Aku ingin menuliskan ala kadarnya separuh hari yang kulewati hari ini
sebagai hadiah untuk diriku sendiri setelah berlelah-lelah menyaksikan drama
sidang paripurna DPR untuk membahas tiga RUU (RUU Pilkada, RUU Pemda dan RUU
AdPem) yang akan menjadi tugas terakhir mereka sebelum kemudian berganti dengan
anggota dewan terpilih tahun ini untuk periode berikutnya, 2014-2019. Mengamati
perdebatan dan opini dari berbagai kalangan di hampir semua media baik
elektronik maupun cetak, ketok palu RUU Pilkada menjadi yang paling populer
karena dikaitkan dengan proses demokrasi yang sudah berjalan lebih dari sepuluh
tahun di Indonesia (bermula pada masa reformasi tahun 1998). Pilkada langsung
dianggap sebagai ruang partisipasi politik rakyat sebagai bagian dari hak politik
rakyat dengan menentukan sendiri wakil yang mereka inginkan secara langsung
melalui mekanisme pencoblosan di bilik suara.
Tanggal 25 September 2014, meninggalkan catatan sejarah yang akan terus
diingat oleh bukan saja oleh Kepala-kepala daerah yang merasakan atau mengalami
dipilih secara langsung tetapi juga bagi rakyat atau konsituen mereka. Proses
ini juga digugat oleh banyak pihak seperti akademisi, dan para pengamat
politik pro demokrasi. Dan yang paling jelas juga adalah partai pengusung
Jokowi-Jusuf Kala dalam memenangkan pemilihan presiden 2014. Drama di DPR ini
sepertinya sudah ditebak menajadi salah satu manuver terakhir dari Koalisi
Merah Putih, partai-partai pengusung Prabowo-Hatta pada pilpres yang memang
tidak legowo dengan hasil pilpres sehingga harus bermuara pada gugatan di MK
atas hasil pilpres, gugatan ke PTUN yang kemudian di tolak dan terakhir adalah
dengan memainkan secara efektif koalisi gendut mereka yang memang secara jumlah
suara sudah di atas angin. Mr. Presiden sebagai representasi pemerintah dan
negara sebagai pengusul RUU ini dan tentunta partai Partai Demokrat
disebut-sebut sebagai pemegang kunci menentukan hasil keputusan di DPR. Namun,
mereka belum menentukan arah koalisi di parlemen secara jelas setelah
sebelumnya juga menempati posisi abu-abu dalam pilpres namun dengan santun
berlindung dibalik kata "netral". Saya ilustrasikan, Partai Demokrat
dan Mr. President sudah melemparkan bola panas yang sudah terlanjur
menggelinding dan bahkan membakar diri mereka sendiri. Namun, ada juga yang
berpendapat bahwa ini bagian dari sandiwara Mr. Presiden untuk attracting Megawati
Soekarno Putri sebagai Ketum PDIP yang telah memenangkan Pilpres bersama
koalisinya. Kesan plin-plan juga tidak bisa dihindari oleh Mr. Presdient karena
dianggap tidak memiliki sikap, di satu sisi ia mengemukan dukungan terhadap
Pilkada langsung, di sisil lain Partai Demokrat, bahkan salah satunya adalah
anaknya sendiri Ibas melakukan walked out dalam proses voting karena tidak
diterimanya sepuluh opsi yang ditawarkan Demokrat untuk mendukung Pilkada
langsung.
Namun, nasi sudah menjadi bubur, DPR dengan sistem voting (setelah melakukan
dua kali lobby) sudah mengesahkan RUU Pilkada dengan mekanisme Pilkada melalui
DPRD. Walk outnya partai demokrat, yang ketumnya yakni Mr. President menyatakan
diri mendukung Pilkada langsung berpengaruh signifikan terhadap perolehan
suara. Sebanyak 226 suara di DPR memilih Pilkada via DPRD dan 135 suara memilih
Pilkada langsung dari 496 anggota DPR yang hadir dari seluruh fraksi. Sebanyak
123 orang anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat melakukan walk out.
Melihat respon dari khalayak yang paling menarik salah satunya tentu melalui
sosmed. Sebagian besar komunitas sosmed menghujat proses yang telah
berlangsung, dan lebih spesifik menghujat Partai Demokrat dan Mr. PResident.
Banyak sekali meme (lelucon yang menyindir) Mr. President, diantaranya
dikatakan sebagai penerima penghargaan BApak Pilkada Tidak Langsung, Pemain
Sandiwara Hebat, dan lain sebagainya. Dan yang paling ekstrim adalah hashtag
(#) ShameOnYouSby menjadi trending topic of the world di twitter. Namun, ini
hanya bertahan dua hari saja. Hari ketiga hashtag/tagar ini menghilang dari
puncak, dan dikait-kaitkan dengan menkominfo Tifatul Sembiring yang diduga
“menghilangkannya”. Tapi tentu saja ini dibantah.
Banyak kalangan menggugat hasil keputusan sidang paripurna DPR ini dengan
menandatangani petisi yang mendukung atau mendesak Judicial Review UU
Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Opsi lain yang menjadi peluang juga adalah, jika
benar Mr. President kecewa dengan hasil Paripurna DPR maka ia bisa saja menolak
menandatangani RUU tersebut sebagai Undang-undang dalam lembaran negara.
Tetapi, seperti rakyat sudah betul-betul menganggap Mr. President yang tinggal
menghitung hari lagi masa jabatannya sebagai PHP (Pemberi Harapan Palsu). Menurut
UUD 1945 tentang kewenangan DPR. dimungkinkannya penolakan menandatangani UU
oleh Presiden juga bersyarat jika dalam proses pembahasan di DPR itu tidak
berdasarkan persetujuan bersama. Pertanyaannya, apakah mekanisme voting di DPR
masuk dalam “persetujuan bersama” karena ini adalah keputusan berdasarkan suara
terbanyak. “Persetujuan bersama’ di sini juga ambigu. Dalam hal persyaratan ini
tidak terpenuhi pun semestinya, proses pembahasan sebuah RUU tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.Lha, saya ini bukan pengamat, bukan analis, hanya curcol, sehingga lepas
dari dalil dalam UUD 1945 tentang kewenangan DPR, menurut saya sudah melampui
fungsi legislasi mereka dengan melakukan ketok palu sebuah RUU yang dinyatakan
implikasi UU-nya nanti bertentangan dengan prinsip demokrasi dan juga bahkan UU
lainnya yang disebut-sebut yakni UU Pemda dan UU AdPem.
Dalam hal peluang hukum untuk JR UU baru ini ke MK tidak bisa dilakukan atau
ditolak, dan juga dalam hal Mr. President menandatangani atau tidak UU ini, hal
paling mungkin dilakukan oleh rakyat adalah untuk mengingat baik-baik siapa
saja anggota dewan dan juga Parpolnya yang telah menyumbang 135 suara dalam
voting memenangkan opsi Pilkada via DPRD. Jangan lagi “mengotori” dengan
memilih orang-orang dan partai-partai tersebut di tahun 2019. Inilah
partai-partai tersebut: Gerindra, PKS, PPP, PAN, Demokrat, dan Golkar.
Biar saja tumpah ruah, bertaburan bahkan pun kalau berserakan, biar kan saja. Lihat saja indahnya serakan itu dengan berbagai bentuk, warna dan pola. Ia menantangmu seperti merangkai mozaik, menyusun puzzles, dan mengumpulkan potongan kertas yang hanya dengan ketekunan akan membawamu pada hasil yang indah dan memuaskan.
Senin, 29 September 2014
Jumat, 26 September 2014
Aku dan Kembang *Putat #Coretan Iseng tentang alamku
Sumber: gpswisataindonesia.blogspot.com |
![]() |
Sumber: http://nationalgeographic.co.id |
Sebelumnya, hanya ini yang kupunya, hanya coretan, tak hendak bersyair bak pujangga. Aku hanya mengenang lalu dan hanya rindu.
AKU DAN KEMBANG PUTAT
Aku, hatiku
Masih cinta dengan bau bumi basah
Melebur
Pada tiap keraknya yang berlumpur kala hujan
Memaksa menahan geli pada saraf kaki yang telanjang
Rindu
Pada tiap juntai kembang Putat berjejer di tepian sungai
Pada deru speed boat
Yang bisa mendadak bagai berkuda di atas air
Melaju bersama riak gelombang
Datang dan pergi
Pergi dan pulang
Rindu kampung
beraroma khas uap nasi sore hari
Rindu kepulan asap tanakan nasi di perapian dapur
Pontianak, 2 September 2014
Rabu, 10 September 2014
Percayailah, Meski Mereka Hanya Anak-anak
These words simply remind all
parents in this world on how to treat their children not as goods they can
create into whatever they want or properties they can buy or sell whenever they
want.
Kahlil Gibran had been long ago
written the poem to make reflection of
parenting practiced by parents in the
world. The essence of what Kahlil stressed is about to build relationship among
parents and their children. When a child born, they would never be able to
choose by whom, where and in what circumstances
On
Children
Kahlil Gibran
Kahlil Gibran
Your
children are not your children.
They are the sons and daughters of Life's longing for itself.
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you.
They are the sons and daughters of Life's longing for itself.
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you.
You
may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
which you cannot visit, not even in your dreams.
You may strive to be like them,
but seek not to make them like you.
For life goes not backward nor tarries with yesterday.
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
which you cannot visit, not even in your dreams.
You may strive to be like them,
but seek not to make them like you.
For life goes not backward nor tarries with yesterday.
You
are the bows from which your children
as living arrows are sent forth.
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
and He bends you with His might
that His arrows may go swift and far.
Let your bending in the archer's hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also the bow that is stable.
as living arrows are sent forth.
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
and He bends you with His might
that His arrows may go swift and far.
Let your bending in the archer's hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also the bow that is stable.
Ilustrasi: telegraph.co.uk |
Basically, many parenting experts have stated the importance of fulfill the children’s need of love. It has to be performed in a very natural way in daily life started from the early ages of your child, even when they still in the womb. I found many parents are willing to love their children in ways providing everything they want and they demand, not what they need. In many special situation and for specific reasons parents acted as an extremely protective persons. I experience this when I saw some parents are hardly let alone their children at school even just to get teir own books.
Arrgh....capek pake English. Ternyata sudah lama sekali tidak menulis dalam bahasa Inggris. Padahal sebenarnya aku hanya ingin membagi kisah yang kusaksi. Kisah bagaimana orang tua yang tidak mau mulai memberi kepercayaan pada anaknya. Aku menyaksikan itu di sekolah anakku. Sudah sebulan lebih anak-anak masuk sekolah di SD, mestinya sudah tidak jamak ada anak yang diantar oleh orang tua sampai ke kelas. Aku memilih mengantar anakku dan berakhir dengan adegan cipiki cipika saja, setelah itu tentu aku serahkan ia berproses sendiri di sekolah, tidak terlalu kupedulikan apakah nanti ia akan mencatat di buku yang salah atau tidak, apakah tugas harus ia selesaikan dengan skor 100 atau tidak. Biasanya kami akan mengevaluasi proses hari itu setelah mereka pulang ke rumah. Aku berpikir, ketika melepaskan anak-anak ke lingkungan manapun, aku harus mulai memberi kepercayaan kepada mereka. Ungkapan kekesalanku itu hanya berujung pada sebuah status di sosmed;
Selalu greget dg ortu yg tidak mau mulai
memberi kepercayaan kpd anaknya bahkan hanya untuk menentukan buku mana yg
digunakan sementara instruksi dari guru sdh sgt jelas. Anak sampai hrs keluar
dulu dg membawa buku memastikan ke Ibu apa benar buku itu yg hrs ia gunakan.
Parah lagi ada Ibu yg merangsek masuk u/ "membantu" menunjukan buku
yg harud dipakai ke anaknya sementara guru sdh ada di dlm sdg memberi instruksi.
Please deh bu...klpun mrk salah memakai buku, Ibu malu punya anak salah???!!!!. Malu sama siapa?. Guru?. Diri sendiri?.
Mereka hanya anak, kesalahan juga merupakan proses belajar. Apa untungnya menjadi orgtua diktator dan otoriter, karena kl demikian anda hanya butuh robot yg tinggal diprogram sesuka hati dan dikendalikan hanya dg remote.
Please deh bu...klpun mrk salah memakai buku, Ibu malu punya anak salah???!!!!. Malu sama siapa?. Guru?. Diri sendiri?.
Mereka hanya anak, kesalahan juga merupakan proses belajar. Apa untungnya menjadi orgtua diktator dan otoriter, karena kl demikian anda hanya butuh robot yg tinggal diprogram sesuka hati dan dikendalikan hanya dg remote.
Orang dewasa sering memposisikan anak sebagai makhluk yang lemah, harus selalu dilindungi dan dibantu, tetapi tentu ini tidak sama halnya dengan tidak memberi kepercayaan. Pasti sulit, apalagi bagi seroang Ibu yang secara natural mengalami dan menyaksikan pertumbuhan dan perkembangan anak mulai dari ketika dalam kandungan sampai seterus. Disinilah perlu adanya kerelaan orangtua untuk belajar, mengawali dengan membekali diri dengan ilmu tentang perkembangan dan pertumbuhan anak secara mental dan kejiwaan. Berikut, orang tua juga harus mau mengasah kepekaan diri untuk mampu mengetahui apa yang dialami oleh anak dan mengenl potensi anak.
Mari menjadi orang tua yang mau belajar, mulai dengan belajar memberi kepercayaan kepada anak, memberi ruang ia berkreasi dengan segala kemungkinan yang mungkin menurut mata kedewasaan kita “salah”. Tapi, mereka hanyalah anak-anak. Kata-kata Gibran menarik untuk menjadi pengingat setiap saat “mata kedewasaan” mulai mendominasi relasi anak-orangtua.
Rabu, 20 Agustus 2014
Selfie atau Narsisme?
Selfie bisa jadi salah satu istilah yang laris dikalangan para pengikut trend di sosial media seperti facebook, twitter, instagram dan lain-lain mengikuti pesatnya perkembangan tekhnologi dibidang komunikasi. Perkembangannya mengikuti perkembangan aplikasi dan fasilitasi yang ada pada telepon seluler pintar (smart phone). Sebut saja fasilitas kamera dan juga kemudahan untuk membaginya (share) melalui berbagai macam sosial media.
Selfie diartikan secara sederhana sebagai swafoto atau mengambil foto/potret diri sendiri dengan menggunakan kamera digital atau telepon dengan fasilitas kamera. Ini sering dikaitkan dengan tindakan narsis, namun pengertian dari istilah ini sudah bertransformasi tidak se-ekstrim narsisme yang pertama kali dikenalkan oleh seorang ahli psikologi Sigmund Freud dengan merujuk kepada seorang tokoh pada mitos Yunani, Narkissos. Wikipedia menyebut Narkissos dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Ia sangat terpengaruh oleh rasa cinta akan dirinya sendiri dan tanpa sengaja menjulurkan tangannya hingga tenggelam dan akhirnya tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis. Narsis kerap untuk menggambarkan tipe orang yang senang memuji diri sendiri, senang dipuji bahkan berikutnya ini dikaikan dengan selfie. Selfie dianggap bentuk narsisme.
Lagi, menurut Wikipedia, pada tahun 2013, kata selfie secara resmi tercantum dalam Oxford English Dictionary dan dinobatkan sebagai Word of the Year. Di Indoensia, selfie disenangi oleh anak muda (Anak Baru Gede-ABG), namun pada perkembangannya ini merambah ke dunia orang dewasa. Tokoh-tokoh dunia seperti Barrack dan Michelle Obama sampai kepada Jokowi dan Jusuf Kalla pernah melakukan selfie.
Nah, bagaimana dengan anda?. Akhir-akhir ini, sama halnya dengan narsisme, selfie dikaitkan dengan sejenis penyakit mental dan atau penyimpangan prilaku (disorder). Bahkan, cenderung mengarah kepada bipolar disorder, yakni prilaku yang menunjukan mood yang berubah-ubah secara ekstrim dalam waktu singkat. Tentunya, ini kecenderungan pada orang yang melakukan selfie dalam kadar yang berlebihan, karena prilaku ini juga dianggap sebagai bentuk menggugah attractiveness (menarik perhatian).
Pada kadar yang seperti apakah yang dianggap "melampui"?. Bijaknya, anda mungkin lebih baik mencari tahu, ketika anda melakukan selfie apakah anda intens untuk mengunggahnya atau menunjukannya kepada orang lain dan berharap ada perhatian khusus melalu tombol "like" atau "comment" sesuai dengan yang anda harapkan seperti memuji?. Atau, apakah anda lebih sering melakukannya sendiri saja atau bersama dengan orang lain, misalnya teman (sekedar untuk suka-suka)?. Demam selfie ini juga mengundang banyak penelitian. Saya pernah membaca sebuah penelitian yang dilansir di media digital populer di Indonesia yang menyebut, "sering melakukan selfie (terutama dengan orang lain/teman-teman) menjadi penyebaran kutu". Alasannya, ketika melakukan selfie lebih dari dua orang, posisi kepala sering berdempetan agar mampu dijangkau oleh frame kamera yang biasanya dipegang oleh salah satu pelaku selfie atau menggunakan alat khusus sejenis tongkat.
Apakah anda juga terjangkit demam selfie?. Saya sedang menjawab dalam hati dan mau siap-siap selfie dulu, tapi gak sampe demam. Untuk pekerjaanku saat ini, selfie seringnya membantu untuk mengevaluasi make up wajah di depan kamera, karena melakukan make up wajah mandiri bagi saya merupakan sesuatu yang sangat rumit.
Selfie diartikan secara sederhana sebagai swafoto atau mengambil foto/potret diri sendiri dengan menggunakan kamera digital atau telepon dengan fasilitas kamera. Ini sering dikaitkan dengan tindakan narsis, namun pengertian dari istilah ini sudah bertransformasi tidak se-ekstrim narsisme yang pertama kali dikenalkan oleh seorang ahli psikologi Sigmund Freud dengan merujuk kepada seorang tokoh pada mitos Yunani, Narkissos. Wikipedia menyebut Narkissos dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Ia sangat terpengaruh oleh rasa cinta akan dirinya sendiri dan tanpa sengaja menjulurkan tangannya hingga tenggelam dan akhirnya tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis. Narsis kerap untuk menggambarkan tipe orang yang senang memuji diri sendiri, senang dipuji bahkan berikutnya ini dikaikan dengan selfie. Selfie dianggap bentuk narsisme.
Lagi, menurut Wikipedia, pada tahun 2013, kata selfie secara resmi tercantum dalam Oxford English Dictionary dan dinobatkan sebagai Word of the Year. Di Indoensia, selfie disenangi oleh anak muda (Anak Baru Gede-ABG), namun pada perkembangannya ini merambah ke dunia orang dewasa. Tokoh-tokoh dunia seperti Barrack dan Michelle Obama sampai kepada Jokowi dan Jusuf Kalla pernah melakukan selfie.
Ketika Barrack Obama Selfie |
Pada kadar yang seperti apakah yang dianggap "melampui"?. Bijaknya, anda mungkin lebih baik mencari tahu, ketika anda melakukan selfie apakah anda intens untuk mengunggahnya atau menunjukannya kepada orang lain dan berharap ada perhatian khusus melalu tombol "like" atau "comment" sesuai dengan yang anda harapkan seperti memuji?. Atau, apakah anda lebih sering melakukannya sendiri saja atau bersama dengan orang lain, misalnya teman (sekedar untuk suka-suka)?. Demam selfie ini juga mengundang banyak penelitian. Saya pernah membaca sebuah penelitian yang dilansir di media digital populer di Indonesia yang menyebut, "sering melakukan selfie (terutama dengan orang lain/teman-teman) menjadi penyebaran kutu". Alasannya, ketika melakukan selfie lebih dari dua orang, posisi kepala sering berdempetan agar mampu dijangkau oleh frame kamera yang biasanya dipegang oleh salah satu pelaku selfie atau menggunakan alat khusus sejenis tongkat.
Apakah anda juga terjangkit demam selfie?. Saya sedang menjawab dalam hati dan mau siap-siap selfie dulu, tapi gak sampe demam. Untuk pekerjaanku saat ini, selfie seringnya membantu untuk mengevaluasi make up wajah di depan kamera, karena melakukan make up wajah mandiri bagi saya merupakan sesuatu yang sangat rumit.
Sumber Illustrasi: http://www.b.dk/nationalt/i-aar-har-vi-laert-at-sige-selfie-og-koenskrans |
Selasa, 19 Agustus 2014
Dystopian Society
Istilah "Distopian Society" ini tiba-tiba menarik untuk dikupas. Ia berawal dari sebuah obrolan iseng #Terawangan Leye-Leye Selasa pagi dengan kepulan asap secangkir kopi (istilah temanku yang tertulis di status facebooknya - nama dirahasiakan).
Merujuk kepada definisi Wikipwdia.org, Dystopian is the exact opposite — it describes an imaginary society that is as dehumanizing and as unpleasant as possible. Dystopian atau dystopia merupakan masyarakat imajiner yang digambarkan berlawanan dengan utopia atau utopis, dimana utopis digambarkan sebagai perwujudan kesempurnaan - segala sesuatu mesti sempurna. Sederhananya, dystopia merupakan perwujudan masyarakat yang tidak berperikamanusiaan dan penuh dengan ketidaknyamanan atau tidak menyenangkan, situasi yang kacau-balau.
Sebagai sebuah bahasan, saya hanya membatasi ini pada sebuah genre film yang akhir-akhir ini mulai menarik perhatianku. Sebut saja film seperti "Hunger Games" dan "Divergent". Sebelumnya, saya mendedikasi sebuah tulisan tentang film Divergent sebagai wujud ketertarikan saya ataupun apresiasi terhadap karya luar biasa ini.
Selama ini, jenis-jenis film seperti ini kuanggap sebagai sci-fi atau science fiction (fiksi ilmiah) atau futuristik lebih karena setingnya di suatu tempat dengan masa beberapa puluh tahun yang akan datang. Prilaku para aktor atau pemain selalu digambarkan dengan emosi atau watak yang sangat beragam bahkan tokoh sentral sering digambarkan mengalamai transformasi prilaku karena tuntutan dari situasi yang diciptakan, semisal peran dari J-Law (Katnis Everdeen) dalam Hunger Games dan Shailene Woodley (Tris) dalam Divergent yang berperan protagonis sebagai anak baik-baik dalam keluarganya berubah menjadi beringas (antagonis) karena tuntutan situasi yang diciptakan oleh kelompok-kelompok yang berkuasa.
Ya...namanya juga fiksi (tidak nyata) tentu saja ini di luar yang pernah kita alami dan mungkin tidak terbayangkan akan terjadi. Tetapi, ini juga gambaran ekstrim dari irisan yang terjadi antar kelas di dalam masyarakat kita (non-fiksi). Entahlah, balik ke soal postingan status seorang teman yang menyitir konsep "harmoni" versi saya bahwa masyarakat kita (Indonesia) cenderung memiliki konsep harmoni sebagai keseragaman bukan keberagaman dengan berbagai faktor penyebabnya, misal budaya. Contoh ekstrimnya, menikah lintas agama atau lintas negara, bagi kelompok tertentu dianggap "kelainan", tidak lazim, dan aneh, sementara menurut saya itu adalah bentuk independensi - memerdekakan diri dan membebaskan diri dari intervensi pihak lain.
Saya kira, di sinilah letak "manusiawi"nya manusia, penuh dengan ukuran-ukuran yang mengakibatkan adanya pandangan seperti di atas (kelainan, tidak lazim, dan aneh). Intinya, saya meyakini sesuatu yang dianggap ideal tentulah kebalikan dari konsep "harmoni yang lazim", yakni menerima keberagaman.
Merujuk kepada definisi Wikipwdia.org, Dystopian is the exact opposite — it describes an imaginary society that is as dehumanizing and as unpleasant as possible. Dystopian atau dystopia merupakan masyarakat imajiner yang digambarkan berlawanan dengan utopia atau utopis, dimana utopis digambarkan sebagai perwujudan kesempurnaan - segala sesuatu mesti sempurna. Sederhananya, dystopia merupakan perwujudan masyarakat yang tidak berperikamanusiaan dan penuh dengan ketidaknyamanan atau tidak menyenangkan, situasi yang kacau-balau.
Sebagai sebuah bahasan, saya hanya membatasi ini pada sebuah genre film yang akhir-akhir ini mulai menarik perhatianku. Sebut saja film seperti "Hunger Games" dan "Divergent". Sebelumnya, saya mendedikasi sebuah tulisan tentang film Divergent sebagai wujud ketertarikan saya ataupun apresiasi terhadap karya luar biasa ini.
Selama ini, jenis-jenis film seperti ini kuanggap sebagai sci-fi atau science fiction (fiksi ilmiah) atau futuristik lebih karena setingnya di suatu tempat dengan masa beberapa puluh tahun yang akan datang. Prilaku para aktor atau pemain selalu digambarkan dengan emosi atau watak yang sangat beragam bahkan tokoh sentral sering digambarkan mengalamai transformasi prilaku karena tuntutan dari situasi yang diciptakan, semisal peran dari J-Law (Katnis Everdeen) dalam Hunger Games dan Shailene Woodley (Tris) dalam Divergent yang berperan protagonis sebagai anak baik-baik dalam keluarganya berubah menjadi beringas (antagonis) karena tuntutan situasi yang diciptakan oleh kelompok-kelompok yang berkuasa.
Ya...namanya juga fiksi (tidak nyata) tentu saja ini di luar yang pernah kita alami dan mungkin tidak terbayangkan akan terjadi. Tetapi, ini juga gambaran ekstrim dari irisan yang terjadi antar kelas di dalam masyarakat kita (non-fiksi). Entahlah, balik ke soal postingan status seorang teman yang menyitir konsep "harmoni" versi saya bahwa masyarakat kita (Indonesia) cenderung memiliki konsep harmoni sebagai keseragaman bukan keberagaman dengan berbagai faktor penyebabnya, misal budaya. Contoh ekstrimnya, menikah lintas agama atau lintas negara, bagi kelompok tertentu dianggap "kelainan", tidak lazim, dan aneh, sementara menurut saya itu adalah bentuk independensi - memerdekakan diri dan membebaskan diri dari intervensi pihak lain.
Saya kira, di sinilah letak "manusiawi"nya manusia, penuh dengan ukuran-ukuran yang mengakibatkan adanya pandangan seperti di atas (kelainan, tidak lazim, dan aneh). Intinya, saya meyakini sesuatu yang dianggap ideal tentulah kebalikan dari konsep "harmoni yang lazim", yakni menerima keberagaman.
Selasa, 05 Agustus 2014
How to Give?.
The essence of giving that I've learned is how you just share things with your sisters, brothers and other relatives as well as with your friends. Nowday, friend to me is more extented and has a broad meaning and philosophy. What things you gave?. It is more than the cakes and cookies you are eating with others, more than money you donate to people and more than clothes you gave to the disaster's survivors.
I come with this explanation as a forehead to my experience with my son G. This is to share how parents hjave to be really carefull in explain the imprtance of giving, beyond what they ussually taught to their children to "Just Give" no matter what the target and the usage of waht you have given.
My sons and daughter got the moment of "Salam Tempel" this Idul Fitri. Each got three envelopes filled with money from my neighbours we visited. They were happy indeed, not because of the money I guess but more because the envelopes color and the picture drawed in the envelopes: the dominant green colors with "Ketupat" pattern and the picture of camels and date fruit.
We counted the money and knew each got Rp. 15, 000; (fifteen thousands Rupiah) as they started to think over the plan on how to use the money.G was wondering what to do with his money. I offered him alternatives: buy drawing books (as they ussually do), buy snack (healthy meals of course) and donate the rest to other people. He agreed on that and asked more, “what if the donation goes to Gaza’s victims?”. The question surprised both me and his daddy. We stared each other, none of us tried to replied him fisrt. It was an unpredictable question on came from a boy on his ages (7th years).
I was silent still, and we both replied smoothly, “ah, yes. Surely, it’s a
good idea to donate Gaza’s victim.” I suddenly stopped, still in a couriousity
on what and how could this boy thought
of this gorgeous idea ever. We did teach him “to share” what we have with
others , especially the poors and those are unluck. We never discussed about
Gaza at all, except they knew what had happened there through television. We
didin’t want to stick on our curiousity, surprise, and impression on what our
son has said.
Daddy replied carefully, in his slow tone, "Kid, it's a good idea of a boy on your ages. I'm your dad, have never been thought that far as you on your ages!".
Daddy tried to explain the substantial of 'donate' is not "just share". We have to control to where and whom our donation goes. In many cases, the donation delievered by donors are being used by certain parties for their own seek not exactly delieverd to those who are really need it. Daddy took an example, when he was organizing donation for Aceh conflict survivor, he shocked that the aids (medicines, etc) did not reach the survivors but then being smuggled for the use of millitary.
"You might think you are concern on Gaza, and tended to help, but other might think differently."
I come with this explanation as a forehead to my experience with my son G. This is to share how parents hjave to be really carefull in explain the imprtance of giving, beyond what they ussually taught to their children to "Just Give" no matter what the target and the usage of waht you have given.
My sons and daughter got the moment of "Salam Tempel" this Idul Fitri. Each got three envelopes filled with money from my neighbours we visited. They were happy indeed, not because of the money I guess but more because the envelopes color and the picture drawed in the envelopes: the dominant green colors with "Ketupat" pattern and the picture of camels and date fruit.
We counted the money and knew each got Rp. 15, 000; (fifteen thousands Rupiah) as they started to think over the plan on how to use the money.G was wondering what to do with his money. I offered him alternatives: buy drawing books (as they ussually do), buy snack (healthy meals of course) and donate the rest to other people. He agreed on that and asked more, “what if the donation goes to Gaza’s victims?”. The question surprised both me and his daddy. We stared each other, none of us tried to replied him fisrt. It was an unpredictable question on came from a boy on his ages (7th years).

Daddy replied carefully, in his slow tone, "Kid, it's a good idea of a boy on your ages. I'm your dad, have never been thought that far as you on your ages!".
Daddy tried to explain the substantial of 'donate' is not "just share". We have to control to where and whom our donation goes. In many cases, the donation delievered by donors are being used by certain parties for their own seek not exactly delieverd to those who are really need it. Daddy took an example, when he was organizing donation for Aceh conflict survivor, he shocked that the aids (medicines, etc) did not reach the survivors but then being smuggled for the use of millitary.
"You might think you are concern on Gaza, and tended to help, but other might think differently."
Senin, 28 April 2014
Shopaholic and Sister # bacaanku 1

Entahlah, tiba-tiba aku melirik saja sebuah bukuku di rak berjudul Shopaholic and Sister. Aku tahu persis, itu satu buku diantara dua buku lainnya yang diberikan oleh dua orang temanku. Satu temanku membelikan buku Samuel Huttington, Clash of Civilization (dipinjam oleh temanku yang lain empat atau lima tahun lalu, dan tak pernah kembali). Satu orang temanku lagi menghadiahi dua buku novel, satu adalah Carmelo (karya....) dan satunya lagi adalah bukunya Sophie Kinsella ini. Aku tidak suka Novel bergenre di luar Novel Sejarah sehingga aku tak pernah tertarik membacanya, apalagi ketika ia berjejer di antara buku-bukunya Pramoedya Ananta Toer. PAdahal buku-buku itupun tak pernah tuntas kubaca.
Entah, hanya reflek dan tidak banyak alasan, aku menarik saja buku ini dan membacanya. Dan aku sungguh tidak sadar bahwa aku sedang membaca "buku yang tak dianggap" olehku sembilan tahun lalu. Tetapi aku membacanya, dan kulahap dalam waktu lima jam (dipotong break dinner). Dulu, kulirik pun tidak, diisimpan cuma sekedar karena menghargai pemberian teman. Keisengan membaca halaman demi halaman dan mengikuti ceritanya yang seolah-olah melibatkanku dan membuatku menilai, cool jg ceritanya. Cerita soal pasangan kaya raya (Becky dan Luke) yang ber-honeymoon mewah keliling dunia dalam waktu sepuluh bulan dan isteri shopaholic (gila belanja), saking gilanya sampai tidak sadar membeli barang yang sama di Negara yang berbeda. Dan barang-barang itu berumlah dua truk penuh isinya, hasil bulan madu di beberapa negara di Afrika, Amerika, ASia seperti kota Kenya, Alaska, Milan, dan Srilanka.
Becky, Si gila belanja ini ternyata punya kakak tiri bernama Jessica dari ayahnya bersama seseorang di masa lalu sebelum ibunya, yang muncul di masa ia berbulan madu. Si kakak adalah seorang aktivis lingkungan yang bertolak belakang dengan hobbynya. Berbagai macam cara ia lakukan untuk bisa lebih dekat dengan si kakak apalagi, tapi tidak berhasil karena perbedaan terlalu mencolok antara mereka sampai masing-masing mereka pada akhirnya menyimpulkan mereka benar-benar tidak cocok dan bukan saudara (ada kesalahan).
Cerita ini berakhir dengan perginya ia ke kampung asal kakak setelah ia bertengkar dengan suami dan teleponnya pun tidak diangkat oleh teman akrabnya Suze karena sibuk mempersiapkan liburan bersama anak-anaknya dan sahabat lainnya yang baru. Kunjungan ini membuat ia mengerti cara pandang dan hidup mereka yang berbeda, diantaranya karena latar belakang pendidikan di keluarga yang sangat berbeda. Jess dididik dengan keras untuk harus bisa berdiri dengan kakiknya sendiri sedari kecil dan Becky sebaliknya terbiasa dilayani dan dipenuhi semua keinginannya termasuk sangat "dituruti" oleh suaminya. Namun, disana pula ia menemukan kesamaan antara mereka berdua bukan dengan belanja barang-barang serba mahal di department store dan menyesah kopi di cafe mahal serta nge-gym bareng seperti yang pernah ia rancang saat berkenalan dengan Jess pertama kali dan saat ia meminta Jess menginap di rumahnya. Ia juga belajar hidup hemat, menghargai proses, membedakan kebutuhan dengan ambisi, termasuk berempati pada persoalan sosial dan lingkungan sampai ia terlibat pada sebuah aksi demo menolak kehadiran toko-toko besar yang akan menggusur Kampung asal Jess. Diselipkan juga gejolak emosinya yang merasa 'sendiri" karena relasinya dengan para sahabat dan orangtuanya yang jauh berubah setelah bulan madu panjang itu. Tidak ada yang antusias melihat barang bawaannya yang begitu banyak dari liburan bulan madu itu apalagi mendengarkan ceritanya. Seoalah-olah tidak ada yang sama sekali merindukannya dalam sepuluh bulan itu. Setelah melewati sepuluh bulan itu ia merasa ditinggalkan: ayah-ibu sibuk ikut kegiatan terapi, suzie teman akrabnya sibuk mengurusi anak-anaknya dan memilih menghabiskan waktu dengan teman barunya Lulu, si suami fokus, Luke sibuk dengan pekerjaan. Padahal, ia sudah mempersingkat liburan yang rencananya setahun itu menjadi sepuluh bulan hanya karena tidak sabar menceritakan pengalaman dan membagikan barang belanjaan kepada semua orang termasuk keinginan memberikan kejutan hadir di pembaptisan anak lulu dimana ia dinobat sebagai ibu baptis.
Intinya di sini sebetulnya adalah, saya sudah memecahkan rekor diri sendiri, melahap 504 hal. (18 inches) Novel selama 5 jam hadiah dari seorang teman 9 tahun lalu (2005). Buku yang tak kuanggap tetapi mengisi "zero pointku" secara positif. Buku yang mengajakku berkelana ke beberapa tempat di beberapa Negara seperti Srilanka, Milan, Alaska, London dll...turut merasa kerumitan yang bisa dibuat gampang dan sebaliknya yang mudah diperumit dalam bungkus relasi dengan konsep, kebiasaaan dan cara hidup yang sangat kontras. Hidup itu pilihan.
Langganan:
Postingan (Atom)
Konsep Makan (Kebiasaan) dan Konsep Diri (Kperibadian)
Suatu hari, saya pernah ditanya oleh seorang teman, "Mengapa kamu lebih sering 'skip' makan siang?. Kenapa tidak skip makan pag...
-
Kembang Kopi Halaman Rumah Ibuku Ini adalah tulisan pertamaku di tahun 2015. Ini sudah seperti mengumpulkan PR di tahun lalu, dimana...
-
Photo: Iwi S (Dec. 2017) Lingkau, begitulah ia disebut oleh orang di Kampungku. Jagung begitulah orang di Kampung Almh. Nenekku menyebut...
-
Pohon Sirsak “Survivor Suatu hari, di tahun 2008, aku harus mengambil keputusan yang sulit yakni untuk mengakhiri saja kehidupan s...