Kamis, 29 November 2018

ANAK SUNGAI: Main Umpet Ranting

Perahu, Transportasi berbagai aktifitas warga Kucai di Sungai

One precious memory of mine is when I was a child who closed to/with the river or the so-called "Anak Sungai". Mengapa ilustrasi di sini sungai dan perahu, tapi tidak ada anak sungainya, karena anak sungainya udah gede dan memang dalam keseharian di kampung, perahu salah satu obyek paling penting di sungai.

Ya, anak sungai yang segera terjun dari lanting mengejar buah "daun" (membacanya, ada penekanan pada huruf “d”) dan buah "ntangis" untuk dimakan, mengejar ikan buntal atau puffer fish (jadi ingat Nyonya Puff, si guru mengemudin di film Sponge Bob khan??) yang menggelembung dan mengapung (setelah didapati, dagingnya untuk konsumsi dan kulitnya yang bulat berduri seperti bola atau balon berduri ini diisi dengan sekam kasar, dijahit dan jadilah bola berukuran kecil untuk bermain bola kaki). *bagian ini kusesali saat ini karena agak terdengar sadis). Hal lain adalah bermain umpet ranting kayu di dalam sungai atau dalam bahasa lokal "Main Lamun Kayu".

Berburu buah "daun" dan "ntangis" biasanya dilakukan dengan menggunakan perahu menyusuri pinggir sungai atau bahkan langsung berkayuh ke pohonnya. Sedangkan untuk menjumpai ikan buntal menggelembung, ini menjadi momen special karena ada musimnya. Dalam keadaan tidak menggelembung, ikan ini sangat agresif tidak hanya dikenal dengan durinya, tetapi gigitannya yang sangat tajam. Ini yang membuat ia sering dimusuhi oleh warga yang sering memasang pukat/jaring dan jeremal karena sering digigit oleh ikan jenis ini.

Perahu Lain di Sudut berbeda Dusun Kucai
Oke, let me tell you bit more about playing “umpet ranting kayu”. Ini adalah permainan kelompok tiga sampai lima orang. Alatnya hanya satu batang ranting kayu sebesar dan sepanjang pensil baru (kebayang khan?). Jenis ranting kayu ini haruslah yang bisa mengapung. Skill yang diperlukan adalah berenang dan menyelam di kedalaman 5-10 meter di bawah air sungai. Biasanya ini dilakukan dari lanting atau rumah terapung ataupun jembatan ketika permukaan air agak naik (iya donk, kalau permukaan airnya jauh dari jembatan, saat lompat akan terasa sakit).

Caranya: anggota kelompok akan menentukan giliran bermain pertama dengan "hom-pim-pah". Yang menang akan bermain pertama untuk menjepit ranting kayu di antara jempol dan telunjuk kaki (baik kiri ataupun kanan). Kemudian ia akan terjun atau melompat sedalam yang ia mampu. Di kedalaman itulah ranting kayu dilepaskan dari jepitan kaki. Pemain harus segera naik ke permukaan dan kembali ke kelompok yang sedang menunggu ranting kayu timbul/mengapung dan nanti juga bisa turut serta berlomba untuk mengejar dan mengambil ranting kayu agar mendapatkan giliran berikut untuk  bermain. Fokus, kejelian dan kesabaran menjadi poin penting dari permainan ini. 

Permainan yang hampir serupa ini juga sangat akrab bagi anak-anak di Ambon. Bedanya, mereka menggunakan batu. Namanya  main Umpet Batu.

" jadi batu yg dipilih dgn segala kriteria baik bentuk, warna atupun ukurannya di buang ke dalam sungai lalu kita rame2 nyelam buat cari batu dimaksud. Kalau sudah begini..... nda selesai mandinya samoe di susul pake cambuk sama orang rumah baru keluar dari sungai😁😁😁
Kalau mata merah.... nda "usah di tanya" 


Demikian disampaikan oleh teman saya, Martje, Si Ambon Manise yang sekarang sudah menetap di Palu.  

Credit Photo: Iwi S


Selasa, 30 Oktober 2018

Mancing Ikan Lais yang Masih Eksis

Suatu pagi, di Dusun Sekucing Bulin, desa Sekucing Kualan, Simpang Hulu Kabupaten Ketapang....

Aku kalah cepat menembus embun mendahului matahari terbit untuk bernostalgia. Nostalgianya apa, itu yang akan kuceritakan di sini. Sebelumnya, aku mau katakan aku didahului oleh lampu pijar semesta yang memulai tugas rutinnya itu karena aku telat bangun. Aku telat bangun karena kualitas tidur yang buruk akibat flu berat sampai badan meriang di kampung orang tdai malamnya. Masih ada untung yang kusyukuri, yakni embun putih yang membentuk butir sangat halus pada tanaman hijau. Ya, harusnya ia bening tapi karena sangat halusnya menjadi memutih hampir menyerupai kapas. Di kampung atau desa, dulu, saat paling menyenangkan di pagi hari salah satunya adalah berinteraksi dengan embun pagi. Hembusan angin pagi akan menghempaskan dinginnya di wajah. Dingin yang segar. Aku juga sangat senang mengebaskannya ketika ia sedang bercumbu dengan rumput hijau yang menjadi lantai bumi, sebelum ia hilang menguap karena sinar matahari pagi yang mulai hangat.

Ibu-ibu yang memancing di Sungai Kualan
Ini tentang nostalgia memancing. Bukan memancing perasaan tetapi memancing ikan di sungai. Pagi-pagi aku  berjalan menelusuri tepian sungai Kualan, berharap ada hal menarik yang bisa kutangkap dengan mata lensaku. Aku hendak menghibur diri yang terlewatkan momen ingin turut serta warga mengangkat pukat (jaring ikan) karena telat bangun pagi hari. Di sungai, aku sudah meyaksikan tiga ibu ini sedang terdiam mengapung di atas perahu masing-masing. Terdiam dalam harap. Tentu saja mereka sedang konsentrasi dan fokus pada jari-tangan yang memegang tali pancing yang sudah berlabuh hampir ke dasar sungai, bersiap-siap menarik jika terasa sedikit saja gerakan di bawah air melalui tali pancing. Di sinilah kesabaran diuji, karena tidak ada yang tahu apakah ikan-ikan di dalam sana lapar dan tertarik dengan umpan atau tidak.

Pukat atau Jaring Ikan
Ibu-ibu ini mengingatkanku pada masa-masa aku sempat merasa tinggal di rumah terapung atau lanting milik kakek-nenekku yang keseharian mereka lekat dengan mencari ikan sebagai sumber protein bagi kami dengan menggunakan berbagai cara dan alat, mulai dari pancing, pukat, jermal, jala, takan (pancing yang didiamkan semalam atau lebih dengan di tancapkan di pinggir sungai dengan gagang kayu kecil yang kokoh mennjulang ke sungai,  dengan kail/mata pancing yang lebih besar biasanya), entaban, dll yang tak kuingat namanya (toh aku juga tidak punya foto untuk mengilustrasikannya).

Dulu aku sering menemani nenek berperahu memancing, membantunya memegang tali pancing untuk merasakan sensasi tarikan ikan memakan umpan (umumnya cacing). Aku tidak pernah mau bagian memasang umpan karena takut cacing, begitulah setelah dapat ikan karena artinya harus megeluarkan mata pacing dari mulut ikan dengan cacing yang masih bergerak. Saya hanya kebagian sesi menarik pancing dan makaaan. Menariknya, di masa tertentu, kami tidak perlu berperahu jauh-jauh, cukup memancing di atas lanting. Selain memancing, aku juga sering diajak kakek menemaninya mengangkat pukat. Keseruannya adalah menyaksikan dan memetik berbagai jenis ikan yang tersangkut di jaring. Ya, berbagai jenis ikan dari yang bersisik sampai yang tidak bersisik. Ingatanku tentang ikan bersisik hanya pada satu jenis ikan yaitu ikan jelawat dan yang tidak bersisik adalah ikan lais. Dua jenis ikan ini tergolong jenis ikan yang mahal saat ini. Ikan jelawat tidak begitu banyak diminati karena banyak tulang, sedangkan ikan lais sangat populer untuk diolah menjadi ikan asin, belongsong (ikan asin lais yang digantung dengan tali dari rotan) ataupun ikan  (ikan yang diasapkan di atas para-para dengan bara api di bawahnya). Dua olahan ikan yang kusebut ini bisa menguras dompet sampai Rp. 200.000 rupiah per kilo gramnya. Di dusun ini aku menjumpai ikan asin lais dengan harga hanya Rp. 50.000; per kilogram. Tentunya aku tidak bisa menahan diri membelinya. Ikana asin yang tidak terlalu asin, dengan aroma yang khas. Harga ikan memang sudah diatur melalui Perdus (Peraturan Dusun), sehingga, siapapun warga setempat memang hanya akan menjual dengan harga fixed  dan sama. Berbeda jika mereka menjualnya ke Balai Berkuak atau pusat kecamatan, harga mencapai  Rp. 60.000; per kilogram. dan, semakin jauh produk ini keluar tentu akan lebih mahal.

Ikan Asin Lais
Dalam ingatanku di masa kecil, Ikan lais sangatlah jinak saat masih kecil, aku serig menangkapinya dengan kedua telapak tanganku dari atas lanting. Ya, tapi itu dulu. Sekarang kondisi berbeda. Jika dulu mungkin ibu-ibu itu sempat merasakan pengalaman memancing, kemudian bisa menyaksikan ikan berenang, sekarang mungkin tidak karena air keruh (aku katakan mungkin karena tidak pernah menanyakan ini lebih jauh).

Memancing memang menjadi salah satu rutinitas ibu-ibu yang hidupnya berada di dekat sungai. Kaum laki-laki biasanya lebih akrab dengan menebar jala atau memasang pukat dan takan dan Entaban.  Berkunjung ke dusun ini menjadi suatu kewajiban makan berulam ikan, selain ikan lais yang paling umum disajikan adalah ikan tapah. Tapi aku tidak akan menceritakan tentang ikan tapah di sini ya...cukup nama saja sebagai oleh-oleh.

Credit Photo: Iwi S
 



Kamis, 25 Oktober 2018

Jembatan Tayan Kapuas

 Dulu, jembatan ini begitu fenomenal. Netizen seakan tidak kekinian kalau tidak posting foto di Sosmed dengan latar jembatan atau sekedar berada di area jembatan. Aku sendiri baru akrab dengan jembatan ini sejak tahun 2018, seringnya karena urusan pekerjaan di daerah Kabupaten Ketapang yang mengharuskan melewati jembatan ini. Jembatan ini merupakan bagian penting Jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan Kalimantan  Barat dan Kalimantan Tengah. Jembatan ini sendiri masuk wilayah Kabupaten Sanggau. Sebelum jembatan ini selesai dibangun dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo dan beroperasi pada 22 Maret 2016, Kapal Ferry milik ASDP menjadi alat transporter untuk barang, kendaraan dan orang dari Tayan menuju Piasak (dan sebaliknya). Aku sempat merasakan momen ini di tahun 2008.

Jembatan Tayan kini sudah menjadi salah satu ikon Kalimantan Barat dengan panjang 1.440 meter, lebar sekitar 11 meter dan tinggi dari muka air Sungai Kapuas saat banjir tertinggi 13 meter (wikipedia).




 Inilah bagian yang paling rendah dari jembatan yang bisa dijumpai saat pertama kali memasuki jembatan sebelum lengkungan setengah lingkaran sebagai bagian tertinggi dari bagian jembatan. Konstruksi dengan bagian kotak lebih rendah kemudian melengkung setengah lingkaran bisa dilihat dari ujung ke ujung jembatan atau dua sisi jembatan.


Foto ini satu-satunya yang aku ambil dengan ponsel pintar dari bawah jembatan dimana ada Cafe Terapung menjual kelapa muda. Ya, pemandangan ke arah jembatan dari sini akan lebih jelas.  Sayangnya, warna susu coklat air Sungai Kapuas, kalau buatku menjadi sesuatu yang ingin disesali (andai bisa mengembalikan waktu).



Saat pgi hari, suasana di area jembatan lengang. Ini akan berubah di sore hari menjelang malam. Akan  ramai kita jumpai orang berjalan kaki, kendaraan roda dua dan roda empat berhenti di pinggir atau badan kiri-kanan jembatan. Mamang-mamang dengan dagangan panganan pun gampang dijumpai di sini. Demikian pula orang-orang duduk di atas motor atau bersandar di besi tembok jembatan untuk "makan angin' dan menunggu matahari terbenam. Bagaimana tidak!. Dari sini, kau bisa minta sepotong senja, jingga. Tapi tahan!!!, jangan menoleh ke bawah!. Itu bukan lautan atau kolam susu coklat di lagunya Koes Plus itu. Itu air sungai yang terlanjur bergumul lumpur entah mengapa dan darimana. Dari tambang??!!. Entahlah.

Credit Photo: Iwi S

Rabu, 24 Oktober 2018

Blue Daze, Si Cantik Keluarga Morning Glory

Credit Photo: Iwi S
Kecil mungil, berbunga dan cenderung hidup adaptive di segala musim dan iklim (tropis dan sub tropis). Itulah Blue Daze. ada banyak sebutannya seperti Hawaiian Blue Eyes, Brazilian Dwarf Morning Glory, dan nama latin Evolvulus Glomeratus. Si mungil ini bisa ditanam dengan steknya, hanya dengan dipatahkan saja kemudian ditancap ke tanah atau ke pot. Sangat gampang khan. Tidak jauh berbeda dengan tanaman lain, ia lebih menyenangi ditempat yang terpapar sinar matahari pagi langsung.
Suatu hari, saya hanya membawa tiga stek yang saya patahkan dari rumpun bunga induk di rumah teman saya. Dan, dalam beberapa waktu, stek itu mengeluarkan cabang atau tangkai baru yang dihampir semua ujung tangkainya mengeluarkan bunga biru dengan putik putih.

Setiap kali satu tangkai menjadi rimbun dengan banyak tangkai cabang baru, aku mematahkan tangkai tuanya dan menancapkannya kembali ke tanah, terus menerus seperti itu sampai kemudian ia berjejer begitu banyak dan indah di atas media tanah dalam pot dinding panjang terbuat dari talang air hujan segi empat yang kucantolkan di tembol pagar rumah dengan rangka besi. Blue Daze juga akan sangat cocok sebagai bunga gantung (dengan pot gantung).

Bunga biru Blue Daze ini akan muncul di pagi hari. Mekarnya akan mengikuti siklus matahari tenggelam, sehingga di sore hari bunganya akan kuncup. Nah, bagi pencinta bunga tetapi memiliki waktu terbatas dan lahan terbatas untuk menanam, Blue Daze bisa menjadi pilihan. Kalau anda bertetanggaan dengan saya, dengan senang hati akan saya bagi dengan cuma-cuma.


Kamis, 18 Oktober 2018

Belajar Proses dengan Garlic Vine (Mansoa Hymenaea)

Mengamati tanaman sekitar membantu kita belajar tentang sebuah proses. Proses yang pada akhirnya menghasilkan sesuatu. Seperti apa hasilnya tentu tergantung kepada banyak hal. Apakah banyak hal itu?. Salah satunya adalah yang berhubungan dengan bagaimana kita mengintervensi proses dan juga secara "natur" atau alamiah sesuatu yang berproses itu. 

Ini hanya tentanng bunga. Tetapi, kita bahkan bisa berguru kepada sekuntum bunga yang hidup tetapi tak terjangkau bentuk tuturnya oleh kemanusiawian kita yang bisa mengungkapkan lisan dengan gampang. Aku merekam proses kuncup sampai mekarnya bunga Garlic Vine di tengah perjalanan tugasku di salah satu dusun site program kantorku. Lensaku selalu menambah keindahan dari bunga-bunga yang memang sudah indah sebagai ciptaan. Terkadang, manusia saja yang terlalu sibuk untuk mengamati keindahan itu, apalagi memahami filosofi di dalamnya, salah satunya adalah belajar berproses. 

Hari itu, aku datang di dusun ini untuk suatu pekerjaan yang mengharuskanku tinggal satu malam. Bunga itu membayar lelahku dengan kuncupnya yang ungu dengan gradasi putih di tangkai kelopak. Kuncup mungil itu bergerombol indah dengan semut-semut kecil menggodanya. Belum satupun kuncup itu kelihatan akan mekar. Keesokan harinya pun tidak, sampai kutinggalkan pulang kembali ke Pontianak. 

Keesokan harinya, satu pekerjaan lainnya ternyata mengharuskanku kembali dengan jeda hanya satu malam. Dan aku seperti mendapat panggilan menyaksikan proses si kuncup mekar dan seperti menjawab harapanku untuk menikmati hasil dari proses kuncup ungu bergradasi putih di tangkai, mekar menjadi ungu tua dan pink peach.  
Bukan hanya aku, semut-semutpun sepertinya tidak hanya menggoda tetapi menghisap madu bunga. Aku hanya tak berhasil menangkap proses "penghisapan" itu denga lensaku karena jingga yang tadinya di langit segera berubah gelap sendu kelabu menghantarkan turunnya si jingga bulat bergantian shift di kutub ini dengan bulan yang juga temaram. Aku beruntung dengan masih bisa bermain ISO yang cukup tinggi dan diafragma sebaliknya untuk menangkap jejeran kelopak mekar membentuk oval. Seperti itulah kehidupan ini membuat manusia menjalani proses. Amati sekitar yang menawarkan alternatif, pilihlah dan ikuti tahap demim tahap dengan ketekunan, dan hasilnya akan mencengangkan.

Credit Photo: Iwi S






Senin, 02 Juli 2018

Bawang DAYAK, Si Umbi Merah Beragam Nama

Ada yang menyebutnya Bawang Mekkah dan ada yang menamainya Bawang Dayak. Lebih dari itu, ada yang menyebutnya Bawang Berlian. Di kampung kelahiranku, orang menyebutnya Bawang Lema'. Di beberapa artikel, anda mungkin menemukan sebutan Bawang Tiwai dan Bawang Sabrang atau Bawang Hutan. Konon, menurut ibuku, aku kecil dan kakakku sering sekali main masak-masakan di halaman rumah dan mencabuti bawang ini yang begitu banyak tumbuh di halaman. Kami sering langsung memakannya ataupun membakarnya sebelum dimakan di saat bapak membakar sampah daun-daunan pohon kayu di sore hari. Kami sering mencacah tumbuhan ini dengan parang sebagai perlengkapan main masak-masakan atau belangun* dalam bahasa ibuku.

Salah satu tumbuhan satu family dengan bawang atau jenis umbi-umbian yang umbinya berwarna merah ini, konon berkhasiat untuk kesehatan karena memiliki anti oksidan tinggi dan bersifat anti kanker. Rasanya sedikit pahit-pedas begitu jika dikonsumsi segar. Ada yang senang mengkonsumsinya langsung, ada yang menambahkannya dalam campuran sayuran atau lauk dan ada yang membuatnya dalam bentuk bubuk setelah diiris dan dihemur kering kemudian diseduh air pana dan ada juga gang menyeduhnya dalam bentuk irisan2 kecil seperti ini setelah dijemur kering sebelumnya.


*Belangun merupakan istilah umum untuk menjelaskan aktifitas bermain, dalam bentuk apa saja, tapi lebih ke bermain peran, mulai dari masak-masakan, dokter-dokteran ataupun artis-artisan, dll.

Jumat, 02 Februari 2018

Ferry, Pak Tua dan Gelombang


Hampir setiap hari aku rutin menembus pagi dengan cerlingan pantulan sinar matahari sepanjang penyebrangan Siantan - Bardan setelah membeli tiket harga goceng. Di atas ferry, hanya riak kecil sungai Kapuas yang terasa, berasal dari  transportasi air lain mulai dari kapal bandong dan speed boat serta ferry satunya lagi yang akan bertukaran tempat menurunkan dan mengambil penumpang orang dan kendaraan roda dua, empat, dan enam. Selalu banyak waktu bersantai mulai dari mengantre menunggu ferry datang dan kami semua naik dengan urutan kendaraan roda empat dan enam, barulah roda dua. Sedangkan pejalan kaki biasanya menerobos saja begitu merapat tanpa harus menunggu. Berikutnya, setelah naik, tentu meneruskan waktu bersantai di atas ferry yang sedang menyeberang. Mengamati prilaku orang menjadi menarik, sama menariknya melihat pemandangan dari tengah Sungai Kapuas di pagi dan senja hari. Ada yang asyik berbincang dengan teman boncengannya (jika berboncengan), ada yang asyik menyulut dan menghirup dalam-dalam rokoknya dengan kepulan asap kemana-mana meski ada tanda "No Smoking", ada yang senyum-senyum sendiri memainkan gadget (entah ber-WA-an, ber- Email-an, entah bertelepon dengan suara keras sampai kepada mengkhayal tingkat dewa. Aku mungkin seringnya masuk ke kelompok dua bagian terakhir.

Hari ini, pemandangan Sungai Kapuas agak chaotic. Tentu saja tidak se-chaotic di Jembatan Kapuas dan Landak yang selalu dimulai di area perempatan Tanjung Raya dari arah Utara Pontianak dan di area perempatan Tanjung Pura dari arah selatan Pontianak. Kata chaotic ini digunakan untuk mengganti istilah macet, karena seringnya ini tidak diakui oleh para pejabat, "belum seperti Jakarta, jadi belum termasuk macet!", begitulah sering terdengar dari mulut penyelenggara Pemerintah Kota. Ya, di jalur sungai hari ini chaotic jika dibanding biasanya. Sedari menunggu di daratan, orang-orang dengan kesibukannya masing-masing mulai dialihkan pada suara sirine yang berasal dari speed boat Polri dan Dishub berseragam biru yang wara/wiri bersama dengan speed boat karet, kapal kecil, ditambah drone yang sedang terbang di atas persis di pinggiran sungai. Mungkin saja itu persiapan pengamanan Imlek dan Cap Go Meh yang dalam hitungan dua Minggu lagi diperingati.

Aku asyik dengan keseruan menyaksikan "kehebohan" dan "kebisingan" di sungai yang tak biasa itu, sampai mataku kemudian tertuju pada seroang Pak Tua yang sedang berjibaku mengontrol keseimbangan perahunya menggunakan dayung di atas turun-naiknya permukaan sungai. Ia berkayuh dengan melipat satu kaki sebelah kanannya untuk menopang tangannya mengayuhkan dayung di sebelah kanan. Dan, kaki kirinya dibiarkan selonjor begitu saja. Satu pelajaran secara tak sengaja telah kupetik dalam kurang dari satu jam. Di atas ferry, aku bisa santai karena hanya terasa riak turun-naik air di permukaan, tapi tidak bagi Pak Tua Berkayuh Sampan. Ketangguhan dan kelihaian mendayugnya menjadikannya petarung diantara angkutan air lain yang lebih besar dari perahunya agar tak karam oleh gelombang. Aku belajar untuk lebih rendah hati padamu, Pak Tua, tidak hanya terfokus pada apa yang aku sukai dan kupikir asyik. Bagiku ini hanya riak kecil tapi bagimu ini gelombang yang siap meruntuhkan keseimbangan. Aku belajar unutk merubah cara melihat sesuatu, tidak melulu berfokus pada pikiranku saja.





Rabu, 24 Januari 2018

Lingkau di Uma, Alternatif Sumber Karbohidrat

Photo: Iwi S (Dec. 2017)
Lingkau, begitulah ia disebut oleh orang di Kampungku. Jagung begitulah orang di Kampung Almh. Nenekku menyebutnya. Tumbuhan ini juga merupakan salah satu pilihan pangan sumber karbohidrat yang akrab disebut Sorgum oleh masyarakat di wilaya timur Indonesia seperti Papua. Sama halnya dengan beras yang ditanak menjadi nasi, Lingkau juga bisa ditanak menjadi nasi Lingkau. Proses sebelum menjadi nasi Lingkau juga sama persis ketika mengolah gabah atau padi dengan dijemur terelebih dahulu, ditumbuk kemudian dipisahkan dari kulit atau sekamnya, baru dimasak. Lingkau juga bisa dan enak dijadikan tapai bahkan melalui proses fermentasi yang cukup lama dibiarkan bisa menghasilkan tuak lingkau. Terkadang, aku kecil sering memakan biji Lingkau ini seperti makan kuaci utamanya untuk biji matangnya, bahkan tanpa harus diproses dengan cara dijemur, ditumbuk dan dimasak terlebih dahulu. Rasanya gurih. Sayang sekali, terlewatkan oleh saya mengambil gambar biji Lingkau yang berwarna kecoklatan di luar dengan daging didalamnya berwarna putih dengan tekstur yang unik. Suatu saat, lensa macro saya harus mengabadikannya.
Biji Lingkau yang sudah dikupas

Biji Lingkau dilepas dari tangkai
Sama halnya dengan Jawak atau Jawawut, Lingkau juga menjadi tanaman selingan yang disebar bijinya diantara tanaman padi. Seringnya, lingkau dipanen sembari menunggu padi matang di ladang. Acapkali kita jumpai ia berdampingan dengan Jawak berada di sela-sela tanaman padi.

Jawak atau Jawawut/Jewawut, Pakan Burung dan Pangan Masyarakat Dataran Tinggi

foto 1: Tangkai Bulir Jawaut di Bekas Ladang (pasca panen padi)

Jawak atau Jawawut adalah salah satu dari sekian banyak sumber pangan alternatif pengganti nasi atau sumber karbohidrat dengan nama ilmiah  Setaria italica. Dalam bahasa Inggris, ia dikenal dengan nama foxtail millet* karena memang bentuk tangkainya menyerupai ekor rubah. Dalam 100 gram biji jawawut terkandung 351 kalori, 11,2 gram protein, 4 gram lemak, 63,2 gram karbohidrat dan 6,7 gram serat mentah (www.healthbenefitstimes.com).

 Di kampungku, tanaman ini sering dijadikan tanaman selingan padi ataupun disebar di sudut dan atau di pinggir/sisi ladang dengan bukaan tidak luas. Proses pengolahan Jawak menjadi panganan sama persis dengan mengolah padi menjadi nasi atau bubur. Hanya saja, umumnya Jawak dibuat dalam bentuk bubur santan manis. Sama persis dengan posisinya di ladang, Orang di kampung lebih sering menjadikannya sebagai makanan selingan, bukan pengganti nasi, Namun, sebetulnya, Jawak bisa dijadikan sebagai pengganti nasi karena teksturnya yang padat ketika sudah dimasak menjadi bubur meskipun biji Jawak ini sangatlah halus sehalus biji selasih. Saya begitu menggemari makanan satu ini. Mengenyangkan dengan sangat mudah. Proses menyajikan Jawak menjadi panganan sering diilustrasikan sebagai kerja keras atau daya juang yang sangat besar. Menumbuk gabah Jawak jauh lebih sulit daripada menumbuk padi. Sampai-sampai proses pada tahapan ini sering digambarkan berpeluh darah saking rumitnya.

Foto 2: Bulir Kecil Jawawut
Foto 3: Bubur Jawawut
Hanya dengan segenggam Jawak yang sudah ditumbuk dan bersih dari kulit (sekam), bisa menyajikan satu panci besar bubur Jawak untuk sekitar 10 orang (tergantung porsi makannya juga sih). Santan dan gula merah menjadi soulmate bubur Jawak.

Siska Tirajoh, pernah menuliskan bahwa tanaman biji-bijian ini berasal dari Papua sehingga ia juga  dikenal sebagai Jawawut Papua (WARTAZOAVol. 25 No. 3 Th. 2015 Hlm. 117-124DOI: http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v25i3.1156). Di Papua, Jawawut yang tinggi kandungan karbohidratnya ini merupakan pakan unggas pengganti jagung, belum akrab sebagai sumber pangan untuk masyarakat. Sumber lain mengatakan bahwa Jawawut pertama kali dibudidayakan di China oleh Peiligang. Jenis Millet Foxtail ini lazim dalam budaya Yangshao, sekitar tahun 600 SM pada Zaman Besi. Di Eropa, Amerika, Asia dan Australia,  Jawawut atau Jewawut menjadi makanan mewah (https://www.healthbenefitstimes.com/foxtail-millet).

Foxtail-millet-seeds
Foto 4: Biji Jawawut/Jewawut/Foxtail Millet/Milet

Mari menanam Jawak!!!. Mari budayakan "Tak Harus Makan Nasi"

*Menurut wikipedia Bahasa Indonesia, Millet atau Milet merupakan sekelompok serealia yang memiliki bulir berukuran kecil. Pengelompokan ini tidak memiliki dasar botani maupun agronomi.Penyebutan milet adalah semata untuk mengelompokkan berbagai serealia minor (bukan utama)

Credit Photo:
Foto 1,2, dan 3 by Iwi Sartika; foto 4 saya ambil di https://www.healthbenefitstimes.com/foxtail-millet/ 

Baca juga: https://www.healthbenefitstimes.com/foxtail-millet/; WARTAZOAVol. 25 No. 3 Th. 2015 Hlm. 117-124DOI: http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v25i3.1156

Raja Jalanan

Kata atau Subyek "Aku' seringnya dominan saya gunakan dalam tulisan di TENGAH RUAI. Kali ini, saya ingin tidak biasa. Khan sudah tahun baru 2018, dan ini tulisan pertama di tahun ini. Jangan menebak kalau ini cerita liburan, cerita malam tahun baruan apalagi curhatan emak-emak seperti yang lagi nge-hits sekarang disoroti. SAya mah gak gitu orangnya. Alis gak dilempeng-lempengin gak perlu pensil alis soalnya. Gak suka juga diajakin makan berat karena terlalu gampang kenyang, lha saya makan kerupuk aja udah kenyang. Ini bukan curhat khan ya ...

Tidak ada yang salah dengan curhatan hati. Yang salah adalah jika curahan hati itu merugikan orang lain. Kali ini saya hanya ingin mencerita dinamika kehidupan di jalanan, tepatnya jalan raya. Menarik saja menuliskannya di TENGAH RUAI daripada hanya sebatas postingan status di sosmed atau video recording, Anggap saja melatih kembali kelihain jari-jari menari di atas keypad laptop dan kecerdasan pikiran, karena saya merasa sudah semakin tidak cerdas. Jangan sampai dikalahin kecerdasan HP.

Awal bulan di tahun ini, saya ditawari pekerjaan oleh salah satu lembaga yang pernah menghire saya sebagai konsultan singkat. Saya menerima tawaran itu. Konsekwensinya, setiap hari saya harus memilih dua cara untuk mencapai kantor; pertama dengan rute yang lebih dekat tapi mengantri untuk naik ferry dengan membayar Rp. 5.000; Kedua adalah rute yang cukup jauh karena menyeberangi dua sungai yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Ditambah lagi, hitungan beberapa lampu merah di pertigaan dan perempatan yang lebih banyak jika dibandingkan rute dengan menggunakan ferry. Sejauh ini, saya baru satu kali melewati jembatan. Saya memilih jalur Ferry.Saya hanya perlu sabar menunggu giliran naik ke ferry setelah membeli tiket, kemudian duduk manis di atas motor sambil menyaksikan pemandangn, bahkan sempat membaca berita di gadget dan membalas pesan WA.Begitu tiba di seberang sungai,  saya hanya perlu melewati tiga kali lampu merah. Jika beruntung, saya hanya sekali saja menemukan lampu merah, tapi jarang.

Saya selalu was-was ketika posisi saya persis di depan saat perhentian di traffic lights karena lampunya merah yang artinya berhenti. Kenyataannya, sering orang menunjukan tingkah seolah-olah "dunia milik mbah mu). Ada orang yang sibuk dengan gadgetnya, ada yang sibuk diskusi dengna teman sesama pengendara motor dan ada yang sibuk berkomunikasi dengan bunyi klakson. Tidak ada yang lebih menjengkelkan daripada diklakson, artinya dipaksa terus berjalan di saat lampu merah masih menyala dan masih kesempatan pengguna sisi lain jalan untuk bergerak. Kurang begitu, orang yang nglakson juga marah-marah. Saya pernah. Tapi saya lawan dengan cara, saya malah memajukan motor persis dihadapan si pemain klakson (biasanya orang bermobil). Saya lebih suka menantang, jika memang berani dan tidak sabar tetapi berani, paling-paling saya ditabrak Berani nabrak di tengah keramaian, di lampu merah lagi???

Sedikit melewati lampu merah artinya sedikit energy terkuras untuk marah-marah, ngomel dan memaki. Artinya berkurang peluang berbuat dosa. Begitu juga sebaliknya. Namun, itu jika asumsinya hanyalah masalah kesenangan orang berkomunikasi dengan klakson (padahal suara klakson yang kencang dan tiba-tiba bisa membuat pengguna jalan lai  kaget, hilang konsentrasi dan berisiko membahayakan diri sendiri dan orang lain. Hal lain yang sering ditunjukan oleh para raja dan ratu jalanan adalah kebiasaan lampu sen kiri, belok ke kanan. Siapa bilang ini tidak seberbahaya saat tidak memberi tanda lampu sen sama sekali ketika mau belok.Dan, jangan bilang juga ini kebiasaaan emak-emak atau Ibu-ibu sampai muncul istilah "macam emak-emak, sen kiri, belok kanan". Saya menyaksikan berkali-kali ini sudah lintas gender dan lintas generasi. Kenapa? Karena setiap orang ingin menjadi Raja Jalanan, Setiap orang merasa diri sibuk, harus didahulukan dan merasa jago, apalagi tidak menggunakan perlengkapan standar keamanan berkendara seperti helm dan penggunaan sabuk pengaman bagi yang bermobil.

Raja jalanan. Mestinya Raja dan Ratu, karena lagi-lagi ini terjadi dan berpotensi dilakukan oleh siapa saja, baik laki maupun perempuan.

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...