Rabu, 20 Agustus 2014

Selfie atau Narsisme?

Selfie bisa jadi salah satu istilah yang laris dikalangan para pengikut trend di sosial media seperti facebook, twitter, instagram dan lain-lain mengikuti pesatnya perkembangan tekhnologi dibidang komunikasi. Perkembangannya mengikuti perkembangan aplikasi dan fasilitasi yang ada pada telepon seluler pintar (smart phone). Sebut saja fasilitas kamera dan juga kemudahan untuk membaginya (share) melalui berbagai macam sosial media.

Selfie diartikan secara sederhana sebagai swafoto atau mengambil foto/potret diri sendiri dengan menggunakan kamera digital atau telepon dengan fasilitas kamera. Ini sering dikaitkan dengan tindakan narsis, namun pengertian dari istilah ini sudah bertransformasi tidak se-ekstrim narsisme yang pertama kali dikenalkan oleh seorang ahli psikologi Sigmund Freud dengan merujuk kepada seorang tokoh pada mitos Yunani, Narkissos. Wikipedia menyebut Narkissos dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Ia sangat terpengaruh oleh rasa cinta akan dirinya sendiri dan tanpa sengaja menjulurkan tangannya hingga tenggelam dan akhirnya tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis. Narsis kerap untuk menggambarkan tipe orang yang senang memuji diri sendiri, senang dipuji bahkan berikutnya ini dikaikan dengan selfie. Selfie dianggap bentuk narsisme.

Lagi, menurut Wikipedia, pada tahun 2013, kata selfie secara resmi tercantum dalam Oxford English Dictionary dan dinobatkan sebagai Word of the Year. Di Indoensia, selfie disenangi oleh anak muda (Anak Baru Gede-ABG), namun pada perkembangannya ini merambah ke dunia orang dewasa. Tokoh-tokoh dunia seperti Barrack dan Michelle Obama sampai kepada Jokowi dan Jusuf Kalla pernah melakukan selfie.
Selfie
Ketika Barrack Obama Selfie


 Nah, bagaimana dengan anda?. Akhir-akhir ini, sama halnya dengan narsisme, selfie dikaitkan dengan sejenis penyakit mental dan atau penyimpangan prilaku (disorder). Bahkan, cenderung mengarah kepada bipolar disorder, yakni prilaku yang menunjukan mood yang berubah-ubah secara ekstrim dalam waktu singkat. Tentunya, ini kecenderungan pada orang yang melakukan selfie dalam kadar yang berlebihan, karena prilaku ini juga dianggap sebagai bentuk menggugah attractiveness (menarik perhatian).

Pada kadar yang seperti apakah yang dianggap "melampui"?. Bijaknya, anda mungkin lebih baik mencari tahu, ketika anda melakukan selfie apakah anda intens untuk mengunggahnya atau menunjukannya kepada orang lain dan berharap ada perhatian khusus melalu tombol "like" atau "comment" sesuai dengan yang anda harapkan seperti memuji?. Atau, apakah anda lebih sering melakukannya sendiri saja atau bersama dengan orang lain, misalnya teman (sekedar untuk suka-suka)?. Demam selfie ini juga mengundang banyak penelitian. Saya pernah membaca sebuah penelitian yang dilansir di media digital populer di Indonesia yang menyebut, "sering melakukan selfie (terutama dengan orang lain/teman-teman) menjadi penyebaran kutu". Alasannya, ketika melakukan selfie lebih dari dua orang, posisi kepala sering berdempetan agar mampu dijangkau oleh frame kamera yang biasanya dipegang oleh salah satu pelaku selfie atau menggunakan alat khusus sejenis tongkat.

Apakah anda juga terjangkit demam selfie?. Saya sedang menjawab dalam hati dan mau siap-siap selfie dulu, tapi gak sampe demam. Untuk pekerjaanku saat ini, selfie seringnya membantu untuk mengevaluasi make up wajah di depan kamera, karena melakukan make up wajah mandiri bagi saya merupakan sesuatu yang sangat rumit.

Sumber Illustrasi: http://www.b.dk/nationalt/i-aar-har-vi-laert-at-sige-selfie-og-koenskrans



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...