Selasa, 19 Agustus 2014

Dystopian Society

Istilah "Distopian Society" ini tiba-tiba menarik untuk dikupas. Ia berawal dari sebuah obrolan iseng ‪#‎Terawangan‬ Leye-Leye Selasa pagi dengan kepulan asap secangkir kopi (istilah temanku yang tertulis di status facebooknya - nama dirahasiakan).

Merujuk kepada definisi Wikipwdia.org, Dystopian is the exact opposite — it describes an imaginary society that is as dehumanizing and as unpleasant as possible. Dystopian atau dystopia merupakan masyarakat imajiner yang digambarkan berlawanan dengan utopia atau utopis, dimana utopis digambarkan sebagai perwujudan kesempurnaan - segala sesuatu mesti sempurna. Sederhananya, dystopia merupakan perwujudan masyarakat yang tidak berperikamanusiaan dan penuh dengan ketidaknyamanan atau tidak menyenangkan, situasi yang kacau-balau.

Sebagai sebuah bahasan, saya hanya membatasi ini pada sebuah genre film yang akhir-akhir ini mulai menarik perhatianku. Sebut saja film seperti "Hunger Games" dan "Divergent". Sebelumnya, saya mendedikasi sebuah tulisan tentang film Divergent sebagai wujud ketertarikan saya ataupun apresiasi terhadap karya luar biasa ini.

Selama ini, jenis-jenis film seperti ini kuanggap sebagai sci-fi atau science fiction (fiksi ilmiah) atau futuristik lebih karena setingnya di suatu tempat dengan masa beberapa puluh tahun yang akan datang. Prilaku para aktor atau pemain selalu digambarkan dengan emosi atau watak yang sangat beragam bahkan tokoh sentral sering digambarkan mengalamai transformasi prilaku karena tuntutan dari situasi yang diciptakan, semisal peran dari J-Law (Katnis Everdeen) dalam Hunger Games dan Shailene Woodley (Tris) dalam Divergent yang berperan protagonis sebagai anak baik-baik dalam keluarganya berubah menjadi beringas (antagonis) karena tuntutan situasi yang diciptakan oleh kelompok-kelompok yang berkuasa.

Ya...namanya juga fiksi (tidak nyata) tentu saja ini di luar yang pernah kita alami dan mungkin tidak terbayangkan akan terjadi. Tetapi, ini juga gambaran ekstrim dari irisan yang terjadi antar kelas di dalam masyarakat kita (non-fiksi). Entahlah, balik ke soal postingan status seorang teman yang menyitir konsep "harmoni" versi saya bahwa masyarakat kita (Indonesia) cenderung memiliki konsep harmoni sebagai keseragaman bukan keberagaman dengan berbagai faktor penyebabnya, misal budaya. Contoh ekstrimnya, menikah lintas agama atau lintas negara, bagi kelompok tertentu dianggap "kelainan", tidak lazim, dan aneh, sementara menurut saya itu adalah bentuk independensi - memerdekakan diri dan membebaskan diri dari intervensi pihak lain. 

Saya kira, di sinilah letak "manusiawi"nya manusia, penuh dengan ukuran-ukuran yang mengakibatkan adanya pandangan seperti di atas (kelainan, tidak lazim, dan aneh). Intinya, saya meyakini sesuatu yang dianggap ideal tentulah kebalikan dari konsep "harmoni yang lazim", yakni menerima keberagaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...