Selasa, 27 Maret 2012

Ketika A Sakit di Rumah, RS bukan Opsi Utama


Merawat Baby A dengan Cemas
Baby A saat berumur 5 bulan
Dalam dua hari ini, aku menikmati hari dengan lebih santai meski Pontianak terasa semakin panas. Karuan saja, karena sudah lama sekali tidak kubaui bumi basah oleh air hujan. Rasanya sudah cukup lama terik matahari menantangku sendirian tanpa disertai awan hitam yang mengundang hujan. Dalam situasi cuaca panas eksrtim seperti ini, menjadi kesenangan tersendiri bagi para warga yang malas membuang sampah, memuluskan kebiasaan mereka membakar sampah yang kemudian tidak saja menyebarkan asap kemana-mana tetapi bau menyengat dari sampah bakaran seperti karet. Kontra denganku, selain tidak ada kebiasaan membakar sampah (dengan banyak alasan mulai dari yang kukemukan soal asap dan bau atau polusi udara sampai pada ikutannya seperti pelepasan CO2), aku selalu langganan radang tenggorokan sampai ISPA setiap kali musim panas dan tradisi bakar-bakar dilakukan. Anak-anakku, terutama G selalu langganan batuk, P akan meler terus karena pilek dan badannya sampai ke bibirnya akan muncul bercak merah, ruam karena alergi.

Intinya, jangankan anak-anak, orang dewasa sepertiku perlu ekstra menjaga stamina tubuh dalam kondisi cuaca seperti sekarang. Hal terburuk yang kuhadapi dalam seminggu terakhir ini adalah sakitnya si baby boy, A. Tanda-tanda itu sudah muncul seminggu sebelumnya, buang anginnya bau sekali begitu juga pupnya. Ia juga jarang menghabiskan makanannya, terkadang muntah setelah makan sampai-sampai terakhir ia memang kelihatan ogah makan. Ini pertanda buruk karena pada dasarnya ia anak yang senang makan. Puncaknya adalah hari Senin lalu, 19 Maret 2012, aku harus melakukan doctor’s visit, karena dari malam hari ia mulai muntah-muntah dan gelisah tidur, sepertinya karena mules-mules perutnya karena kembung. Dan, kondisi ini terus berlanjut sampai seharian meskipun ia sudah kuberi obat, bahkan tambah parah disertai panas tinggi dan mencret, dan terus menerus muntah yang membuatnya semakin lemah. Lebih dari 24 jam kondisinya tidak semakin membaik, aku memutuskan untuk kembali ke Dokter membawa kekhawatiranku kalau-kalau ini gejala atau mungkin sudah Demam Berdarah (DB). Kami pulang mengantongi antibiotik, obat diare dan turun panas plus surat pengantar untuk test darah ke Lab. Cesilia di Jl. Diponegoro karena Dokter punya kekhawatiran yang sama denganku kalau-kalau itu DB melihat A muntah terus-menerus padahal sudah lebih dari 24 jam minum anti muntah, panas badannya pun tidak turun-turun. Untuk tidak mengatakan tidak ada perubahan sama sekali, setelah kunjungan kedua ini, A selalu terlihat seolah sudah membaik di pagi hari, namun di siang sampai malam hari kondisinya kembali melemah dengan intensitas pupping dan muntah yang semakin sering dengan interval yang semakin dekat (tidak sampai hitungan jam). Ini berlangsung selama dua hari, dan sudah hitungan hari kelima masa sakit A. Keadaan ini membuatku stress dan frustrasi, kadang muncul penyesalan kenapa aku tidak memeriksakan saja dia ke lab untuk memastikan dimana masalahnya sehingga treatment pun tepat. Namun, aku sepakat dengan kata hubby-ku via SMS, kalau itu juga tidak menjamin apa-apa, yang penting memastikan ia tetap mendapat supply makanan dan air sehingga tidak kekurangan cairan. Dan, terakhir hubbyku mengingatkanku unutk memakai ‘feeling’ keibuanku apakah memang perlu untuk ke RS atau tidak. Akupun terbersit untuk pergi saja ke RS, namun kepalaku sudah begitu apriori dengan perawatan rumah sakit yang sering tidak ramah. Tidak tega meliht anakku mesti di-infus dan sedihnya akan menyaksikan dia tidak bebas bergerak karena jarum infus dan akupun akan tidak bebas memenuhi kemauan anaku, misalnya memberinya ASI dan berusaha memenuhi apa saja yang diinginkannya termasuk membiarkannya berguling-guling sesuka hati mencari posisi yang lebih comfort seperti yang ia lakukan di ruang depan TV (yang memaksa kami harus tidur di depan TV sementara, karena A tidak suka di kamar tidur). Aku mengabaikan saja saran beberapa orang (teman dan adik-adikku) untuk mengajak A ke RS karena semakin melemah dengan kondisi aku masih bisa mencekokinya dengan makanan dan air. Ya, ia memang tidak kehilangan selera makan (mungkin karena sangat lapar juga), namun perutnya selalu menolak dan memuntahkan semua yang masuk. Opsi terakhir, aku memutuskan untuk membuatkan rice juice dicampur susu segar dua sendok. Opsi ini berhasil berlangsung selama 2 hari. Hari pertama, rice juice masih dimuntahkan setelah sempat mengendap 45 menit sampai 1 jam di perut. Namun, di hari kedua, aku sudah menambahkan beras hitam dan susu segar dengan selang-seling menyuapinya yoghurt rasa blueberry. Untungnya, A tidak pernah menolak air putih, bahkan terkadang ia marah-marah jika diberi sedikit. Treatment ini sukses membuat A kelihatan lebih segar, ia mulai bermain dan duduk lama serta teriak-teriak, teriakan yang sudah beberapa hari hilang berganti rengekan, bahkan terakhir rengekan itu menjadi tidak begitu nyaring cenderung terdengar menahan sakit yang sedemikian rupa, dan sedikit sengau.

Hari berikutnya, kondisi A berangsur semakin membaik, panasnya sudah turun, pupnya berkurang namun masih muntah dengan interval yang cukup panjang,  4 kali yang berlangsung selama satu hari.  Namun, aku sudah bisa tersenyum karena aku yakin, masa-masa mengkhawatirkan itu sebentar lagi lewat, memang aku masih was-was dan extra attempts (melakukan apa saja yang membuatnya kelihatan nayaman dan memastikan makan dan minum tidak dimuntahkan dengan menyuapi sedikit demi sedikit), serta keep on massaging him – ya rutinitas baru selama dia sakit, satu-satunya yang menenangkan dia sampai tertidur adalah memijatnya dari punggung sampai ke kaki (mempraktek sedikit gerakan shiatsu yang pernah kupelajari) dengan posisinya telungkup. Ini bisa kulakukan sepanjang malam sampai ia benar-benar tidur. Terkadang, aku yang ketiduran.

selama tiga malam berturut-turut, kami sudah seperti pengungsi di rumah sendiri. Menggelar kasur tipis di depan TV, tetap ia lebih banyak memilih di atas ubin dan tikar, dan kubiarkan itu, yang penting dia tidur. Dan setelah tidur aku akan menggotongnya ke kasur kembali, untuk kemudian jika dia beranjak lagi, hal paling buruk yang aku lakukan adalah mengalasi perutnya dengan kain.

Merawat anak yang sakit memang menguras pikiran, perasaan dan tenaga ekstra. Apalagi anak seumuran A (sebelas bulan), yang belum bisa bicara dan menyampaikan keinginannya. Rasanya, aku sudah sangat extra protection terhadap anak-anak, dengan menjaga makan mereka dan menjaga kebersihan alat-alat makan mereka. Namun dengan baby A, satu yang terkadang kecolongan, dia terkadang berhasil meminum air mandinya, dugaanku itulah yang membuatnya terserang virus atau bakteri yang pada akhirnya berhasil ia kalahkan dalam waktu cukup lama, 6 hari.  Ini kali pertama aku harus merawat anak-anak dalam waktu lama, biasanya kalau mereka sakit, paling lama tiga hari. Tentu saja berat, bukan hanya karena hampir selalu ketika hubby-ku tidak ada di rumah, tetapi karena aku juga harus ‘menjaga’ kedua kakaknya agar tidak tertular. 


Mengapa Rumah Sakit BUkan Opsi Utama

Biaya bukan satu-satunya yang menjadi keengganan untuk menjadikan RS sebagai opsi. Memang, pergi ke RS harus memiliki modal, setidaknya jika ingin dirawat, harus memberikan deposit  (saya tidak ingat persis, tapi 5 tahun lalu, di suatu RS Swasta memberikan batas minimal 5 ratus ribu deposit). Bagiku, yang paling utama adalah, aku masih menganggap RS membuat bertambah sakit, bukan sembuh (konteksnya rawat inap). Mungkin juga aku masih trauma terkait dengan pelayanan yang tidak memanusiakan (ingat postinganku Edisi Ultah G). Dan, yang terpenting, aku tidak bisa terlihat tidak berdaya dengan hanya menungguinya saja di bed, paling-paling memanggil perawat jika terjadi sesuatu. Di RS aku tidak bisa bebas membuatkan rice juice (tidak  mungkin membawa blender ke RS) dan menyediakan air putih hangat (RS tidak menyediakan fasilitas seperti itu, kalaupun ada harus beli dengan menyediakan termos pun tidak terjamin kebersihannya). Di rumah, aku bisa melakukan apa saja, bukan saja untuk A tetapi untuk kedua kakaknya yang juga harus kujaga ekstra (meskipun ini bisa diatasi dengan menitipkan mereka di rumah tantenya, yang juga pasti akan merawat mereka dengan baik). Yang pasti, aku sebisanya tidak memisahkan ketiga anakku dan sebisanya aku akan merawat mereka.


Kreatifitas Ibu diperlukan Saat Anak Sakit
Panik adalah satu kata yang kuhindari ketika menghadapi anak yang sakit. Potensi itu ada karena aku banyak merawat anak-anakku sendiri, seringnya mereka sakit ketika hubby tidak di rumah. Rasanya memang akan beda ketika bisa bersama-sama merawat anak sakit. Tapi, hubby selalu memberi support dari jauh termasuk mengingatkan agar tidak panik dan mengingat untuk menjaga kesehatanku juga. Dengan tidak panik, ada banyak hal atau langkah yang bisa diambil oleh Ibu apalagi ketika RS bukan menjadi opsi pertama. Ketika A sakit, aku bukan saja seperti Ibunya tetapi aku menjadi 'perawat dadakan - urgent nurse'. Setiap saat mengobservasi suhu badannya, menghitung muntah dan pup-nya, sesekali bertanya pada tuan Google (ketika ia tidur), memastikan asupan makanan yang memadai dan tetap bisa diterima oleh ususnya sampai memijatnya (ini yang tidak mungkin dilakukan oleh perawat RS) dan menyusuinya (sebelumnya, aku memastikan untuk feed myself susu dan makan lebih banyak, karena kuantitas ASI-ku tidak begitu banyak lagi). 

Dalam stress dan frustrasi (karena keadaannya tidak semakin membaik, dan memuntahkan semua makanan), aku mencoba berkreasi dengan memblender buburnya ditambah garam dan gula serta 2 sdm susu Ultra Cair Putih. Terakhir hubby ku menyarankan susu bear brand (katanya ini baik buat pencernaanya). Ini keputusan berisiko tentunya karena susu cair (pasteurisasi kemasan) seperti ini tidak direkomendasikan bagi anak di bawah 1 tahun. Namun, aku memang mengandalkan feelingku bahwa tidak akan terjadi apa-apa karena aku masih memberi ASI. Persoalannya, ASI sudah tidak cukup lagi memenuhi kebutuhan A, dia sering nangis karena ASI-ku tidak memadai. Jadilah susu pasteurisasi kemasan ini sebagai pilihan dengan memberikannya sedikit saja dan menjaid campuran makanan (tidak langsung). 

Karena A terus menerus muntah dan mencret (muntaber), aku juga selalu menyediakan berbagai opsi air sebegai pengganti cairan mulai dari air putih hangat (yang ia sangat suka), air teh manis hangat (kadang air teh manis-asin hangat - yang ia sangat tidak suka), sampai pada air putih manis-asin hangat (ala cairan oralit) dan susu (baik ASI-ku yang seadanya sampai susu pasteurisasi kemasan Bear Brand dan Ultra Milk Putih). Oh ya, termasuk air rebusan daun jambu merah (A sangat tidak suka, jadilah aku yg memminumnya dengan harapan, setidaknya bisa diserap melalui ASI-ku. 

Untuk perut kembungnya yang tidak surut-surut, aku selalu mengandalkan daun mengkudu disamping rumah. Hanya mengambil beberapa helai, dipanggang di atas api beberapa saat kemudian ditapalkan ke perutnya. Lainnya, aku juga mencoba menggunakan saran seorang Bapak penjual roti yang kami temui ketika pulang dari praktek Dokter, dua helai daun sirih dan satu siung bawang merah tunggal, dikunyah kemudian dibalur dan ditapalkan ke perut. Aku juga rutin membalurkan bawang merah yang diuleg dicampur dengan minyak goreng dan minyak kayu putih ke badannya, kemudian memijit seluruh tubuhnya. Terkadang, aku mencampurkan bawang merah, garam, dan daun sirih ke air mandi A. Wah, Banyaknya, aku mainkan instingku saja, karena tak ada waktu untuk bertanya dan apalagi harus loading internet untuk menanyai Mr. Google. Aku melakukan apa saja yang kupikir mungkin baik. Ini semua sangat membanntu, A terus menerus buang angin, dan menyurutkan perut kembungnya sehingga dia tidak lagi gelisah tidur. Memang perlu kesabaran karena proses seperti ini terkesan lambat tapi efektif dan alami, tidak secepat ketika minum obat efeknya, tetapi obat selalu punya kontra indikasi atau efek samping.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...