Rabu, 29 September 2010

Community Organizers - Penggerak Kampung (tulisanku pada Kamis, 13 Desember 2007)


Dalam 5 tahun terakhir sejak aku bergabung dengan LBBT, aku akrab dengan istilah community organiser (baca: CO)yang diusung sebagai aktor sentral dalam proses organizing (pengorganisasian) yang menjadi program andalan LBBT sejak tahun 1993. Istilah ini bahkan sudah turun ke kampung-kampung nan jauh di sana, di tempat-tempat para aktivist LBBT pergi, tinggal,belajar, bekerja bersama dan menjalin pertemanan dengan Masyarakat Adat di Kalimantan Barat.

Aku tertarik menulis apa yang beberapa hari ini menggelayuti pikiranku soal CO=Community Organzer dan CO=Community Organizing. Berawal dari proses workshop pendokumentasian pengalaman para CO lokal dan/atau penggerak kampung yang difasilitasi LBBT awal Desember lalu (3-5 Desember 2007, aku ingin berbagi soal bagaimana 'mendaratkan' konsep pengorganisasian di tingkat lokal dan tidak terjebak dengan istilah 'keren' itu sehingga prinsip-prinsipnyapun terabaikan atau terlupakan. Yang tepat mungkin memakai istilah terlupakan dalam konteks ini, yang disebabkan proses retelling dan reinstalling tidak begitu menarik bagi NGO-NGO yang bekerja di MA. Praktis dan terkesan tekhnis, meski sesungguhnya merupakan fondasi yang menjadi penting untuk melakukan advokasi, terutama advokasi hak Masyarakat yang tertindas.

Semakin banyak dan maraknya kasus-kasus yang selalu diwarnai oleh aksi 'menuntut' hak di tingkat lokal/masyarakat, mau tidak mau harus diakui telah membuat cara berppikir NGO maupun masyarakat yang didampinginya ter-'frame' menterjemahkan kerja-kerja di tingkat lokal adalah menggalang aksi atas kasus-kasus saja: baik mendesak pemerintah atau bahkan langsung berhadapan dengan perusahaan yang selama ini mengambil tanah dan sumber penghidupan mereka. Sementara, dalam aksi-aksi tersebut tak jarang pula masyarakat mengalami tindak kekerasan: dipenjara, ditembaki dan diadu domba antar mereka serta dibohongi sehingga harus berkali-kali melakukan negosiasi.

Proses dua hari lebih tersebut menjadi refleksi bagi NGO-NGO yang bekerja di komunitas untuk mengkaji ulang sejauh mana konsep dan prinsip pengorganisasian betul-betul bisa dipahami, bahkan oleh para CO lokal di masyarakat. Bagaimana pendekatan-pendekatan pengorganisasian dan kerja-kerja advokasi di tengah dinamika di masyarakat yang begitu cepat berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...