Senin, 06 Februari 2012

Monolog Tiga dan Satu [tulisanku pada saat berultah ke-31]


 
Selasa, 23 Juni 2009

Sore itu, di ruang yang terkesan kaku …

Hanya ada aku, 1 laptop menyala tempat jari jemariku bermain dari satu huruf ke huruf lain dan satu angka ke angka lain. Tadinya, aku log in facebook, fasilitas di internet yang lagi heboh saat ini, sampai-sampai MUI-pun mengancam mengharamkannya. Banyak ucapan selamat dari friends, friends of friends. Aku mencoba membalas satu persatu. Tak lazim dengan yang sering dilakukan beberapa kawan, mereka memilih efisiensi (mungkin karena banyak kerjaan atau sibuk, atau menganggap basa/i) dengan membalasa secara kolektif ucapan selamat. Aku pikir, hanya sehari, mungkin akan sedikit berkesan lain, untuk tidak mengatakan tidak sama sekali. Aku mencoba mengucap balik harapan dan doa orang2 itu dengan menyebut satu persatu nama mereka. Kelihatan sederhana dan biasa, tapi aku percaya kekuatan kata-kata. Aku menulisnya dengan hati. Ucapan-ucapan itu bukan sekedar untuk menambah ‘recent activity’ pada halaman facebook tetapi di dalamnya memuat spirit yang juga mengingatkan aku untuk melakukan hal yang sama, berdo’a dan berharap kebaikan kepada orang lain. Aku sering meminta kepada Tuhan, tetapi itu mungkin terbatas untukku, keluargaku dan orang-orang terdekatku saja. Tak banyak alasan untuk meminta bagi orang-orang yang secara tidak langsung bersentuhan dengan kehidupanku karena batas jarak dan waktu. Tapi, tekhnologi facebook membantu untuk itu.

Hanya ada aku, ‘si putih’ (sebutanku buat laptop apple pemberian hubby), sebuah PC dengan status mati, secangkir kopi dingin, sepotong kue jumput-jumput pisang hadiah dari Ace penjual kue, seloyang kue dan beberapa potong ikan asin dari Kak Sinta. Tadi sedikit ramai di ruang terbuka yang tepat di belakang ruang kerjaku. Ada surprise party dari adiku, Sumi yang datang dengan serombongan orang rumah lengkap dengan anak-anakku. Padahal, aku baru saja terbangun dari tidur sebentar karena aku tiba-tiba merasa begitu pusing dan mual. Aku masih sempat mengirimkan kembali tulisanku ke Mas Bawor dan Kang Didin, ternyata mereka belum menerima tulisan yang sudah kukirim berminggu-minggu lalu. Aku juga masih punya PR untuk mengoreksi Work Plan dan budget salah satu proyek kantor bareng HuMA tetapi tertinggal di rumah.

Aku begitu jenuh terkungkung di ruang kaca nan panas ini, sehingga terlintas terpikirkan untuk menulis monolog. Terciptalah Monolog Tiga dan Satu

Di ruang berukuran 3x3, berkumpul saudara, anak dan juga beberapa temanku. Ada kue bertuliskan 31 di atasnya sedang terbakar lilin yang menyala. Tak lama kemudian, aku meniup lilin itu satu persatu dibantu oleh Galang, anakku. Lagu Selamat ulang tahun yang tak begitu merdupun berkumandang.

Hari ini, aku sudah berdiri pada dua digit angka ganjil itu. Tiga dan Satu.

“Huh, bilang saja ga berani bilang 31 (Tiga Puluh Satu), malu ketahuan tua!.”

“Siapa takut, siapa malu. Bukankah kalo soal umur orang bilang 31 itu kategori kepala tiga. Bangga donk punya kepala sampe tiga, banyak otak, uploading juga bisa banyak ga bakal overload. Kepala tiga adalah perumpamaan untuk usia yang matang, matang artinya semakin banyak pengalaman (baik dan buruk, senang dan susah) alias banyak makan garam (awas hipertensi), matang artinya dewasa, dewasa artinya  bijak, bijak artinya ya bijak. Sudah. Aku cuma ingin kehidupanku penuh dengan kebijaksanaan. Sulit memang tetapi bukan berarti tidak mungkin.”

“Logika garing dan ga menarik. Bukannya kedewasaan tidak bisa direfleksikan melalui angka-angka saja?. Kedewasaan dan kebijaksanaan sangat abstrak untuk diukur hanya pada satu atau dua bahkan lebih angka. Barangkali tidak sesederhana itu.”.

“Bilang aja tua!, susah amat sih”.

“Enggak, aku ga mau dibilang tua. tua lambang ketakberdayaan, tua berati ga bisa apa-apa, tua berarti akan mati, tua berarti dependensi tinggi, dan tua berarti bau tanah …”.

Dan tiba-tiba, aku berpikir nakal.

“hey, gimana kalau angka 31 kita balik jadi 13…!”.

“Arrrggh, dasar tua ga mau terima kenyataan. Lha, nambah lagi daftarnya, tua berarti keras kepala, bebal, kembali ke digit 1 tapi angka ‘0’, ga progresif dan stagnan. Mau ga dibilang angka ‘NULL’. Hayo, masih ga terima kenyataan!.”

“Sudahlah. Apa yang salah dengan tua. Aku memang sudah tua. Aku juga dikelilingi oleh banyak orang yang sudah tua, yang dulunya juga muda.”

“So What?.”

“No matter what. This is a beautiful life. I could get through this long journey because of God’s blessings since the day I called human.”.

Aku mencoba menyadarkan diri, begitu banyak kemudahan dan keindahan yang kualami yang sayang untuk kukutuk. Seandainya sedikit saja rasa syukur itu hadir setiap hari dalam hidupku, akan terasa begitu dekat jiwa ini dengan kefanaan yang indah dan aku tahu bahwa di atas kefanaan itu ada kekuatan yang begitu besar, yakni keyakinan akan sesuatu yang kuanggap lebih ampuh dari sekian ribu baris lafal do’a dari mulut-mulut orang yang mengaku beriman kepada Tuhan-nya dan pergi ke kuil, gereja, masjid dan pura hanya untuk membuktikan keimanannya itu. Mereka memperoleh pujian tetapi pada saat yang sama mereka mengutuk orang karena tidak berdoa novena, tidak berzikir dan tidak membakar hiu’ di kuil. Tapi, ini juga bagian penting dan seni dari hidup ini. Aku tidak tahu aku berada dimana karena bukan aku yang menilai, tapi setidaknya aku mengerti fakta seperti itu. Semoga ini menjadi pegangan untukku, sehingga aku tidak menjadi latah ke gereja dan berdoa dengan tujuan yang tak jelas tapi berlandaskan keyakinan akan kekuatan yang Maha Dahsyat itu. Yang tidak beranak dan diperanakan itu. Yang menjadi misteri yang membuat orang saling klaim kebenaran dan saling bunuh. Yang membuat orang dipisahkan atas nama perbedaan. Yang membuat cinta dan damai sulit diaktualisasikan dalam dunia ini.

“Wow, what a fantastic words I made!.
“Am I wiser?.”
“Is that because of my centimentil feeling or just an adjustment to this growing ages?.”

“I don’t care!”.
“I know what I know alias pokoknya aku tahu.”

“Apa yang kau tahu?”.

“Kau ingin menunjukan betapa cerdasnya dirimu, padahal kata-kata itu banyak diucapkan orang-orang untuk menutupi kekurangan dan ketakmauannya saja.”

“Maksudmu?.”

“Ya, kebetulan kamu seorang aktivis NGO, mikirmu rada on the human rights perspective lah. Tapi coba kautanyakan betul-betul pada dirimu, apakah emang benar kau sekompromi itu, jika dalam kondisi tertentu yang rumit.”

“Well, perhaps, but I’m now talking about my thoughts, not a feeling of a certain complicated condition. Let’s see it this way, that this a thing to be a common understanding and knowledge!. Just that simple, honey.”

Pembicaraanku dengan aku yang lain sungguh mulai menjadi kompleks dan topiknya bisa menyebar. Sebetulnya, ini yang kurasakan terakhir ketika harus berdebat dengan seorang teman yang terlalu terobsesi dengan kata “trully me, my true colors atau the real me”, dengan mengatakan orang lain picik tanpa ukuran yang jelas yang cenderung sangat subjektif dan tak berdasar intelektualit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...