Kamis, 30 September 2010

Peace ...



“Dua Kelompok Bertikai Sepakat Berdamai”. Itulah sebuah headline news hari ini terkait kerusuhan di Kabupaten Tarakan, Kalimantan Timur yang terjadi Minggu 26/09/2010 lalu. Seharusnya, ini berita baik atau buruk ya?. Tadi pagi, aku mengawali hari ini dengan chat simple dengan teman sekantor sambil cek email. Aku teringat sewaktu di SD dulu, setiap tanggal 30 September, ada keharusan untuk menonton film Gerakan 30 S. Besok harinya, guru akan bertanya siapa saja yang tidak nonton. Yang tidak nonton pasti dianggap tidak mencermin warga Negara yang baik karena melewat catatan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Saat itu, bukan hanya sekian banyak anak lain seusiaku bahkan senior-seniorku  terdahulu dan diriku sendiri bahkan tidak pernah menduga bahwa itu adalah goresan sejarah yang telah diputarbalikan sebagai bentuk doktrin dan alat pembungkaman serta alat mengubur masa lalu hanya segelintir tokoh yang merasa diri pahlawan dan perlu pengakuan atas apa yang dia anggap kepahlawanannya itu.

Kembali ke soal headline news, itu adalah sebuah judul berita yang dimuat dalam Media Indonesia online hari ini. Di satu sisi, aku menganggap ini hal yang baik dan mudah-mudahan memang demikian. Di sisi lain, ada kekhawatiran ini hanyan propaganda untuk menutupi ketidak mampuan menghadapi situasi seperti kerusuhan di Tarakan ini. Banyak sejarah mencatat ketidakmampuan pemerintah dan aparat keamanan dalam mengantisipasi hal-hal seperti ini. Sering kata perdamaian hanya untuk mendapat simpati dari banyak pihak atas kinerja aparat dan pemerintah bukan untuk menunjukan situasi yang sesungguhnya, apalagi menunjukan kemampuan masyarakat dalam melakukan resolusi konflik.  

Setidaknya, berita ini menunjukan salah satu peran media dalam merangka mempromosikan perdamaian, tidak sekedar membuat berita bombastis dan provokatif di balik slogan “bad news is good news”, karena tak jarang media dituduh sebagai penyebab meluasnya konflik karena pemberitaan yang tidak berimbang dan terlalu mengumbar peristiwa-peristiwa dengan vulgar. Tapi, kalau masyarakatnya sudah terdidik dan mengerti perdamaian yang sesungguhnya dan memang dalam kondisi bisa menerima perbedaan, pemberitaan apapun tidak akan menyulut emosi massa. Saya teringat dengan status seorang teman di Facebook, “banyak cara menuju rukun: menerapkan pendidikan perdamaian, muatan local multi-kultur, bergabung di CU .. kalau ini berkembang dengan baik mestinya tidak ada saling sikut antar etnis/agama..”. Tanpa bermaksud menilai  statement ini, paling tidak terlihat adanya hal kongkrit di sana, ketimbang model dan bentuk pembangunan perdamaian dan rekonsiliasi cara konvensional selama ini yang dilakukan di meja bundar dengan para actor tajir bersafari dan berjas plus label tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat kemananan dan pemerintah. Dan, perbincangan selesai di ruangan dingin full AC dengan snack dan makanan yang enak. Di balik pintu, masyarakat masih was-was. Membangun pendidikan early warning system juga masih penting dilakukan nampaknya terutama bagi pemerintah dan aparat keamanan, sehingga sigap mengantisipasi kondisi yang berpotensi konflik yang lebih besar. Tapi, aku sendiri berpikir nakal, “jangankan membangun early warning system untuk konflik, membangun early warning system bencana aja belum genah”. Wah, wah, terus mesti diapain?.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...