Rabu, 10 September 2014

Percayailah, Meski Mereka Hanya Anak-anak



These words simply remind all parents in this world on how to treat their children not as goods they can create into whatever they want or properties they can buy or sell whenever they want.

Kahlil Gibran had been long ago written the poem to make  reflection of parenting practiced by parents  in the world. The essence of what Kahlil stressed is about to build relationship among parents and their children. When a child born, they would never be able to choose by whom, where and in what circumstances

On Children
 Kahlil Gibran
Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life's longing for itself.
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you.
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
which you cannot visit, not even in your dreams.
You may strive to be like them,
but seek not to make them like you.
For life goes not backward nor tarries with yesterday.
You are the bows from which your children
as living arrows are sent forth.
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
and He bends you with His might
that His arrows may go swift and far.
Let your bending in the archer's hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also the bow that is stable.
 

Ilustrasi: telegraph.co.uk
Sadly said that the nature of human is tend to control others and it happens to relationship between parents and children. Parents as adults especially parents are demanded to play multiple roles as friends, as part of team work, and as teachers.
Basically, many parenting experts have stated the importance of fulfill the children’s need of love. It has to be performed in a very natural way in daily life started from the early ages of your child, even when they still in the womb. I found many parents are willing to love their children in ways providing everything they want and they demand,  not what they need. In many special situation and for specific reasons parents acted as an extremely protective persons. I experience this when I saw some parents are hardly let alone their children at school even just to get  teir own books.
Arrgh....capek pake English. Ternyata sudah lama sekali tidak menulis dalam bahasa Inggris. Padahal sebenarnya aku hanya ingin membagi kisah yang kusaksi. Kisah bagaimana orang tua yang tidak mau mulai memberi kepercayaan pada anaknya. Aku menyaksikan itu di sekolah anakku. Sudah sebulan lebih anak-anak masuk sekolah di SD, mestinya sudah tidak jamak ada anak yang diantar oleh orang tua sampai ke kelas. Aku memilih mengantar anakku dan berakhir dengan adegan cipiki cipika saja, setelah itu tentu aku serahkan ia berproses sendiri di sekolah, tidak terlalu kupedulikan apakah nanti ia akan mencatat di buku yang salah atau tidak, apakah tugas harus ia selesaikan dengan skor 100 atau tidak. Biasanya kami akan mengevaluasi proses hari itu setelah mereka pulang ke rumah. Aku berpikir, ketika melepaskan anak-anak ke lingkungan manapun, aku harus mulai memberi kepercayaan kepada mereka. Ungkapan kekesalanku itu hanya berujung pada sebuah status di sosmed;

Selalu greget dg ortu yg tidak mau mulai memberi kepercayaan kpd anaknya bahkan hanya untuk menentukan buku mana yg digunakan sementara instruksi dari guru sdh sgt jelas. Anak sampai hrs keluar dulu dg membawa buku memastikan ke Ibu apa benar buku itu yg hrs ia gunakan. Parah lagi ada Ibu yg merangsek masuk u/ "membantu" menunjukan buku yg harud dipakai ke anaknya sementara guru sdh ada di dlm sdg memberi instruksi.

Please deh bu...klpun mrk salah memakai buku, Ibu malu punya anak salah???!!!!. Malu sama siapa?. Guru?. Diri sendiri?.

Mereka hanya anak, kesalahan juga merupakan proses belajar. Apa untungnya menjadi orgtua diktator dan otoriter, karena kl demikian anda hanya butuh robot yg tinggal diprogram sesuka hati dan dikendalikan hanya dg remote.

Postingan status yang cukup panjang. Tapi ini kondisi yang jamak di sekolah-sekolah, dan aku menggambarkannya sebagai bentuk “penguasaan” orang terhadap anaknya. Memberikan kepercayaan kepada anak sedini mungkin membantu proses mereka untuk bertanggung jawab dan menghadapi situasi serta mengambil keputusan. Kepercayaan orangtua terhadap anak juga memberikan ruang besar bagi mereka untuk lebih bebas mengekspresikan apa yang mereka rasakan dan alami kaitannya dengan peristiwa hidup sehari-hari dimana orangtua tidak selalu dapat menjangkaunya terutama ketika anak sudah mulai memiliki komunitas lain selain keluarga. Maraknya ekspos kasus tindakan kekerasan seksual terhadap anak yang diketahui selalu setelah korban mengalami berulang-ulang, jumlah korban yang banyak dan seringnya melibatkan orang yang dikenal baik korban bahkan keluarga dekat. Menkes dr. Nafsiah Mboi Sp. A, M.P.H pernah mengungkapkan pentingnya kepercayaan orangtua kepada anak, salah satunya adalah untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual. Menurutnya, masih banyak orangtua yang tidak bisa percaya pada anak ketika mereka mengalami kekerasan dengan menganggap apa yang disampai mereka hanya khayalan atau fantasi mereka (baca http://health.okezone.com). Tak janggal jika kemudian pengungkapan kasus kekerasan sulit sekali karena andil orang tua yang “tidak mau mendengar” dan “memberi ruang” pada anak untuk sekedar mendengar perasaan, keluh kesah dan pengalaman mereka (tentu bukan hanya pengalaman yang mengenakan tetapi sebaliknya bahkan pengalaman buruk yang mereka hadapi).
Orang dewasa sering memposisikan anak sebagai makhluk yang lemah, harus selalu dilindungi dan dibantu, tetapi tentu ini tidak sama halnya dengan tidak memberi kepercayaan. Pasti sulit, apalagi bagi seroang Ibu yang secara natural mengalami dan menyaksikan pertumbuhan dan perkembangan anak mulai dari ketika dalam kandungan sampai seterus. Disinilah perlu adanya kerelaan orangtua untuk belajar, mengawali dengan membekali diri dengan ilmu tentang perkembangan dan pertumbuhan anak secara mental dan kejiwaan. Berikut, orang tua juga harus mau mengasah kepekaan diri untuk mampu mengetahui apa yang dialami oleh anak dan mengenl potensi anak.
Mari menjadi orang tua yang mau belajar, mulai dengan belajar memberi kepercayaan kepada anak, memberi ruang ia berkreasi dengan segala kemungkinan yang mungkin menurut mata kedewasaan kita “salah”. Tapi, mereka hanyalah anak-anak. Kata-kata  Gibran menarik untuk menjadi pengingat setiap saat “mata kedewasaan” mulai mendominasi relasi anak-orangtua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...