Senin, 29 September 2014

RIP Demokrasi Indonesia

Aku ingin menuliskan ala kadarnya separuh hari yang kulewati hari ini sebagai hadiah untuk diriku sendiri setelah berlelah-lelah menyaksikan drama sidang paripurna DPR untuk membahas tiga RUU (RUU Pilkada, RUU Pemda dan RUU AdPem) yang akan menjadi tugas terakhir mereka sebelum kemudian berganti dengan anggota dewan terpilih tahun ini untuk periode berikutnya, 2014-2019. Mengamati perdebatan dan opini dari berbagai kalangan di hampir semua media baik elektronik maupun cetak, ketok palu RUU Pilkada menjadi yang paling populer karena dikaitkan dengan proses demokrasi yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun di Indonesia (bermula pada masa reformasi tahun 1998). Pilkada langsung dianggap sebagai ruang partisipasi politik rakyat sebagai bagian dari hak politik rakyat dengan menentukan sendiri wakil yang mereka inginkan secara langsung melalui mekanisme pencoblosan di bilik suara.

Tanggal 25 September 2014, meninggalkan catatan sejarah yang akan terus diingat oleh bukan saja oleh Kepala-kepala daerah yang merasakan atau mengalami dipilih secara langsung tetapi juga bagi rakyat atau konsituen mereka. Proses ini juga digugat oleh banyak pihak seperti akademisi, dan para pengamat politik  pro demokrasi. Dan yang paling jelas juga adalah partai pengusung Jokowi-Jusuf Kala dalam memenangkan pemilihan presiden 2014. Drama di DPR ini sepertinya sudah ditebak menajadi salah satu manuver terakhir dari Koalisi Merah Putih, partai-partai pengusung Prabowo-Hatta pada pilpres yang memang tidak legowo dengan hasil pilpres sehingga harus bermuara pada gugatan di MK atas hasil pilpres, gugatan ke PTUN yang kemudian di tolak dan terakhir adalah dengan memainkan secara efektif koalisi gendut mereka yang memang secara jumlah suara sudah di atas angin. Mr. Presiden sebagai representasi pemerintah dan negara sebagai pengusul RUU ini dan tentunta partai Partai Demokrat disebut-sebut sebagai pemegang kunci menentukan hasil keputusan di DPR. Namun, mereka belum menentukan arah koalisi di parlemen secara jelas setelah sebelumnya juga menempati posisi abu-abu dalam pilpres namun dengan santun berlindung dibalik kata "netral". Saya ilustrasikan, Partai Demokrat dan Mr. President sudah melemparkan bola panas yang sudah terlanjur menggelinding dan bahkan membakar diri mereka sendiri. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa ini bagian dari sandiwara Mr. Presiden untuk attracting Megawati Soekarno Putri sebagai Ketum PDIP yang telah memenangkan Pilpres bersama koalisinya. Kesan plin-plan juga tidak bisa dihindari oleh Mr. Presdient karena dianggap tidak memiliki sikap, di satu sisi ia mengemukan dukungan terhadap Pilkada langsung, di sisil lain Partai Demokrat, bahkan salah satunya adalah anaknya sendiri Ibas melakukan walked out dalam proses voting karena tidak diterimanya sepuluh opsi yang ditawarkan Demokrat untuk mendukung Pilkada langsung.
Namun, nasi sudah menjadi bubur, DPR dengan sistem voting (setelah melakukan dua kali lobby) sudah mengesahkan RUU Pilkada dengan mekanisme Pilkada melalui DPRD. Walk outnya partai demokrat, yang ketumnya yakni Mr. President menyatakan diri mendukung Pilkada langsung berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara. Sebanyak 226 suara di DPR memilih Pilkada via DPRD dan 135 suara memilih Pilkada langsung dari 496 anggota DPR yang hadir dari seluruh fraksi. Sebanyak 123 orang anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat melakukan walk out.

Melihat respon dari khalayak yang paling menarik salah satunya tentu melalui sosmed. Sebagian besar komunitas sosmed menghujat proses yang telah berlangsung, dan lebih spesifik menghujat Partai Demokrat dan Mr. PResident. Banyak sekali meme (lelucon yang menyindir) Mr. President, diantaranya dikatakan sebagai penerima penghargaan BApak Pilkada Tidak Langsung, Pemain Sandiwara Hebat, dan lain sebagainya. Dan yang paling ekstrim adalah hashtag (#) ShameOnYouSby menjadi trending topic of the world di twitter. Namun, ini hanya bertahan dua hari saja. Hari ketiga hashtag/tagar ini menghilang dari puncak, dan dikait-kaitkan dengan menkominfo Tifatul Sembiring yang diduga “menghilangkannya”. Tapi tentu saja ini dibantah.

Banyak kalangan menggugat hasil keputusan sidang paripurna DPR ini dengan menandatangani petisi yang mendukung atau mendesak Judicial Review UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Opsi lain yang menjadi peluang juga adalah, jika benar Mr. President kecewa dengan hasil Paripurna DPR maka ia bisa saja menolak menandatangani RUU tersebut sebagai Undang-undang dalam lembaran negara. Tetapi, seperti rakyat sudah betul-betul menganggap Mr. President yang tinggal menghitung hari lagi masa jabatannya sebagai PHP (Pemberi Harapan Palsu). Menurut UUD 1945 tentang kewenangan DPR. dimungkinkannya penolakan menandatangani UU oleh Presiden juga bersyarat jika dalam proses pembahasan di DPR itu tidak berdasarkan persetujuan bersama. Pertanyaannya, apakah mekanisme voting di DPR masuk dalam “persetujuan bersama” karena ini adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak. “Persetujuan bersama’ di sini juga ambigu. Dalam hal persyaratan ini tidak terpenuhi pun semestinya, proses pembahasan sebuah RUU tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.Lha, saya ini bukan pengamat, bukan analis, hanya curcol, sehingga lepas dari dalil dalam UUD 1945 tentang kewenangan DPR, menurut saya sudah melampui fungsi legislasi mereka dengan melakukan ketok palu sebuah RUU yang dinyatakan implikasi UU-nya nanti bertentangan dengan prinsip demokrasi dan juga bahkan UU lainnya yang disebut-sebut yakni UU Pemda dan UU AdPem.

Dalam hal peluang hukum untuk JR UU baru ini ke MK tidak bisa dilakukan atau ditolak, dan juga dalam hal Mr. President menandatangani atau tidak UU ini, hal paling mungkin dilakukan oleh rakyat adalah untuk mengingat baik-baik siapa saja anggota dewan dan juga Parpolnya yang telah menyumbang 135 suara dalam voting memenangkan opsi Pilkada via DPRD. Jangan lagi “mengotori” dengan memilih orang-orang dan partai-partai tersebut di tahun 2019. Inilah partai-partai tersebut: Gerindra, PKS, PPP, PAN, Demokrat, dan Golkar.   







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...