Jumat, 02 Februari 2018

Ferry, Pak Tua dan Gelombang


Hampir setiap hari aku rutin menembus pagi dengan cerlingan pantulan sinar matahari sepanjang penyebrangan Siantan - Bardan setelah membeli tiket harga goceng. Di atas ferry, hanya riak kecil sungai Kapuas yang terasa, berasal dari  transportasi air lain mulai dari kapal bandong dan speed boat serta ferry satunya lagi yang akan bertukaran tempat menurunkan dan mengambil penumpang orang dan kendaraan roda dua, empat, dan enam. Selalu banyak waktu bersantai mulai dari mengantre menunggu ferry datang dan kami semua naik dengan urutan kendaraan roda empat dan enam, barulah roda dua. Sedangkan pejalan kaki biasanya menerobos saja begitu merapat tanpa harus menunggu. Berikutnya, setelah naik, tentu meneruskan waktu bersantai di atas ferry yang sedang menyeberang. Mengamati prilaku orang menjadi menarik, sama menariknya melihat pemandangan dari tengah Sungai Kapuas di pagi dan senja hari. Ada yang asyik berbincang dengan teman boncengannya (jika berboncengan), ada yang asyik menyulut dan menghirup dalam-dalam rokoknya dengan kepulan asap kemana-mana meski ada tanda "No Smoking", ada yang senyum-senyum sendiri memainkan gadget (entah ber-WA-an, ber- Email-an, entah bertelepon dengan suara keras sampai kepada mengkhayal tingkat dewa. Aku mungkin seringnya masuk ke kelompok dua bagian terakhir.

Hari ini, pemandangan Sungai Kapuas agak chaotic. Tentu saja tidak se-chaotic di Jembatan Kapuas dan Landak yang selalu dimulai di area perempatan Tanjung Raya dari arah Utara Pontianak dan di area perempatan Tanjung Pura dari arah selatan Pontianak. Kata chaotic ini digunakan untuk mengganti istilah macet, karena seringnya ini tidak diakui oleh para pejabat, "belum seperti Jakarta, jadi belum termasuk macet!", begitulah sering terdengar dari mulut penyelenggara Pemerintah Kota. Ya, di jalur sungai hari ini chaotic jika dibanding biasanya. Sedari menunggu di daratan, orang-orang dengan kesibukannya masing-masing mulai dialihkan pada suara sirine yang berasal dari speed boat Polri dan Dishub berseragam biru yang wara/wiri bersama dengan speed boat karet, kapal kecil, ditambah drone yang sedang terbang di atas persis di pinggiran sungai. Mungkin saja itu persiapan pengamanan Imlek dan Cap Go Meh yang dalam hitungan dua Minggu lagi diperingati.

Aku asyik dengan keseruan menyaksikan "kehebohan" dan "kebisingan" di sungai yang tak biasa itu, sampai mataku kemudian tertuju pada seroang Pak Tua yang sedang berjibaku mengontrol keseimbangan perahunya menggunakan dayung di atas turun-naiknya permukaan sungai. Ia berkayuh dengan melipat satu kaki sebelah kanannya untuk menopang tangannya mengayuhkan dayung di sebelah kanan. Dan, kaki kirinya dibiarkan selonjor begitu saja. Satu pelajaran secara tak sengaja telah kupetik dalam kurang dari satu jam. Di atas ferry, aku bisa santai karena hanya terasa riak turun-naik air di permukaan, tapi tidak bagi Pak Tua Berkayuh Sampan. Ketangguhan dan kelihaian mendayugnya menjadikannya petarung diantara angkutan air lain yang lebih besar dari perahunya agar tak karam oleh gelombang. Aku belajar untuk lebih rendah hati padamu, Pak Tua, tidak hanya terfokus pada apa yang aku sukai dan kupikir asyik. Bagiku ini hanya riak kecil tapi bagimu ini gelombang yang siap meruntuhkan keseimbangan. Aku belajar unutk merubah cara melihat sesuatu, tidak melulu berfokus pada pikiranku saja.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...