Senin, 29 September 2014

Petualangan Nyi Oblong, Bawang Bombay dan Bawang Kucai

In the Boat Back From Sungai Garong
Ini sebenarnya behind the scene-nya pertemuan perempuan yang dilakukan oleh LBBT - lembaga tempat aku dulu belajar dan bertumbuh selama sebelas tahun. Ya, tempat mengetahui tentang perjuangan Masyarakat Adat, Advokasi konflik agraria antara Masyarakat Adat/lokal dengan pengusaha dan/atau pemodal. Tulisan tentang ide utamanya tentulah akan berkisar tentang pertemuan perempuan itu sendiri, seperti aku akan memberi judul dengan nama kelompok perempuan yang sudah terbentuk di sana dan difasilitasi oleh LBBT - Natai Sanggo. Nama ini sebenarnya nama tempat dimana kelompok perempuan ini berkebun. Itu yang terpikirkan sementara. Tentang Natai Sanggo ini sendiri akan ada dalam bagian sendiri dalam tulisan ini. 

Seperti apakah petualangan yang akan kutulis ini?. Jangan dibayangkan akan seperti cerita horor Nyi Blorong atau cerita pilunya Bawang Putih dan Bawang Merah. Cerita ini adalah cerita antara aku dan dua orang temanku. Aku dan satu orang temanku dalam cerita ini kebetulan sudah mantan di lembaga dan teman satunya lagi masih berstatus staf ketika cerita ini bergulir. Tentu saja aku tidak akan menyebut nama sebenarnya karena aku harus melindungi identitas asli kedua orang teman ini, bukan hanya karena ini cerita nyata tetapi untuk memberi privacy mereka dan mebiarkan keleluasan berfikir pembaca (kalo ada yang baca) tanpa harus berhenti dengan membayangkan para aktor cerita ini karena (mungkin saja) mereka mengenalinya.

Nyi Oblong itu adalah aku. Penamaan ini kuberikan sendiri dan kunyatakan pada suatu perjalanan ke ladang bersama dengan perempuan adat Sei. Garong ke kebun mereka. Bisa ditebak, ini ada hubungannya dengan kebiasaanku memakai kaos oblong, dan dalam perjalanan inipun semua kostum yang kubawa adalah kaos oblong berwarna hitam.

Bawang Bombay adalah sebutanku kepada si kakak senior karena badannya yang besar. Karena bobot yang berat, seringkali ia terduduk sepanjang perjalanan, baik perjalanan menuju ke Kampung Sei. Garong maupun perjalanan kami ke kebun suatu hari. Ya, kaki tidak mampu lagi menyangga badan, jadinya sering terjerembab, ditunjang lagi sandal jepit yang tidak anti-slip.

Bawang Kucai (Lokiu) adalah gelar yang kuberi kepada si kakak senior satunya lagi, yang di atas kusebut masih aktif sebagai staf di LBBT. Penamaan ini sendiri tidak ada hubungannya dengan fisik, tapi spontan saja mencari yang ada hubungannya dengan bawang, dan tidak boleh Bawang Putih atau Bawang Merah karena ini akrab sekali degan judul sinetron ataupun cerita anak tentang dua saudara tiri: si jahat dan si baik. Cerita ini sendiri jauh dari labek baik-buruk, hitam-putih, tapi hanya cerita untuk melekatkan di ingatan perjalanan bersama kedua sahabatku ini dalam rangka kerja namun bersuka cita.

Kembali ke awal cerita. Lama aku tidak bersentuhan dengan dunia luar setelah tidak lagi bekerja dan terkadang melakukan perjalanan ke banyak tempat dalam rangka pekerjaanku itu. Bertemu dengan banyak orang dan belajar dari cara hidup, cara pandang dan pengetahuan mereka. Aku mendapat tawaran untuk terlibat dalam satu pertemuan untuk perempuan adat di Sei. Garong. Ini seperti oase di tengah padang gurun, hingga aku langsung menyambutnya. Apalagi, masuk dalam daftar ini juga adalah kedua sahabatku, Si Babai dan Si Bacai. Lucu ya ...

Perjalanan kami dari Pontianak ditemani oleh satu orang teman dari Amerika yang sedang magang di Walhi, Diana. Sembilan jam perjalanan lumayan berat buatku setelah sekian lama tidak melakukan perjalanan jauh. Menyiksa karena aku mabok perjalanan darat, dipicu oleh aroma di dalam bis yang berbaur antara bau AC, parfum penumpang dan juga bau keringat. Perhentian sementara adalah Kota Nanga Pinoh, dan berlanjut dengan speed boat ke hulu Sungai Melawi sampai pada perhentian terakhir melalui sungai di Kampung Mentibar (di hulu Kec. Serawai) dan  berlanjut dengan jalan kaki sekitar satu jam ke Kampung Sei. Garong. Sebenarnya ada alternatif lain melalui Sungai Kecil - Sungai Mentibar, tetapi debit sungai kecil kala itu karena kemarau. Kami tiba sore hari, disambut ramai oleh penduduk setempat sampai pada malam hari dimana kami saling memperkenalkan diri.

Pagi hari kami mengikuti upacara adat penyambutan dengan ritual yang dipimpin dua orang Baliatn perempuan yang membaca mantra berisi doa selamat dan pengikatan tali dari kulit kayu di pergelangan tangan kami masing-masing dan  kitau manok (membawa ayam mengelilingi kami masing-masing), menggigit besi parang dan menandai dahi kami dengan darah ay
am yang telah disembelih.

Pertemuan Perempuan Adat Natai Sanggo

Kelompok Perempuan Natai Sanggo/Cam Samsung GT I-8150
Kami memfasilitasi pertemuan perempuan adat dengan menggunakan pendekatan Asset-Based Thinking, mengajak mereka melihat kekuatan mereka, lalu melakukan analisis gender. Diskusi ini berlanjut dengan mendengarkan cerita pengalaman mereka dalam melakukan pekerjaan mereka sehari-hari dan melihat kembali rencana mereka dan bagaimana mereka merealisasikan rencana itu. Menakjubkan mereka ternyata adalah ibu-ibu muda (dan beberapa perempuan tua, diantaranya yang memimpin ritual adat pagi harinya) yang cerdas, kebanyakan mereka sepertinya seusiaku tetapi beban hidup di kampung memberi kesan mereka lebih tua dari umurnya. Mengejutkan, selama proses diskusi ibu-ibu ini mengeluarkan pendapat mereka dan dalam waktu bersamaan para lelaki di rumah ini (tampat pertemuan berlangsung) selalu berusaha memotong dan menyuarakan pendapat mereka. Tidak ada kepercayaan kepada mereka untuk bersuara. Label kata "bodoh" sempat terdengar dari mulut seorang lelaki yang sebetulnya juga orang berpengaruh di situ. Mungkin kata sudah biasa digunakan dalam konteks menunjukan ketidaktahuan sehingga seperti tidak ada masalah ketika melihat reaksi ibu-ibu. Tapi jelas, dominasi sedang dipertunjukan dan mungkin saja perempuan di sini tidak terima dikatakan demikian tetapi karena sudah terlalu sering membuat mereka imun.

Muara dari diskusi ini adalah melihat seberapa besar mereka ingin membangun kelompok dan mengorganisir diri melakukan kegiatan kelompok yang telah mereka rencanakan, diantaranya membuat kebun. Kelompok itu sendiri dengan sangat mudah dibentuk dan mereka namai "Natai Sanggo". Ada beberapa kelompok lain mengikuti kelompok ini yang mereka namai sesuai dengan nama kampung mereka masing-masing dengan kegiatan yang hampir sama yakni bercocok tanam di kebun dengan komoditi yang berbeda. Proses diskusi formal ini berlangsung tidak terlalu lama, dan berlanjut dengan berkunjung ke kebun kelompok Natai Sanggo yang memakan waktu 45 menit berjalan kaki. Kami menyaksikan mereka mengolah sendiri lahan (mencangkul lahan bekas dibakar sebelumnya). Kami sekali-sekali saja meminjam pacul dan berpose mencangkul, setelahnya kami menghabiskan waktu duduk di saung sembari mengamati ibu yang kebagian tugas memasak makan siang kami, ditemani gelas-gelas tuak. Setelah makan siang pun, kami pulang.

Waktu sore kami habiskan dengan berkunjung ke air terjun versi orang lokal di situ. Menurutku, ini hanya riam/jeram. Menyenangkan karena di perjalanan ke sana kami juga sempat melihat tempat penyemain bibit karet yang dilakukan kelompok lain yang dibentuk kaum lelaki. Di jeram, aku, Babay dan Bacai serta Diana lomba menyelam, siapa yang paling lama itulah pemenang. Dan, akulah pemenang.

Ada cerita lain dibalik pertemuan perempuan ini, misalnya cerita soal dinamika kelompok di komunitas mereka sendiri, dinamika permasalahan penduduk setempat dengan perusahaan sawit yang berencana melakukan ekspansi ke wilayah mereka. Diskusi begitu mencair mulai dari advokasi kebijakan dan pengelolaan pembukuan untuk usaha yang baru mereka mulai yaitu warung sembako dan sampai ke bagaimana menata kampung diantaranya rencana mengandangkan ternak, yang awalnya tertambat dimana-mana dan kotorannya bersebaran dimana-mana bisa dimanfaatkan untuk membuat kompos dan juga membaut kampung tidak kotor. Yah, begitulaah semuanya berlangsung sampai hari keempat kami berada di kampung itu. Sore hari dihari ketiga kami ikut serta bermain volley ball.

Bumbu cerita lucu lainnya yang berkesan adalah cerita soal mimpi ngompol dimalam hari, cerita soal bagaimana susahnya ketika mau BAB atau BAK karena WC jauh. Aku sering menahan keinginan alamiah itu karena tidak kuasa harus keluar di malam gelap ke WC yang lumayan jauh dari rumah tempat kami nginap, belum lagi hujan selalu mengguyur malam disana. Keahlian melompat di kegelapan agar terhindar menginjak kotoran hewan sapipun harus kumiliki. Suatu malam, Bacai juga pernah terjerembak dan terinjak kotoran yang sudah agak hancur terhanyut oleh guyuran hujan, dan itu menjadi bahan lelucon kami. Cerita lucu lainnya di malam hari adalah cerita "mencuri" makanan sncak Diana karena kelaparan (akibat makan malam yang seadanya karena selera makan dihari ketiga sudah mengendur).

Ritme hidup pagi hari ketika bangun tidur juga menarik. Kami selalu dibangunkan oleh suara oink-oink satu keluarga babi yang berada hampir persis di bawah kamar tidur kami berempat. Aroma khas dari sana juga sering tercium dan terkadang ditambah setelan musik dari smartphone Bacai, semuanya kuanggap seperti simponi unik saja untuk memaknai petualangan ini. Sampai pada suatu hari, aku tidak lagi menikmati simponi itu karena setelan musik yang biasanya salah satu lagunya adalah "Just Give Me A Reason" , tiba-tiba berubah jadi "Surti dan Tedjo"...wah ...aku protes kepada Bacai dan tentu saja ini selalu berakhir dengan lelucon. Aktifitas rutin pagi hari lainnya adalah mandi, dan bagian ini tidak terlalu menyenangkan bagiku, karena aku penikmat pemandangan air, senang menyentuh air tapi aku tidak suka dengan rutinitas mandi.  Bagian ini selalu menjadi poin khusus bagianku di-bully oleh ketiga orang teman dan juga beberapa penduduk setempat yang kala itu bersamaan pergi ke sungai.

Suatu hari, rutinitas mandi sore kami (aku biasanya hanya cuci muka dan gosok gigi), berpindah lagi ke Jeram khusus bersama dengan Ibu-ibu. Senang sekali melihat ibu-ibu sering membuat formasi siap difoto di sungai. Kali ini, aku ikut menikmati kejernihan sungai dengan berenang cukup lama karena ini adalah kali trakhir ke tempat ini karena sebentar akan kembali pulang. Ya...diantara kami, Babay lah yang paling tidak bisa menyembunyikan kesukaannya, dia begitu bersemangat sampai celana panjang lembut tang pakai terhanyut terbawa arus air ketika ia membukanya. Ini juga bagian lucunya dan sebetulnya salah satu bagian penting penamaan bawang sebagai nama depan karena nyerempet dikitlah dengan cerita bawang putih dn bawang merah soal kain yang sedang dicuci dan terhanyut oleh air.

Semua berlalu hingga hari terakhir. Tiba waktu berpisah dengan penduduk. Kami senang karena perjalanan pulang dilakukan melalui track baru, yakni lewat Sungai Garong - Sungai Mentibar. Berkali-kali kami tersangkut dan beberapa orang harus turun dan mendorong perahu kami karena tersangkut di dasar sungai yang dangkal atau pohon yang rubuh melintas sungai. Tapi bagian ini juga memiliki keseruan tersendiri. We are happy. Aku melihat rona bahagia pada setiap orang kecuali Diana yang terlihat lelah meski ia menyembunyikannya. Perjalanan pulang selalu menjadi perjalanan yang terasa lebih singkat dan menyenangkan. Lama jauh dari signal HP dan juga internet, seperti pergi bertapa namun bedanya ini menjalani sesi lain kehidupan yang memiliki warna dan ritme berbeda dengan yang biasanya kujalani. Toh, aku juga pernah mengalami kehidupan di kampung dua puluhan tahun yang silam.

Percayalah, sekali-kali kita keluar menjalani kehidupan di luar kebiasaan dan di luar yang kita anggap "zona nyaman" memberi makna kepada kita untuk menjalani kehidupan itu sendiri dengan segala sisinya. Other Awesome Places are Waiting for Me to be Explored and to be Learned.

Happy Birthday Princess Pravda

Pravda, 5 tahun


Gadis kecilku berultah yang keenam dan merupakan ultahnya yang pertama kali di Sekolah Dasar. Setiap peristiwa penting seperti hari kelahiran anak-anak seperti memutar kembali masa-masa mengandung-melahirkan-menyusui-memberi makan dan seterusnya sampai melepas mereka ke komunitas sekolah untuk yang pertama kalinya. Kali ini, aku ingin menggambarkan secara khususnya pengalaman pertama kali mengirimkan gadis kecilku ke komunitas kelompok bermain (play group) atau first day schoolnya. Lekat di ingatan tentang bagaimana aku dan Daddy menggambarkan pribadi P yang kontras dengan abangnya G. P anak yang pemalu, tak gampang akrab dengan orang baru, tidak banyak bicara, anak rumahan, dan tidak gampang diajak bernegosiasi. 

Gambaran itu membuat kami sering berasumsi akan sulit ketika harus melepasnya ke sekolah. Ada banyak kemungkinan semisal: dia tidak akan mau jauh dari kami, dia tidak akan betah di sekolah karena seringkali mencari-cari: “Ibunya mana...Bapaknya mana... Mau Ibu....Mau Bapak....”, dia mungkin menangis di mobil antar jemput, tidak akan banyak teman, tidak akan mau menjawab pertanyaan gurunya, dsb. Tentu saja itu semua bentuk “sok tau” kami sebagai orang tua yang sebetulnya juga rasa khawatir yang berlebih. 

Namun hal yang kontras ia perlihatkan kepada kami. Suatu hari kami membelikannya tas dan mengingatkan dia bahwa tas itu dipersiapkan untuk nanti ketika dia sudah siap ke sekolah. Dia senang sekali dengan tas bertema Princess. Keesokan harinya, ketika G hendak sekolah dan mobil jemputan tiba, P pun yang baru saja habis berpakaian setelah mandi tiba-tiba merangsek masuk ke mobil dengan membawa tasnya. Kamipun kaget begitu juga bu guru yang menjemput. Kami tidak tega melarangnya dengan memintanya turun, begitu juga bu gurunya. Sehingga, jadilah dia dibiarkan ikut ke sekolah. Dan, sejak hari itu, meskipun belum tahun ajaran baru, kami membiarkan saja ia ikut proses bermain-belajar di sekolah G, TK Sola Gratia. Dan, sejak hari pertama ia merangsek ke mobil, sampai ia benar-benar kami masukan/daftarkan sebagai murid dari play group sampai ke TK A, ia sangat menikmati hari-hari sekolahnya dan tentu saja sampai ia kami tamatkan dari TK. 

Semestinya, P masih belum tamat TK. Semestinya ia masuk kelas B. Namun, kami terpaksa menamatkan dia karena sekolahnya tidak lagi menyediakan layanan antar-jemput dan akan pindah ke wilayah Pontianak Timur (lebih jauh dari sebelumnya). Sementara, iapun tidak mau kami pindahkan ke sekolah lain yang lebih dekat. Kamipun tidak merekomendasikan ke sekolah lain karena metode pendidikan TK di sekolah lain kami anggap memberi porsi yang sangat sedikit untuk bermain, dan lebih fokus pada pelajaran.
Sekali lagi, P kecilku membuat keputusan yang mengejutkan, dia minta dimasukan ke SD. Padahal, ia belum genap berusia 6 tahun, tentu akan menjadi kesulitan karena di sekolah negeri mensyaratkan umur minimal 7 tahun. Kami juga berpikir bahwa dia tidak akan siap dengan metode belajar di SD, karena memang ia belum dipersiapkan untuk itu, mengingatkan di kelas akhirnya, kelas TK A, ia baru belajar mengenal huruf dan sedikit mengeja dan belum membaca. Beruntungnya, salah satu sekolah negeri, masih bisa menampung P dengan keterbatasannya yang baru bisa menulis dan membaca kata yang sangat singkat dan dengan huruf genap saja. Jadilah ia masuk sekolah di SDN dekat  rumah, satu sekolah dengan G.

Dengan bersekolahnya P di SD, aku juga menghadapi ritme baru, mulai dari menyiapkan hal tekhnis sampai ke menghadapi dinamika harus mengajarinya membaca-menulis-berhitung, hal yang tidak kualami di masa G, karena G memang betul-betul sudah siap ketika masuk SD, dan iapun menghabiskan waktu di Play Group dan TK dengan sangat intens selama 4 tahun tidak seperti P yang hanya dua tahun (satu tahun di Play Group dan satu tahun di TKA). G pun memiliki karakteristik yang sangat senang belajar: membaca dan menemukan hal-hal/informasi baru, yang membuat ia jadi juara satu di kelasnya. P memiliki tipe yang agak berbeda, ia anak yang sangat cerdas dalam bergerak dan bermain peran, memiliki imaginasi yang tajam, bisa dikatakan tipe yang “artist”. Tapi, ini bukanlah kesimpulan dari karakter mereka. Kami setiap hari “mempelajari “ mereka dengan belajar bersama mereka.

Di ultah P yang keenam, aku berjanji membuatkannya tumpeng dan masak sendiri untuknya. Dan itu terjadi, dia sangat senang, ditambah lagi kehadiran anggota keluarga lain dan juga teman-teman dekat rumah. Satu hal lagi yang menyenangkannya karena G bersedia memimpin doa dalam acara ultahnya.
Selamat ultah gadisku, bertumbuhlah jiwa dan ragamu dengan semangat cinta dan kasih yang berkecukupan setiap harinya dariku. Aku mencintainya sejak pertama kali kau menjadi hanya titik pada rahimku sampai kau dapat kudekap dan akhirnya akan kulepas dengan segala inginmu. I love you...Ingatlah blessing yang ada dinamamu, Pravda (Bahasa Rusia) yang artinya the truth - belajar dan berusahalah terus di jalan kebenaran.







RIP Demokrasi Indonesia

Aku ingin menuliskan ala kadarnya separuh hari yang kulewati hari ini sebagai hadiah untuk diriku sendiri setelah berlelah-lelah menyaksikan drama sidang paripurna DPR untuk membahas tiga RUU (RUU Pilkada, RUU Pemda dan RUU AdPem) yang akan menjadi tugas terakhir mereka sebelum kemudian berganti dengan anggota dewan terpilih tahun ini untuk periode berikutnya, 2014-2019. Mengamati perdebatan dan opini dari berbagai kalangan di hampir semua media baik elektronik maupun cetak, ketok palu RUU Pilkada menjadi yang paling populer karena dikaitkan dengan proses demokrasi yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun di Indonesia (bermula pada masa reformasi tahun 1998). Pilkada langsung dianggap sebagai ruang partisipasi politik rakyat sebagai bagian dari hak politik rakyat dengan menentukan sendiri wakil yang mereka inginkan secara langsung melalui mekanisme pencoblosan di bilik suara.

Tanggal 25 September 2014, meninggalkan catatan sejarah yang akan terus diingat oleh bukan saja oleh Kepala-kepala daerah yang merasakan atau mengalami dipilih secara langsung tetapi juga bagi rakyat atau konsituen mereka. Proses ini juga digugat oleh banyak pihak seperti akademisi, dan para pengamat politik  pro demokrasi. Dan yang paling jelas juga adalah partai pengusung Jokowi-Jusuf Kala dalam memenangkan pemilihan presiden 2014. Drama di DPR ini sepertinya sudah ditebak menajadi salah satu manuver terakhir dari Koalisi Merah Putih, partai-partai pengusung Prabowo-Hatta pada pilpres yang memang tidak legowo dengan hasil pilpres sehingga harus bermuara pada gugatan di MK atas hasil pilpres, gugatan ke PTUN yang kemudian di tolak dan terakhir adalah dengan memainkan secara efektif koalisi gendut mereka yang memang secara jumlah suara sudah di atas angin. Mr. Presiden sebagai representasi pemerintah dan negara sebagai pengusul RUU ini dan tentunta partai Partai Demokrat disebut-sebut sebagai pemegang kunci menentukan hasil keputusan di DPR. Namun, mereka belum menentukan arah koalisi di parlemen secara jelas setelah sebelumnya juga menempati posisi abu-abu dalam pilpres namun dengan santun berlindung dibalik kata "netral". Saya ilustrasikan, Partai Demokrat dan Mr. President sudah melemparkan bola panas yang sudah terlanjur menggelinding dan bahkan membakar diri mereka sendiri. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa ini bagian dari sandiwara Mr. Presiden untuk attracting Megawati Soekarno Putri sebagai Ketum PDIP yang telah memenangkan Pilpres bersama koalisinya. Kesan plin-plan juga tidak bisa dihindari oleh Mr. Presdient karena dianggap tidak memiliki sikap, di satu sisi ia mengemukan dukungan terhadap Pilkada langsung, di sisil lain Partai Demokrat, bahkan salah satunya adalah anaknya sendiri Ibas melakukan walked out dalam proses voting karena tidak diterimanya sepuluh opsi yang ditawarkan Demokrat untuk mendukung Pilkada langsung.
Namun, nasi sudah menjadi bubur, DPR dengan sistem voting (setelah melakukan dua kali lobby) sudah mengesahkan RUU Pilkada dengan mekanisme Pilkada melalui DPRD. Walk outnya partai demokrat, yang ketumnya yakni Mr. President menyatakan diri mendukung Pilkada langsung berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara. Sebanyak 226 suara di DPR memilih Pilkada via DPRD dan 135 suara memilih Pilkada langsung dari 496 anggota DPR yang hadir dari seluruh fraksi. Sebanyak 123 orang anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat melakukan walk out.

Melihat respon dari khalayak yang paling menarik salah satunya tentu melalui sosmed. Sebagian besar komunitas sosmed menghujat proses yang telah berlangsung, dan lebih spesifik menghujat Partai Demokrat dan Mr. PResident. Banyak sekali meme (lelucon yang menyindir) Mr. President, diantaranya dikatakan sebagai penerima penghargaan BApak Pilkada Tidak Langsung, Pemain Sandiwara Hebat, dan lain sebagainya. Dan yang paling ekstrim adalah hashtag (#) ShameOnYouSby menjadi trending topic of the world di twitter. Namun, ini hanya bertahan dua hari saja. Hari ketiga hashtag/tagar ini menghilang dari puncak, dan dikait-kaitkan dengan menkominfo Tifatul Sembiring yang diduga “menghilangkannya”. Tapi tentu saja ini dibantah.

Banyak kalangan menggugat hasil keputusan sidang paripurna DPR ini dengan menandatangani petisi yang mendukung atau mendesak Judicial Review UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Opsi lain yang menjadi peluang juga adalah, jika benar Mr. President kecewa dengan hasil Paripurna DPR maka ia bisa saja menolak menandatangani RUU tersebut sebagai Undang-undang dalam lembaran negara. Tetapi, seperti rakyat sudah betul-betul menganggap Mr. President yang tinggal menghitung hari lagi masa jabatannya sebagai PHP (Pemberi Harapan Palsu). Menurut UUD 1945 tentang kewenangan DPR. dimungkinkannya penolakan menandatangani UU oleh Presiden juga bersyarat jika dalam proses pembahasan di DPR itu tidak berdasarkan persetujuan bersama. Pertanyaannya, apakah mekanisme voting di DPR masuk dalam “persetujuan bersama” karena ini adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak. “Persetujuan bersama’ di sini juga ambigu. Dalam hal persyaratan ini tidak terpenuhi pun semestinya, proses pembahasan sebuah RUU tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.Lha, saya ini bukan pengamat, bukan analis, hanya curcol, sehingga lepas dari dalil dalam UUD 1945 tentang kewenangan DPR, menurut saya sudah melampui fungsi legislasi mereka dengan melakukan ketok palu sebuah RUU yang dinyatakan implikasi UU-nya nanti bertentangan dengan prinsip demokrasi dan juga bahkan UU lainnya yang disebut-sebut yakni UU Pemda dan UU AdPem.

Dalam hal peluang hukum untuk JR UU baru ini ke MK tidak bisa dilakukan atau ditolak, dan juga dalam hal Mr. President menandatangani atau tidak UU ini, hal paling mungkin dilakukan oleh rakyat adalah untuk mengingat baik-baik siapa saja anggota dewan dan juga Parpolnya yang telah menyumbang 135 suara dalam voting memenangkan opsi Pilkada via DPRD. Jangan lagi “mengotori” dengan memilih orang-orang dan partai-partai tersebut di tahun 2019. Inilah partai-partai tersebut: Gerindra, PKS, PPP, PAN, Demokrat, dan Golkar.   







Jumat, 26 September 2014

Aku dan Kembang *Putat #Coretan Iseng tentang alamku


Sumber: gpswisataindonesia.blogspot.com
Putat adalah sebutan lokal di Kampungku (Desa Air Nyuruk, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat) untuk pohon yang tumbuh persis dipinggiran sungai, tangkai bunga/buah menjuntai panjang, terkadang menyentuh permukaan air, sehingga ikan bisa memakan bunga dan buahnya. Klaim nama Putat sebagai sebutan lokal di kampungku hanya karena itu yang kuingat dituturkan dari orang-orang tua di sana. Namun, aku juga menemukan sebutan atau istilah ini juga akrab di masyarakat Danau Sentarum (berdasarkan informasi di website Riak Bumi dan GPS Wisata Indonesia) dengan Bahasa Latin Baringtonia acutangula. Bunga Putat halus indah memerah. Dan, aku kecil seperti kumbang madu, senang memakannya dan merasakan manis-kelat. Ibu-ibu di kampungpun ada yang pernah memasaknya untuk campuran ikan dan bahkan menjadikannya seperti lalapan atau salad tak ubahnya seperti sayur segar. Aku dan kakakku bersama dengan kawan-kawan di masa SD berlomba mengumpulkan sebanyak-banyaknya dan sering juga menjadikan asesoris seperti perhiasan ketika bermain yang kami sebut "belangun" (pretending atau main pura-pura atau role-play, termasuk main masak-masakan).

https://lh3.googleusercontent.com/_7Kbozd9aR0Q/TZXZhvtXsXI/AAAAAAAAAD0/usxQ7PvGRSo/DSC_3664.jpg
Sumber: http://nationalgeographic.co.id
Di danau Sentarum, bunga pohon ini adalah pakan lebah dan pohonnya tempat mereka bersarang. AKu ingat, di musim Putat berbunga, rasa madu akan dipengaruhi oleh rasa bunga Putat, kelat (rada pahit). Berharap suatu saat bisa mendapati pohon ini sedang berbunga dan mengabadikannya dalam gambar. Aku punya harapan yang sama dengan pohon 'Ntangis atau Mentagis (Ixora mentangis), jenis pohon yang selalu berdampingan dengan Putat dan akrab sekali karena memang mereka tinggal di habitat yang sama.  Flora ini juga kerap aku dan kawan-kawan kecilku konsumsi disela-sela mengumpulkan bunga Putat. Melampui sekedar mengabadikan mereka pada potongan gambar,mungkin berakhir pada rangkaian cerita sedikit panjang untuk kurcaci G, P dan A. Mereka bisa memasukan "Capture Putat and Mentangis" ke dalam Proyek Camping di Kampung yang masih dalam perencanaan.

Sebelumnya, hanya ini yang kupunya, hanya coretan, tak hendak bersyair bak pujangga. Aku hanya mengenang lalu dan hanya rindu.



AKU DAN KEMBANG PUTAT

Aku, hatiku
Masih cinta dengan bau bumi basah
Melebur
Pada tiap keraknya yang berlumpur kala hujan
Memaksa menahan geli pada saraf kaki yang telanjang

Rindu
Pada tiap juntai kembang Putat berjejer di tepian sungai
Pada deru speed boat
Yang bisa mendadak bagai berkuda di atas air
Melaju bersama riak gelombang

Datang dan pergi
Pergi dan pulang
Rindu kampung
beraroma khas uap nasi sore hari
Rindu kepulan asap tanakan nasi di perapian dapur

Pontianak, 2 September 2014



Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...