Aku kalah cepat menembus embun mendahului matahari terbit untuk bernostalgia. Nostalgianya apa, itu yang akan kuceritakan di sini. Sebelumnya, aku mau katakan aku didahului oleh lampu pijar semesta yang memulai tugas rutinnya itu karena aku telat bangun. Aku telat bangun karena kualitas tidur yang buruk akibat flu berat sampai badan meriang di kampung orang tdai malamnya. Masih ada untung yang kusyukuri, yakni embun putih yang membentuk butir sangat halus pada tanaman hijau. Ya, harusnya ia bening tapi karena sangat halusnya menjadi memutih hampir menyerupai kapas. Di kampung atau desa, dulu, saat paling menyenangkan di pagi hari salah satunya adalah berinteraksi dengan embun pagi. Hembusan angin pagi akan menghempaskan dinginnya di wajah. Dingin yang segar. Aku juga sangat senang mengebaskannya ketika ia sedang bercumbu dengan rumput hijau yang menjadi lantai bumi, sebelum ia hilang menguap karena sinar matahari pagi yang mulai hangat.
Ibu-ibu yang memancing di Sungai Kualan |
Pukat atau Jaring Ikan |
Dulu aku sering menemani nenek berperahu memancing, membantunya memegang tali pancing untuk merasakan sensasi tarikan ikan memakan umpan (umumnya cacing). Aku tidak pernah mau bagian memasang umpan karena takut cacing, begitulah setelah dapat ikan karena artinya harus megeluarkan mata pacing dari mulut ikan dengan cacing yang masih bergerak. Saya hanya kebagian sesi menarik pancing dan makaaan. Menariknya, di masa tertentu, kami tidak perlu berperahu jauh-jauh, cukup memancing di atas lanting. Selain memancing, aku juga sering diajak kakek menemaninya mengangkat pukat. Keseruannya adalah menyaksikan dan memetik berbagai jenis ikan yang tersangkut di jaring. Ya, berbagai jenis ikan dari yang bersisik sampai yang tidak bersisik. Ingatanku tentang ikan bersisik hanya pada satu jenis ikan yaitu ikan jelawat dan yang tidak bersisik adalah ikan lais. Dua jenis ikan ini tergolong jenis ikan yang mahal saat ini. Ikan jelawat tidak begitu banyak diminati karena banyak tulang, sedangkan ikan lais sangat populer untuk diolah menjadi ikan asin, belongsong (ikan asin lais yang digantung dengan tali dari rotan) ataupun ikan (ikan yang diasapkan di atas para-para dengan bara api di bawahnya). Dua olahan ikan yang kusebut ini bisa menguras dompet sampai Rp. 200.000 rupiah per kilo gramnya. Di dusun ini aku menjumpai ikan asin lais dengan harga hanya Rp. 50.000; per kilogram. Tentunya aku tidak bisa menahan diri membelinya. Ikana asin yang tidak terlalu asin, dengan aroma yang khas. Harga ikan memang sudah diatur melalui Perdus (Peraturan Dusun), sehingga, siapapun warga setempat memang hanya akan menjual dengan harga fixed dan sama. Berbeda jika mereka menjualnya ke Balai Berkuak atau pusat kecamatan, harga mencapai Rp. 60.000; per kilogram. dan, semakin jauh produk ini keluar tentu akan lebih mahal.
Ikan Asin Lais |
Memancing memang menjadi salah satu rutinitas ibu-ibu yang hidupnya berada di dekat sungai. Kaum laki-laki biasanya lebih akrab dengan menebar jala atau memasang pukat dan takan dan Entaban. Berkunjung ke dusun ini menjadi suatu kewajiban makan berulam ikan, selain ikan lais yang paling umum disajikan adalah ikan tapah. Tapi aku tidak akan menceritakan tentang ikan tapah di sini ya...cukup nama saja sebagai oleh-oleh.
Credit Photo: Iwi S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar