Senin, 30 Januari 2012

Dari David Harvey sampai Jose Mourinho

 
Sudah empat hari aku tidak membuka laptopku ini, tidak ber-FB-kan, tidak blogging, tidak membaca E-News apalagi kerja. Seingatku, terakhir sekali tanganku memainkan keypads laptopku ini waktu aku mendownload buku "A Companion to Marx's Capital" oleh David Harvey, seorang penulis dan dosen yang dalam 2 tahun ini aku gandrungi karya-karya dan Online Lecturenya via internet/web-nya. Wadhuh, pokoknya aku Fall in Love in the First Sight dengan pak tua satu ini. Aku kenal dengan si smart ini dari seorang teman yang waktu itu sedang menyelesaikan studi S-2 nya di Institut for Social Studies di Belanda. Waktu itu, temanku ini bertanya padaku "apa pendapatku tentang gerakan perempuan" melalui e-mail, lalu diskusi kecil-kecilan juga berlanjut dengan bagaimana kami berdua melihat fenomena sebuah gerakan yang lebih besar yang saat ini semakin menunjukan kecenderungan yang kusebut "memperoleh surplus dari defisit orang lain".

Aku ingat istilah ini juga pernah dipakai oleh seorang teman juga, seorang penulis senior yang dalam waktu 4 tahun lalu aku memiliki kesempatan untuk menjadi asistennya menulis. Dan, jauh sebelum itu, teman senior ini juga menjadi  salah satu "guru" ku menulis dan meneliti di Yogya yang hasilnya mengantarkan aku pertama kalinya menjadi pembicara di pertemuan tingkat internasional.

Kembali ke soal surplus dan defisit tadi, konteksnya aku sedang mengomentari pendapat seseorang di FB yang aku tidak ingat persis tentang apa, tapi intinya aku ingat aku sedang mengingatkan teman ini bahwa banyak gerakan sosial mengatasnamakan kepentingan orang banyak yang tujuannya mengumpulkan sebanyak-banyaknya resources untuk mendapatkan 'kapital' yang sebetulnya tidak jelas kemana arahnya, untuk orang banyak yang mana, ataukah dia hanya untuk sekelompok orang kuat saja yang punya kemampuan memobilisasi sebanyak-banyak sumber daya dengan dalih imbalan atas jerih payahnya. Atau, mungkin untuk banyak orang dari komunitas tertentu yang dianggap perlu diperhatikan karena hidup tidak berdaya dan memiliki "ketiadaan", yang pada akhirnya sekelompok orang juga akan mengambil banyak juga dari ketiadaan komunitas seperti ini karena kondisi seperti ini rentan membuat mereka memiliki tingkat dependesi yang tinggi, jangankan untuk berhadapan dengan orang lain atau kekuatan yang lebih besar (terutama yang memiliki kekuasaan) bahkan untuk mengelola kehidupan mereka sendiri di tingkat yang paling kecil sekalipun.

Tanpa bermaksud panjang, ini hanya konsep penumpukan modal pada kelompok tertentu saja sebenarnya, yang mana terkadang kita (termasuk aku sendiri) tidak menyadari bahwa apa yang kita peroleh bisa jadi sesuatu yang tidak layak kita peroleh atau bukan hak kita, melainkan hak orang lain yang mungkin lebih membutuhan daripada kita sendiri, yang kusebut, memperoleh surplus dari defisit yang dialami orang lain. Ya, soal ini sebetulnya sudah seperti hukum permintaan dan penawaran dalam dunia ekonomi. Katakanlah sudah hukumnya. Dan, menurutku sah-sah saja jika orang memperoleh lebih dari kerja keras. Namun, yang menjadi persoalan adalah jika sebaliknya, menumpuk surplus dengan sedikit keringat yang ternyata itu dari keringat orang-orang miskin (defisit orang miskin).  

Bagaimana proses diskusi kecil-kecil via e-mail denga teman s-2 ku ini berlanjut kepada perkenalanku dengan David Harvey?. Proses diskusi yang poinnya seperti yang kusampaikan di atas (maaf, betul-betul diskusi kecil-kecilan, gak ada aspek akademisnya sekali ya ...) berujung pada responku padanya untuk membaca buku kapital. Waktu itu, si teman satu ini terkagum-kagum dengan opini seadaku di atas tadi, dan aku balas merespon dengan mengatakan kalau itu semua seperti yang dikatakan oleh Marx dalam buku Kapital yang aku sendiri tidak pernah selesai membacanya karena sulit memahaminya. Temanku ini juga mengeluh yang sama, sulitnya memahami Capital-nya si Marx, bahkan dia tidak punya bukunya. Lalu, berakhirlah diskusi ini dengan saran dari dia agar aku membuka link ke Web-nya si siluman Marx, "David Harvey" ini.

Beberapa waktu aku sempat "mengikuti" online lecturenya di internet skaligus melatih listening-ku yang semakin hari semakin memburuk. Dan, ya ampun, aku juga menyenangi cara beliau ini menyampaikan Capita yang sudah seperti hantu ini, menbuatku tidak "demam" ketika melihat tiga jilid buku Kapita Marx di rak bukuku. Pak tua ini sudah seperti "reading tool" terhadap Marx's Capital.

Pada akhirnya, aku juga memperkenalkan orang tua ini kepada my hubby yang memang menyukai teori-teori klasik. sayanganya, ketertarikan yang sama dari my hubby ini baru terlihat lima hari yang lalu. Ceritanya, dia hendak "pamer" buku bagus "A Companion to Marx's Capital" versi E-file kepadaku. Dia kaget karena aku sudah tahu dengan Pak tua ini. Yah, dasar my hubby, dia sendiri tidak ingat kalo aku pernah merekomendasikan dia membuka Online lecture pak tua ini karena aku tahu dia pasti akan suka. Dia baru terlihat 'berminat' setelah orang lain atau temannya yang merekomendasikan. huh ... tapi ya gitu dech ... my hubby, my hubby ...

Yang jelas, sekarang kami berdua sama-sama suka dengan mister ini. Si smart yang tidak pelit berbagi ilmu, sama seperti my hubby. Jadinya, bertambah list orang-orang kesukaan kami berdua yang sama, setelah the special one, Jose Mourinho.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...