Rabu, 29 September 2010

Perubahan Iklim dan Gerakan Lingkungan Hidup (tulisan pada Kamis, 24 Januari 2008)


Penghujung tahun 2007 diwarnai dengan agenda besar dunia mengurangi pemanasan global yang berdampak terhadap perubahan iklim. KTT Perubahan Iklim telah berlangsung di Nusa Dua, Denpasar, Bali, 3-14 Desember, dengan Pekerjaan Rumah besar beberapa negara yang terlibat di dalamnya. Namun, hal terpenting dari agenda ini adalah adanya komitmen negara maju untuk mengurangi gas emisi dari negara berkembang dengan memberikan dana yang besar. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, peningkatan emisi gas rumah kaca harus bisa dikurangi tentunya untuk mencegah perubahan iklim. 

Tak ubahnya seperti ‘mission impossible’, namun yang perlu dicatat adalah dana Rp 37,5 triliun dari negara-negara dunia akan dialokasikan untuk biaya perawatan hutan di Indonesia dengan program Reduction Emission Degradation and Deforestation. Menarik, namun banyak kalangan mengkhawatirkan warga negara Indonesia hanya akan menjadi “Satpam” - istilah inilah yang dipakai oleh Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Chalid Muhammad dalam pembicaraannya di suatu forum diskusi di Pontianak, Oktober 2007. Ini cukup beralasan karena usaha tersebut dibaca sebagai usaha negara maju untuk merasa memiliki hutan bahkan mendikte pengelolaan hutan Indonesia. Peran warga negara Indonesia tidak lagi sebagai pemilik. Dana yang besar itupun tak ubahnya seperti kompensasi yang diberikan. Dimanakah hutan Indonesia?. Tiga tahun terakhir, mata dunia tertuju pada hutan Kalimantan dengan digulirkannya mega proyek pengelolaan hutan di kawasan perbatasan sebesar 1.8 juta hektar.

Pengelolaan hutan yang lestari sudah dipraktekkan oleh masyarakat adat di Kalimantan Barat, sampai berdatangannya perusahaan-perusahaan besar perkebunan kelapa sawit pada tahun 1970-an. Ketika, masyarakat adat tidak punya pilihan alternatif sumber ekonomi yang menghasilkan uang cash, mereka digugat sebagai perusak dan perambah hutan, bukannya mencari solusi.

Gerakan lingkungan hidup dalam dekade terakhir di Kalimantan memang sangat gencar. Namun hanya terbatas pada penyelamatan hutan dan menahan laju deforestasi serta advokasi dan penguatan hak-hak korban. Harus diakui, gerakan tersebut telah membantu masyarakat adat menyadari hak-hak mereka atas hutan dan pengelolaan yang berkeadilan yang telah mereka praktekkan sejak dari nenek moyang mereka.
Sayang sekali, gerakan lingkungan hidup di masyarakat perkotaan tidak begitu berhasil. Penyadaran terhadap masyarakat perkotaan agar tidak membuang sampah, terutama sampah non-organik tidak menjadi perhatian. Lebih menyedihkan lagi, sungai-sungai di Kalimantan tak ubahnya seperti tempat pembuangan sampah.
Gerakan lingkungan harus dimulai dari diri kita masing-masing dengan melakukan, mengingatkan dan membudayakan prilaku ramah lingkungan. Melakukan pembuangan sampah dengan benar - memisahkan sampah organik dan non-organik, dan tidak membuang sampai non-organik ke dalam sungai; mengingatkan kepada siapa saja (proses penyadaran terus menerus) untuk berprilaku ramah lingkungan dan membudayakannya dalam gerakan dimulai dari lingkup terkecil seperti komunitas keluarga, komunitas RT/RW dan komunitas kerja lainnya, dan di kalangan sekolah.

Singkatnya, meskipun telah dilakukan agenda besar dunia untuk menyelamatkan dunia ini dari pemanasan global, namun setidaknya dan sebetulnya yang terpenting adalah bagaimana kita semua melakukan hal-hal kecil terkait dengn prilaku ramah lingkungan seperti yang diuraikan di atas. Ini bukan saja tugas dari aktivis lingkungan, melainkan setiap orang, tetapi tentu saja dalam proses sosialisasi dan penyadaran, peran dari aktivis lingkungan sangat penting untuk memulai dari unit yang lebih kecil: keluarga, RT/RW, dan sekolah-sekolah. Mari ….!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...