Senin, 28 April 2014

Shopaholic and Sister # bacaanku 1

Menjelang weekend yang cukup menegangkan otot leher, membuatku juga bingung mesti mengisinya dengan apa. Yang jelas, minta off on cam dulu dari pak produser. Kenapa menegangkan urat leher, tabu untuk dibicarakan di sini. Yang jelas keluar rumah dan refreshing ke suatu tempat seperti nonton atau ke salon bukan pilihan bijak saat ini. Merungut juga bukan pilihan bijak. Selalu ada cara. 

Entahlah, tiba-tiba aku melirik saja sebuah bukuku di rak berjudul Shopaholic and Sister. Aku tahu persis, itu satu buku diantara dua buku lainnya yang diberikan oleh dua orang temanku. Satu temanku membelikan buku Samuel Huttington, Clash of Civilization (dipinjam oleh temanku yang lain empat atau lima tahun lalu, dan tak pernah kembali). Satu orang temanku lagi menghadiahi dua buku novel, satu adalah Carmelo (karya....) dan satunya lagi adalah bukunya Sophie Kinsella ini. Aku tidak suka Novel bergenre di luar Novel Sejarah sehingga aku tak pernah tertarik membacanya, apalagi ketika ia berjejer di antara buku-bukunya Pramoedya Ananta Toer. PAdahal buku-buku itupun tak pernah tuntas kubaca. 

Entah, hanya reflek dan tidak banyak alasan, aku menarik saja buku ini dan membacanya. Dan aku sungguh tidak sadar bahwa aku sedang membaca "buku yang tak dianggap" olehku sembilan tahun lalu. Tetapi aku membacanya, dan kulahap dalam waktu lima jam (dipotong break dinner). Dulu, kulirik pun tidak, diisimpan cuma sekedar karena menghargai pemberian teman. Keisengan membaca halaman demi halaman dan mengikuti ceritanya yang seolah-olah melibatkanku dan membuatku menilai, cool jg ceritanya. Cerita soal pasangan kaya raya (Becky dan Luke) yang ber-honeymoon mewah keliling dunia dalam waktu sepuluh bulan dan isteri shopaholic (gila belanja), saking gilanya sampai tidak sadar membeli barang yang sama di Negara yang berbeda. Dan barang-barang itu berumlah dua truk penuh isinya, hasil bulan madu di beberapa negara di Afrika, Amerika, ASia seperti kota Kenya, Alaska, Milan, dan Srilanka. 

Becky, Si gila belanja ini ternyata punya kakak tiri bernama Jessica dari ayahnya bersama seseorang di masa lalu sebelum ibunya, yang muncul di masa ia berbulan madu. Si kakak adalah seorang aktivis lingkungan yang bertolak belakang dengan hobbynya. Berbagai macam cara ia lakukan untuk bisa lebih dekat dengan si kakak apalagi, tapi tidak berhasil karena perbedaan terlalu mencolok antara mereka sampai masing-masing mereka pada akhirnya menyimpulkan mereka benar-benar tidak cocok dan bukan saudara (ada kesalahan). 

Cerita ini berakhir dengan perginya ia ke kampung asal kakak setelah ia bertengkar dengan suami dan teleponnya pun tidak diangkat oleh teman akrabnya Suze karena sibuk mempersiapkan liburan bersama anak-anaknya dan sahabat lainnya yang baru. Kunjungan ini membuat ia mengerti cara pandang dan hidup mereka yang berbeda, diantaranya karena latar belakang pendidikan di keluarga yang sangat berbeda. Jess dididik dengan keras untuk harus bisa berdiri dengan kakiknya sendiri sedari kecil dan Becky sebaliknya terbiasa dilayani dan dipenuhi semua keinginannya termasuk sangat "dituruti" oleh suaminya. Namun, disana pula ia menemukan kesamaan antara mereka berdua bukan dengan belanja barang-barang serba mahal di department store dan menyesah kopi di cafe mahal serta nge-gym bareng seperti yang pernah ia rancang saat berkenalan dengan Jess pertama kali dan saat ia meminta Jess menginap di rumahnya. Ia juga belajar hidup hemat, menghargai proses, membedakan kebutuhan dengan ambisi, termasuk berempati pada persoalan sosial dan lingkungan sampai ia terlibat pada sebuah aksi demo menolak kehadiran toko-toko besar yang akan menggusur Kampung asal Jess. Diselipkan juga gejolak emosinya yang merasa 'sendiri" karena relasinya dengan para sahabat dan orangtuanya yang jauh berubah setelah bulan madu panjang itu. Tidak ada yang antusias melihat barang bawaannya yang begitu banyak dari liburan bulan madu itu apalagi mendengarkan ceritanya. Seoalah-olah tidak ada yang sama sekali merindukannya dalam sepuluh bulan itu. Setelah melewati sepuluh bulan itu ia merasa ditinggalkan: ayah-ibu sibuk ikut kegiatan terapi, suzie teman akrabnya sibuk mengurusi anak-anaknya dan memilih menghabiskan waktu dengan teman barunya Lulu, si suami fokus, Luke sibuk dengan pekerjaan. Padahal, ia sudah mempersingkat liburan yang rencananya setahun itu menjadi sepuluh bulan hanya karena tidak sabar menceritakan pengalaman dan membagikan barang belanjaan kepada semua orang termasuk keinginan memberikan kejutan hadir di pembaptisan anak lulu dimana ia dinobat sebagai ibu baptis. 

Intinya di sini sebetulnya adalah, saya sudah memecahkan rekor diri sendiri, melahap 504 hal. (18 inches) Novel selama 5 jam hadiah dari seorang teman 9 tahun lalu (2005). Buku yang tak kuanggap tetapi mengisi "zero pointku" secara positif. Buku yang mengajakku berkelana ke beberapa tempat di beberapa Negara seperti Srilanka, Milan, Alaska, London dll...turut merasa kerumitan yang bisa dibuat gampang dan sebaliknya yang mudah diperumit dalam bungkus relasi dengan konsep, kebiasaaan dan cara hidup yang sangat kontras. Hidup itu pilihan.

Minggu, 27 April 2014

Kataku tentang "Divergent" #1 Filmku


Akhirnya, berhasil juga minta "offwork" dulu dari on cam untuk Sabtu ini agar bisa berkencan dengan laptop dan bermain keypad untuk menuliskan yang hampir terabaikan padahal "kuingin-nya" sudah lama sekali. Ini tentang film Divergent. Film dari sebuah Novel karya Veronika Roth dan disutradarai Neil Burger ini ditayangkan pada 21 Maret 2014. 

Tris dan Four
Tulisanku ini telat karena pertama film ini sudah menjadi perbincangan banyak orang dengan label bagus, terbukti beberapa kawan membenarkan itu ketika saya iseng posting judul film ini di status salah satu media sosial. Saya tidak hendak menganalisa atau meresensi film ini tetapi lebih kepada pendapat umum saja.Divergent buat saya seakan-akan salah satu sekuel dari Hunger Games salah satu fiksi ilmiah futuristik juga yang pernah saya tonton. Bercerita tentang manusia masa depan. Setidaknya awal kedua film ini memiliki kesamaan, dimulai dengan kecemasan keluarga. Orangtua cemas karena harus melepas anak-anak mereka, sedangkan anak-anak dipaksa untuk siap tanpa syarat mengikuti mekanisme permainan canggih melibatkan 12 district untuk hunger games dan mekanisme pengelompokan/faksi berdasarkan karakter untuk Divergent. Bedanya, dalam Hunger Games, anak-anak ini ditentukan melalui sistem undian dan tidak kenal umur. Yang terundi harus terlibat dalam sebuah permainan yang melibatkan banyak sponsor dan permainan ini didesain dengan sangat canggih yang mengharuskan pesertanya masuk ke dalam dunia virtual yang diciptakan dan diprogram khusus untuk bertarung (saling membunuh) untuk bertahan hidup dan menjadi pemenang.

Divergent menggambarkan kecemasan setiap orangtua yang harus melepaskan anak mereka yang beranjak dewasa untuk memilih dan melalui proses training dan tes untuk masuk ke dalam kelompok atau faksi yang terdiri dari Candor (jujur), Erudite (Genius), Amity (cinta damai), Dauntless (pemberani dan tak kenal rasa takut), dan Abnegation (suka menolong tanpa pamrih). Kedua film ini juga mengambil setting masa depan di Kota di Amerika (Divergent di Kota Chicago (masa perang) dan Hunger GAmes di North Carolina). 

Balik ke fokus saya kali ini, Divergent. Penentuan faksi mengharuskan setiap individu memahami dan menjalankan prinsip faksi diatas keluarga - kepentingan faksi mendahului atau lebih penting dari keluarga (faction before blood). Bagi saya, sinematografi dan alur dari film ini biasa saja (untuk tahu lebih detail, cari saja sinopsisnya dan tontotn filmnya ya ...). Yang menarik bagiku, film ini merefleksikan bagaimana hidup masa kini memang dikelompokkan (diklasifikasikan) berdasarkan banyak hal misalnya rentang pengeluaran secara kuantitatif dan akses terhadap layanan sosial dasar (kesehatan dan pendidikan) secara kualitatif . Ini memunculkan adanya kelas-kelas serupa faksi dalam film ini dengan nama kelas bawah, kelas menengah (terdiri dari kelas menengah ke atas dan menengah ke bawah), dan kelas atas. Film ini merefleksikan kehidupan masa kini dengan memperlihatkan bagaimana masing-masing kelas dan faksi saling bertahan hidup dengan ideologinya demi yang mereka anggap baik untuk kehidupan manusia. Yang paling ditonjolkan dalam film ini adalah bagaimana orang dari faksi yang dianggap lemah (abnegation) memilih masuk ke dalam faksi kuat (dauntless) dan menghadapi berbagai dinamika dan ideologi baru yang jauh berbeda dan cenderung bertolak belakang. Faksi Dauntless dominan disorot karena mereka kuat dan bertanggung jawab penuh atas keamanan dan pertahanan, dan seperti itulah masa kini diwarnai dengan industri media yang memungkinkan  kelompok-kelompok kuat mampu menguasai pertarungan/peperangan ideologi politik, ekonomi, sosial, hukum dan budaya sesuai dengan yang mereka inginkan bahkan penggunaan kekuatan lain di luar mereka untuk mendukung apa yang mereka anggap benar atas nama keberlangsungan hidup banyak orang. Ini yang saya sebut irisan pada setiap kelompok atau faksi. Irisan antara faksi dauntless dengan faksi erudite (dipimpin oleh Jeanie yang diperankan oleh Kate Winslate - kali pertama aku melihat KW "tua" dan berperan antagonis, jauh dari perannya sebagai Ros di Titanic)  diperlihatkan dalam film ini, dimana erudite (para pemikir, peneliti dna ilmuwan) membantu membuat senjata kimia untuk dauntless yang tujuannya untuk membasmi kelompok lemah yakni amity, abnegation, Candor yang dianggap hanya membebani dan harus dimusnahkan. 

Shailenen Woodley, berperan sebagai Beatrice atau Tris telah berhasil menggiring penonton memberi label padanya sebagai orang baik-baik (atau orang lemah dari versi faksi kuat, Dauntless - yang menyebabkan ia juga dikenal dengan the Stiff atau si lemah). Air muka ataupun make up Shaileen juga mendukung ekspresinya sebagai orang yang lugu, namun tidak begitu dengan keinginan, harapan dan keyakinannya. Di dalam dirinya dia merasakan dirinya merasa dirinya lebih dari sekadar bagian dari Faksi Abnegation tetapi memiliki masing-masing unsur atau karakter masing-masing kelas tanpa ada yang terus terlalu mendominasinya). 

 Menariknya secara kebetulan aku melihat film ini seperti yang kukatakan diawal seolah-olah sekuel lain hunger games, ternyata memang ada "irisan" antara kedua film ini, misalnya keputusan Shailene Woodley menjadi pemeran utama Tris ternyata melalui proses panjang dimana J-Law (Jenifer Lawrence), si pemeran Katnis Everdeen di Hunger Games ini dimintai oleh produser untuk meyakinkan Shailene untuk mau dan mampu bermain sebagai seorang gadis muda petarung di tengah kepentingan politik faksi. Keduanya sama memiliki beban bermain sebagai gadis lugu. Perbedaannya, di awal Hunger Games, emosi Katnis Everdeen sudah menunjukan ada jiwa pemberontak dan petarung karena ia juga seorang pemanah binatang yang ulung di Desanya. Sedangkan Tris, cenderung datar secara emosional dalam waktu yang cukup lama dari ketika pemilihan faksi sampai pada proses training, meski sesekali ia menunjukan pemberontakannya ketika melihat perlakuan tidak adil terhadap rekannya. Emosinya sebagai pemberontak semakin terlihat ketika dia mengetahui dia tidak sendirian sebagai Divergent ada Four - salah seorang trainer yang sama dengannya (tetapi berhasil menutupi "kelainan" itu, karena jika diketahui artinya harus 'dimatikan'), dan juga Ibunya, yang ternyata secara diam-diam sudah mengatur pemberontakan besar-besaran bersama dengan ayahnya dan beberapa orang lainnya. Emosinya terlihat memuncak ketika Si Ibunya tewas tertembak dalam aksi pemberontakan yang mereka lakukan bersama-sama melawan para Dauntless termasuk para pendatang yang sudah dilatih, yang disuntikan serum kimia hasil racikan Faksi Erudite sehingga membuat mereka kehilangan kesadaran dan fokus pada menjalankan perintah yang sudah diprogram melalui alat hanya untuk membunuh siapa saja dari faksi lemah untuk dibunuh yakni faksi abnegation dan amity. 


Tapi baiklah, saya tidak akan terjebak bercerita soal film ini panjang lebar, karena ini bukan resensi tapi "kataku". Secara keseluruhan,  film ini dominan menampilkan dinamika sulitnya menjadi Dauntless yang dihadapi seorang anak dari keluarga Abnegation yang secara karakter dia memiliki kelimanya, tidak satu yang paling dominan. Faksi yang kuat dan berani (dauntless) bertahan hidup atas nama menjaga perdamaian dan keberlangsungan semua faksi di muka bumi untuk hidup harmony.Ditunjukan bagaimana faksi ini beririsan atau bahasa keren di tahun politik ini, berkoalisi dengan faksi kuat lain yakni erudite (para pemikir, pencipta dan penemu) untuk bersama-sama menghancurkan kelas bawah atau faksi lemah yakni para pekerja (amity) dan para pelayan yang "murah hati" (abnegation), dan orang-orang yang jujur (CAndor) - termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang dibuang dari faksi kuat karena tidak manut atau dianggap tidak cocok masuk ke faksi mereka, yang dianggap tidak berguna dan hanya membebani. Dinamika ini persis sama dengan bagaimana kelas penguasa bicara dan bertindak atas nama kesejahteraan, kemanusiaan, dan keadilan dengan menghancurkan rasa kemanusiaan dan keadilan itu sendiri dan manusia lainnya yang dianggap beban dan menghalangi kekalnya kekuasaan. Kelompok kecil (seperti buruh dan petani) terus menerus dipaksa bekerja dan berproduksi untuk menopang hidup kelas atas. Akhir cerita ini gampang ditebak, kecanggihan tekhnologi dan kepintaran dan keberanian yang berfondasi pada keserakahan tetap akan dikalahkan oleh sifat natural manusiawi manusia dengan semangat "mencintai". 

Divergent

Pemain: Shailene Woodley, Theo James, Zoe Kravitz, Ansel Elgort, Maggie Q, Jai Courtney, Miles Teller, Kate Winslet  
Sinopsis bisa dilihat di http://divergent.wikia.com/wiki/Divergent_%28film%29

Jumat, 04 April 2014

Ultah Baby "A" ketiga - Mr. Expressive

Tahun lalu, aku menulis proses menghadirkan baby "A" ke dunia ini. Hari ini sudah pas setahun beranjak dari masa aku menulis itu. Dia menjelma menjadi anak yang pintar berekspresi dan berkata-kata. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia, sedih, marah dan penasarannya. Pernah sekali rasa penasarannya hampir menghentikan detak jantungku ketika tiba-tiba ia memisahkan diri dari rombongan aku, daddy dan kedua orang saudaranya di pagi hari ketika kami ke pasar sayur di Siantan (sebelumnya, kami menyaksikan tugu equator di pagi hari mengikuti keinginan kedua saudaranya). Rasa sedihnya sering tiba-tiba terlihat dari mata yang bisa tiba-tiba berkaca ketika dia ditegur dengan suara agak meninggi dengan sedikit "ancaman". Marahnya yang lucu. Dalam kondisi hati begini, ia sering bolak-balik jalan, duduk bahkan kadang mengambil buku terlebih dahulu baru duduk di sudut-sudut rumah dekat "bookshelf", dengan mengomel gak karu-karuan kadang gak jelas bahasanya dan bola mata larak lirik ke orang yang dituju amarahnya. Dan, terakhir rasa bahagianya yang pada hari ini terlihat dengan senyum lebarnya ketika memaksaku mengeluarkan kue ultahnya, ketika difoto, dan ketika ia melompat-lompat sambil menyanyikan lagu "happy b'day" sampai meniup lilin dan membagikan kue kepada kami.

Hari ini adalah ultah baby "A" yang ketiga. Aku lebih intensif mengamati perkembangannya ketimbang kedua orang saudaranya karena empat setelah ia lahir aku memutuskan untuk tidak lagi bekerja dan terikat secara full pada lembaga manapun. Aku menyaksikan bagaimana ia mampu menggambarkan lingkaran-demi lingkaran membentuk wajah terdiri dari kepala dan mata serta menarik garis bibir (tersenyum) dengan satu tarikan dan mendekati sempurna tanpa-terputus dan saling nyambung. Yang lain, kemampuannya meghafal lagu dan percaya diri menyanyikan lagu berbahasa Inggris dengan "bahasa" dia.

Ehm, terlalu banyak tentangmu, sama seperti ketika aku tak mampu menuliskan sekian banyak tentang kedua saudaramu karena memang ini tidak akan pernah tertuangkan dengan lengkap hanya dengan tulisan. Tapi kita tahu, kita saling mencinta dan saling membutuhkan. Aku masih mengingatkan bahwa kau akan menemukan jalanmu sendiri kelak. Hari ini, membuatmu bahagia adalah bahagiaku meski hanya dengan kesederhanaan yang kita bagi bersama sepupumu Jojo, mami, tante-tantemu, sepupu Yuen dan Rere, tante Erny Ibu Baptismu dan dua anaknya dan beberapa ucapan selamat di dinding facebookku dari beberapa temanku baik yang mengenalmu ataupun tidak. Hadiah-hadiah kecil membanjirimu mulai dari miniatur pesawat airbus, mobil transporter, dan mobil ranger, tetapi doa dan restu untukmu membumbung tinggi. Berbahagialah nak dan ijinkan aku membahagiakanmu dengan kebahagiaan yang sebagiannya juga berasal darimu. Begitulah Tuhan menciptakan lingkaran yang membuat kita saling terhubungkan satu sama lain. Ingatkan aku kelak jika aku tak rela melepas tali kekangmu atas nama kebaikan dan kebahagiaan.

kompromi dan konfrontasi (1# Curhatan)

Kompromi dan konfrontasi sesungguhnya merupakan realitas pertarungan setiap individu menyeimbangkan nalar dan rasa. Keduanya merupakan pilihan yang memiliki konsekwensi masing-masing. Dalam hal ini, berkompromi sederhananya lebih bermakna bijak, sedangkan konfrontasi lebih terkesan brutal. Keduanya bisa saja muncul dengan mengacu kepada apakah rasa atau nalar yang sedang dominan menguasai. Dalam hal seimbangnya rasa dan nalar, kecenderungannya adalah berkompromi.

Kata kompromi dan konfrontasi sering kugunakan untuk menunjukan batas toleransi dengan suatu kondisi, keadaan atau peristiwa yang relatif tidak mengenakan dan mengulik-ulik emosi sedemikian rupa, diantaranya berkompromi dengan peristiwa kematian orang-orang terdekat, berkompromi dengan peristiwa luka dan kecewa yang disebabkan orang-orang dekat, berkompromi dengan emosi yang kadang destruktif terhadap orang-orang dekat. Ibarat gelombang, ombak kompromi dan konfrontasi terkadang datang sendiri-sendiri terkadang datang hampir berbarengan namun ada batas yang membedakan keduanya. Batas itu hanya bisa dilihat dengan duduk dan tidak hanya bicara dengan diri sendiri yang cenderung subjektif - membela diri; mempertahankan diri. Lalu, bicara dengan siapa?. Dengan Dia-sang penakluk segala rasa dan nalar bahkan tubuh yang menjadi rumahnya. Duduk merendah, diam dan tidak meminta.

Sesungguhnya, itu sulit. Peristiwa demi peristiwa, baik yang menyenangkan dan menyedihkan merupakan bagian dari dinamika yang menantang kedewasaan dan perlu lebih bijak melihat "apa" dibalik peristiwa karena ego selalu menggiring manusia cenderung kehilangan objektifitas, balik ke apa yang kusebut membela diri atau mempertahankan diri di atas. Sebagai contoh adalah relasi antara suami-isteri yang kusebut sebagai relasi yang kompleks karena "demands multiple roles to play". Ini terjadi pada setiap relasi tetapi akan lebih rumit bagi orang yang berkomitmen dalam bingkai pernikahan.  Di bawah ini adalah dialog reflektif untuk menggambarkan suatu hal sederhana tapi berefek domino pada banyak hal dalam sebuah relasi antara sahabat, dan level bisa meningkat untuk relasi suami-isteri.

"lebih baik jadi sahabat, agar tdk saling menyakiti", kata si A kpd pasangannya. 
Si B menimpali, "siapa bilang sahabatan ga prnh saling menyakiti!?". 
Balas A, "aku byk sahabat gak ada yg pernah nyakitin aku krn slalu aku yg nyakitin hati mrk.

Sakit menyakiti dalam relasi mestinya dilihat sebagai proses "improvement", bukannya menjadikan "bersahabat" sebagai solusi karena persahabatan itu sendiri tidak memilih tempat dan waktu melainkan salah satu peran yang dituntut kepada orang yang berpasangan atau berelasi dengan orang lain dengan kadar lebih dekat. 

Balik ke soal kompromi dan konfrontasi. Dalam hal kompleksitas seperti inilah keduanya sering muncul. Berkompromi dengan sesuatu, keadaan ataupun situasi tertentu (yang sulit) terkadang menggiring kita menjadi seolah-olah orang yang sangat tidak berdaya, tidak tahu apa yang harus dilakukan dan galau karena relatif/terkesan pasif. Konfrontasi sering lebih terlihat berani, menolak tunduk, pemberontakan, berdaya dan kuat karena sebaliknya terlihat lebih aktif (baik aktif yang destruktif maupun konstruktif). Aku pernah dalam situasi, dan setiap manusia pasti melewati itu. Bagaimana menghadapi ini?. Seorang teman pernah menulis kepadaku begini:

"... that we should try to maintain positive outlook and believe that things will turn out fine in the end and helps will always come on the right timing, should let go of fear....i know it's NOT easy to do it, as consciously and unconsciously, we are constructed to react spontaneously in worry and fear when things haven't turn out the way we want or need to...but somehow, we are suggested to learn to construct faith, that there's divine timing for everything & release the fear and worry...when we release our worry and fear, it helps us to begin see the available options......well, I'm just saying we should try and see how it works."

Menariknya, kalimat itu seperti "aku yang sedang ber-de javu" ke suatu peristiwa dan menyampaikan hal yang sama kepada seorang sahabat dengan frasa yang berbeda. Satu hal yang kusadari di sini, itulah salah satu kunci untuk menghadapi pilihan "kompromi dan konfrontasi". Membuka diri saja bagi hal-hal positif darimanapun; sahabat, bacaan dan film-film (komedi barangkali), jangan membiarkan diri kita kehilangan hormon bahagia (endorphine). 




Selasa, 01 April 2014

Big Sale di Tahun Politik (opiniku)

Sudah memasuki masa "minggu tenang" (H-4) untuk para caleg parpol dan calon DPD dalam melakukan kampanye terbuka. Dalam seminggu lagi, tepatnya 9 April 2014 akan dilakukan pemilu legislatif dan DPD. Selama masa kampanye, bahkan sebelumnya, jamak terlihat banyak caleg dan calon DPD curi start memasang alat peraga. Termasuk juga memasang alat peraga di luar zona yang ditentukan. Tapi yah, sudahlah. Makanya kubilang ini "jamak", artinya sudah seperti ritual lima tahunan dengan pelanggaran yang sama. Yang menarik dan agak berbeda adalah penggunaan media televisi yang lebih marak ketimbang sebelum-sebelumnya. Ini menunjukan bahwa orang-orang yang akan bertarung memenangkan hati rakyat ini adalah orang yang tidak saja melek media televisi tetapi tentu dia punya akses sebagai pemilik, keluarga pemilik, dan kerabat pemiliki atau rekan sebisnis. Kenapa?. Jawabannya sederhana, pasang iklan di televisi tidak murah. Silahkan saja dicari sendiri hitung-hitungannya, toh ini hanya opini bukan sebuah riset atau survey.

Ini ingin bicara soal bagaimana media televisi menjadi salah satu dari sekian banyak media untuk "jual diri" para caleg dan calon DPD - promosikan diri. Namanya jualan, tentu akan menampilkan kelebihan produk yang dijual, dan karena produk yang dijual adalah diri sendiri, slogan/moto, wajah yang hampir semuanya tersenyum lebar di foto-foto dan video dengan diperkuat narasi yang mencerita sosok, kiprah dan tentunya apa yang akan dibuat. Substansi dari kemasan produk diri inilah yang aku sebut dengan "Big Sale"; banyak orang mendadak paham persoalan rakyat, mendadak melek data kurang gizi, data rakyat miskin, data kerusakan alam, mendadak sangat peduli pada etnis tertentu, mendadak (seolah-olah) paham prosedur pencairan dana untuk mengurusi pendidikan gratis, berobat gratis dan menyediakan sarana dan prasarana. Sikut menyikutpun terjadi dan muncul dengan bahasa "black campaign". Tidak lebih-tidak kurang seperti penjual obat. Padahal, negeri ini butuh dari sekedar orang yang jualan tetapi orang yang mengerti potensi/kekuatan rakyatnya, bagaimana menjadikan rakyatnya percaya diri mengolah potensinya dengan membantu memberi akses terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar dan menjelaskan bahwa pendidikan dan kesehatan gratis adalah kewajiban negara yang harus dipenuhi dan bukannya jadi jualan untuk prasyarat terpilih.

Di sini, rakyatpun dituntut harus cerdas. Tapi, siapa yang mencerdaskannya. Dari "pelayan publik" sampai militer sibuk menggalang aksi mendukung jagoannya masing-masing, bukan mencerdaskan bahkan kalau bisa rakyat gak boleh cerdas biar enak dibodoh-bodohi dengan selembaran lima puluh ribu ketika kampanya, makan dibayarin ketika bertemu caleg, berobat dibayarin, dan menit-menit menjelang pencoblosan ada yang disebut serangan fajar.

Bi Sale di tahun politik bisa dilihat dengan hampir setiap sudut kota jalannya dibenerin - dicor. Mobil pribadi banyak penumpang, ambulans gratis sampai angkot yang berubah cat jadi warna khas dengan warna partai tertentu disertai wajah caleg dan nomor urutnya dan slogan masing-masing serta contoh surat suara. Selebihnya akan ada kaos oblong, VCD/DVD, bulletin dadakan, kalender dadakan, fanpage FB, status berisi aktitifitas setiap caleg.

Tidak banyak yang hendak kukatakan di sini. Aku hanya mau bilang. Anda-anda masih belum mampu mengguggah saya. Mungkin saja saya sudah apatis atau paranoid atau hopeless...tapi tetap saja ini harus saya dan seluruh warga yang masuk dalam DPT lewati. Kalau tidak, akan dianggap golongan putih. Kalau kemudian memilih golongan putih, tetap negeri ini akan dikuasai oleh para tukang jagal yang mendadak jadi malaikat dan para pasukannya. Saya tidak akan golput dan saya juga belum hopeless karena pasti ada satu atau dua orang di sana yang betul-betul pro rakyat dan mereka tidak terlihat karena berada diantara tumpukan orang serakah berbaju tebal dan mahal serta selalu memilih berdiri di atas pundak orang-orang tidak mampu. 

Teriakan Hati (opiniku)

Sedikit melihat ke belakang, beberapa minggu lalu. Inipun dipicu oleh pemberitaan media televisi dua hari terakhir tentang seorng anak berusia tujuh tahun, kelas satu Sekolah Dasar di Makasar yang meninggal diduga karena dikeroyok oleh tiga orang kawannya. Hati saya selalu rasanya mau berteriak bukan karena aku adalah ibu dari salah satu anak yang usianya tujuh tahun dan membayangkannya terjadi pada anaku, tetapi karena lagi-lagi manusia seolah-olah tidak bernilai manusia di hadapan manusia lain. Dan, itu terjadi pada siapa saja, pada setiap kelas, setiap kelompok usia, tanpa kenal jenis kelamin. Sebelum ini, satu kasus terjadi pada remaja Sekolah Lanjutan di Jakarta, yang meninggal karena dibunuh oleh dua orang teman akrabnya. Berikut, seorang anak juga dianiaya oleh mantan pacar ibunya.

Aku tidak hendak membahas peristiwa di atas. Ini adalah sebuah peristiwa serupa yang terjadi di depan kedua mataku dan tentunya membuat lagi-lagi hatiku berteriak, meneriaki apa?. Sudah tidak jelas, sepertinya masih berkutat pada "Nilai Kemanusiaan".

Suatu pagi, aku menjalani tugas rutin mengantar anak tujuh tahunku ke sekolah. Tugas yang sudah kutekuni dalam sembilan bulan ini sejak anaku masuk SD. Sampai di depan sekolah, sepeda motorku melaju perlahan karena mesti berbelok kanan menuju ke halaman sekolah. Bukan sekedar melaju pelan, aku harus mengerem hingga berhenti, karena di depanku ada seorang ibu yang menggiring sepeda, sepertinya juga mengantar anaknya. Di depan si ibu ada beberapa anak perempuan sedang berjalan pelan menuju halaman. Di belakang si Ibu, ada seorang anak laki-laki yang juga mulai mengayuh pelan sepedanya dan bahkan berhenti dan aku melihatnya berusaha turun. Kami semua berada pada satu jembatan kecil yang menghubungkan jalan besar dengan halaman sekolah, dan jembatan itu menjadi jalan melintasi parit dengan ukuran sekitar 3 meter.

Sedikit mundur perhatian pada seorang anak laki-laki yang mengayuh sepedanya dan bahkan berhenti (sepertinya mengikuti Ibu yang di depan karena memang rombongan anak perempuan di depan masih terlihat berjalan pelan). Aku masih berhenti, memberi kesempatan kepada anak itu untuk tetap di depan terlebih dahulu sekaligus juga memberi peluang anak-anak perempuan dan si Ibu selesai melewati jembatan. Tiba-tiba, mataku tertuju pada kaki si anak lelaki yang berusaha diturunkannya ke sebelah kiri, turun dari sepedanya, dan seketika kaki sampai pada sisi cor-coran jembatan, iapun tergelincir dan masuk tersungkur ke dalam air parit (disebut juga sungai oleh warga) bersama dengan sepedanya. Spontan, semua heboh dan anak itupun menangis kesal, ketakutan, mungkin kedinginian dan mungkin juga malu. Akupun memilih memarkirkan motorku, untuk juga memberi ruang di jembatan yang sempit itu bagi yang lain. Aku tidak melihat siapapun datang menolong anak itu untuk naik dari parit itu atau menghibur untuk menenangkannya. Bahkan diriku sendiri lebih memilih menenangkan anaku yang berumur belum genap tiga tahun (ikut mengantar si Abang) yang malah hendak berlarian kesana-kemari ikutan memastikan apa yang terjadi. Ada satu orang Ibu dari teman sekelas anakku yang mencoba menghampiri hendak menolong anak itu dan akupun bergerak lambat ke sana dengan satu anak di tangan kiri (si Abang), dan satu lagi di tangan kanan (Si adik). Tetapi, tentu saja tidak ada yang bisa kulakukan secara tekhnis misal mengulurkan tangan pada anak lelaki itu agar dia naik, karena tanganku terpaku pada anak-anakku. Aku pun hanya berteriak meminta anak itu naik dan mencoba menghiburnya sembari meyakinnkan tidak terjadi apa-apa dengan sepedanya. Itupun dilakukan oleh Ibu dari teman anaku. Kulihat ia mengulurkan tangannya, tetapi anak itu masih kekeuh menolak naik dan masih menangis di dalam parit berisi air dan sudah ada sepedanya juga di dalam air itu. Semakin banyak pula gerombolan anak-anak lain yang mencoba membujuk ia naik dan memastikan sepedanya tetap aman jika ditinggal di dalam air untuk sementara waktu. Namun butuh waktu lama untuk meyakinkan anak itu naik, untuk kemudian kembali pulang ke rumah untuk ganti baju dan balik lagi ke sekolah untuk mengikuti ulangan.

Yang "menarik", sebelum anak itu naik, ada satu orang Ibu berteriak memanggil anaknya sendiri. Bukannya membantu, si Ibu malah dengan suara lantang bicara pada anak perempuannya, "Itu tu kalau nakal, kamu akan seperti itu. Itu anak naka itu!". Tidak jauh dariku, berdiri seorang guru, dan tidak terlihat sedikitpun khawatir. Aku bertanya, "Bu, itu murid kelas Ibu, khan?.". "Iya", jawabnya sambil berjalan pelan menuju TKP. Mulutnya terus bicara, "Biarin, anak itu memang nakal!". Di TKP aku juga menyaksikan satu orang lagi guru yang sedang berteriak hampir sama, meneriaki "kenakalan" anak itu. Akupun menghampiri si Guru kelas yang berjalan pelan berusaha menceritakan peristiwa yang sebenarnya, bahwa itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan nakal. Itu kecelakaan yang bisa menimpa siapa saja. Tetapi tidak digubris.

Cerita ini tentu berakhir dengan si guru yang menggunakan otoritasnya memutuskan apa yang mereka anggap baik bagi muridnya. Tetapi peristiwa ini membuat hatiku berteriak kepada dua orang guru yang tidak berbuat apa-apa malah membuat tambah malu dan khawatir si anak didiknya dengan mengatakan itu akibat kenakalannya, sekaligus memberikan contoh kepada anak lain bahwa peristiwa itu sebagai dampak atau efek dari sebuah kenakalan dan wajar terjadi pada anak nakal. Bahasa sederhananya seolah-olah "anak nakal wajar celaka, atau tidak apa-apa celaka". Bukannya menggugah rasa peka anak, sekedar berempati dan membantu kawannya sendiri. Hatiku juga berteriak pada si Ibu yang menjadikan peristiwa itu sebagai contoh bagi anaknya yang mungkin dia pikir jauh lebih baik, bahwa jika anaknya tidak terus menerus menjadi baik, dia wajar celaka seperti itu. Terakhir, tentu aku juga berteriak pada diriku sendiri, tidak segera membantu secara tekhnis, mungkin dengan menarik tangan anak itu dan meninggalkan anakku yag berusia dua tahun itu untuk sementara, meskipun mungkin ia bisa juga lari kemana-mana dan bahkan terjun juga ke parit. Aku hanya mampu menyarankan si Abang, karena itu juga teman sebayanya meski tidak satu kelas, untuk menolong anak itu setidaknya dengan memintanya keluar dan berhenti menangis dan segera pulang untuk mengganti baju sebelum ia kedinginian dan kehilangan kesempatan ulangan hari itu. Ya, hanya itu yang bisa kulakukan.

Ini bicara soal empati dan kepekaan sosial yang sesungguhnya tidak ada mata pelajarannya di sekolah. Namun, ini sesuatu yang menujukan kualitas rasa kemanusiaan kita. Namun, masih begitu besar "gap" antara manusia karena cap-cap nakal, apalagi bagi seorang anak yang berada pada lingkaran yang mewarisi cara mendidik dengan memberikan hukuman pada anak yang didik yang dianggap nakal. Peristiwa ini seperti hukuman setimpal yang harus diterima oleh anak karena ia nakal. Aku sendiri masih mempertanyakan mengapa selalu ada isitilah "anak nakal" untuk hal-hal di luar keinginian kita orang dewasa yang dilakuakan oleh anak-anak. Guru-guru harusnya memiliki kemampuan merangkul "anak-anak nakal", karena mungkin saja ada persoalan dengan keluarganya. Mungki saja "tangki cinta" si anak sudah sangat kosong, orang tua tidak sadar pentingnya mengisi tangki itu. Yah, kalau begitu berat menjadi guru. Tentu. Menjadi guru masa kini dituntut tidak hanya mengajar mata pelajaran tetapi juga melakoni peran "parenting-pola asuh". Itu mengapa setiap sekolah ada guru BP (Bimbingan Pelajar). Orang tua tentu memiliki peran sentral di sini, karena pola asuh di keluargalah tempat semuanya berakar. Berikut, kerjasama dan keterbukaan antara guru dan orang tua juga harus diberi ruang yang lebar untuk memiliki satu kesepahaman atas anak. Pola komunikasi yang baik juga harus dibicarakan antara guru dan orangtua. Jika proses ini bisa dilewati, aku kira tidak sulit bagi guru untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran lain yang sudah baku. Aku coba pahami, mungkin karena orang dewasa sekarang, guru-guru sekarang dan bahkan para orang tua sekarang adalah produk dari sistem pendidikan, baik formal di sekolah maupun non-formal (misal di keluarga)  yang memang tidak memfokuskan pentingnya membangun kepekaan sosial, empati, dan tanggung jawab.

Anak nakal menjadi label yang sering melekat pada anak yang kritis dan tidak manut pada aturan dan perintah orang tua dan guru. Kecenderungannya destruktif (kegitatan dan tindakan yang merusak) karena tidak mendapat tempat penyaluran yang tepat dan tidak diberikan ruang oleh orang tua dan guru. Orang tua sibuk sendiri, dan tidak mulai menempatkan anak sebagai "orang penting" - untuk diperhatikan dengan setidaknya menanyakan perasaannya. Anak juga sering dianggap tidak berhak tahu kesibukan, pekerjaan dan bahkan hal-hal sederhanan semisal jadwal orang tua, malah cenderung berbohong karena tidak mau ribet dengan pertanyaan anak. Prilaku ini sering dibungkus dengan kalimat "memandirikan anak atau mendewasakan anak" padahal belum saatnya. Anak hanya butuh diberikan rasa aman, nyaman dan merasa dianggap ada dan dicintai. Toh, eksistensi diri itu menjadi kebutuhan setiap makhluk hidup, bukan ....???


Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...