Senin, 06 Februari 2012

Menyangkal Naluri Keibuan (Denying Motherhood Instinct)

Thursday, October 7, 2011

Aku dikagetkan dengan kabar kabur. Tentulah maksudnya bukan kabar yang bersifat kabur melainkan kabar tentang kabur. Kabur, begitulah kata yang muncul dari mulut seorang lelaki tua (belum cukup tua sesungguhnya, tetapi gurat wajahnya lebih tua dari usianya, dan konon, guratan itu symbol beban hidup). Kata kabur itu berat terucap dari bibirnya, namun sebaris kalimat muncul, “anakku kabur dari rumah membawa cucuku, hanya karena kata-kata yang keluar dari mulutku didasari cinta”. Begitulah meski tak persis sama yang kudengar. Aku hanya mencoba membuatnya puitis tanpa merubah makna.

Tak tahu persis, apa yang tepat untuk menggambarkan emosiku ketika itu. Pastinya aku tidak senang, tidak juga marah tetapi prihatin. Awalnya aku sedih dan bertarung dengan luapan emosi sampai sedikit air mata tak terbendung ketika kulihat mata malaikat kecil digendongan sang Kakek. Mata tak berdosa, dan terlihat membutuhkan perlindungan dan kasih saying. Aku langsung mendekapnya dengan haru, dan seketika aku melihat wajah anaku yang terpaut hanya 3 Minggu usianya, dia 5 bulan lebih dan anaku pas 6 bulan. Dia hanya diam dalam dekapku karena belum bisa berkata-kata, tapi tatap matanya seolah menghujan ke relung jiwaku yang entah apa. Mungkin itu naluri keibuanku. Aku mencoba menyingkap bajuku hendak memberinya ASI-ku karena kulihat dia lapar, tetapi dia enggan. Pantas saja, si kakek bilang, dia sudah lama berhenti ASI. Aku jadi “malu” karena naluri keibuanku yang seolah-olah sok tahu. Kenapa tidak, tiga orang anaku kuberikan haknya untuk minum ASI ekslusif selama 6 bulan dan banyak kesenangan, ketenaran dan petualangan yang kutolak hanya karena aku memilih memberikan ASI ekslusif pada anak-anakku. Bali, Philippine, Swiss, tempat-tempat dimana aku diundang namun aku tak hirau demi anakku. Alangkah “bodohnya” aku demi naluari keibuanku. Sebenarnya bukan hanya arena naluri itu, tetapi memberikan apa yang seharusnya menjadi hak anak-anaku yang secara sadar aku tahu konsekwensinya saat aku memutuskan menjadi Ibu.

Itu adalah cerita kemarin dengan segala luapan emosi dan bayang-bayang laluku dalam menghadapi tantangan menjadi Ibu.

Hari ini, hari kedua malaikat kecil yang dipanggil “My Baby” oleh Ibunya itu berada di rumah. Rasaku masih sama, tetapi aku lebih bertambah prihatin ketika melihat sang Kakek terus menerus menggendong dan selang beberapa saat meletakkan cucu untuk membuatkannya susu. Aku mendekati malaikat kecil itu dan berkata padanya, “sayang, kamu beruntung masih memiliki kakek yang begitu memperhatikanmu.” Kata-kataku berhenti di situ, tetapi berlanjur di dalam hatiku “...  kamu masih beruntung memiliki kakek yang menyayangimu daripada seorang Ibu yang menyangkal naluri keibuannya”.

Mungkin kata hatiku begitu kejam, tapi aku sudah mencoba memahami bahwa ada banyak Ibu dimuka bumi ini yang memang ‘tidak siap’ dengan ‘keibuannya’ dengan alasan yang aku tak tahu. Apakah itu karena bukan keputusan sadar??? Mungkin. Tapi dengan kondisi sadar memutuskan sekalipun, seorang Ibu bisa menjual anaknya karena himpitan ekonomi, seorang ibu bisa membunuh anaknya hanya karena merusak lipstick dengan menulis kata “mama, I love you so much”. Setidaknya, itulah berita yang muncul di TV akhir-akhir ini.

Kembali ke soal si Kakek dan Cucu. Aku melihat sang Kakek terus menyembunyikan kesedihan. Kulihat (meski tak terucap), dia masih berharap si anak atau si Ibunya cucu datang menjenguk mereka. Aku berkali-kali menanyakan kepastian mereka pulang, tapi 3 jawaban berubah-ubah selalu muncul dari mulut sang Kakek. Terkadang dia bilang Pagi ini, Besok, besok malam. Sampai akhirnya kuminta suamiku untuk membeli tiket untuk besok malam. Setidaknya cukup memberi peluang dugaanku akan harapan sang Kakek bisa menjadi kenyataan. Toh, tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan berkehendak. Dugaanku ini semakin mendekati kebenaran bahwa sang kakek berharap si Ibu datang karena pagi ini si kakek mengakui mengirim SMS kepada anaknya dan mencoba menelpon tetapi tidak aktif. Aku sendiri sebetulnya berharap sama, karena menurutku seorang Ibu pasti akan merindukan anaknya dan anak akan merasa aman di dekap Ibunya. Setidaknya, situasi yang kubayangkan tidak ekstrim, bahwa setidaknya Ibu memberanikan diri datang untuk mengucapkan selamat jalan atau bahkan menemani si Ayahnya/mengantar pulang anaknya dan ayahnya karena bagaimanapun terbayang repotnya seorang laki-laki, sekalipun dia pernah punya anak, harus mengurus bayi berumur 5 bulan lebih yang bukan anaknya, bahkan cucunya sekalipun. Kasihan sekali aku memikirkannya.

Siang ini, aku mendapati si Cucu dan si Kakek baring bersisian di atas kasur empukku didepan TV. Si Kakek terlihat lelah sampai ketiduran berusaha menidurkan si cucu. Terliah si cucu belum juga tidur siang meski terlihat mengantuk, dan susupun dia tolak. Dan,  si Kakek ketiduran di samping si cucu. Aku lihat tatapan malaikat kecil itu begitu sendu padaku ketika kutanya,

“mengapa tidak mau tidur, nak?.” Seandainya dia bisa menjawab, mungkin dia akan bilang, “aku ingin Ibu!.” “aku rindu Ibu!.” Sama ketika anaku Pravda yang sudah bisa bicara selalu  bertanya, “mana Ibunya?”, ketika dia mencariku.

Tuhan, sudahlah. Aku lelah dengan pikiranku ini. Aku menuliskan ini karena aku tahu bahwa seorang Ibu tak seharusnya menolak karuniamu dalam bentuk naluri keibuannya, apalagi menyangkalnya untuk alasan apapun. Ibu dari Malaikat kecil bernama “My Baby berinisial P”  itu adalah seorang perempuan hebat karena dia mampu menerima titipanmu melalui sakitnya melahirkan. Tentu seorang Ibu juga mampu menjaga anaknya dan memberikan kasih sayang sama seperti ketika ia dikasihi oleh Tuhan dengan memberinya ayah dan ibu yang memeliharanya dengan cinta.

Aku ingin berhenti di sini, sambil menunggu keajaiban. Keajaiban sederhana tapi sangat bermakna bagi malaikat kecil dan sang Kakek yang sedang berharap. Oh ya Tuhan, hari ini kulihat sang Kakek berdo’a makan cukup panjang, dan aku yakin do’a harapan itu disampaikannya pada-Mu dan juga sudah kau dengar Tuhan. Kabulkanlah.


Catatan Malam tentang seorang Ayah (Kakek si Baby ‘ P’ ), yang kusebut Paman, apresiasiku atas cintanya dan kesabarannya untuk anaknya dan cucunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...