Rabu, 17 Desember 2014

Narasi Kota di Kelilingi Gunung, Palu

Berandai ini adalah kesempatan terakhir, aku ingin menuliskan tentang sebuah kota, sebuah lembah di kelilingi gunung, Palu. Kesempatan di akhir tahun untuk mengunjungi kota ini pertama kali setelah sekian lama tempat ini sudah menjadi rumah kedua si Daddy. Kepergianku pun karena jadi 'sertaan' nya berbungkus pekerjaan tentunya. Bagaimana tempat ini sudah menjadi seperti rumah kedua baginya bisa kuilustrasikan dengan "bahkan aku sendiri seperti sedang bertamu dan dia tuan rumah" meskipun aku datang bersamanya.

Di luar itu semua, ini sama sekali bukan tentang pekerjaan. Sebelumnya, aku hanya mendapati semua itu dari jepretan si Daddy dan cerita soal keindahan yang terkadang rasanya seperti semakin menyisihkan dan menyudutkan aku dari rasa bahagianya yang semestinya juga bisa kunikmati. Sekarang, aku hanya ingin menarasikan keindahan teluk Palu dan indahnya lampu malam serta suasana tepi laut yang sempat kuabadaikan dengan Kamera EOS 60D, dengan lensa 50 MM. Itu semua bukan dari cerita, tapi yang kusaksikan sendiri meskipun ini belum seberapa dan belum menjadi jawaban atas kebinaran Daddy setiap bercerita tentang tempat-tempat yang ia kunjungi di tiap sudut pegunungan di Sulteng itu. Ini kuibaratkan hanya di beranda saja.

Suatu hari usai pertemuan, kami; aku dan suamiku dan dua orang teman bertolak seiring senja berlabuh. Kami menuju ke arah entah mana, tak terlalu kupedulikan. Yang kutahu itu adalah kampung halaman temanku, berada di tepi laut, bernama Limboro. Tanpa kusadari, aku memberi kesempatan sejenak agas-agas menggigit kulitku dengan kejam sementara aku berpindah-pindah mencari spot untuk merekam gambar perahu nelayan dan ombak meliuk di pantainya. Ah, sayangnya rintik hujan dan awan hitam tak mengijinkan menyaksikan matahari terbenam. Menjelang malam kami kembali ke kota Palu dan aku sempat menikmati temaram lampu sepanjang jalan di pinggir pantai. Berhenti sejenak di kantor temanku untuk makan malam, aku dan Daddy kembali ke Hotel Sutan Raja tempat kami menginap.

Sekelumit perjalanan ini bermuatan cerita indah dari lima komunitas di tiga Kabupaten di dataran tinggi Sulawesi Tengah. Tentang mereka, para petani cengkeh, petani nilam, dan petani kakao yang mencoba bertahan dari masa ke masa dari gerusan pembangunan dalam bentuk ekspansi modal besar perusahaan perkebunan skala besar sampai ke taman nasional. Ya... cerita yang sama memang bergulir dimana-mana, konflik komunitas masyarakat yang berada di sekitar hutan dengan pengelola perkebunan ataupun dengan pengelola taman nasional.

Poin menarik dari seluruh rangkaian perjalanan selama empat hari ini, aku bertemu dengan orang-orang yang membuatku penasaran dengan keindahan dataran tinggi, ditambah lagi beberapa orang dari mereka mulai mempromosikan keindahan tempat-tempat seperti situs-situs purbakala.

Senin, 03 November 2014

Don't Judge the Book from Its Cover: Untuk Sang Menteri Susi Pudjiastuti "The Inspirator"

Adagium Don't Judge the Book From its Cover - Jangan Menilai Buku Dari Sampulnya menjadi kembali populer akhir-akhir ini. Istilah ini mengemuka ketika pengumuman Menteri kabinet Jokowi-Jusuf Kalla, yang dinamai dengan "Kabinet Kerja". Di Kabinet kerja ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi salah satu kementerian yang baru pertama kali dijabat oleh perempuan. Isu di bidang kelautan sekaligus merupakan prioritas program kerja Jokowi dengan mimpi "Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia". Namun, masyarakat dikejutkan dengan dipilihnya seorang perempuan bernama Susi Pudjiastuti. Ia menjadi sorotan publik bukan saja karena dia wajah baru di Kementerian tetapi karena dia hanya tamatan SLTP, memiliki penampilan yang unik (dianggap nyentrik) dengan kebiasaan merokok dan bertato di kakinya.

sumber: http://media2.coconuts.co
Dipilihnya Menteri Susi Pudjiastuti mengundang pro dan kontra. Menarik sekali melihat realitas bahwa banyak juga para pakar yang berargumentasi soal ketidaklayakan perempuan satu ini menjadi Menteri karena dianggap tidak berkompetensi dan berpengetahuan di bidang tekhnologi kelautan dan perikanan mengingat latar belakangnya dari pebisnis atau pengusaha yang merintis usaha "berjualan" ikan dan lobster. Namun melampaui sekedar pengusaha berjualan ikan dan lobster, ia merupakan seorang navigator handal yang mengetahui titik-titik koordinat laut Indonesia yang memiliki potensi, misalnya dia tahu persis menggambarkan titik koordinat tempat dimana ikan jenis Black Tiger yang masih di kawasan perairan Indonesia tetapi ikan ini diklaim oleh Eropa dan dijual dengan harga yang sangat mahal disana. Dan, terpenting lagi adalah bagaimana ia membangun sayap bisnis mulai dari hanya seorang pengepul ikan dan lobster kemudian merambah ke ekspor lobster ke luar negeri yang menjadi awal ia merintis perusahaan penerbangan miliknya, Susi Air, bermula dari kebutuhan untuk menjangkau atau membeli lobster di wilayah-wilayah yang susah dicapai sampai kemudian perusahaan ini bermetamorfosa menjadi perusahaan penerbangan penumpang (passangers flight). Ia bahkan ikut andil membantu para korban Tsunami Aceh dengan perusahaan penerbangannya.

Ada banyak hal dari pengalaman Ibu Susi selama lebih dari 30 tahun menekuni bidang usahanya yang seharusnya bisa memalingkan orang dari soal ijazah SMP, merokok dan bertato. Tetapi, realitanya masih banyak, bahkan para pakar merasa "terancam" atau merasa "tidak dianggap" bahkan dilecehkan gelar akademisnya hanya karena ada Menterri hanya seorang yang berijazah SMP. Tapi, banyak juga simpati dan dukungan terhadapnya, yang coba membedakan antara profesionalisme dengan pilihan cara hidup dan gaya hidup. Ibu Susi sendiri dengan bangga mengungkap soal profesionalismenya dalam hal manajemen mulai dari perencanaan dampai pada kemampuannya mengorganisir orang serta kepribadiannya yang open-minded, berintegritas, independent (misalnya pernyataan soal dirinya tidak bisa disuap), dan pekerja keras. Itu ia ungkapkan dalam sessi wawancara dengan sebuah televisi swasta di Jakarta, dimana ia mempertegas bahwa kompetensi seperti itulah yang diharapkan dari dirinya sebagai seorang Menteri sekaligus ia mengakui kekurangan pengetahuannya di bidang tekhnologi laut dan perikanan. Terkait dengan ini, ia juga menantang para ahli untuk bekerjasama dengannya mengisi kekurangan itu dan ia juga mempertegas bahwa di departemen yagn ia pimpin juga tak kurang orang yang ahli yang siap untuk diajak berkerja sama dalam sebuah tim.

Merespon bagaimana komentar terhadap dirinya dan bagaimana ia selalu diuber-uber oleh awak media, suatu hari Menteri Susi menjawab, "Saya ini menteri apa selebritis sih, anda kejar-kejar saya terus. Saya jadi tidak bisa kerja. Hari ini saja saya belum kerja, anda "tangkap' saya." Tapi inilah bentuk keingintahuan masyarakat, dan uberan media ini tentu harusnya juga meluruskan banyak hal yang sering dipercayai sebagai kebenaran misalnya pendidikan tinggi atau gelar akademis akan berkontribusi positif terhadap kesejahteraan hidup masyarakat karena itu salah satu jaminan mendapat pekerjaan yang lebih layak atau setidaknya menjadi pegawai negeri sipil dengan poin yang tinggi dan berpengaruh pada karir dan golongan. Ini terlihat dengan selalu meningkatnya peminat atau pendaftar tes CPNS yang berbanding terbalik dengan formasi yang diminta atau kemampuan/daya serap masing-masing institusi. Orang-orang seperti Ibu Susi memang tergolong langka, tetapi sudah cukup banyak juga di dunia dengan catatan sukses merubah kehidupan banyak orang dengan mereka membuka ruang pekerjaan bagi orang lain dan mereka juga memiliki kepekaan terhadap persoalan masyarakat di tingkat bawah melampui para pejabat publik berdasi yang membuat kebijakan berdasarkan pesanan dari kelompok tertentu dan mengatasnamakan kepentingan masyarakat, sementara mereka sendiri tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan menganalisa persoalan yang sesungguhnya. Sederhananya, apakah pakar-pakar yang bergelar akademis dan menghujat serta meragukan kompetensi Ibu Susi tahu apa persoalan nelayan, apakah mereka sudah tersentuh kebijakan terkait kesejahteraan nelayan?. Ibu Susi hadir ditengah ketidaktahuan dan absennya kalangan elit ini dengan membeli lebih mahal tangkapan lobster nelayan meskipun kemudian lobster tersebut tidak ia jual lagi tetapi ia lepaskan karena lobster-lobster itu sedang bertelur. Ia membeli lobster itu karena ia mempertimbangkan bahwa nelayan tidak mungkin dilarang menangkap atau disuruh memilih lobster yang tidak bertelur karena ini berdampak ke penghasilan mereka (setidaknya ini satu diantara banyak hal jika bicara kebijaksanaan Ibu Susi yang dilansir sebuah media). Di samping itu, ia sendiri sadar bahwa lobster-lobster bertelur itu akan menghasilkan lobster-lobster lain (produktifitas mempertimbangkan reproduksi) dan menjaga hubungan simbiosis mutualisme antara ia sebagai pengusaha, nelayan dan keberlanjutan spesies lobster.

Suatu hari, Sang Menteri berkebaya hitam nan elegant, sehari setelah pelantikannya sebagai Menteri Kelautan & Perikanan di Televisi Swasta Jakarta, ia bicara soal prioritasnya: Tata Ruang, Komersialisasi perikanan, kesejahteraan nelayan, advokasi nelayan dan illegal/destructive fishing. Ia jg memuji staf-stafnya di kementerian yang dia anggap open-minded. Dengan pernyataan-pernyataannya yang tidak bertele-tele, tidak mengawang-awang, menurutku ia juga menegaskan dirinya yang memiliki integritas, independen (bahasa bu Susi, "Saya tidak bisa disuap") dan mampu mengelola peluang serta mengorganisir sumber daya bermodalkan pengalamannya selama ini. Dan, hal yang mengetuk hati adalah komitmennya yang tidak dilandasi ingin kaya, ingin populer dan pengakuan tetapi komitmen membuat bidang kelautan Indonesia lebih maju, sehingga ia juga menyatakan siap mundur jika dianggap kinerjanya tidak baik. Dan, hanya selang beberapa hari ia diwawancarai ini, ketika ia berkesempatan bertemu dengan para nelayan di Pangandaran, ia bahkan menyatakan akan memberikan gajinya sebagai Menteri kepada para pensiunan nelayan dalam bentuk asuransi. Saya tidak heran, kepulangan Ibu Susi di Pangandaran disambut antusiasme warga, karena ia sering sekali terlibat (ini yang saya sebut wujud egaliter sang Menteri satu ini) dalam pelelangan ikan bersama para nelayan, dengan duduk dibangku yang ia klaim sudah 15 tahun ia duduki dalam proses pelelangan ikan ditemani secangkir kopi. Ia berbaur dengan orang-orang masih sama persis ketika ia belum menjadi menteri. Semoga ini awal yang baik ya bu Susi.

Ya .... cerita tentang Ibu Susi Pudjiastuti mungkin kelak menjadi salah satu rujukan di Indonesia bahwa kita tidak bisa menilai orang dari fisik dan pilihan hidup. Apa yang salah dengan pilihan hidup Ibu Susi merokok dan menato kulitnya, toh ia tidak menggunakan uang rakyat - tidak merampok (baca: korupsi). Melihatlah dengan jernih dan bedakan antara kualitas, kompetensi dan pengalaman dengan kostum, penampilan dan juga jenjang pendidikan. Apalagi, semakin hari, jenjang pendidikan tidak berpengaruh terhadap kemampuan seseorang bahkan untuk mengukur sukses, kecuali Pegawai Negeri lah ya ... Yang jelas, menjadi Menteri juga tidak ada kriteria tertentu untuk jenjang pendidikan, dan sepertinya ini salah satu kehebatan Presiden Jokowi dalam membaca peluang, ia memberi ruang bagi para kaum profesional di kabinetnya untuk bisa berbuat bagi negara, bersanding dengan para elit parta dan kaum terpelajar (berpendidikan tinggi) untuk meretas jarak atau kelas, bersama-sama dengan apa yang mereka miliki untuk menuju Indonesia yang lebih baik. Kabinet toh bukan hanya kaplingan elit partai dan para cendekiawan dengan gelar seabrek. Selamat bekerja Ibu Susi Pudjiastuti, banyak tugas menantimu dan semoga tetap menjadi dirimu yang memiliki visi ke depan dengan mempertimbangkan keberadaan masyarakat di sekitarmu, utamanya para nelayan.




Sabtu, 25 Oktober 2014

EMPAT HARI REUNI, BELAJAR DAN DE JAVU: Training of Facilitator (ToF) untuk Pendamping Hukum Rakyar (PHR) 2014

Kreatifitas dan inovasi adalah dua kata sifat (kreatif dan inovatif) yang berubah menjadi kata benda dengan pengertian yang sangat aktif. Dikatakan aktif karena keduanya memiliki makna mendalam tentang penggalian ide dan gagasan menjadi bentuk yang kongkrit, dari yang sekedar berkutat dikepala dan terpikirkan menjadi berbentuk dan tergapai oleh indera manusiawi kita. Kedua kata, kreatif dan inovatif ini menjadi tugas pentingku dalam empat hari pada empat hari lalu. Tugas memfasilitasi orang-orang hebat yang sudah berkecimpung di pemberdayaan masyarakat dengan dimensinya masing-masing. Mereka adalah aktivis dari beberapa kampung dari beberapa Kabupaten dan juga aktivis dari Pontianak. Sebut saja aktivis dari AMA-JK Ketapang, JAKA-Melawi, SKAK-MAD-Kapuas Hulu, Tokoh Masyarakat Dayak Ds. Sungai Garong-Melawi dan beberapa aktivis dari lembaga di Pontianak seperti PSE, Gemawan, Pentis Pancur Kasih, CU FPPK, PPSDAK Pancur Kasih, dan SAMPAN. Aku memiliki kesempatan belajar dari orang-orang hebat ini bukan saja karena mereka aktivis tetapi diantara mereka juga adalah orang-orang yang lama kukenal dan dalam relasi kami mungkin tak banyak waktu untuk belajar bersama selain hanya sekedar bertegur sapa seadanya, bertanya kabar dan sedikit bertanya informasi terkini di kampug mereka untuk yang berasal dari kampung. Sedangkan untuk beberapa peserta, justeru mereka adalah sahabat dan kawan menikmati “me time” dengan berkaraoke dan terkadang cuap-cuap sekenanya. Beberapanya bahkan orang-orang yang baru kukenal. Kesemuanya, orang-orang ini secara langsung maupun tidak langsung, mereka sadari atau tidak, mereka turut menambah isi pundi-pundi ilmuku, dan semakin memantapkan proses belajarku di dunia ini. Beragam pengalaman menarik seputar metode dan tekhnik fasilitasi pun kudapatkan, termasuk perbedaan substansi dan konteks pengalaman mereka. Ada yang berpengalaman melakukan motivasi dan sosialisasi Credit Union - CU, ada yang berpengalaman memberikan pelatihan pertanian kepada masyarakat, ada yang berpengalaman mengorganisir kelompok dalam organisasi di kampung, berpengalaman mengorganisir pertemuan-pertemuan multipihak dan antar komunitas dan ada juga yang berpengalaman sering menjadi narasumber pada pertemuan-pertemuan mahasiswa sampai pada mengorganisir aksi.

Dan yang paling spesial juga adalah ini kesempatan aku belajar dan reunian dengan Sainal Abidin, seorang kawan dari Lembaga Wallacea, Palopo-Sulawesi Tengah. Kawan yang punya segudang pengalaman memfasilitasi di berbagai daerah, dan kami pernah berkesempatan belajar bersama berguru pada Mbak Julia Kalmirah dan Rival Gulam Ahmad dalam Training of Trainer yang difasilitasi oleh HuMA tahun 2010 silam. Dan perjumpaan kami ini lagi-lagi difasilitasi oleh HuMA dan Lembaga Bela Banua Talino, dua lembaga yang bergerak dalam pemberdayaan sumber daya hukum masyarakat. HuMa berbasis di Jakarta dan memiliki mitra di berbagai daerah seperti Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, dan Jawa Barat. LBBT berbasis di Pontianak dan memiliki wilayah dampingan/fasilitasi di Kabupaten Sekadau, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Bengkayang dan Melawi.  Lembaga ini memiliki kesan tersendiri karena sebelas tahun (2000-2011) aku menimba ilmu tentang hukum kemasyarakatan (baca:hukum rakyat) dan banyak hal tentang Masyarakat Adat.

Kami menghabiskan waktu empat hari di luar kota yang hanya berjarak satu jam 45 menit saja dari Kota Pontianak, yakni Desa Terap, Sarikan-Toho, tepatnya di Biara Rivotorto yang dikelola oleh seorang Suster Tua bernama Gratia. Empat hari yang berat dimana aku harus berkawan dengan meriang, sakit kepala dan hidung mampet (gak sampe meler) karena flu dan terpaksa harus berkawan juga dengan satu strip obat. Empat hari yang tak terasa karena bagiku belajar itu selalu menyenangkan apalagi bersama dengan orang-orang yang penuh suka cita berbagi:

Hari Pertama; Mengajak mereka lebih dekat satu sama lain dengan membuat “potret wajah kawan”, sehingga membuka keraguan untuk saling memberi dan menerima, tentu dalam konteks substansi pertemuan ini. Dengan tiada berjarak, kami (aku dan enal – panggilan Sainal Abidin) menggali pengalaman mereka dan mengajak mereka mengingat dan melihat kembali kekuatan mereka dengan Kartu Tarot. Kayak tukang ramal ya ...yang ini caranya Mbak Ijul-panggilan Julia Kalmirah sang Guru kami ketika pertama kali berkenalan dengannya di satu pertemuan oleh LBBT ketika aku masih bekerja di situ. Hari pertama ini berakhir dengan berakhir dengan pernyataan mereka sendiri tentang apa itu fasilitasi/fasilitator yang berawal dari tiga kata saja dari masing-masing orang (dari 20 orang) dan juga sedikit amunisi bagi mereka tentang apa itu PHR dalam konteks Kalimantan Barat dan mengapa PHR butuh keahlian memfasilitasi. Ini sekedar mengingatkan (karena ada beberapa yang baru sekali dengan istilah ini), dan kami dibantu Dunasta sebagai narasumbernya, mencuri waktunya yang juga sedang sangat sibuk. 

Hari kedua; memberikan sedikit konsep Vibrant Facilitator, berbasis pengalaman dan pendekatan menggunakan Asset Based-Thinking (bukannya Defisit Based-Thinking yang lazim dipakai dalam pertemuan-pertemuan selama ini). Nah, yang ini tentu bung Enal ahlinya dengan hanya melakukan duplikasi dari pengalaman fasilitasinya di beberapa daerah sebelumnya. Aku bermain dengan metaplan dan spidol warna warni yang berakhir di tembok aula pertemuan dalam berbagai bentuk seperti  Mind Map, Diagram T dan juga sekedar tempelan yang berpola tetapi memuat reume dan kesimpulan dari apa yang disampaikan oleh peserta untuk membantu mereka menyimak dan tidak berkutat dengan catatan mereka.
 
Hari ketiga; aku dan enal memberi kebebasan mereka berkreasi dengan berbekal konsep, metode dan aplikasi yang sudah diberikan pada hari kedua. Dalam kelompok, mereka berkesempatan untuk bernostalgia dengan pekerjaan mereka selama ini yakni memfasilitasi tetapi dengan metode, tekhnik dan pendekatan baru. Dan, kesemuanya  berbasis pengalaman mereka. Ada hal menarik dari setiap kelompok, mereka dengan tanpa sengaja memilih metode role play dan menggunakan pendekatan kasus. Tetapi, ini menunjukan realitas apa yang mereka hadapi dan lakukan selama ini tidak bisa lepas begitu saja mendominasi cara pandang, cara kerja dan analisa mereka dalam konteks fasilitasi. Terlihat, mereka mulai menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini bukan memfasilitasi, cenderung sekedar (sekonyong-konyong) seperti pemberi solusi tanpa pemahaman substansi dan konteks, menggurui dengan teori-teori dan opini pada slide power point yang berakhir pada tanya-jawab dimana masyarakat kurang lebih seperti gelas kosong yang mereka isi, dan tentu saja tidak banyak berkreatifitas dengan alat-alat yang berpola dan berwarna warni, apalagi menggunakan apa saja yang tersedia di kampung ketika “power point” tidak bisa menyelamatkan mereka karean tidak listrik misalnya. Tapi semua ini tidak terlalu penting, karena semua itu butuh proses dan kemauan untuk mencoba ketika mereka pulang ke habitatnya masing-masing. Yang terpenting di sini adalah kerelaan mereka dalam berpartisipasti penuh tanpa penolakan sama sekali terhadap kelompok yang akan praktek fasilitasi dan memaksa mereka terlibat berulang kali. Mereka penuh antusiasme, kadang diselingi kejailan dan kenakalan kecil, tak berlebihan. Tanpa, mereka sebetulnya sedang menjadi guruku yang sempurna, yakni bagaimana menghargai setiap orang dan menjadikan setiap orang bermakna, tanpa ada yang ‘dikecilkan’ dan ‘dikucilkan’.

Hari keempat; berlanjut dengan praktek fasilitasi dengan memperhatikan beberapa catatan dari hasil pengamatan sesama mereka dan catatan dari aku dan enal. Kami menambahkan beberapa hal substansi dalam terkait Dinamika Kelompok, bagaimana mereka memahami dinamika keterlibatan dalam keberagaman sebuah kelompok dari latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang berbeda dan cara pandang yang berbeda pula sebagai salah satu tugas penting dari seorang fasilitator. Ini adalah hari terakhir, dan kesan membahagiakan bagiku adalah ketika setiap orang merasakan mereka belajar sesuatu dari proses ini. Sebuah refleksi menarik dari beberapa orang terungkap kira-kira begini, “selama ini kita dengan bangga merasa sebagai fasilitator, memfasilitasi dimana-mana, ternyata kita tak lebih dari sekedar narasumber.” “Kita sudah menggunakan metode seperti ini, tetapi belum mendalami tekhnik dan masih belum memaksimalkan alat bantu dan jarang memperhatikan etika, seperti bahasa-bahasa yang digunakan termasuk bahasa tubuh yang penting diperhatikan dalam fasilitasi”.

Delapan jam sehari, dengan menyisakan waktu malam hari untuk mengendapkan segala sesuatu yang sudah kami pelajari bersama. Di hari ketiga, kami memilih menggunakannya untuk malam keakraban dengan barbeque party dengan banyak potongan ayam dan entah berapa ekor ikan ditemani beberapa minuman. Menariknya, ini juga malam yang betul-betul menstimulasi hormon endhorpine kami karena banyak tertawa mendengarkan candaan lucu hampir semua peserta secara bergiliran. Dari sini lahir beberapa istilah "akai", "ancore", dan "nakal" dibalik cerita lucu mereka. Aku juga berkesempatan hunting beberapa gambar bunga dengan lensa makro dan beberapa candid-an dengan lensa 18-24. Kalo kata Adam, "fasilitator merangkap dokumentasi", tapi sesungguhnya membiasakan diri (baca: belajar) tekhnik photografi.

Yah, itulah proses belajarku bersama kawanku enal dan 20 orang peserta ToF yang diselenggarakan HuMa dan LBBT. Aku memberi apresiasi khusus pada kedua lembaga ini yang telah mengobati kerinduanku pada “ruang ilmu” yang selalu kusempatkan untuk kukunjungi. Semoga akan ada banyak kesempatan lagi berikutnya untuk aku belajar tentang banyak hal meskipun hanya dari “halaman belakang”. Aku tidak akan mau berhenti, karena aku tidak percaya kebenaran mutlak di dunia ini yang bisa menghentikan prosesku berpikir dan belajar sampai mati. Tapi hanya satu kebenaran, pada Dia.



 

Senin, 29 September 2014

Petualangan Nyi Oblong, Bawang Bombay dan Bawang Kucai

In the Boat Back From Sungai Garong
Ini sebenarnya behind the scene-nya pertemuan perempuan yang dilakukan oleh LBBT - lembaga tempat aku dulu belajar dan bertumbuh selama sebelas tahun. Ya, tempat mengetahui tentang perjuangan Masyarakat Adat, Advokasi konflik agraria antara Masyarakat Adat/lokal dengan pengusaha dan/atau pemodal. Tulisan tentang ide utamanya tentulah akan berkisar tentang pertemuan perempuan itu sendiri, seperti aku akan memberi judul dengan nama kelompok perempuan yang sudah terbentuk di sana dan difasilitasi oleh LBBT - Natai Sanggo. Nama ini sebenarnya nama tempat dimana kelompok perempuan ini berkebun. Itu yang terpikirkan sementara. Tentang Natai Sanggo ini sendiri akan ada dalam bagian sendiri dalam tulisan ini. 

Seperti apakah petualangan yang akan kutulis ini?. Jangan dibayangkan akan seperti cerita horor Nyi Blorong atau cerita pilunya Bawang Putih dan Bawang Merah. Cerita ini adalah cerita antara aku dan dua orang temanku. Aku dan satu orang temanku dalam cerita ini kebetulan sudah mantan di lembaga dan teman satunya lagi masih berstatus staf ketika cerita ini bergulir. Tentu saja aku tidak akan menyebut nama sebenarnya karena aku harus melindungi identitas asli kedua orang teman ini, bukan hanya karena ini cerita nyata tetapi untuk memberi privacy mereka dan mebiarkan keleluasan berfikir pembaca (kalo ada yang baca) tanpa harus berhenti dengan membayangkan para aktor cerita ini karena (mungkin saja) mereka mengenalinya.

Nyi Oblong itu adalah aku. Penamaan ini kuberikan sendiri dan kunyatakan pada suatu perjalanan ke ladang bersama dengan perempuan adat Sei. Garong ke kebun mereka. Bisa ditebak, ini ada hubungannya dengan kebiasaanku memakai kaos oblong, dan dalam perjalanan inipun semua kostum yang kubawa adalah kaos oblong berwarna hitam.

Bawang Bombay adalah sebutanku kepada si kakak senior karena badannya yang besar. Karena bobot yang berat, seringkali ia terduduk sepanjang perjalanan, baik perjalanan menuju ke Kampung Sei. Garong maupun perjalanan kami ke kebun suatu hari. Ya, kaki tidak mampu lagi menyangga badan, jadinya sering terjerembab, ditunjang lagi sandal jepit yang tidak anti-slip.

Bawang Kucai (Lokiu) adalah gelar yang kuberi kepada si kakak senior satunya lagi, yang di atas kusebut masih aktif sebagai staf di LBBT. Penamaan ini sendiri tidak ada hubungannya dengan fisik, tapi spontan saja mencari yang ada hubungannya dengan bawang, dan tidak boleh Bawang Putih atau Bawang Merah karena ini akrab sekali degan judul sinetron ataupun cerita anak tentang dua saudara tiri: si jahat dan si baik. Cerita ini sendiri jauh dari labek baik-buruk, hitam-putih, tapi hanya cerita untuk melekatkan di ingatan perjalanan bersama kedua sahabatku ini dalam rangka kerja namun bersuka cita.

Kembali ke awal cerita. Lama aku tidak bersentuhan dengan dunia luar setelah tidak lagi bekerja dan terkadang melakukan perjalanan ke banyak tempat dalam rangka pekerjaanku itu. Bertemu dengan banyak orang dan belajar dari cara hidup, cara pandang dan pengetahuan mereka. Aku mendapat tawaran untuk terlibat dalam satu pertemuan untuk perempuan adat di Sei. Garong. Ini seperti oase di tengah padang gurun, hingga aku langsung menyambutnya. Apalagi, masuk dalam daftar ini juga adalah kedua sahabatku, Si Babai dan Si Bacai. Lucu ya ...

Perjalanan kami dari Pontianak ditemani oleh satu orang teman dari Amerika yang sedang magang di Walhi, Diana. Sembilan jam perjalanan lumayan berat buatku setelah sekian lama tidak melakukan perjalanan jauh. Menyiksa karena aku mabok perjalanan darat, dipicu oleh aroma di dalam bis yang berbaur antara bau AC, parfum penumpang dan juga bau keringat. Perhentian sementara adalah Kota Nanga Pinoh, dan berlanjut dengan speed boat ke hulu Sungai Melawi sampai pada perhentian terakhir melalui sungai di Kampung Mentibar (di hulu Kec. Serawai) dan  berlanjut dengan jalan kaki sekitar satu jam ke Kampung Sei. Garong. Sebenarnya ada alternatif lain melalui Sungai Kecil - Sungai Mentibar, tetapi debit sungai kecil kala itu karena kemarau. Kami tiba sore hari, disambut ramai oleh penduduk setempat sampai pada malam hari dimana kami saling memperkenalkan diri.

Pagi hari kami mengikuti upacara adat penyambutan dengan ritual yang dipimpin dua orang Baliatn perempuan yang membaca mantra berisi doa selamat dan pengikatan tali dari kulit kayu di pergelangan tangan kami masing-masing dan  kitau manok (membawa ayam mengelilingi kami masing-masing), menggigit besi parang dan menandai dahi kami dengan darah ay
am yang telah disembelih.

Pertemuan Perempuan Adat Natai Sanggo

Kelompok Perempuan Natai Sanggo/Cam Samsung GT I-8150
Kami memfasilitasi pertemuan perempuan adat dengan menggunakan pendekatan Asset-Based Thinking, mengajak mereka melihat kekuatan mereka, lalu melakukan analisis gender. Diskusi ini berlanjut dengan mendengarkan cerita pengalaman mereka dalam melakukan pekerjaan mereka sehari-hari dan melihat kembali rencana mereka dan bagaimana mereka merealisasikan rencana itu. Menakjubkan mereka ternyata adalah ibu-ibu muda (dan beberapa perempuan tua, diantaranya yang memimpin ritual adat pagi harinya) yang cerdas, kebanyakan mereka sepertinya seusiaku tetapi beban hidup di kampung memberi kesan mereka lebih tua dari umurnya. Mengejutkan, selama proses diskusi ibu-ibu ini mengeluarkan pendapat mereka dan dalam waktu bersamaan para lelaki di rumah ini (tampat pertemuan berlangsung) selalu berusaha memotong dan menyuarakan pendapat mereka. Tidak ada kepercayaan kepada mereka untuk bersuara. Label kata "bodoh" sempat terdengar dari mulut seorang lelaki yang sebetulnya juga orang berpengaruh di situ. Mungkin kata sudah biasa digunakan dalam konteks menunjukan ketidaktahuan sehingga seperti tidak ada masalah ketika melihat reaksi ibu-ibu. Tapi jelas, dominasi sedang dipertunjukan dan mungkin saja perempuan di sini tidak terima dikatakan demikian tetapi karena sudah terlalu sering membuat mereka imun.

Muara dari diskusi ini adalah melihat seberapa besar mereka ingin membangun kelompok dan mengorganisir diri melakukan kegiatan kelompok yang telah mereka rencanakan, diantaranya membuat kebun. Kelompok itu sendiri dengan sangat mudah dibentuk dan mereka namai "Natai Sanggo". Ada beberapa kelompok lain mengikuti kelompok ini yang mereka namai sesuai dengan nama kampung mereka masing-masing dengan kegiatan yang hampir sama yakni bercocok tanam di kebun dengan komoditi yang berbeda. Proses diskusi formal ini berlangsung tidak terlalu lama, dan berlanjut dengan berkunjung ke kebun kelompok Natai Sanggo yang memakan waktu 45 menit berjalan kaki. Kami menyaksikan mereka mengolah sendiri lahan (mencangkul lahan bekas dibakar sebelumnya). Kami sekali-sekali saja meminjam pacul dan berpose mencangkul, setelahnya kami menghabiskan waktu duduk di saung sembari mengamati ibu yang kebagian tugas memasak makan siang kami, ditemani gelas-gelas tuak. Setelah makan siang pun, kami pulang.

Waktu sore kami habiskan dengan berkunjung ke air terjun versi orang lokal di situ. Menurutku, ini hanya riam/jeram. Menyenangkan karena di perjalanan ke sana kami juga sempat melihat tempat penyemain bibit karet yang dilakukan kelompok lain yang dibentuk kaum lelaki. Di jeram, aku, Babay dan Bacai serta Diana lomba menyelam, siapa yang paling lama itulah pemenang. Dan, akulah pemenang.

Ada cerita lain dibalik pertemuan perempuan ini, misalnya cerita soal dinamika kelompok di komunitas mereka sendiri, dinamika permasalahan penduduk setempat dengan perusahaan sawit yang berencana melakukan ekspansi ke wilayah mereka. Diskusi begitu mencair mulai dari advokasi kebijakan dan pengelolaan pembukuan untuk usaha yang baru mereka mulai yaitu warung sembako dan sampai ke bagaimana menata kampung diantaranya rencana mengandangkan ternak, yang awalnya tertambat dimana-mana dan kotorannya bersebaran dimana-mana bisa dimanfaatkan untuk membuat kompos dan juga membaut kampung tidak kotor. Yah, begitulaah semuanya berlangsung sampai hari keempat kami berada di kampung itu. Sore hari dihari ketiga kami ikut serta bermain volley ball.

Bumbu cerita lucu lainnya yang berkesan adalah cerita soal mimpi ngompol dimalam hari, cerita soal bagaimana susahnya ketika mau BAB atau BAK karena WC jauh. Aku sering menahan keinginan alamiah itu karena tidak kuasa harus keluar di malam gelap ke WC yang lumayan jauh dari rumah tempat kami nginap, belum lagi hujan selalu mengguyur malam disana. Keahlian melompat di kegelapan agar terhindar menginjak kotoran hewan sapipun harus kumiliki. Suatu malam, Bacai juga pernah terjerembak dan terinjak kotoran yang sudah agak hancur terhanyut oleh guyuran hujan, dan itu menjadi bahan lelucon kami. Cerita lucu lainnya di malam hari adalah cerita "mencuri" makanan sncak Diana karena kelaparan (akibat makan malam yang seadanya karena selera makan dihari ketiga sudah mengendur).

Ritme hidup pagi hari ketika bangun tidur juga menarik. Kami selalu dibangunkan oleh suara oink-oink satu keluarga babi yang berada hampir persis di bawah kamar tidur kami berempat. Aroma khas dari sana juga sering tercium dan terkadang ditambah setelan musik dari smartphone Bacai, semuanya kuanggap seperti simponi unik saja untuk memaknai petualangan ini. Sampai pada suatu hari, aku tidak lagi menikmati simponi itu karena setelan musik yang biasanya salah satu lagunya adalah "Just Give Me A Reason" , tiba-tiba berubah jadi "Surti dan Tedjo"...wah ...aku protes kepada Bacai dan tentu saja ini selalu berakhir dengan lelucon. Aktifitas rutin pagi hari lainnya adalah mandi, dan bagian ini tidak terlalu menyenangkan bagiku, karena aku penikmat pemandangan air, senang menyentuh air tapi aku tidak suka dengan rutinitas mandi.  Bagian ini selalu menjadi poin khusus bagianku di-bully oleh ketiga orang teman dan juga beberapa penduduk setempat yang kala itu bersamaan pergi ke sungai.

Suatu hari, rutinitas mandi sore kami (aku biasanya hanya cuci muka dan gosok gigi), berpindah lagi ke Jeram khusus bersama dengan Ibu-ibu. Senang sekali melihat ibu-ibu sering membuat formasi siap difoto di sungai. Kali ini, aku ikut menikmati kejernihan sungai dengan berenang cukup lama karena ini adalah kali trakhir ke tempat ini karena sebentar akan kembali pulang. Ya...diantara kami, Babay lah yang paling tidak bisa menyembunyikan kesukaannya, dia begitu bersemangat sampai celana panjang lembut tang pakai terhanyut terbawa arus air ketika ia membukanya. Ini juga bagian lucunya dan sebetulnya salah satu bagian penting penamaan bawang sebagai nama depan karena nyerempet dikitlah dengan cerita bawang putih dn bawang merah soal kain yang sedang dicuci dan terhanyut oleh air.

Semua berlalu hingga hari terakhir. Tiba waktu berpisah dengan penduduk. Kami senang karena perjalanan pulang dilakukan melalui track baru, yakni lewat Sungai Garong - Sungai Mentibar. Berkali-kali kami tersangkut dan beberapa orang harus turun dan mendorong perahu kami karena tersangkut di dasar sungai yang dangkal atau pohon yang rubuh melintas sungai. Tapi bagian ini juga memiliki keseruan tersendiri. We are happy. Aku melihat rona bahagia pada setiap orang kecuali Diana yang terlihat lelah meski ia menyembunyikannya. Perjalanan pulang selalu menjadi perjalanan yang terasa lebih singkat dan menyenangkan. Lama jauh dari signal HP dan juga internet, seperti pergi bertapa namun bedanya ini menjalani sesi lain kehidupan yang memiliki warna dan ritme berbeda dengan yang biasanya kujalani. Toh, aku juga pernah mengalami kehidupan di kampung dua puluhan tahun yang silam.

Percayalah, sekali-kali kita keluar menjalani kehidupan di luar kebiasaan dan di luar yang kita anggap "zona nyaman" memberi makna kepada kita untuk menjalani kehidupan itu sendiri dengan segala sisinya. Other Awesome Places are Waiting for Me to be Explored and to be Learned.

Happy Birthday Princess Pravda

Pravda, 5 tahun


Gadis kecilku berultah yang keenam dan merupakan ultahnya yang pertama kali di Sekolah Dasar. Setiap peristiwa penting seperti hari kelahiran anak-anak seperti memutar kembali masa-masa mengandung-melahirkan-menyusui-memberi makan dan seterusnya sampai melepas mereka ke komunitas sekolah untuk yang pertama kalinya. Kali ini, aku ingin menggambarkan secara khususnya pengalaman pertama kali mengirimkan gadis kecilku ke komunitas kelompok bermain (play group) atau first day schoolnya. Lekat di ingatan tentang bagaimana aku dan Daddy menggambarkan pribadi P yang kontras dengan abangnya G. P anak yang pemalu, tak gampang akrab dengan orang baru, tidak banyak bicara, anak rumahan, dan tidak gampang diajak bernegosiasi. 

Gambaran itu membuat kami sering berasumsi akan sulit ketika harus melepasnya ke sekolah. Ada banyak kemungkinan semisal: dia tidak akan mau jauh dari kami, dia tidak akan betah di sekolah karena seringkali mencari-cari: “Ibunya mana...Bapaknya mana... Mau Ibu....Mau Bapak....”, dia mungkin menangis di mobil antar jemput, tidak akan banyak teman, tidak akan mau menjawab pertanyaan gurunya, dsb. Tentu saja itu semua bentuk “sok tau” kami sebagai orang tua yang sebetulnya juga rasa khawatir yang berlebih. 

Namun hal yang kontras ia perlihatkan kepada kami. Suatu hari kami membelikannya tas dan mengingatkan dia bahwa tas itu dipersiapkan untuk nanti ketika dia sudah siap ke sekolah. Dia senang sekali dengan tas bertema Princess. Keesokan harinya, ketika G hendak sekolah dan mobil jemputan tiba, P pun yang baru saja habis berpakaian setelah mandi tiba-tiba merangsek masuk ke mobil dengan membawa tasnya. Kamipun kaget begitu juga bu guru yang menjemput. Kami tidak tega melarangnya dengan memintanya turun, begitu juga bu gurunya. Sehingga, jadilah dia dibiarkan ikut ke sekolah. Dan, sejak hari itu, meskipun belum tahun ajaran baru, kami membiarkan saja ia ikut proses bermain-belajar di sekolah G, TK Sola Gratia. Dan, sejak hari pertama ia merangsek ke mobil, sampai ia benar-benar kami masukan/daftarkan sebagai murid dari play group sampai ke TK A, ia sangat menikmati hari-hari sekolahnya dan tentu saja sampai ia kami tamatkan dari TK. 

Semestinya, P masih belum tamat TK. Semestinya ia masuk kelas B. Namun, kami terpaksa menamatkan dia karena sekolahnya tidak lagi menyediakan layanan antar-jemput dan akan pindah ke wilayah Pontianak Timur (lebih jauh dari sebelumnya). Sementara, iapun tidak mau kami pindahkan ke sekolah lain yang lebih dekat. Kamipun tidak merekomendasikan ke sekolah lain karena metode pendidikan TK di sekolah lain kami anggap memberi porsi yang sangat sedikit untuk bermain, dan lebih fokus pada pelajaran.
Sekali lagi, P kecilku membuat keputusan yang mengejutkan, dia minta dimasukan ke SD. Padahal, ia belum genap berusia 6 tahun, tentu akan menjadi kesulitan karena di sekolah negeri mensyaratkan umur minimal 7 tahun. Kami juga berpikir bahwa dia tidak akan siap dengan metode belajar di SD, karena memang ia belum dipersiapkan untuk itu, mengingatkan di kelas akhirnya, kelas TK A, ia baru belajar mengenal huruf dan sedikit mengeja dan belum membaca. Beruntungnya, salah satu sekolah negeri, masih bisa menampung P dengan keterbatasannya yang baru bisa menulis dan membaca kata yang sangat singkat dan dengan huruf genap saja. Jadilah ia masuk sekolah di SDN dekat  rumah, satu sekolah dengan G.

Dengan bersekolahnya P di SD, aku juga menghadapi ritme baru, mulai dari menyiapkan hal tekhnis sampai ke menghadapi dinamika harus mengajarinya membaca-menulis-berhitung, hal yang tidak kualami di masa G, karena G memang betul-betul sudah siap ketika masuk SD, dan iapun menghabiskan waktu di Play Group dan TK dengan sangat intens selama 4 tahun tidak seperti P yang hanya dua tahun (satu tahun di Play Group dan satu tahun di TKA). G pun memiliki karakteristik yang sangat senang belajar: membaca dan menemukan hal-hal/informasi baru, yang membuat ia jadi juara satu di kelasnya. P memiliki tipe yang agak berbeda, ia anak yang sangat cerdas dalam bergerak dan bermain peran, memiliki imaginasi yang tajam, bisa dikatakan tipe yang “artist”. Tapi, ini bukanlah kesimpulan dari karakter mereka. Kami setiap hari “mempelajari “ mereka dengan belajar bersama mereka.

Di ultah P yang keenam, aku berjanji membuatkannya tumpeng dan masak sendiri untuknya. Dan itu terjadi, dia sangat senang, ditambah lagi kehadiran anggota keluarga lain dan juga teman-teman dekat rumah. Satu hal lagi yang menyenangkannya karena G bersedia memimpin doa dalam acara ultahnya.
Selamat ultah gadisku, bertumbuhlah jiwa dan ragamu dengan semangat cinta dan kasih yang berkecukupan setiap harinya dariku. Aku mencintainya sejak pertama kali kau menjadi hanya titik pada rahimku sampai kau dapat kudekap dan akhirnya akan kulepas dengan segala inginmu. I love you...Ingatlah blessing yang ada dinamamu, Pravda (Bahasa Rusia) yang artinya the truth - belajar dan berusahalah terus di jalan kebenaran.







RIP Demokrasi Indonesia

Aku ingin menuliskan ala kadarnya separuh hari yang kulewati hari ini sebagai hadiah untuk diriku sendiri setelah berlelah-lelah menyaksikan drama sidang paripurna DPR untuk membahas tiga RUU (RUU Pilkada, RUU Pemda dan RUU AdPem) yang akan menjadi tugas terakhir mereka sebelum kemudian berganti dengan anggota dewan terpilih tahun ini untuk periode berikutnya, 2014-2019. Mengamati perdebatan dan opini dari berbagai kalangan di hampir semua media baik elektronik maupun cetak, ketok palu RUU Pilkada menjadi yang paling populer karena dikaitkan dengan proses demokrasi yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun di Indonesia (bermula pada masa reformasi tahun 1998). Pilkada langsung dianggap sebagai ruang partisipasi politik rakyat sebagai bagian dari hak politik rakyat dengan menentukan sendiri wakil yang mereka inginkan secara langsung melalui mekanisme pencoblosan di bilik suara.

Tanggal 25 September 2014, meninggalkan catatan sejarah yang akan terus diingat oleh bukan saja oleh Kepala-kepala daerah yang merasakan atau mengalami dipilih secara langsung tetapi juga bagi rakyat atau konsituen mereka. Proses ini juga digugat oleh banyak pihak seperti akademisi, dan para pengamat politik  pro demokrasi. Dan yang paling jelas juga adalah partai pengusung Jokowi-Jusuf Kala dalam memenangkan pemilihan presiden 2014. Drama di DPR ini sepertinya sudah ditebak menajadi salah satu manuver terakhir dari Koalisi Merah Putih, partai-partai pengusung Prabowo-Hatta pada pilpres yang memang tidak legowo dengan hasil pilpres sehingga harus bermuara pada gugatan di MK atas hasil pilpres, gugatan ke PTUN yang kemudian di tolak dan terakhir adalah dengan memainkan secara efektif koalisi gendut mereka yang memang secara jumlah suara sudah di atas angin. Mr. Presiden sebagai representasi pemerintah dan negara sebagai pengusul RUU ini dan tentunta partai Partai Demokrat disebut-sebut sebagai pemegang kunci menentukan hasil keputusan di DPR. Namun, mereka belum menentukan arah koalisi di parlemen secara jelas setelah sebelumnya juga menempati posisi abu-abu dalam pilpres namun dengan santun berlindung dibalik kata "netral". Saya ilustrasikan, Partai Demokrat dan Mr. President sudah melemparkan bola panas yang sudah terlanjur menggelinding dan bahkan membakar diri mereka sendiri. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa ini bagian dari sandiwara Mr. Presiden untuk attracting Megawati Soekarno Putri sebagai Ketum PDIP yang telah memenangkan Pilpres bersama koalisinya. Kesan plin-plan juga tidak bisa dihindari oleh Mr. Presdient karena dianggap tidak memiliki sikap, di satu sisi ia mengemukan dukungan terhadap Pilkada langsung, di sisil lain Partai Demokrat, bahkan salah satunya adalah anaknya sendiri Ibas melakukan walked out dalam proses voting karena tidak diterimanya sepuluh opsi yang ditawarkan Demokrat untuk mendukung Pilkada langsung.
Namun, nasi sudah menjadi bubur, DPR dengan sistem voting (setelah melakukan dua kali lobby) sudah mengesahkan RUU Pilkada dengan mekanisme Pilkada melalui DPRD. Walk outnya partai demokrat, yang ketumnya yakni Mr. President menyatakan diri mendukung Pilkada langsung berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara. Sebanyak 226 suara di DPR memilih Pilkada via DPRD dan 135 suara memilih Pilkada langsung dari 496 anggota DPR yang hadir dari seluruh fraksi. Sebanyak 123 orang anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat melakukan walk out.

Melihat respon dari khalayak yang paling menarik salah satunya tentu melalui sosmed. Sebagian besar komunitas sosmed menghujat proses yang telah berlangsung, dan lebih spesifik menghujat Partai Demokrat dan Mr. PResident. Banyak sekali meme (lelucon yang menyindir) Mr. President, diantaranya dikatakan sebagai penerima penghargaan BApak Pilkada Tidak Langsung, Pemain Sandiwara Hebat, dan lain sebagainya. Dan yang paling ekstrim adalah hashtag (#) ShameOnYouSby menjadi trending topic of the world di twitter. Namun, ini hanya bertahan dua hari saja. Hari ketiga hashtag/tagar ini menghilang dari puncak, dan dikait-kaitkan dengan menkominfo Tifatul Sembiring yang diduga “menghilangkannya”. Tapi tentu saja ini dibantah.

Banyak kalangan menggugat hasil keputusan sidang paripurna DPR ini dengan menandatangani petisi yang mendukung atau mendesak Judicial Review UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Opsi lain yang menjadi peluang juga adalah, jika benar Mr. President kecewa dengan hasil Paripurna DPR maka ia bisa saja menolak menandatangani RUU tersebut sebagai Undang-undang dalam lembaran negara. Tetapi, seperti rakyat sudah betul-betul menganggap Mr. President yang tinggal menghitung hari lagi masa jabatannya sebagai PHP (Pemberi Harapan Palsu). Menurut UUD 1945 tentang kewenangan DPR. dimungkinkannya penolakan menandatangani UU oleh Presiden juga bersyarat jika dalam proses pembahasan di DPR itu tidak berdasarkan persetujuan bersama. Pertanyaannya, apakah mekanisme voting di DPR masuk dalam “persetujuan bersama” karena ini adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak. “Persetujuan bersama’ di sini juga ambigu. Dalam hal persyaratan ini tidak terpenuhi pun semestinya, proses pembahasan sebuah RUU tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.Lha, saya ini bukan pengamat, bukan analis, hanya curcol, sehingga lepas dari dalil dalam UUD 1945 tentang kewenangan DPR, menurut saya sudah melampui fungsi legislasi mereka dengan melakukan ketok palu sebuah RUU yang dinyatakan implikasi UU-nya nanti bertentangan dengan prinsip demokrasi dan juga bahkan UU lainnya yang disebut-sebut yakni UU Pemda dan UU AdPem.

Dalam hal peluang hukum untuk JR UU baru ini ke MK tidak bisa dilakukan atau ditolak, dan juga dalam hal Mr. President menandatangani atau tidak UU ini, hal paling mungkin dilakukan oleh rakyat adalah untuk mengingat baik-baik siapa saja anggota dewan dan juga Parpolnya yang telah menyumbang 135 suara dalam voting memenangkan opsi Pilkada via DPRD. Jangan lagi “mengotori” dengan memilih orang-orang dan partai-partai tersebut di tahun 2019. Inilah partai-partai tersebut: Gerindra, PKS, PPP, PAN, Demokrat, dan Golkar.   







Jumat, 26 September 2014

Aku dan Kembang *Putat #Coretan Iseng tentang alamku


Sumber: gpswisataindonesia.blogspot.com
Putat adalah sebutan lokal di Kampungku (Desa Air Nyuruk, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat) untuk pohon yang tumbuh persis dipinggiran sungai, tangkai bunga/buah menjuntai panjang, terkadang menyentuh permukaan air, sehingga ikan bisa memakan bunga dan buahnya. Klaim nama Putat sebagai sebutan lokal di kampungku hanya karena itu yang kuingat dituturkan dari orang-orang tua di sana. Namun, aku juga menemukan sebutan atau istilah ini juga akrab di masyarakat Danau Sentarum (berdasarkan informasi di website Riak Bumi dan GPS Wisata Indonesia) dengan Bahasa Latin Baringtonia acutangula. Bunga Putat halus indah memerah. Dan, aku kecil seperti kumbang madu, senang memakannya dan merasakan manis-kelat. Ibu-ibu di kampungpun ada yang pernah memasaknya untuk campuran ikan dan bahkan menjadikannya seperti lalapan atau salad tak ubahnya seperti sayur segar. Aku dan kakakku bersama dengan kawan-kawan di masa SD berlomba mengumpulkan sebanyak-banyaknya dan sering juga menjadikan asesoris seperti perhiasan ketika bermain yang kami sebut "belangun" (pretending atau main pura-pura atau role-play, termasuk main masak-masakan).

https://lh3.googleusercontent.com/_7Kbozd9aR0Q/TZXZhvtXsXI/AAAAAAAAAD0/usxQ7PvGRSo/DSC_3664.jpg
Sumber: http://nationalgeographic.co.id
Di danau Sentarum, bunga pohon ini adalah pakan lebah dan pohonnya tempat mereka bersarang. AKu ingat, di musim Putat berbunga, rasa madu akan dipengaruhi oleh rasa bunga Putat, kelat (rada pahit). Berharap suatu saat bisa mendapati pohon ini sedang berbunga dan mengabadikannya dalam gambar. Aku punya harapan yang sama dengan pohon 'Ntangis atau Mentagis (Ixora mentangis), jenis pohon yang selalu berdampingan dengan Putat dan akrab sekali karena memang mereka tinggal di habitat yang sama.  Flora ini juga kerap aku dan kawan-kawan kecilku konsumsi disela-sela mengumpulkan bunga Putat. Melampui sekedar mengabadikan mereka pada potongan gambar,mungkin berakhir pada rangkaian cerita sedikit panjang untuk kurcaci G, P dan A. Mereka bisa memasukan "Capture Putat and Mentangis" ke dalam Proyek Camping di Kampung yang masih dalam perencanaan.

Sebelumnya, hanya ini yang kupunya, hanya coretan, tak hendak bersyair bak pujangga. Aku hanya mengenang lalu dan hanya rindu.



AKU DAN KEMBANG PUTAT

Aku, hatiku
Masih cinta dengan bau bumi basah
Melebur
Pada tiap keraknya yang berlumpur kala hujan
Memaksa menahan geli pada saraf kaki yang telanjang

Rindu
Pada tiap juntai kembang Putat berjejer di tepian sungai
Pada deru speed boat
Yang bisa mendadak bagai berkuda di atas air
Melaju bersama riak gelombang

Datang dan pergi
Pergi dan pulang
Rindu kampung
beraroma khas uap nasi sore hari
Rindu kepulan asap tanakan nasi di perapian dapur

Pontianak, 2 September 2014



Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...