Jumat, 04 April 2014

kompromi dan konfrontasi (1# Curhatan)

Kompromi dan konfrontasi sesungguhnya merupakan realitas pertarungan setiap individu menyeimbangkan nalar dan rasa. Keduanya merupakan pilihan yang memiliki konsekwensi masing-masing. Dalam hal ini, berkompromi sederhananya lebih bermakna bijak, sedangkan konfrontasi lebih terkesan brutal. Keduanya bisa saja muncul dengan mengacu kepada apakah rasa atau nalar yang sedang dominan menguasai. Dalam hal seimbangnya rasa dan nalar, kecenderungannya adalah berkompromi.

Kata kompromi dan konfrontasi sering kugunakan untuk menunjukan batas toleransi dengan suatu kondisi, keadaan atau peristiwa yang relatif tidak mengenakan dan mengulik-ulik emosi sedemikian rupa, diantaranya berkompromi dengan peristiwa kematian orang-orang terdekat, berkompromi dengan peristiwa luka dan kecewa yang disebabkan orang-orang dekat, berkompromi dengan emosi yang kadang destruktif terhadap orang-orang dekat. Ibarat gelombang, ombak kompromi dan konfrontasi terkadang datang sendiri-sendiri terkadang datang hampir berbarengan namun ada batas yang membedakan keduanya. Batas itu hanya bisa dilihat dengan duduk dan tidak hanya bicara dengan diri sendiri yang cenderung subjektif - membela diri; mempertahankan diri. Lalu, bicara dengan siapa?. Dengan Dia-sang penakluk segala rasa dan nalar bahkan tubuh yang menjadi rumahnya. Duduk merendah, diam dan tidak meminta.

Sesungguhnya, itu sulit. Peristiwa demi peristiwa, baik yang menyenangkan dan menyedihkan merupakan bagian dari dinamika yang menantang kedewasaan dan perlu lebih bijak melihat "apa" dibalik peristiwa karena ego selalu menggiring manusia cenderung kehilangan objektifitas, balik ke apa yang kusebut membela diri atau mempertahankan diri di atas. Sebagai contoh adalah relasi antara suami-isteri yang kusebut sebagai relasi yang kompleks karena "demands multiple roles to play". Ini terjadi pada setiap relasi tetapi akan lebih rumit bagi orang yang berkomitmen dalam bingkai pernikahan.  Di bawah ini adalah dialog reflektif untuk menggambarkan suatu hal sederhana tapi berefek domino pada banyak hal dalam sebuah relasi antara sahabat, dan level bisa meningkat untuk relasi suami-isteri.

"lebih baik jadi sahabat, agar tdk saling menyakiti", kata si A kpd pasangannya. 
Si B menimpali, "siapa bilang sahabatan ga prnh saling menyakiti!?". 
Balas A, "aku byk sahabat gak ada yg pernah nyakitin aku krn slalu aku yg nyakitin hati mrk.

Sakit menyakiti dalam relasi mestinya dilihat sebagai proses "improvement", bukannya menjadikan "bersahabat" sebagai solusi karena persahabatan itu sendiri tidak memilih tempat dan waktu melainkan salah satu peran yang dituntut kepada orang yang berpasangan atau berelasi dengan orang lain dengan kadar lebih dekat. 

Balik ke soal kompromi dan konfrontasi. Dalam hal kompleksitas seperti inilah keduanya sering muncul. Berkompromi dengan sesuatu, keadaan ataupun situasi tertentu (yang sulit) terkadang menggiring kita menjadi seolah-olah orang yang sangat tidak berdaya, tidak tahu apa yang harus dilakukan dan galau karena relatif/terkesan pasif. Konfrontasi sering lebih terlihat berani, menolak tunduk, pemberontakan, berdaya dan kuat karena sebaliknya terlihat lebih aktif (baik aktif yang destruktif maupun konstruktif). Aku pernah dalam situasi, dan setiap manusia pasti melewati itu. Bagaimana menghadapi ini?. Seorang teman pernah menulis kepadaku begini:

"... that we should try to maintain positive outlook and believe that things will turn out fine in the end and helps will always come on the right timing, should let go of fear....i know it's NOT easy to do it, as consciously and unconsciously, we are constructed to react spontaneously in worry and fear when things haven't turn out the way we want or need to...but somehow, we are suggested to learn to construct faith, that there's divine timing for everything & release the fear and worry...when we release our worry and fear, it helps us to begin see the available options......well, I'm just saying we should try and see how it works."

Menariknya, kalimat itu seperti "aku yang sedang ber-de javu" ke suatu peristiwa dan menyampaikan hal yang sama kepada seorang sahabat dengan frasa yang berbeda. Satu hal yang kusadari di sini, itulah salah satu kunci untuk menghadapi pilihan "kompromi dan konfrontasi". Membuka diri saja bagi hal-hal positif darimanapun; sahabat, bacaan dan film-film (komedi barangkali), jangan membiarkan diri kita kehilangan hormon bahagia (endorphine). 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...