Rabu, 17 Desember 2014

Narasi Kota di Kelilingi Gunung, Palu

Berandai ini adalah kesempatan terakhir, aku ingin menuliskan tentang sebuah kota, sebuah lembah di kelilingi gunung, Palu. Kesempatan di akhir tahun untuk mengunjungi kota ini pertama kali setelah sekian lama tempat ini sudah menjadi rumah kedua si Daddy. Kepergianku pun karena jadi 'sertaan' nya berbungkus pekerjaan tentunya. Bagaimana tempat ini sudah menjadi seperti rumah kedua baginya bisa kuilustrasikan dengan "bahkan aku sendiri seperti sedang bertamu dan dia tuan rumah" meskipun aku datang bersamanya.

Di luar itu semua, ini sama sekali bukan tentang pekerjaan. Sebelumnya, aku hanya mendapati semua itu dari jepretan si Daddy dan cerita soal keindahan yang terkadang rasanya seperti semakin menyisihkan dan menyudutkan aku dari rasa bahagianya yang semestinya juga bisa kunikmati. Sekarang, aku hanya ingin menarasikan keindahan teluk Palu dan indahnya lampu malam serta suasana tepi laut yang sempat kuabadaikan dengan Kamera EOS 60D, dengan lensa 50 MM. Itu semua bukan dari cerita, tapi yang kusaksikan sendiri meskipun ini belum seberapa dan belum menjadi jawaban atas kebinaran Daddy setiap bercerita tentang tempat-tempat yang ia kunjungi di tiap sudut pegunungan di Sulteng itu. Ini kuibaratkan hanya di beranda saja.

Suatu hari usai pertemuan, kami; aku dan suamiku dan dua orang teman bertolak seiring senja berlabuh. Kami menuju ke arah entah mana, tak terlalu kupedulikan. Yang kutahu itu adalah kampung halaman temanku, berada di tepi laut, bernama Limboro. Tanpa kusadari, aku memberi kesempatan sejenak agas-agas menggigit kulitku dengan kejam sementara aku berpindah-pindah mencari spot untuk merekam gambar perahu nelayan dan ombak meliuk di pantainya. Ah, sayangnya rintik hujan dan awan hitam tak mengijinkan menyaksikan matahari terbenam. Menjelang malam kami kembali ke kota Palu dan aku sempat menikmati temaram lampu sepanjang jalan di pinggir pantai. Berhenti sejenak di kantor temanku untuk makan malam, aku dan Daddy kembali ke Hotel Sutan Raja tempat kami menginap.

Sekelumit perjalanan ini bermuatan cerita indah dari lima komunitas di tiga Kabupaten di dataran tinggi Sulawesi Tengah. Tentang mereka, para petani cengkeh, petani nilam, dan petani kakao yang mencoba bertahan dari masa ke masa dari gerusan pembangunan dalam bentuk ekspansi modal besar perusahaan perkebunan skala besar sampai ke taman nasional. Ya... cerita yang sama memang bergulir dimana-mana, konflik komunitas masyarakat yang berada di sekitar hutan dengan pengelola perkebunan ataupun dengan pengelola taman nasional.

Poin menarik dari seluruh rangkaian perjalanan selama empat hari ini, aku bertemu dengan orang-orang yang membuatku penasaran dengan keindahan dataran tinggi, ditambah lagi beberapa orang dari mereka mulai mempromosikan keindahan tempat-tempat seperti situs-situs purbakala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...