G's 1st day to PG (2 th 5 bln) |
Dua minggu lalu, tepatnya tanggal 26 february 2012, G berultah yang ke-5. Aku dan hubby memang sudah sepakat untuk akan terus 'mengingat' hari istimewa anak2, termasuk ada bersama mereka (tidak mengagendakan kegiatan jauh dari rumah). Mensyukurinya itu kata yang lebih tepat. Bukan hanya sekedar ultah G, tetapi mengingatkanku pula akan begitu mahadahsyat proses menghadirkan generasi baru yang disebut manusia ke muka bumi ini, Ya, proses penciptaan yang begitu kompleks bagi akal manusiawi. Aku mengingat selalu momen-momen menegangkan sekaligus mengembirakan, menambahkan deretan baris ucap syukurku atas berkat dari Tuhanku.
Ini tentang hari ultah G, jadi aku tidak akan kembali ke 'momenku' yang telah lewat itu untuk saat ini. Seperti kebanyakan anak2, G sudah jauh2 hari, tepatnya ketika adiknya P berultah ke-3 atau 5 bulan sebelum hari ultahnya dia selalu menanyakan kapan ultahnya dan meminta dibelikan kue ultah, termasuk mengundang kawan2nya ke rumah. seperti yang telah kusampaikan di atas, kami memang tidak pernah melewatkan momen spesial setidaknya ultah hari lahir dan ultah pernikahan. Tentu saja bukan pesta besar, tapi hanya lilin yang menyala dan kue serta makan yang spesial menurut ukuran kami dengan mengundang hanya saudara dan teman dekat yang jumlahnya tidak akan lebih dari 30 orang. Kami lebih memanfaatkan momen ini untuk berbagi dan mendapatkan do'a dari sedikit banyak orang, bukan untuk kepentingan tertentu yang menyangkut hal-hal yang mungkin saja memperlihatkan prestise di kalangan tertentu. Itu hanya pemborosan belaka yang tidak ada gunanya selain berfoya-foya untuk dilihat banyak orang dan kadang dijadikan gaya hidup.
Rasanya, kalaupun kami orang kaya, tidak bijak juga membiasakan anak-anak untuk melakukan hal-hal yang mubazir. Aku percaya, bahwa makhluk-makhluk kecil yang masih polos sebantaran G dan P tidak ‘pandai’ menuntut banyak. Bagaimana bisa ada anak-anak dari kalangan tertentu tidak mau makan kalau tidak pergi ke resto berlabel internasional, atau merayakan ultah disalah satu restoran yang franchise-nya bisa ditemui hampir di seluruh kota besar, dan juga bisa-bisanya anak-anak minta hadiah yang mahal-mahal?. Menurutku, cerminan pola asuh orang tua bisa dilihat di sini. Yah, anak-anak memang polos, dan mereka akan mengingat lekat apapun, termasuk momen seperti ultah. Memilih merayakannya dengan sederhana tidak membuat G marah-marah, ngambek, bahkan ketika satupun teman skul-nya di TK A tidak datang (karena tidak diundang, maklum cuma antar keluarga dan staf-staf Bapaknya di kantor aja) dia Cuma bilang, “tidak satupun teman-temanku yang tahu rumahku, jadi mereka tidak datang.” Padahal, setiap hari dia dijemput mobil sekolahan, ada teman-temannya.
Kembali ke G-ku. Tidak ada hadiah istimewa untuknya. Ketika aku bertanya,
“kamu mau hadiah apa G?.”
Dia tidak segera menjawab, bergaya mikir dulu, namun akhirnya muncul juga dari mulutnya. Jauh sebelumnya, aku sudah mengira-ngira mainan baru, baju baru, atau buku baru. Semuanya salah.
“Ibu, aku minta dibeliin tali aja hadiahnya.”
Aku tercengang dan balik bertanya untuk memastikan yang kudengar,
“Tali???, tali buat apa nak?”.
Jawab G, “Iya, tali bu. Tali yang warna-warni.”
Aku baru ngeh, dugaanku tali seperti itu bagian dari hal baru di sekolahnya. Kebiasaan G memang menceritakan hal-hal baru di sekolahnya seperti mainan. Kenapa tali ini menjadi istimewa, pasti karena ada di sekolahnya atau dia pernah mendengar usul dari orang-orang di sekolah, bisa temannya, atau bahkan gurunya.
“Bu, bisa gak kasi kado tali?”, Tanya G.
“Bisa lah, tapi tali mau buat apa?, “Tanyaku.
“Buat ikat dino (bermacam-macam mainan Dino-nya maksudnya), bu.”
Permintaan itupun aku iyakan. Sorenya aku segera menyampaikan permohonan G ke hubby, yang merespon dengan keheranan juga, tapi aku segera menjelaskan sebelum dia menanyakan hal yang sama denganku sebelumnya ke G. Aku mengajak hubby untuk membelikan saja oil pastel sebagai ganti milik G yang sudah lama karena sudah habis dan banyak patah oelh kedua orang adiknya. Ini tidak berlebihan karena oil pastel lamanyapun bukan pemberian kami tapi dari auntienya di Surabaya. Berikut, kami membelikan warship, mainan kapal perang yang bisa dijalankan di air (dengan batre). Ini juga tidak berlebihan karena sudah lama sekali kami tidak membelikannya mainan, dan beberapa Minggu menjelang ultahnya, dia juga lagi gandrung sekali dengan perahu dan kapal, dipengaruhi oleh tema ajar di sekolahnya. Nah, yang terakhir tentulah tali warna/I pengikat dino. Dan, ternyata justeru permintaan sederhana itulah yang paling sulit kami temukan di toko yang kami tuju. Aku nyengir saja, ngomong ke hubby,
“yang kita pikir permintaan yang aneh, terlalu simple untuk sebuah harapan akan kado ultah, ternyata paling sulit didapat”.
Yah, kadang memang kita terlalu menganggap sederhana sesuatu. Termasuk menganggap ‘sederhana’ keinginan anak. Aku belajar banyak dari ‘permintaan’ G ini.
Flash Back: ‘Menghadirkan’ G dengan penuh kerumitan
G (tengah) bersama Dek P n Jo: Gak Sabaran Potong Kue |
Untukmu, Ibu bangga. Di usia ke-5, kau terlihat cerdas dari tutur dan tingkahmu. Kau hanya anak-anak, tapi aku tahu kau begitu menyayangiku, dan kau selalu menginginkan Ibu menjadi orang yang lebih ekspresif kepadamu, mengungkap rasa sayang Ibu dengan memelukmu, menciummu dan memuji setiap tingkahmu yang menurutmu ‘luar biasa’. Dan, memang kau selalu melakukan sesuatu yang luar biasa termasuk ketika kau sering menyuruh orang-orang rumah pergi, siapapun yang ‘mengingatkanmu’ ketika kasar, mukulin dan ngusilin adik, menyalahkan orang lain, dsb. Tapi, kau hanya anak-anak, sayang. Kau mengajari kami, orang tua untuk sabar dan mengerti bagaimana memahamimu. Terkadang, kami (tanpa sengaja) terlalu menuntutmu ‘dewasa’, melakukan segala sesuatu seperti orang dewasa, misalnya mengemasi mainan tanpa asistensi, makan sendiri tanpa asistensi, dan banyak lagi. Maafkan untuk ini.
G kecil-ku yang masih bayi dulu, yang hampir lahir di toilet ruang bersalin salah satu RS Swasta di Pontianak, kini berumur lima tahun, sudah bertumbuh tinggi, dia penyayang, selalu mengingatkanku untuk beristirahat, bahkan memijitku. Selalu tidak sabar menceritakan segala sesuatu yang dialaminya di sekolah. Terkadang ia tiba-tiba memeluk dan menciumku, mengingatkanku betapa aku jarang mengungkapkan rasa sayangku dengan gaya verbal seperti itu.
G Kecilku satu-satunya anakku yang lahir tidak disaksikan oleh Bapaknya, karena ‘tertib tak berkelasnya’ aturan di salah satu RS swasta tempatku melahirkan itu. Isteri harusnya mendapat dukungan kejiwaan penuh dari suami, tetapi suamiku tidak diijinkan menungguiku melahirkan. Suamiku juga tidak tahu kalau aku pingsan berkali-kali menahan kontraksi terus menerus di ruang bersalin, ditemani bidan yang tidak peduli (hanya peduli untuk bicara kasar sambil menulis kemudian pergi dalam waktu lama), rasis, dan menganggap remeh pasiennya. Aku ingat, si bidan ini tidak percaya ketika aku bilang aku sudah mau partus, sampai akhirnya G hampir lahir di toilet karena si Bidan memaksaku untuk ‘bersih-bersih’ ke toilet dengan alasan biar bayiku lahir dengan bersih. Tapi aku selalu ingat, tanganku menyentuh kepala G yang sudah mau keluar dari jalan lahirnya. Merinding jika ingat pengalaman ini, betapa seorang Ibu yang bertarung antara hidup dan mati (meskipun ini proses alami), diperlakukan dengan tidak manusiawi. Dimarahi, ketika mengerang kesakitan.
G umur 2 hari |
Cerita ini mungkin juga akan kaualami suatu hari kelaj, G. Mudah-mudahan, sistem pelayanan publik kesehatan sudah membaik ketika itu. Kau tidak mengalami hal serupa. Atau kalaupun tidak, pengalamanku bisa mengajarkanmu untuk bagaimana mestinya bertindak daam situasi seperti ini. Termasuk membuat pilihan, jangan percaya pelayanan kesehatan di RS lebih baik dari klinik.
I Love You with all my heart, just like the sun, the moon and the stars' lihgts that you will always see and feel during your days
Tidak ada komentar:
Posting Komentar