Selasa, 01 April 2014

Teriakan Hati (opiniku)

Sedikit melihat ke belakang, beberapa minggu lalu. Inipun dipicu oleh pemberitaan media televisi dua hari terakhir tentang seorng anak berusia tujuh tahun, kelas satu Sekolah Dasar di Makasar yang meninggal diduga karena dikeroyok oleh tiga orang kawannya. Hati saya selalu rasanya mau berteriak bukan karena aku adalah ibu dari salah satu anak yang usianya tujuh tahun dan membayangkannya terjadi pada anaku, tetapi karena lagi-lagi manusia seolah-olah tidak bernilai manusia di hadapan manusia lain. Dan, itu terjadi pada siapa saja, pada setiap kelas, setiap kelompok usia, tanpa kenal jenis kelamin. Sebelum ini, satu kasus terjadi pada remaja Sekolah Lanjutan di Jakarta, yang meninggal karena dibunuh oleh dua orang teman akrabnya. Berikut, seorang anak juga dianiaya oleh mantan pacar ibunya.

Aku tidak hendak membahas peristiwa di atas. Ini adalah sebuah peristiwa serupa yang terjadi di depan kedua mataku dan tentunya membuat lagi-lagi hatiku berteriak, meneriaki apa?. Sudah tidak jelas, sepertinya masih berkutat pada "Nilai Kemanusiaan".

Suatu pagi, aku menjalani tugas rutin mengantar anak tujuh tahunku ke sekolah. Tugas yang sudah kutekuni dalam sembilan bulan ini sejak anaku masuk SD. Sampai di depan sekolah, sepeda motorku melaju perlahan karena mesti berbelok kanan menuju ke halaman sekolah. Bukan sekedar melaju pelan, aku harus mengerem hingga berhenti, karena di depanku ada seorang ibu yang menggiring sepeda, sepertinya juga mengantar anaknya. Di depan si ibu ada beberapa anak perempuan sedang berjalan pelan menuju halaman. Di belakang si Ibu, ada seorang anak laki-laki yang juga mulai mengayuh pelan sepedanya dan bahkan berhenti dan aku melihatnya berusaha turun. Kami semua berada pada satu jembatan kecil yang menghubungkan jalan besar dengan halaman sekolah, dan jembatan itu menjadi jalan melintasi parit dengan ukuran sekitar 3 meter.

Sedikit mundur perhatian pada seorang anak laki-laki yang mengayuh sepedanya dan bahkan berhenti (sepertinya mengikuti Ibu yang di depan karena memang rombongan anak perempuan di depan masih terlihat berjalan pelan). Aku masih berhenti, memberi kesempatan kepada anak itu untuk tetap di depan terlebih dahulu sekaligus juga memberi peluang anak-anak perempuan dan si Ibu selesai melewati jembatan. Tiba-tiba, mataku tertuju pada kaki si anak lelaki yang berusaha diturunkannya ke sebelah kiri, turun dari sepedanya, dan seketika kaki sampai pada sisi cor-coran jembatan, iapun tergelincir dan masuk tersungkur ke dalam air parit (disebut juga sungai oleh warga) bersama dengan sepedanya. Spontan, semua heboh dan anak itupun menangis kesal, ketakutan, mungkin kedinginian dan mungkin juga malu. Akupun memilih memarkirkan motorku, untuk juga memberi ruang di jembatan yang sempit itu bagi yang lain. Aku tidak melihat siapapun datang menolong anak itu untuk naik dari parit itu atau menghibur untuk menenangkannya. Bahkan diriku sendiri lebih memilih menenangkan anaku yang berumur belum genap tiga tahun (ikut mengantar si Abang) yang malah hendak berlarian kesana-kemari ikutan memastikan apa yang terjadi. Ada satu orang Ibu dari teman sekelas anakku yang mencoba menghampiri hendak menolong anak itu dan akupun bergerak lambat ke sana dengan satu anak di tangan kiri (si Abang), dan satu lagi di tangan kanan (Si adik). Tetapi, tentu saja tidak ada yang bisa kulakukan secara tekhnis misal mengulurkan tangan pada anak lelaki itu agar dia naik, karena tanganku terpaku pada anak-anakku. Aku pun hanya berteriak meminta anak itu naik dan mencoba menghiburnya sembari meyakinnkan tidak terjadi apa-apa dengan sepedanya. Itupun dilakukan oleh Ibu dari teman anaku. Kulihat ia mengulurkan tangannya, tetapi anak itu masih kekeuh menolak naik dan masih menangis di dalam parit berisi air dan sudah ada sepedanya juga di dalam air itu. Semakin banyak pula gerombolan anak-anak lain yang mencoba membujuk ia naik dan memastikan sepedanya tetap aman jika ditinggal di dalam air untuk sementara waktu. Namun butuh waktu lama untuk meyakinkan anak itu naik, untuk kemudian kembali pulang ke rumah untuk ganti baju dan balik lagi ke sekolah untuk mengikuti ulangan.

Yang "menarik", sebelum anak itu naik, ada satu orang Ibu berteriak memanggil anaknya sendiri. Bukannya membantu, si Ibu malah dengan suara lantang bicara pada anak perempuannya, "Itu tu kalau nakal, kamu akan seperti itu. Itu anak naka itu!". Tidak jauh dariku, berdiri seorang guru, dan tidak terlihat sedikitpun khawatir. Aku bertanya, "Bu, itu murid kelas Ibu, khan?.". "Iya", jawabnya sambil berjalan pelan menuju TKP. Mulutnya terus bicara, "Biarin, anak itu memang nakal!". Di TKP aku juga menyaksikan satu orang lagi guru yang sedang berteriak hampir sama, meneriaki "kenakalan" anak itu. Akupun menghampiri si Guru kelas yang berjalan pelan berusaha menceritakan peristiwa yang sebenarnya, bahwa itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan nakal. Itu kecelakaan yang bisa menimpa siapa saja. Tetapi tidak digubris.

Cerita ini tentu berakhir dengan si guru yang menggunakan otoritasnya memutuskan apa yang mereka anggap baik bagi muridnya. Tetapi peristiwa ini membuat hatiku berteriak kepada dua orang guru yang tidak berbuat apa-apa malah membuat tambah malu dan khawatir si anak didiknya dengan mengatakan itu akibat kenakalannya, sekaligus memberikan contoh kepada anak lain bahwa peristiwa itu sebagai dampak atau efek dari sebuah kenakalan dan wajar terjadi pada anak nakal. Bahasa sederhananya seolah-olah "anak nakal wajar celaka, atau tidak apa-apa celaka". Bukannya menggugah rasa peka anak, sekedar berempati dan membantu kawannya sendiri. Hatiku juga berteriak pada si Ibu yang menjadikan peristiwa itu sebagai contoh bagi anaknya yang mungkin dia pikir jauh lebih baik, bahwa jika anaknya tidak terus menerus menjadi baik, dia wajar celaka seperti itu. Terakhir, tentu aku juga berteriak pada diriku sendiri, tidak segera membantu secara tekhnis, mungkin dengan menarik tangan anak itu dan meninggalkan anakku yag berusia dua tahun itu untuk sementara, meskipun mungkin ia bisa juga lari kemana-mana dan bahkan terjun juga ke parit. Aku hanya mampu menyarankan si Abang, karena itu juga teman sebayanya meski tidak satu kelas, untuk menolong anak itu setidaknya dengan memintanya keluar dan berhenti menangis dan segera pulang untuk mengganti baju sebelum ia kedinginian dan kehilangan kesempatan ulangan hari itu. Ya, hanya itu yang bisa kulakukan.

Ini bicara soal empati dan kepekaan sosial yang sesungguhnya tidak ada mata pelajarannya di sekolah. Namun, ini sesuatu yang menujukan kualitas rasa kemanusiaan kita. Namun, masih begitu besar "gap" antara manusia karena cap-cap nakal, apalagi bagi seorang anak yang berada pada lingkaran yang mewarisi cara mendidik dengan memberikan hukuman pada anak yang didik yang dianggap nakal. Peristiwa ini seperti hukuman setimpal yang harus diterima oleh anak karena ia nakal. Aku sendiri masih mempertanyakan mengapa selalu ada isitilah "anak nakal" untuk hal-hal di luar keinginian kita orang dewasa yang dilakuakan oleh anak-anak. Guru-guru harusnya memiliki kemampuan merangkul "anak-anak nakal", karena mungkin saja ada persoalan dengan keluarganya. Mungki saja "tangki cinta" si anak sudah sangat kosong, orang tua tidak sadar pentingnya mengisi tangki itu. Yah, kalau begitu berat menjadi guru. Tentu. Menjadi guru masa kini dituntut tidak hanya mengajar mata pelajaran tetapi juga melakoni peran "parenting-pola asuh". Itu mengapa setiap sekolah ada guru BP (Bimbingan Pelajar). Orang tua tentu memiliki peran sentral di sini, karena pola asuh di keluargalah tempat semuanya berakar. Berikut, kerjasama dan keterbukaan antara guru dan orang tua juga harus diberi ruang yang lebar untuk memiliki satu kesepahaman atas anak. Pola komunikasi yang baik juga harus dibicarakan antara guru dan orangtua. Jika proses ini bisa dilewati, aku kira tidak sulit bagi guru untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran lain yang sudah baku. Aku coba pahami, mungkin karena orang dewasa sekarang, guru-guru sekarang dan bahkan para orang tua sekarang adalah produk dari sistem pendidikan, baik formal di sekolah maupun non-formal (misal di keluarga)  yang memang tidak memfokuskan pentingnya membangun kepekaan sosial, empati, dan tanggung jawab.

Anak nakal menjadi label yang sering melekat pada anak yang kritis dan tidak manut pada aturan dan perintah orang tua dan guru. Kecenderungannya destruktif (kegitatan dan tindakan yang merusak) karena tidak mendapat tempat penyaluran yang tepat dan tidak diberikan ruang oleh orang tua dan guru. Orang tua sibuk sendiri, dan tidak mulai menempatkan anak sebagai "orang penting" - untuk diperhatikan dengan setidaknya menanyakan perasaannya. Anak juga sering dianggap tidak berhak tahu kesibukan, pekerjaan dan bahkan hal-hal sederhanan semisal jadwal orang tua, malah cenderung berbohong karena tidak mau ribet dengan pertanyaan anak. Prilaku ini sering dibungkus dengan kalimat "memandirikan anak atau mendewasakan anak" padahal belum saatnya. Anak hanya butuh diberikan rasa aman, nyaman dan merasa dianggap ada dan dicintai. Toh, eksistensi diri itu menjadi kebutuhan setiap makhluk hidup, bukan ....???


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...