Senin, 29 September 2014

Petualangan Nyi Oblong, Bawang Bombay dan Bawang Kucai

In the Boat Back From Sungai Garong
Ini sebenarnya behind the scene-nya pertemuan perempuan yang dilakukan oleh LBBT - lembaga tempat aku dulu belajar dan bertumbuh selama sebelas tahun. Ya, tempat mengetahui tentang perjuangan Masyarakat Adat, Advokasi konflik agraria antara Masyarakat Adat/lokal dengan pengusaha dan/atau pemodal. Tulisan tentang ide utamanya tentulah akan berkisar tentang pertemuan perempuan itu sendiri, seperti aku akan memberi judul dengan nama kelompok perempuan yang sudah terbentuk di sana dan difasilitasi oleh LBBT - Natai Sanggo. Nama ini sebenarnya nama tempat dimana kelompok perempuan ini berkebun. Itu yang terpikirkan sementara. Tentang Natai Sanggo ini sendiri akan ada dalam bagian sendiri dalam tulisan ini. 

Seperti apakah petualangan yang akan kutulis ini?. Jangan dibayangkan akan seperti cerita horor Nyi Blorong atau cerita pilunya Bawang Putih dan Bawang Merah. Cerita ini adalah cerita antara aku dan dua orang temanku. Aku dan satu orang temanku dalam cerita ini kebetulan sudah mantan di lembaga dan teman satunya lagi masih berstatus staf ketika cerita ini bergulir. Tentu saja aku tidak akan menyebut nama sebenarnya karena aku harus melindungi identitas asli kedua orang teman ini, bukan hanya karena ini cerita nyata tetapi untuk memberi privacy mereka dan mebiarkan keleluasan berfikir pembaca (kalo ada yang baca) tanpa harus berhenti dengan membayangkan para aktor cerita ini karena (mungkin saja) mereka mengenalinya.

Nyi Oblong itu adalah aku. Penamaan ini kuberikan sendiri dan kunyatakan pada suatu perjalanan ke ladang bersama dengan perempuan adat Sei. Garong ke kebun mereka. Bisa ditebak, ini ada hubungannya dengan kebiasaanku memakai kaos oblong, dan dalam perjalanan inipun semua kostum yang kubawa adalah kaos oblong berwarna hitam.

Bawang Bombay adalah sebutanku kepada si kakak senior karena badannya yang besar. Karena bobot yang berat, seringkali ia terduduk sepanjang perjalanan, baik perjalanan menuju ke Kampung Sei. Garong maupun perjalanan kami ke kebun suatu hari. Ya, kaki tidak mampu lagi menyangga badan, jadinya sering terjerembab, ditunjang lagi sandal jepit yang tidak anti-slip.

Bawang Kucai (Lokiu) adalah gelar yang kuberi kepada si kakak senior satunya lagi, yang di atas kusebut masih aktif sebagai staf di LBBT. Penamaan ini sendiri tidak ada hubungannya dengan fisik, tapi spontan saja mencari yang ada hubungannya dengan bawang, dan tidak boleh Bawang Putih atau Bawang Merah karena ini akrab sekali degan judul sinetron ataupun cerita anak tentang dua saudara tiri: si jahat dan si baik. Cerita ini sendiri jauh dari labek baik-buruk, hitam-putih, tapi hanya cerita untuk melekatkan di ingatan perjalanan bersama kedua sahabatku ini dalam rangka kerja namun bersuka cita.

Kembali ke awal cerita. Lama aku tidak bersentuhan dengan dunia luar setelah tidak lagi bekerja dan terkadang melakukan perjalanan ke banyak tempat dalam rangka pekerjaanku itu. Bertemu dengan banyak orang dan belajar dari cara hidup, cara pandang dan pengetahuan mereka. Aku mendapat tawaran untuk terlibat dalam satu pertemuan untuk perempuan adat di Sei. Garong. Ini seperti oase di tengah padang gurun, hingga aku langsung menyambutnya. Apalagi, masuk dalam daftar ini juga adalah kedua sahabatku, Si Babai dan Si Bacai. Lucu ya ...

Perjalanan kami dari Pontianak ditemani oleh satu orang teman dari Amerika yang sedang magang di Walhi, Diana. Sembilan jam perjalanan lumayan berat buatku setelah sekian lama tidak melakukan perjalanan jauh. Menyiksa karena aku mabok perjalanan darat, dipicu oleh aroma di dalam bis yang berbaur antara bau AC, parfum penumpang dan juga bau keringat. Perhentian sementara adalah Kota Nanga Pinoh, dan berlanjut dengan speed boat ke hulu Sungai Melawi sampai pada perhentian terakhir melalui sungai di Kampung Mentibar (di hulu Kec. Serawai) dan  berlanjut dengan jalan kaki sekitar satu jam ke Kampung Sei. Garong. Sebenarnya ada alternatif lain melalui Sungai Kecil - Sungai Mentibar, tetapi debit sungai kecil kala itu karena kemarau. Kami tiba sore hari, disambut ramai oleh penduduk setempat sampai pada malam hari dimana kami saling memperkenalkan diri.

Pagi hari kami mengikuti upacara adat penyambutan dengan ritual yang dipimpin dua orang Baliatn perempuan yang membaca mantra berisi doa selamat dan pengikatan tali dari kulit kayu di pergelangan tangan kami masing-masing dan  kitau manok (membawa ayam mengelilingi kami masing-masing), menggigit besi parang dan menandai dahi kami dengan darah ay
am yang telah disembelih.

Pertemuan Perempuan Adat Natai Sanggo

Kelompok Perempuan Natai Sanggo/Cam Samsung GT I-8150
Kami memfasilitasi pertemuan perempuan adat dengan menggunakan pendekatan Asset-Based Thinking, mengajak mereka melihat kekuatan mereka, lalu melakukan analisis gender. Diskusi ini berlanjut dengan mendengarkan cerita pengalaman mereka dalam melakukan pekerjaan mereka sehari-hari dan melihat kembali rencana mereka dan bagaimana mereka merealisasikan rencana itu. Menakjubkan mereka ternyata adalah ibu-ibu muda (dan beberapa perempuan tua, diantaranya yang memimpin ritual adat pagi harinya) yang cerdas, kebanyakan mereka sepertinya seusiaku tetapi beban hidup di kampung memberi kesan mereka lebih tua dari umurnya. Mengejutkan, selama proses diskusi ibu-ibu ini mengeluarkan pendapat mereka dan dalam waktu bersamaan para lelaki di rumah ini (tampat pertemuan berlangsung) selalu berusaha memotong dan menyuarakan pendapat mereka. Tidak ada kepercayaan kepada mereka untuk bersuara. Label kata "bodoh" sempat terdengar dari mulut seorang lelaki yang sebetulnya juga orang berpengaruh di situ. Mungkin kata sudah biasa digunakan dalam konteks menunjukan ketidaktahuan sehingga seperti tidak ada masalah ketika melihat reaksi ibu-ibu. Tapi jelas, dominasi sedang dipertunjukan dan mungkin saja perempuan di sini tidak terima dikatakan demikian tetapi karena sudah terlalu sering membuat mereka imun.

Muara dari diskusi ini adalah melihat seberapa besar mereka ingin membangun kelompok dan mengorganisir diri melakukan kegiatan kelompok yang telah mereka rencanakan, diantaranya membuat kebun. Kelompok itu sendiri dengan sangat mudah dibentuk dan mereka namai "Natai Sanggo". Ada beberapa kelompok lain mengikuti kelompok ini yang mereka namai sesuai dengan nama kampung mereka masing-masing dengan kegiatan yang hampir sama yakni bercocok tanam di kebun dengan komoditi yang berbeda. Proses diskusi formal ini berlangsung tidak terlalu lama, dan berlanjut dengan berkunjung ke kebun kelompok Natai Sanggo yang memakan waktu 45 menit berjalan kaki. Kami menyaksikan mereka mengolah sendiri lahan (mencangkul lahan bekas dibakar sebelumnya). Kami sekali-sekali saja meminjam pacul dan berpose mencangkul, setelahnya kami menghabiskan waktu duduk di saung sembari mengamati ibu yang kebagian tugas memasak makan siang kami, ditemani gelas-gelas tuak. Setelah makan siang pun, kami pulang.

Waktu sore kami habiskan dengan berkunjung ke air terjun versi orang lokal di situ. Menurutku, ini hanya riam/jeram. Menyenangkan karena di perjalanan ke sana kami juga sempat melihat tempat penyemain bibit karet yang dilakukan kelompok lain yang dibentuk kaum lelaki. Di jeram, aku, Babay dan Bacai serta Diana lomba menyelam, siapa yang paling lama itulah pemenang. Dan, akulah pemenang.

Ada cerita lain dibalik pertemuan perempuan ini, misalnya cerita soal dinamika kelompok di komunitas mereka sendiri, dinamika permasalahan penduduk setempat dengan perusahaan sawit yang berencana melakukan ekspansi ke wilayah mereka. Diskusi begitu mencair mulai dari advokasi kebijakan dan pengelolaan pembukuan untuk usaha yang baru mereka mulai yaitu warung sembako dan sampai ke bagaimana menata kampung diantaranya rencana mengandangkan ternak, yang awalnya tertambat dimana-mana dan kotorannya bersebaran dimana-mana bisa dimanfaatkan untuk membuat kompos dan juga membaut kampung tidak kotor. Yah, begitulaah semuanya berlangsung sampai hari keempat kami berada di kampung itu. Sore hari dihari ketiga kami ikut serta bermain volley ball.

Bumbu cerita lucu lainnya yang berkesan adalah cerita soal mimpi ngompol dimalam hari, cerita soal bagaimana susahnya ketika mau BAB atau BAK karena WC jauh. Aku sering menahan keinginan alamiah itu karena tidak kuasa harus keluar di malam gelap ke WC yang lumayan jauh dari rumah tempat kami nginap, belum lagi hujan selalu mengguyur malam disana. Keahlian melompat di kegelapan agar terhindar menginjak kotoran hewan sapipun harus kumiliki. Suatu malam, Bacai juga pernah terjerembak dan terinjak kotoran yang sudah agak hancur terhanyut oleh guyuran hujan, dan itu menjadi bahan lelucon kami. Cerita lucu lainnya di malam hari adalah cerita "mencuri" makanan sncak Diana karena kelaparan (akibat makan malam yang seadanya karena selera makan dihari ketiga sudah mengendur).

Ritme hidup pagi hari ketika bangun tidur juga menarik. Kami selalu dibangunkan oleh suara oink-oink satu keluarga babi yang berada hampir persis di bawah kamar tidur kami berempat. Aroma khas dari sana juga sering tercium dan terkadang ditambah setelan musik dari smartphone Bacai, semuanya kuanggap seperti simponi unik saja untuk memaknai petualangan ini. Sampai pada suatu hari, aku tidak lagi menikmati simponi itu karena setelan musik yang biasanya salah satu lagunya adalah "Just Give Me A Reason" , tiba-tiba berubah jadi "Surti dan Tedjo"...wah ...aku protes kepada Bacai dan tentu saja ini selalu berakhir dengan lelucon. Aktifitas rutin pagi hari lainnya adalah mandi, dan bagian ini tidak terlalu menyenangkan bagiku, karena aku penikmat pemandangan air, senang menyentuh air tapi aku tidak suka dengan rutinitas mandi.  Bagian ini selalu menjadi poin khusus bagianku di-bully oleh ketiga orang teman dan juga beberapa penduduk setempat yang kala itu bersamaan pergi ke sungai.

Suatu hari, rutinitas mandi sore kami (aku biasanya hanya cuci muka dan gosok gigi), berpindah lagi ke Jeram khusus bersama dengan Ibu-ibu. Senang sekali melihat ibu-ibu sering membuat formasi siap difoto di sungai. Kali ini, aku ikut menikmati kejernihan sungai dengan berenang cukup lama karena ini adalah kali trakhir ke tempat ini karena sebentar akan kembali pulang. Ya...diantara kami, Babay lah yang paling tidak bisa menyembunyikan kesukaannya, dia begitu bersemangat sampai celana panjang lembut tang pakai terhanyut terbawa arus air ketika ia membukanya. Ini juga bagian lucunya dan sebetulnya salah satu bagian penting penamaan bawang sebagai nama depan karena nyerempet dikitlah dengan cerita bawang putih dn bawang merah soal kain yang sedang dicuci dan terhanyut oleh air.

Semua berlalu hingga hari terakhir. Tiba waktu berpisah dengan penduduk. Kami senang karena perjalanan pulang dilakukan melalui track baru, yakni lewat Sungai Garong - Sungai Mentibar. Berkali-kali kami tersangkut dan beberapa orang harus turun dan mendorong perahu kami karena tersangkut di dasar sungai yang dangkal atau pohon yang rubuh melintas sungai. Tapi bagian ini juga memiliki keseruan tersendiri. We are happy. Aku melihat rona bahagia pada setiap orang kecuali Diana yang terlihat lelah meski ia menyembunyikannya. Perjalanan pulang selalu menjadi perjalanan yang terasa lebih singkat dan menyenangkan. Lama jauh dari signal HP dan juga internet, seperti pergi bertapa namun bedanya ini menjalani sesi lain kehidupan yang memiliki warna dan ritme berbeda dengan yang biasanya kujalani. Toh, aku juga pernah mengalami kehidupan di kampung dua puluhan tahun yang silam.

Percayalah, sekali-kali kita keluar menjalani kehidupan di luar kebiasaan dan di luar yang kita anggap "zona nyaman" memberi makna kepada kita untuk menjalani kehidupan itu sendiri dengan segala sisinya. Other Awesome Places are Waiting for Me to be Explored and to be Learned.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...