Sabtu, 25 Oktober 2014

EMPAT HARI REUNI, BELAJAR DAN DE JAVU: Training of Facilitator (ToF) untuk Pendamping Hukum Rakyar (PHR) 2014

Kreatifitas dan inovasi adalah dua kata sifat (kreatif dan inovatif) yang berubah menjadi kata benda dengan pengertian yang sangat aktif. Dikatakan aktif karena keduanya memiliki makna mendalam tentang penggalian ide dan gagasan menjadi bentuk yang kongkrit, dari yang sekedar berkutat dikepala dan terpikirkan menjadi berbentuk dan tergapai oleh indera manusiawi kita. Kedua kata, kreatif dan inovatif ini menjadi tugas pentingku dalam empat hari pada empat hari lalu. Tugas memfasilitasi orang-orang hebat yang sudah berkecimpung di pemberdayaan masyarakat dengan dimensinya masing-masing. Mereka adalah aktivis dari beberapa kampung dari beberapa Kabupaten dan juga aktivis dari Pontianak. Sebut saja aktivis dari AMA-JK Ketapang, JAKA-Melawi, SKAK-MAD-Kapuas Hulu, Tokoh Masyarakat Dayak Ds. Sungai Garong-Melawi dan beberapa aktivis dari lembaga di Pontianak seperti PSE, Gemawan, Pentis Pancur Kasih, CU FPPK, PPSDAK Pancur Kasih, dan SAMPAN. Aku memiliki kesempatan belajar dari orang-orang hebat ini bukan saja karena mereka aktivis tetapi diantara mereka juga adalah orang-orang yang lama kukenal dan dalam relasi kami mungkin tak banyak waktu untuk belajar bersama selain hanya sekedar bertegur sapa seadanya, bertanya kabar dan sedikit bertanya informasi terkini di kampug mereka untuk yang berasal dari kampung. Sedangkan untuk beberapa peserta, justeru mereka adalah sahabat dan kawan menikmati “me time” dengan berkaraoke dan terkadang cuap-cuap sekenanya. Beberapanya bahkan orang-orang yang baru kukenal. Kesemuanya, orang-orang ini secara langsung maupun tidak langsung, mereka sadari atau tidak, mereka turut menambah isi pundi-pundi ilmuku, dan semakin memantapkan proses belajarku di dunia ini. Beragam pengalaman menarik seputar metode dan tekhnik fasilitasi pun kudapatkan, termasuk perbedaan substansi dan konteks pengalaman mereka. Ada yang berpengalaman melakukan motivasi dan sosialisasi Credit Union - CU, ada yang berpengalaman memberikan pelatihan pertanian kepada masyarakat, ada yang berpengalaman mengorganisir kelompok dalam organisasi di kampung, berpengalaman mengorganisir pertemuan-pertemuan multipihak dan antar komunitas dan ada juga yang berpengalaman sering menjadi narasumber pada pertemuan-pertemuan mahasiswa sampai pada mengorganisir aksi.

Dan yang paling spesial juga adalah ini kesempatan aku belajar dan reunian dengan Sainal Abidin, seorang kawan dari Lembaga Wallacea, Palopo-Sulawesi Tengah. Kawan yang punya segudang pengalaman memfasilitasi di berbagai daerah, dan kami pernah berkesempatan belajar bersama berguru pada Mbak Julia Kalmirah dan Rival Gulam Ahmad dalam Training of Trainer yang difasilitasi oleh HuMA tahun 2010 silam. Dan perjumpaan kami ini lagi-lagi difasilitasi oleh HuMA dan Lembaga Bela Banua Talino, dua lembaga yang bergerak dalam pemberdayaan sumber daya hukum masyarakat. HuMa berbasis di Jakarta dan memiliki mitra di berbagai daerah seperti Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, dan Jawa Barat. LBBT berbasis di Pontianak dan memiliki wilayah dampingan/fasilitasi di Kabupaten Sekadau, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Bengkayang dan Melawi.  Lembaga ini memiliki kesan tersendiri karena sebelas tahun (2000-2011) aku menimba ilmu tentang hukum kemasyarakatan (baca:hukum rakyat) dan banyak hal tentang Masyarakat Adat.

Kami menghabiskan waktu empat hari di luar kota yang hanya berjarak satu jam 45 menit saja dari Kota Pontianak, yakni Desa Terap, Sarikan-Toho, tepatnya di Biara Rivotorto yang dikelola oleh seorang Suster Tua bernama Gratia. Empat hari yang berat dimana aku harus berkawan dengan meriang, sakit kepala dan hidung mampet (gak sampe meler) karena flu dan terpaksa harus berkawan juga dengan satu strip obat. Empat hari yang tak terasa karena bagiku belajar itu selalu menyenangkan apalagi bersama dengan orang-orang yang penuh suka cita berbagi:

Hari Pertama; Mengajak mereka lebih dekat satu sama lain dengan membuat “potret wajah kawan”, sehingga membuka keraguan untuk saling memberi dan menerima, tentu dalam konteks substansi pertemuan ini. Dengan tiada berjarak, kami (aku dan enal – panggilan Sainal Abidin) menggali pengalaman mereka dan mengajak mereka mengingat dan melihat kembali kekuatan mereka dengan Kartu Tarot. Kayak tukang ramal ya ...yang ini caranya Mbak Ijul-panggilan Julia Kalmirah sang Guru kami ketika pertama kali berkenalan dengannya di satu pertemuan oleh LBBT ketika aku masih bekerja di situ. Hari pertama ini berakhir dengan berakhir dengan pernyataan mereka sendiri tentang apa itu fasilitasi/fasilitator yang berawal dari tiga kata saja dari masing-masing orang (dari 20 orang) dan juga sedikit amunisi bagi mereka tentang apa itu PHR dalam konteks Kalimantan Barat dan mengapa PHR butuh keahlian memfasilitasi. Ini sekedar mengingatkan (karena ada beberapa yang baru sekali dengan istilah ini), dan kami dibantu Dunasta sebagai narasumbernya, mencuri waktunya yang juga sedang sangat sibuk. 

Hari kedua; memberikan sedikit konsep Vibrant Facilitator, berbasis pengalaman dan pendekatan menggunakan Asset Based-Thinking (bukannya Defisit Based-Thinking yang lazim dipakai dalam pertemuan-pertemuan selama ini). Nah, yang ini tentu bung Enal ahlinya dengan hanya melakukan duplikasi dari pengalaman fasilitasinya di beberapa daerah sebelumnya. Aku bermain dengan metaplan dan spidol warna warni yang berakhir di tembok aula pertemuan dalam berbagai bentuk seperti  Mind Map, Diagram T dan juga sekedar tempelan yang berpola tetapi memuat reume dan kesimpulan dari apa yang disampaikan oleh peserta untuk membantu mereka menyimak dan tidak berkutat dengan catatan mereka.
 
Hari ketiga; aku dan enal memberi kebebasan mereka berkreasi dengan berbekal konsep, metode dan aplikasi yang sudah diberikan pada hari kedua. Dalam kelompok, mereka berkesempatan untuk bernostalgia dengan pekerjaan mereka selama ini yakni memfasilitasi tetapi dengan metode, tekhnik dan pendekatan baru. Dan, kesemuanya  berbasis pengalaman mereka. Ada hal menarik dari setiap kelompok, mereka dengan tanpa sengaja memilih metode role play dan menggunakan pendekatan kasus. Tetapi, ini menunjukan realitas apa yang mereka hadapi dan lakukan selama ini tidak bisa lepas begitu saja mendominasi cara pandang, cara kerja dan analisa mereka dalam konteks fasilitasi. Terlihat, mereka mulai menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini bukan memfasilitasi, cenderung sekedar (sekonyong-konyong) seperti pemberi solusi tanpa pemahaman substansi dan konteks, menggurui dengan teori-teori dan opini pada slide power point yang berakhir pada tanya-jawab dimana masyarakat kurang lebih seperti gelas kosong yang mereka isi, dan tentu saja tidak banyak berkreatifitas dengan alat-alat yang berpola dan berwarna warni, apalagi menggunakan apa saja yang tersedia di kampung ketika “power point” tidak bisa menyelamatkan mereka karean tidak listrik misalnya. Tapi semua ini tidak terlalu penting, karena semua itu butuh proses dan kemauan untuk mencoba ketika mereka pulang ke habitatnya masing-masing. Yang terpenting di sini adalah kerelaan mereka dalam berpartisipasti penuh tanpa penolakan sama sekali terhadap kelompok yang akan praktek fasilitasi dan memaksa mereka terlibat berulang kali. Mereka penuh antusiasme, kadang diselingi kejailan dan kenakalan kecil, tak berlebihan. Tanpa, mereka sebetulnya sedang menjadi guruku yang sempurna, yakni bagaimana menghargai setiap orang dan menjadikan setiap orang bermakna, tanpa ada yang ‘dikecilkan’ dan ‘dikucilkan’.

Hari keempat; berlanjut dengan praktek fasilitasi dengan memperhatikan beberapa catatan dari hasil pengamatan sesama mereka dan catatan dari aku dan enal. Kami menambahkan beberapa hal substansi dalam terkait Dinamika Kelompok, bagaimana mereka memahami dinamika keterlibatan dalam keberagaman sebuah kelompok dari latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang berbeda dan cara pandang yang berbeda pula sebagai salah satu tugas penting dari seorang fasilitator. Ini adalah hari terakhir, dan kesan membahagiakan bagiku adalah ketika setiap orang merasakan mereka belajar sesuatu dari proses ini. Sebuah refleksi menarik dari beberapa orang terungkap kira-kira begini, “selama ini kita dengan bangga merasa sebagai fasilitator, memfasilitasi dimana-mana, ternyata kita tak lebih dari sekedar narasumber.” “Kita sudah menggunakan metode seperti ini, tetapi belum mendalami tekhnik dan masih belum memaksimalkan alat bantu dan jarang memperhatikan etika, seperti bahasa-bahasa yang digunakan termasuk bahasa tubuh yang penting diperhatikan dalam fasilitasi”.

Delapan jam sehari, dengan menyisakan waktu malam hari untuk mengendapkan segala sesuatu yang sudah kami pelajari bersama. Di hari ketiga, kami memilih menggunakannya untuk malam keakraban dengan barbeque party dengan banyak potongan ayam dan entah berapa ekor ikan ditemani beberapa minuman. Menariknya, ini juga malam yang betul-betul menstimulasi hormon endhorpine kami karena banyak tertawa mendengarkan candaan lucu hampir semua peserta secara bergiliran. Dari sini lahir beberapa istilah "akai", "ancore", dan "nakal" dibalik cerita lucu mereka. Aku juga berkesempatan hunting beberapa gambar bunga dengan lensa makro dan beberapa candid-an dengan lensa 18-24. Kalo kata Adam, "fasilitator merangkap dokumentasi", tapi sesungguhnya membiasakan diri (baca: belajar) tekhnik photografi.

Yah, itulah proses belajarku bersama kawanku enal dan 20 orang peserta ToF yang diselenggarakan HuMa dan LBBT. Aku memberi apresiasi khusus pada kedua lembaga ini yang telah mengobati kerinduanku pada “ruang ilmu” yang selalu kusempatkan untuk kukunjungi. Semoga akan ada banyak kesempatan lagi berikutnya untuk aku belajar tentang banyak hal meskipun hanya dari “halaman belakang”. Aku tidak akan mau berhenti, karena aku tidak percaya kebenaran mutlak di dunia ini yang bisa menghentikan prosesku berpikir dan belajar sampai mati. Tapi hanya satu kebenaran, pada Dia.



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...