pemberian hubby), sebuah PC dengan status mati, secangkir kopi dingin, sepotong kue jumput-jumput pisang hadiah dari Ace penjual kue, seloyang kue dan beberapa potong ikan asin dari Kak Sinta. Tadi sedikit ramai di ruang terbuka yang tepat di belakang ruang kerjaku. Ada surprise party dari adiku, Sumi yang datang dengan serombongan orang rumah lengkap dengan anak-anakku. Padahal, aku baru saja terbangun dari tidur sebentar karena aku tiba-tiba merasa begitu pusing dan mual. Aku masih sempat mengirimkan kembali tulisanku ke Mas Bawor dan Kang Didin, ternyata mereka belum menerima tulisan yang sudah kukirim berminggu-minggu lalu. Aku juga masih punya PR untuk mengoreksi Work Plan dan budget salah satu proyek kantor bareng HuMA tetapi tertinggal di rumah.

Aku begitu jenuh terkungkung di ruang kaca nan panas ini, sehingga terlintas terpikirkan untuk menulis monolog. Terciptalah Monolog Tiga dan Satu

Di ruang berukuran 3x3, berkumpul saudara, anak dan juga beberapa temanku. Ada kue bertuliskan 31 di atasnya sedang terbakar lilin yang menyala. Tak lama kemudian, aku meniup lilin itu satu persatu dibantu oleh Galang, anakku. Lagu Selamat ulang tahun yang tak begitu merdupun berkumandang.

Hari ini, aku sudah berdiri pada dua digit angka ganjil itu. Tiga dan Satu.

“Huh, bilang saja ga berani bilang 31 (Tiga Puluh Satu), malu ketahuan tua!.”

“Siapa takut, siapa malu. Bukankah kalo soal umur orang bilang 31 itu kategori kepala tiga. Bangga donk punya kepala sampe tiga, banyak otak, uploading juga bisa banyak ga bakal overload. Kepala tiga adalah perumpamaan untuk usia yang matang, matang artinya semakin banyak pengalaman (baik dan buruk, senang dan susah) alias banyak makan garam (awas hipertensi), matang artinya dewasa, dewasa artinya  bijak, bijak artinya ya bijak. Sudah. Aku cuma ingin kehidupanku penuh dengan kebijaksanaan. Sulit memang tetapi bukan berarti tidak mungkin.”

“Logika garing dan ga menarik. Bukannya kedewasaan tidak bisa direfleksikan melalui angka-angka saja?. Kedewasaan dan kebijaksanaan sangat abstrak untuk diukur hanya pada satu atau dua bahkan lebih angka. Barangkali tidak sesederhana itu.”.

“Bilang aja tua!, susah amat sih”.

“Enggak, aku ga mau dibilang tua. tua lambang ketakberdayaan, tua berati ga bisa apa-apa, tua berarti akan mati, tua berarti dependensi tinggi, dan tua berarti bau tanah …”.

Dan tiba-tiba, aku berpikir nakal.

“hey, gimana kalau angka 31 kita balik jadi 13…!”.

“Arrrggh, dasar tua ga mau terima kenyataan. Lha, nambah lagi daftarnya, tua berarti keras kepala, bebal, kembali ke digit 1 tapi angka ‘0’, ga progresif dan stagnan. Mau ga dibilang angka ‘NULL’. Hayo, masih ga terima kenyataan!.”

“Sudahlah. Apa yang salah dengan tua. Aku memang sudah tua. Aku juga dikelilingi oleh banyak orang yang sudah tua, yang dulunya juga muda.”

“So What?.”

“No matter what. This is a beautiful life. I could get through this long journey because of God’s blessings since the day I called human.”.

Aku mencoba menyadarkan diri, begitu banyak kemudahan dan keindahan yang kualami yang sayang untuk kukutuk. Seandainya sedikit saja rasa syukur itu hadir setiap hari dalam hidupku, akan terasa begitu dekat jiwa ini dengan kefanaan yang indah dan aku tahu bahwa di atas kefanaan itu ada kekuatan yang begitu besar, yakni keyakinan akan sesuatu yang kuanggap lebih ampuh dari sekian ribu baris lafal do’a dari mulut-mulut orang yang mengaku beriman kepada Tuhan-nya dan pergi ke kuil, gereja, masjid dan pura hanya untuk membuktikan keimanannya itu. Mereka memperoleh pujian tetapi pada saat yang sama mereka mengutuk orang karena tidak berdoa novena, tidak berzikir dan tidak membakar hiu’ di kuil. Tapi, ini juga bagian penting dan seni dari hidup ini. Aku tidak tahu aku berada dimana karena bukan aku yang menilai, tapi setidaknya aku mengerti fakta seperti itu. Semoga ini menjadi pegangan untukku, sehingga aku tidak menjadi latah ke gereja dan berdoa dengan tujuan yang tak jelas tapi berlandaskan keyakinan akan kekuatan yang Maha Dahsyat itu. Yang tidak beranak dan diperanakan itu. Yang menjadi misteri yang membuat orang saling klaim kebenaran dan saling bunuh. Yang membuat orang dipisahkan atas nama perbedaan. Yang membuat cinta dan damai sulit diaktualisasikan dalam dunia ini.

“Wow, what a fantastic words I made!.
“Am I wiser?.”
“Is that because of my centimentil feeling or just an adjustment to this growing ages?.”

“I don’t care!”.
“I know what I know alias pokoknya aku tahu.”

“Apa yang kau tahu?”.

“Kau ingin menunjukan betapa cerdasnya dirimu, padahal kata-kata itu banyak diucapkan orang-orang untuk menutupi kekurangan dan ketakmauannya saja.”

“Maksudmu?.”

“Ya, kebetulan kamu seorang aktivis NGO, mikirmu rada on the human rights perspective lah. Tapi coba kautanyakan betul-betul pada dirimu, apakah emang benar kau sekompromi itu, jika dalam kondisi tertentu yang rumit.”

“Well, perhaps, but I’m now talking about my thoughts, not a feeling of a certain complicated condition. Let’s see it this way, that this a thing to be a common understanding and knowledge!. Just that simple, honey.”

Pembicaraanku dengan aku yang lain sungguh mulai menjadi kompleks dan topiknya bisa menyebar. Sebetulnya, ini yang kurasakan terakhir ketika harus berdebat dengan seorang teman yang terlalu terobsesi dengan kata “trully me, my true colors atau the real me”, dengan mengatakan orang lain picik tanpa ukuran yang jelas yang cenderung sangat subjektif dan tak berdasar intelektualit

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...