Selasa, 01 April 2014

Big Sale di Tahun Politik (opiniku)

Sudah memasuki masa "minggu tenang" (H-4) untuk para caleg parpol dan calon DPD dalam melakukan kampanye terbuka. Dalam seminggu lagi, tepatnya 9 April 2014 akan dilakukan pemilu legislatif dan DPD. Selama masa kampanye, bahkan sebelumnya, jamak terlihat banyak caleg dan calon DPD curi start memasang alat peraga. Termasuk juga memasang alat peraga di luar zona yang ditentukan. Tapi yah, sudahlah. Makanya kubilang ini "jamak", artinya sudah seperti ritual lima tahunan dengan pelanggaran yang sama. Yang menarik dan agak berbeda adalah penggunaan media televisi yang lebih marak ketimbang sebelum-sebelumnya. Ini menunjukan bahwa orang-orang yang akan bertarung memenangkan hati rakyat ini adalah orang yang tidak saja melek media televisi tetapi tentu dia punya akses sebagai pemilik, keluarga pemilik, dan kerabat pemiliki atau rekan sebisnis. Kenapa?. Jawabannya sederhana, pasang iklan di televisi tidak murah. Silahkan saja dicari sendiri hitung-hitungannya, toh ini hanya opini bukan sebuah riset atau survey.

Ini ingin bicara soal bagaimana media televisi menjadi salah satu dari sekian banyak media untuk "jual diri" para caleg dan calon DPD - promosikan diri. Namanya jualan, tentu akan menampilkan kelebihan produk yang dijual, dan karena produk yang dijual adalah diri sendiri, slogan/moto, wajah yang hampir semuanya tersenyum lebar di foto-foto dan video dengan diperkuat narasi yang mencerita sosok, kiprah dan tentunya apa yang akan dibuat. Substansi dari kemasan produk diri inilah yang aku sebut dengan "Big Sale"; banyak orang mendadak paham persoalan rakyat, mendadak melek data kurang gizi, data rakyat miskin, data kerusakan alam, mendadak sangat peduli pada etnis tertentu, mendadak (seolah-olah) paham prosedur pencairan dana untuk mengurusi pendidikan gratis, berobat gratis dan menyediakan sarana dan prasarana. Sikut menyikutpun terjadi dan muncul dengan bahasa "black campaign". Tidak lebih-tidak kurang seperti penjual obat. Padahal, negeri ini butuh dari sekedar orang yang jualan tetapi orang yang mengerti potensi/kekuatan rakyatnya, bagaimana menjadikan rakyatnya percaya diri mengolah potensinya dengan membantu memberi akses terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar dan menjelaskan bahwa pendidikan dan kesehatan gratis adalah kewajiban negara yang harus dipenuhi dan bukannya jadi jualan untuk prasyarat terpilih.

Di sini, rakyatpun dituntut harus cerdas. Tapi, siapa yang mencerdaskannya. Dari "pelayan publik" sampai militer sibuk menggalang aksi mendukung jagoannya masing-masing, bukan mencerdaskan bahkan kalau bisa rakyat gak boleh cerdas biar enak dibodoh-bodohi dengan selembaran lima puluh ribu ketika kampanya, makan dibayarin ketika bertemu caleg, berobat dibayarin, dan menit-menit menjelang pencoblosan ada yang disebut serangan fajar.

Bi Sale di tahun politik bisa dilihat dengan hampir setiap sudut kota jalannya dibenerin - dicor. Mobil pribadi banyak penumpang, ambulans gratis sampai angkot yang berubah cat jadi warna khas dengan warna partai tertentu disertai wajah caleg dan nomor urutnya dan slogan masing-masing serta contoh surat suara. Selebihnya akan ada kaos oblong, VCD/DVD, bulletin dadakan, kalender dadakan, fanpage FB, status berisi aktitifitas setiap caleg.

Tidak banyak yang hendak kukatakan di sini. Aku hanya mau bilang. Anda-anda masih belum mampu mengguggah saya. Mungkin saja saya sudah apatis atau paranoid atau hopeless...tapi tetap saja ini harus saya dan seluruh warga yang masuk dalam DPT lewati. Kalau tidak, akan dianggap golongan putih. Kalau kemudian memilih golongan putih, tetap negeri ini akan dikuasai oleh para tukang jagal yang mendadak jadi malaikat dan para pasukannya. Saya tidak akan golput dan saya juga belum hopeless karena pasti ada satu atau dua orang di sana yang betul-betul pro rakyat dan mereka tidak terlihat karena berada diantara tumpukan orang serakah berbaju tebal dan mahal serta selalu memilih berdiri di atas pundak orang-orang tidak mampu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...