Suatu waktu kita mungkin ingin menjelaskan arti sebuah relasi, bagaimana memaknai relasi dalam berbagai konteks. Relasi ini bisa diterjemahkan sangat luas, mulai dari pertemanan, pasangan, persaudaraan, tim kerja, tetangga, kelompok arisan, anak-orang tua dan bahkan dengan hewan peliharaan serta dengan tumbuhan yang kita tanam atau yang intens kita jumpai di sekitar kita. Namun, pernahkah setiap relasi itu kita menyadari seringnya kita absen melihat relasi dengan pemilik hidup?.
Pada dasarnya, banyak orang akan memahami relasi vertikal ini dalam wujud spiritualitas, religi, dan bertumpu pada ajaran kebenaran, yakni kebenaran yang mutlak. Kebenaran yang tidak mematikan proses berpikir dan merekonstruksi jalan menuju kebenaran itu sendiri. Jauh berbeda dari kebenaran dalam relasi horizontal, karena tidak ada dan tidak boleh ada kebenaran mutlak di sana karena itulah yang mematikan berprosesnya nalar dan rasa. Aku melihat kedua relasi (vertikal dan horizontal) ini mestinya berjalan seiring karena itulah penjelasan atasnya tidak pernah berakhir dan menjadi proses yang bisa dikatakan aku tidak punya pilihan selain menjalaninya, yakni persis adalah proses kehidupan ini yang juga penuh dengan gelombang, turun-naik, vertikal-horizontal, dan lain-lain. Orang bilang, ya Up and Down.
Pada setiap relasi, kita seperti membangun ruangnya masing-masing. Di ruang masing-masing ini orang berharap akan lebih intens membangun hal-hal baru berdasarkan kesukaan, kegilaan, pekerjaan sampingan, dan wujud eksistensi identitas tertentu yang hendak dibangun. Jadi, jangan heran jika yang namanya komunitas berbasis hobby/profesi akan semakin bertumbuh, kelompok arisan akan selalu ada, perkumpulan berbasis suku, asal dan marga tertentu selalu kita temui. Kesemuanya ini yang kusebut sebagai "memaknai relasi". Orang terkadang bisa dilihat kadar 'sosial' atau 'gaulnya' dari seberapa banyak komunitas yang ia ikuti.
Mari kembali kepada relasi yang terkadang terabaikan, relasi dengan pemilik hidup. Tapi, kog jadi gak enal yach...seolah-olah diriku lagi menggurui soal atau urusan dengan "yang Satu itu". Yah, itung-itung mengingatkan diri sendiri aja lah. Aku, kamu, kita, tentunya memiliki keyakinan akan satu hal di atas segala hal. Yakini saja apapun yang kita pilih sebagai kebenaran, dan bagaimana kebenaran itu akan menggiring kepada kebenaran yang sesungguhnya, akan selalu ada pengalaman hidup yang jika kita jalani dengan keikhlasan mempertemukan kita pada titik tempat beradanya arah yang harus dituju. Guess what?!. Bebas saja mengintpretasikan ini...take it easy braayyy and sisthaaa....
Biar saja tumpah ruah, bertaburan bahkan pun kalau berserakan, biar kan saja. Lihat saja indahnya serakan itu dengan berbagai bentuk, warna dan pola. Ia menantangmu seperti merangkai mozaik, menyusun puzzles, dan mengumpulkan potongan kertas yang hanya dengan ketekunan akan membawamu pada hasil yang indah dan memuaskan.
Jumat, 20 Maret 2015
Minggu, 25 Januari 2015
Kematian Yang Ditentukan
Akhir-akhir ini aku
kembali pada situasi dimana sulit mengendalikan dominasi rasa untuk sejajar
dengan logika. Rasa sedih, kecewa, kasihan yang semuanya terfokus pada
detik-detik yang dalam hitungan mundur dibayangi wajah-wajah enam orang
terpidana mati kasus narkoba yang menunggu eksekusi pada hari Minggu, 18
Januari 2015. Membayangkan wajah-wajah keluarga mereka yang terpaksa harus
menerima kenyataan atas waktu dan cara kematian yang sudah ditentukan oleh
kejaksaan. Masih rasa yang sama ketika eksekusi mati Tibo Cs pada delapan tahun
lalu (22 September 2006) untuk kasus kerusuhan Poso. Rasa yang pada tataran
kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia sesungguhnya bisa dijelaskan sejalan dengan
logika, bahkan logika sederhana sekalipun, misalnya mati tidak seharusnya
menjadi bentuk hukuman atas kejahatan apapun, apalagi dengan dalih efek jera.
Toh, semua manusia akan mati. Ini bisa jadi sangat subyektif, tetapi rasa dan
logika ini mempertanyakan beberapa hal diantaranya, apakah ada jaminan bahwa
proses-proses hukum terhadap para napi ini berjalan dengan adil, tidak
diskriminatif dan bebas dari kepentingan yang lebih besar?.
Sumber: http://www.cdn.klimg.com |
Banyak sekali orang
pintar di negaraku terutama para penegak hukum yang kuyakin mampu mencari
alternatif-alternatif hukuman berat lain selain hukuman mati. Tetapi, ini masih
seperti harapan yang mengawang jauh dibalik
awan-awan. Entah siapa yang mampu menjelaskan kenapa, akupun tidak,
selain ungkapan kekecewaanku bahwa ini bentuk kemalasan berpikir yang luar
biasa. Otak untuk menganalisa kalah tajam dan menakutkan dari pelor panas
senjata.
Detik-detik menjelang
eksekusi menyesakan dadaku, serasa seakan diriku yang akan menghadapinya.
Membayang mereka tak sanggup lagi berbuat apa-apa tetapi pasrah, bergulat
dengan bayang-bayang kematian yang disahkan secara hukum manusia melalui
keputusan kejaksaan dan popor senjata penembak jitu Polisi Brimob. Entah apa
yang mereka rasa ketika waktu dan tempat kematian telah ditentukan dan
dipersiapkan diwarnai hingar bingar, hiruk pikuk setuju-tidak setuju, pantas-tidak
pantas, iba-hujatan dan paling pasti ekspos media. Ini pula yang membuat hatiku
semakin resah, membaca dan mendengar pernyataan orang-orang yang setuju dengan
penghukuman demikian, percaya bahwa itu tindakan menyelamatkan generasi bangsa.
Aku memahami sikap dan
pikiran orang-orang yang setuju dengan menempatkan rasa dan logika seperti yang
kualami saat ini, hanya saja mungkin dalam pijakan yang berbeda. Aku cenderung
berpikir bahwa selalu ada cara lain dan mesti ada kesempatan kedua bagi
orang-orang jahat sekalipun dengan alas belas kasihan dan hak asasi manusia.
Dan mereka, kecenderungannya berpikir praktis dan percaya bahwa hanya kematian
yang bisa menghentikan ‘jahatnya’ seseorang agar ia tidak menyebarkan virus
jahatnya kepada yang lain atau melakukannya kembali dengan kesempatan yang ada.
Ya, kedua sikap dan pikiran inipun bisa diklaim sebagai yang paling benar.
Mungkin saat ini, aku harus banyak melihat dengan mata hati bukan mata-kepala
saja, bahwa negaraku tidak sedang ketakutan dan panik tetapi betul-betul sedang
peduli akan keselamatan bangsa dari kejahatan luar biasa narkoba dan terorisme
dalam bingkai penegakan hukum.
Kembang Kopi dan Kumbang
![]() |
Kembang Kopi Halaman Rumah Ibuku |
Ini adalah tulisan pertamaku di tahun 2015. Ini sudah seperti mengumpulkan PR di tahun lalu, dimana aku memiliki target untuk mengabadi beberapa simbol dari golden memory masa kecilku, yang masih membekas hingga kini. Dan, sudah sekian lama bahkan melampui lebih dari seperempat abad baru kuingin memetik filosofi dibalik simbol-simbol ini, salah satunya adalah kembang kopi. Sebuah oleh-oleh dari liburan panjang yang tak mampu untuk tidak ku-share di media sosial yang kuikuti.
Mengapa kembang kopi?.
Akan kujawab disini. Pastinya bukan karena aku penyuka kembang dan penyuka kopi
yang pernah nyaris bertahan lama sebagai coffeeholic.
Ini hanya visualisasi kerinduanku pada masa lalu, masa kecil di kampung
halamanku. Aku kecil, sekitar umur empat tahun masih selalu ter-recall di memoriku saat ini. Ia adalah
diriku yang bercelana pendek biru, dan (sepertinya) tak berbaju, begitu bahagianya
berlarian dengan kakaku yang setahun lebih tua dariku. Kami kecil bersembunyi
dibalik pohon sahang di kebun kakek dan sesekali memetik buahnya yang ranum
untuk dimakan kulit arinya. Selang waktu, kami bermain petak umpet sampai ke
kebun kopi kakek dimana kami melakukan hal yang sama. Hanya saja perlu sedikit
kerja keras untuk yang satu ini. Kami harus menggunakan tangga dan targetpun
bukan hanya kulit ari buah kopi yang ranum, tapi juga kembang putihnya untuk
kami sunting dirambut setelah sebelumnya kami ciumi dulu aromanya (tentu dengan
membuang daun-daunnya – kejam ya...).
Sesederhana itu kisah
lalu yang tersimpan rapi di sudut memori keemasanku. Itu semua seperti kisah
singkat di film pendek karena cerita mesti usai (tapi ternyata belum usang)
bermula ketika kami masuk Sekolah Dasar, yang artinya meninggalkan kampung
halaman, kebun kopi, kebun sahang, kebun tebu, pohon jeruk yang sering kami
panjat, pohon asam pelam dan mangga, dan burung Beruwi’ (Kenyalang). Sekolah
telah mencerabutku dari semua itu bahkan dari kedua orangtuaku karena sekolah
itu artinya bermigrasi ke pusat desa, tinggal di lanting kakek-nenek,
dijambangi bapak sekali-kali (mamak tidak pernah ikut, dugaanku itu sulit
karena mamak melahirkan adik-adik kami setiap tahun) dan pulang ke kampung
hanya sekali ketika libur panjang di bulan Juni. Liburan di sini berarti mencari
uang sekolah (membantu Bapak menoreh karet), menjemur-mengisar dan menumbuk
padi. Mestinya ada cerita tersendiri tentang ini semua. Kali ini, mari kembali
ke kembang kopi.
Kembang kopi memiliki
filosofis yang kuat menggambarkan kesolidan
relasi secara universal (bagi saya lho...), baik itu persaudaraan, persahabatan
maupun pekerjaan karena ia bergerombol dengan indahnya dalam satu tumpukan pada
satu ruas tangkai. Kesetaraan dan kesederhanaan juga tergambarkan dari setiap
kembang kecilnya yang berwarna putih dengan ukuran yang hampir sama. Terlepas
dari filosofis kembang kopi, aku sendiri begitu merindukan aroma kopi racikan
kakekku yang prosesnya begitu menantang sebelum ia tersaji harum panas di mug. Memanen
kopi selalu disertai dengan ritual mengebaskan serangga merah, merendamnya
untuk memudahkan menguliti (agar kulit arinya terkelupas – buah kopi segar
tentu kulit arinya beberapa kami makan), menjemur, disangrai sampai hitam dan
keluar aroma khas lalu digiling
ketika masih panas, terakhir disaring tepung kopinya (ah, aku masih menjumpai penggiling kopi kakek
saat kepulanganku tahun ini, tak terawat dan disimpan di dek rumah bapakku). Dan jadilah kopi beraroma
“kuat”, yang belum pernah kutemukan dikopi yang selam ini kubeli diwarung
bahkan dengan merk terkenal sekalipun (subyektif sekali ya). Aku kecil dan kakakku sering curi-curi menyruput kopi kakek. Terkadang, ia langsung mengerti melihat tatapan 'ingin' kami, maka ia langsung menyuruh kami mengambil gelas masing-masing dan ia dengan senang hati membagi kopi pahitnya (jadi kangen almarhum...).
Pohon
kopi dan kembang kopi belum semuanya punah. Aku masih menjumpainya ketika
pulang ke kampung, dan sudah kujanjikan pada diriku untuk mengabadikannya jika
kutemukan ia mekar. Bersamaan dengan keinginanku mengabadikan kembang Putat dan
Mentangis (tapi tidak kesampaian karena aku tidak singgah cukup lama di pusat
desa dimana aku mungkin menemukannya dengan harus berperahu atau menyisir
daratan di pinggir Sungai Ketungau atau Sungai Air Nyuruk). Bahagia rasanya,
seperti bernostalgia kembali dengan masa kecil ketika kutemui si kembang kopi
persis di samping rumah emak. Satu hari saja kudapati tiada hujan, aku
mengabadikannya dengan kamer EOS 60D dan lensa makro sehingga ia terlihat indah
bersama dengan kumbang yang sedang mencumbuinya. Kumbang yang narsis, ia
nyempil aja ketika aku mengambil fokus pada kembang yang menyerupai
bulir-bulir. Tapi, aku senang ia tertangkap lensaku, menjadikan jepretanku
hidup meski sedikit over lighting dari sunrise kala itu.
Rabu, 17 Desember 2014
Narasi Kota di Kelilingi Gunung, Palu
Berandai ini adalah kesempatan terakhir, aku ingin menuliskan tentang sebuah kota, sebuah lembah di kelilingi gunung, Palu. Kesempatan di akhir tahun untuk mengunjungi kota ini pertama kali setelah sekian lama tempat ini sudah menjadi rumah kedua si Daddy. Kepergianku pun karena jadi 'sertaan' nya berbungkus pekerjaan tentunya. Bagaimana tempat ini sudah menjadi seperti rumah kedua baginya bisa kuilustrasikan dengan "bahkan aku sendiri seperti sedang bertamu dan dia tuan rumah" meskipun aku datang bersamanya.
Di luar itu semua, ini sama sekali bukan tentang pekerjaan. Sebelumnya, aku hanya mendapati semua itu dari jepretan si Daddy dan cerita soal keindahan yang terkadang rasanya seperti semakin menyisihkan dan menyudutkan aku dari rasa bahagianya yang semestinya juga bisa kunikmati. Sekarang, aku hanya ingin menarasikan keindahan teluk Palu dan indahnya lampu malam serta suasana tepi laut yang sempat kuabadaikan dengan Kamera EOS 60D, dengan lensa 50 MM. Itu semua bukan dari cerita, tapi yang kusaksikan sendiri meskipun ini belum seberapa dan belum menjadi jawaban atas kebinaran Daddy setiap bercerita tentang tempat-tempat yang ia kunjungi di tiap sudut pegunungan di Sulteng itu. Ini kuibaratkan hanya di beranda saja.
Suatu hari usai pertemuan, kami; aku dan suamiku dan dua orang teman bertolak seiring senja berlabuh. Kami menuju ke arah entah mana, tak terlalu kupedulikan. Yang kutahu itu adalah kampung halaman temanku, berada di tepi laut, bernama Limboro. Tanpa kusadari, aku memberi kesempatan sejenak agas-agas menggigit kulitku dengan kejam sementara aku berpindah-pindah mencari spot untuk merekam gambar perahu nelayan dan ombak meliuk di pantainya. Ah, sayangnya rintik hujan dan awan hitam tak mengijinkan menyaksikan matahari terbenam. Menjelang malam kami kembali ke kota Palu dan aku sempat menikmati temaram lampu sepanjang jalan di pinggir pantai. Berhenti sejenak di kantor temanku untuk makan malam, aku dan Daddy kembali ke Hotel Sutan Raja tempat kami menginap.
Sekelumit perjalanan ini bermuatan cerita indah dari lima komunitas di tiga Kabupaten di dataran tinggi Sulawesi Tengah. Tentang mereka, para petani cengkeh, petani nilam, dan petani kakao yang mencoba bertahan dari masa ke masa dari gerusan pembangunan dalam bentuk ekspansi modal besar perusahaan perkebunan skala besar sampai ke taman nasional. Ya... cerita yang sama memang bergulir dimana-mana, konflik komunitas masyarakat yang berada di sekitar hutan dengan pengelola perkebunan ataupun dengan pengelola taman nasional.
Poin menarik dari seluruh rangkaian perjalanan selama empat hari ini, aku bertemu dengan orang-orang yang membuatku penasaran dengan keindahan dataran tinggi, ditambah lagi beberapa orang dari mereka mulai mempromosikan keindahan tempat-tempat seperti situs-situs purbakala.

Sekelumit perjalanan ini bermuatan cerita indah dari lima komunitas di tiga Kabupaten di dataran tinggi Sulawesi Tengah. Tentang mereka, para petani cengkeh, petani nilam, dan petani kakao yang mencoba bertahan dari masa ke masa dari gerusan pembangunan dalam bentuk ekspansi modal besar perusahaan perkebunan skala besar sampai ke taman nasional. Ya... cerita yang sama memang bergulir dimana-mana, konflik komunitas masyarakat yang berada di sekitar hutan dengan pengelola perkebunan ataupun dengan pengelola taman nasional.
Poin menarik dari seluruh rangkaian perjalanan selama empat hari ini, aku bertemu dengan orang-orang yang membuatku penasaran dengan keindahan dataran tinggi, ditambah lagi beberapa orang dari mereka mulai mempromosikan keindahan tempat-tempat seperti situs-situs purbakala.
Senin, 03 November 2014
Don't Judge the Book from Its Cover: Untuk Sang Menteri Susi Pudjiastuti "The Inspirator"
Adagium Don't Judge the Book From its Cover - Jangan Menilai Buku Dari Sampulnya menjadi kembali populer akhir-akhir ini. Istilah ini mengemuka ketika pengumuman Menteri kabinet Jokowi-Jusuf Kalla, yang dinamai dengan "Kabinet Kerja". Di Kabinet kerja ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi salah satu kementerian yang baru pertama kali dijabat oleh perempuan. Isu di bidang kelautan sekaligus merupakan prioritas program kerja Jokowi dengan mimpi "Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia". Namun, masyarakat dikejutkan dengan dipilihnya seorang perempuan bernama Susi Pudjiastuti. Ia menjadi sorotan publik bukan saja karena dia wajah baru di Kementerian tetapi karena dia hanya tamatan SLTP, memiliki penampilan yang unik (dianggap nyentrik) dengan kebiasaan merokok dan bertato di kakinya.
Dipilihnya Menteri Susi Pudjiastuti mengundang pro dan kontra. Menarik sekali melihat realitas bahwa banyak juga para pakar yang berargumentasi soal ketidaklayakan perempuan satu ini menjadi Menteri karena dianggap tidak berkompetensi dan berpengetahuan di bidang tekhnologi kelautan dan perikanan mengingat latar belakangnya dari pebisnis atau pengusaha yang merintis usaha "berjualan" ikan dan lobster. Namun melampaui sekedar pengusaha berjualan ikan dan lobster, ia merupakan seorang navigator handal yang mengetahui titik-titik koordinat laut Indonesia yang memiliki potensi, misalnya dia tahu persis menggambarkan titik koordinat tempat dimana ikan jenis Black Tiger yang masih di kawasan perairan Indonesia tetapi ikan ini diklaim oleh Eropa dan dijual dengan harga yang sangat mahal disana. Dan, terpenting lagi adalah bagaimana ia membangun sayap bisnis mulai dari hanya seorang pengepul ikan dan lobster kemudian merambah ke ekspor lobster ke luar negeri yang menjadi awal ia merintis perusahaan penerbangan miliknya, Susi Air, bermula dari kebutuhan untuk menjangkau atau membeli lobster di wilayah-wilayah yang susah dicapai sampai kemudian perusahaan ini bermetamorfosa menjadi perusahaan penerbangan penumpang (passangers flight). Ia bahkan ikut andil membantu para korban Tsunami Aceh dengan perusahaan penerbangannya.
Ada banyak hal dari pengalaman Ibu Susi selama lebih dari 30 tahun menekuni bidang usahanya yang seharusnya bisa memalingkan orang dari soal ijazah SMP, merokok dan bertato. Tetapi, realitanya masih banyak, bahkan para pakar merasa "terancam" atau merasa "tidak dianggap" bahkan dilecehkan gelar akademisnya hanya karena ada Menterri hanya seorang yang berijazah SMP. Tapi, banyak juga simpati dan dukungan terhadapnya, yang coba membedakan antara profesionalisme dengan pilihan cara hidup dan gaya hidup. Ibu Susi sendiri dengan bangga mengungkap soal profesionalismenya dalam hal manajemen mulai dari perencanaan dampai pada kemampuannya mengorganisir orang serta kepribadiannya yang open-minded, berintegritas, independent (misalnya pernyataan soal dirinya tidak bisa disuap), dan pekerja keras. Itu ia ungkapkan dalam sessi wawancara dengan sebuah televisi swasta di Jakarta, dimana ia mempertegas bahwa kompetensi seperti itulah yang diharapkan dari dirinya sebagai seorang Menteri sekaligus ia mengakui kekurangan pengetahuannya di bidang tekhnologi laut dan perikanan. Terkait dengan ini, ia juga menantang para ahli untuk bekerjasama dengannya mengisi kekurangan itu dan ia juga mempertegas bahwa di departemen yagn ia pimpin juga tak kurang orang yang ahli yang siap untuk diajak berkerja sama dalam sebuah tim.
Merespon bagaimana komentar terhadap dirinya dan bagaimana ia selalu diuber-uber oleh awak media, suatu hari Menteri Susi menjawab, "Saya ini menteri apa selebritis sih, anda kejar-kejar saya terus. Saya jadi tidak bisa kerja. Hari ini saja saya belum kerja, anda "tangkap' saya." Tapi inilah bentuk keingintahuan masyarakat, dan uberan media ini tentu harusnya juga meluruskan banyak hal yang sering dipercayai sebagai kebenaran misalnya pendidikan tinggi atau gelar akademis akan berkontribusi positif terhadap kesejahteraan hidup masyarakat karena itu salah satu jaminan mendapat pekerjaan yang lebih layak atau setidaknya menjadi pegawai negeri sipil dengan poin yang tinggi dan berpengaruh pada karir dan golongan. Ini terlihat dengan selalu meningkatnya peminat atau pendaftar tes CPNS yang berbanding terbalik dengan formasi yang diminta atau kemampuan/daya serap masing-masing institusi. Orang-orang seperti Ibu Susi memang tergolong langka, tetapi sudah cukup banyak juga di dunia dengan catatan sukses merubah kehidupan banyak orang dengan mereka membuka ruang pekerjaan bagi orang lain dan mereka juga memiliki kepekaan terhadap persoalan masyarakat di tingkat bawah melampui para pejabat publik berdasi yang membuat kebijakan berdasarkan pesanan dari kelompok tertentu dan mengatasnamakan kepentingan masyarakat, sementara mereka sendiri tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan menganalisa persoalan yang sesungguhnya. Sederhananya, apakah pakar-pakar yang bergelar akademis dan menghujat serta meragukan kompetensi Ibu Susi tahu apa persoalan nelayan, apakah mereka sudah tersentuh kebijakan terkait kesejahteraan nelayan?. Ibu Susi hadir ditengah ketidaktahuan dan absennya kalangan elit ini dengan membeli lebih mahal tangkapan lobster nelayan meskipun kemudian lobster tersebut tidak ia jual lagi tetapi ia lepaskan karena lobster-lobster itu sedang bertelur. Ia membeli lobster itu karena ia mempertimbangkan bahwa nelayan tidak mungkin dilarang menangkap atau disuruh memilih lobster yang tidak bertelur karena ini berdampak ke penghasilan mereka (setidaknya ini satu diantara banyak hal jika bicara kebijaksanaan Ibu Susi yang dilansir sebuah media). Di samping itu, ia sendiri sadar bahwa lobster-lobster bertelur itu akan menghasilkan lobster-lobster lain (produktifitas mempertimbangkan reproduksi) dan menjaga hubungan simbiosis mutualisme antara ia sebagai pengusaha, nelayan dan keberlanjutan spesies lobster.
Suatu hari, Sang Menteri berkebaya hitam nan elegant, sehari setelah pelantikannya sebagai Menteri Kelautan & Perikanan di Televisi Swasta Jakarta, ia bicara soal prioritasnya: Tata Ruang, Komersialisasi perikanan, kesejahteraan nelayan, advokasi nelayan dan illegal/destructive fishing. Ia jg memuji staf-stafnya di kementerian yang dia anggap open-minded. Dengan pernyataan-pernyataannya yang tidak bertele-tele, tidak mengawang-awang, menurutku ia juga menegaskan dirinya yang memiliki integritas, independen (bahasa bu Susi, "Saya tidak bisa disuap") dan mampu mengelola peluang serta mengorganisir sumber daya bermodalkan pengalamannya selama ini. Dan, hal yang mengetuk hati adalah komitmennya yang tidak dilandasi ingin kaya, ingin populer dan pengakuan tetapi komitmen membuat bidang kelautan Indonesia lebih maju, sehingga ia juga menyatakan siap mundur jika dianggap kinerjanya tidak baik. Dan, hanya selang beberapa hari ia diwawancarai ini, ketika ia berkesempatan bertemu dengan para nelayan di Pangandaran, ia bahkan menyatakan akan memberikan gajinya sebagai Menteri kepada para pensiunan nelayan dalam bentuk asuransi. Saya tidak heran, kepulangan Ibu Susi di Pangandaran disambut antusiasme warga, karena ia sering sekali terlibat (ini yang saya sebut wujud egaliter sang Menteri satu ini) dalam pelelangan ikan bersama para nelayan, dengan duduk dibangku yang ia klaim sudah 15 tahun ia duduki dalam proses pelelangan ikan ditemani secangkir kopi. Ia berbaur dengan orang-orang masih sama persis ketika ia belum menjadi menteri. Semoga ini awal yang baik ya bu Susi.
Ya .... cerita tentang Ibu Susi Pudjiastuti mungkin kelak menjadi salah satu rujukan di Indonesia bahwa kita tidak bisa menilai orang dari fisik dan pilihan hidup. Apa yang salah dengan pilihan hidup Ibu Susi merokok dan menato kulitnya, toh ia tidak menggunakan uang rakyat - tidak merampok (baca: korupsi). Melihatlah dengan jernih dan bedakan antara kualitas, kompetensi dan pengalaman dengan kostum, penampilan dan juga jenjang pendidikan. Apalagi, semakin hari, jenjang pendidikan tidak berpengaruh terhadap kemampuan seseorang bahkan untuk mengukur sukses, kecuali Pegawai Negeri lah ya ... Yang jelas, menjadi Menteri juga tidak ada kriteria tertentu untuk jenjang pendidikan, dan sepertinya ini salah satu kehebatan Presiden Jokowi dalam membaca peluang, ia memberi ruang bagi para kaum profesional di kabinetnya untuk bisa berbuat bagi negara, bersanding dengan para elit parta dan kaum terpelajar (berpendidikan tinggi) untuk meretas jarak atau kelas, bersama-sama dengan apa yang mereka miliki untuk menuju Indonesia yang lebih baik. Kabinet toh bukan hanya kaplingan elit partai dan para cendekiawan dengan gelar seabrek. Selamat bekerja Ibu Susi Pudjiastuti, banyak tugas menantimu dan semoga tetap menjadi dirimu yang memiliki visi ke depan dengan mempertimbangkan keberadaan masyarakat di sekitarmu, utamanya para nelayan.
sumber: http://media2.coconuts.co |
Ada banyak hal dari pengalaman Ibu Susi selama lebih dari 30 tahun menekuni bidang usahanya yang seharusnya bisa memalingkan orang dari soal ijazah SMP, merokok dan bertato. Tetapi, realitanya masih banyak, bahkan para pakar merasa "terancam" atau merasa "tidak dianggap" bahkan dilecehkan gelar akademisnya hanya karena ada Menterri hanya seorang yang berijazah SMP. Tapi, banyak juga simpati dan dukungan terhadapnya, yang coba membedakan antara profesionalisme dengan pilihan cara hidup dan gaya hidup. Ibu Susi sendiri dengan bangga mengungkap soal profesionalismenya dalam hal manajemen mulai dari perencanaan dampai pada kemampuannya mengorganisir orang serta kepribadiannya yang open-minded, berintegritas, independent (misalnya pernyataan soal dirinya tidak bisa disuap), dan pekerja keras. Itu ia ungkapkan dalam sessi wawancara dengan sebuah televisi swasta di Jakarta, dimana ia mempertegas bahwa kompetensi seperti itulah yang diharapkan dari dirinya sebagai seorang Menteri sekaligus ia mengakui kekurangan pengetahuannya di bidang tekhnologi laut dan perikanan. Terkait dengan ini, ia juga menantang para ahli untuk bekerjasama dengannya mengisi kekurangan itu dan ia juga mempertegas bahwa di departemen yagn ia pimpin juga tak kurang orang yang ahli yang siap untuk diajak berkerja sama dalam sebuah tim.
Merespon bagaimana komentar terhadap dirinya dan bagaimana ia selalu diuber-uber oleh awak media, suatu hari Menteri Susi menjawab, "Saya ini menteri apa selebritis sih, anda kejar-kejar saya terus. Saya jadi tidak bisa kerja. Hari ini saja saya belum kerja, anda "tangkap' saya." Tapi inilah bentuk keingintahuan masyarakat, dan uberan media ini tentu harusnya juga meluruskan banyak hal yang sering dipercayai sebagai kebenaran misalnya pendidikan tinggi atau gelar akademis akan berkontribusi positif terhadap kesejahteraan hidup masyarakat karena itu salah satu jaminan mendapat pekerjaan yang lebih layak atau setidaknya menjadi pegawai negeri sipil dengan poin yang tinggi dan berpengaruh pada karir dan golongan. Ini terlihat dengan selalu meningkatnya peminat atau pendaftar tes CPNS yang berbanding terbalik dengan formasi yang diminta atau kemampuan/daya serap masing-masing institusi. Orang-orang seperti Ibu Susi memang tergolong langka, tetapi sudah cukup banyak juga di dunia dengan catatan sukses merubah kehidupan banyak orang dengan mereka membuka ruang pekerjaan bagi orang lain dan mereka juga memiliki kepekaan terhadap persoalan masyarakat di tingkat bawah melampui para pejabat publik berdasi yang membuat kebijakan berdasarkan pesanan dari kelompok tertentu dan mengatasnamakan kepentingan masyarakat, sementara mereka sendiri tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan menganalisa persoalan yang sesungguhnya. Sederhananya, apakah pakar-pakar yang bergelar akademis dan menghujat serta meragukan kompetensi Ibu Susi tahu apa persoalan nelayan, apakah mereka sudah tersentuh kebijakan terkait kesejahteraan nelayan?. Ibu Susi hadir ditengah ketidaktahuan dan absennya kalangan elit ini dengan membeli lebih mahal tangkapan lobster nelayan meskipun kemudian lobster tersebut tidak ia jual lagi tetapi ia lepaskan karena lobster-lobster itu sedang bertelur. Ia membeli lobster itu karena ia mempertimbangkan bahwa nelayan tidak mungkin dilarang menangkap atau disuruh memilih lobster yang tidak bertelur karena ini berdampak ke penghasilan mereka (setidaknya ini satu diantara banyak hal jika bicara kebijaksanaan Ibu Susi yang dilansir sebuah media). Di samping itu, ia sendiri sadar bahwa lobster-lobster bertelur itu akan menghasilkan lobster-lobster lain (produktifitas mempertimbangkan reproduksi) dan menjaga hubungan simbiosis mutualisme antara ia sebagai pengusaha, nelayan dan keberlanjutan spesies lobster.
Suatu hari, Sang Menteri berkebaya hitam nan elegant, sehari setelah pelantikannya sebagai Menteri Kelautan & Perikanan di Televisi Swasta Jakarta, ia bicara soal prioritasnya: Tata Ruang, Komersialisasi perikanan, kesejahteraan nelayan, advokasi nelayan dan illegal/destructive fishing. Ia jg memuji staf-stafnya di kementerian yang dia anggap open-minded. Dengan pernyataan-pernyataannya yang tidak bertele-tele, tidak mengawang-awang, menurutku ia juga menegaskan dirinya yang memiliki integritas, independen (bahasa bu Susi, "Saya tidak bisa disuap") dan mampu mengelola peluang serta mengorganisir sumber daya bermodalkan pengalamannya selama ini. Dan, hal yang mengetuk hati adalah komitmennya yang tidak dilandasi ingin kaya, ingin populer dan pengakuan tetapi komitmen membuat bidang kelautan Indonesia lebih maju, sehingga ia juga menyatakan siap mundur jika dianggap kinerjanya tidak baik. Dan, hanya selang beberapa hari ia diwawancarai ini, ketika ia berkesempatan bertemu dengan para nelayan di Pangandaran, ia bahkan menyatakan akan memberikan gajinya sebagai Menteri kepada para pensiunan nelayan dalam bentuk asuransi. Saya tidak heran, kepulangan Ibu Susi di Pangandaran disambut antusiasme warga, karena ia sering sekali terlibat (ini yang saya sebut wujud egaliter sang Menteri satu ini) dalam pelelangan ikan bersama para nelayan, dengan duduk dibangku yang ia klaim sudah 15 tahun ia duduki dalam proses pelelangan ikan ditemani secangkir kopi. Ia berbaur dengan orang-orang masih sama persis ketika ia belum menjadi menteri. Semoga ini awal yang baik ya bu Susi.
Ya .... cerita tentang Ibu Susi Pudjiastuti mungkin kelak menjadi salah satu rujukan di Indonesia bahwa kita tidak bisa menilai orang dari fisik dan pilihan hidup. Apa yang salah dengan pilihan hidup Ibu Susi merokok dan menato kulitnya, toh ia tidak menggunakan uang rakyat - tidak merampok (baca: korupsi). Melihatlah dengan jernih dan bedakan antara kualitas, kompetensi dan pengalaman dengan kostum, penampilan dan juga jenjang pendidikan. Apalagi, semakin hari, jenjang pendidikan tidak berpengaruh terhadap kemampuan seseorang bahkan untuk mengukur sukses, kecuali Pegawai Negeri lah ya ... Yang jelas, menjadi Menteri juga tidak ada kriteria tertentu untuk jenjang pendidikan, dan sepertinya ini salah satu kehebatan Presiden Jokowi dalam membaca peluang, ia memberi ruang bagi para kaum profesional di kabinetnya untuk bisa berbuat bagi negara, bersanding dengan para elit parta dan kaum terpelajar (berpendidikan tinggi) untuk meretas jarak atau kelas, bersama-sama dengan apa yang mereka miliki untuk menuju Indonesia yang lebih baik. Kabinet toh bukan hanya kaplingan elit partai dan para cendekiawan dengan gelar seabrek. Selamat bekerja Ibu Susi Pudjiastuti, banyak tugas menantimu dan semoga tetap menjadi dirimu yang memiliki visi ke depan dengan mempertimbangkan keberadaan masyarakat di sekitarmu, utamanya para nelayan.
Sabtu, 25 Oktober 2014
EMPAT HARI REUNI, BELAJAR DAN DE JAVU: Training of Facilitator (ToF) untuk Pendamping Hukum Rakyar (PHR) 2014
Kreatifitas dan inovasi adalah dua kata sifat (kreatif dan inovatif) yang
berubah menjadi kata benda dengan pengertian yang sangat aktif. Dikatakan aktif
karena keduanya memiliki makna mendalam tentang penggalian ide dan gagasan
menjadi bentuk yang kongkrit, dari yang sekedar berkutat dikepala dan
terpikirkan menjadi berbentuk dan tergapai oleh indera manusiawi kita. Kedua
kata, kreatif dan inovatif ini menjadi tugas pentingku dalam empat hari pada
empat hari lalu. Tugas memfasilitasi orang-orang hebat yang sudah berkecimpung
di pemberdayaan masyarakat dengan dimensinya masing-masing. Mereka adalah
aktivis dari beberapa kampung dari beberapa Kabupaten dan juga aktivis dari
Pontianak. Sebut saja aktivis dari AMA-JK Ketapang, JAKA-Melawi,
SKAK-MAD-Kapuas Hulu, Tokoh Masyarakat Dayak Ds. Sungai Garong-Melawi dan
beberapa aktivis dari lembaga di Pontianak seperti PSE, Gemawan, Pentis Pancur
Kasih, CU FPPK, PPSDAK Pancur Kasih, dan SAMPAN. Aku memiliki kesempatan
belajar dari orang-orang hebat ini bukan saja karena mereka aktivis tetapi
diantara mereka juga adalah orang-orang yang lama kukenal dan dalam relasi kami
mungkin tak banyak waktu untuk belajar bersama selain hanya sekedar bertegur
sapa seadanya, bertanya kabar dan sedikit bertanya informasi terkini di kampug
mereka untuk yang berasal dari kampung. Sedangkan untuk beberapa peserta,
justeru mereka adalah sahabat dan kawan menikmati “me time” dengan berkaraoke
dan terkadang cuap-cuap sekenanya. Beberapanya bahkan orang-orang yang baru
kukenal. Kesemuanya, orang-orang ini secara langsung maupun tidak langsung,
mereka sadari atau tidak, mereka turut menambah isi pundi-pundi ilmuku, dan
semakin memantapkan proses belajarku di dunia ini. Beragam pengalaman menarik seputar metode dan tekhnik fasilitasi pun
kudapatkan, termasuk perbedaan substansi dan konteks pengalaman mereka.
Ada yang berpengalaman melakukan motivasi dan sosialisasi Credit Union -
CU, ada yang berpengalaman memberikan pelatihan pertanian kepada
masyarakat, ada yang berpengalaman mengorganisir kelompok dalam
organisasi di kampung, berpengalaman mengorganisir pertemuan-pertemuan
multipihak dan antar komunitas dan ada juga yang berpengalaman sering
menjadi narasumber pada pertemuan-pertemuan mahasiswa sampai pada
mengorganisir aksi.
Dan yang paling spesial juga
adalah ini kesempatan aku belajar dan reunian dengan Sainal Abidin, seorang
kawan dari Lembaga Wallacea, Palopo-Sulawesi Tengah. Kawan yang punya segudang
pengalaman memfasilitasi di berbagai daerah, dan kami pernah berkesempatan
belajar bersama berguru pada Mbak Julia Kalmirah dan Rival Gulam Ahmad dalam
Training of Trainer yang difasilitasi oleh HuMA tahun 2010 silam. Dan
perjumpaan kami ini lagi-lagi difasilitasi oleh HuMA dan Lembaga Bela Banua
Talino, dua lembaga yang bergerak dalam pemberdayaan sumber daya hukum
masyarakat. HuMa berbasis di Jakarta dan memiliki mitra di berbagai daerah
seperti Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, dan Jawa Barat. LBBT
berbasis di Pontianak dan memiliki wilayah dampingan/fasilitasi di Kabupaten
Sekadau, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Bengkayang dan Melawi. Lembaga ini memiliki kesan tersendiri karena
sebelas tahun (2000-2011) aku menimba ilmu tentang hukum kemasyarakatan
(baca:hukum rakyat) dan banyak hal tentang Masyarakat Adat.
Kami menghabiskan waktu empat hari di luar kota yang hanya berjarak satu
jam 45 menit saja dari Kota Pontianak, yakni Desa Terap, Sarikan-Toho, tepatnya
di Biara Rivotorto yang dikelola oleh seorang Suster Tua bernama Gratia. Empat
hari yang berat dimana aku harus berkawan dengan meriang, sakit kepala dan
hidung mampet (gak sampe meler) karena flu dan terpaksa harus berkawan juga
dengan satu strip obat. Empat hari yang tak terasa karena bagiku belajar itu
selalu menyenangkan apalagi bersama dengan orang-orang yang penuh suka cita
berbagi:
Hari kedua; memberikan sedikit konsep Vibrant Facilitator, berbasis pengalaman dan pendekatan menggunakan Asset Based-Thinking (bukannya Defisit Based-Thinking yang lazim dipakai dalam pertemuan-pertemuan selama ini). Nah, yang ini tentu bung Enal ahlinya dengan hanya melakukan duplikasi dari pengalaman fasilitasinya di beberapa daerah sebelumnya. Aku bermain dengan metaplan dan spidol warna warni yang berakhir di tembok aula pertemuan dalam berbagai bentuk seperti Mind Map, Diagram T dan juga sekedar tempelan yang berpola tetapi memuat reume dan kesimpulan dari apa yang disampaikan oleh peserta untuk membantu mereka menyimak dan tidak berkutat dengan catatan mereka.
Hari ketiga; aku dan enal memberi kebebasan mereka berkreasi dengan
berbekal konsep, metode dan aplikasi yang sudah diberikan pada hari kedua.
Dalam kelompok, mereka berkesempatan untuk bernostalgia dengan pekerjaan mereka
selama ini yakni memfasilitasi tetapi dengan metode, tekhnik dan pendekatan
baru. Dan, kesemuanya berbasis
pengalaman mereka. Ada hal menarik dari setiap kelompok, mereka dengan tanpa
sengaja memilih metode role play dan menggunakan pendekatan kasus. Tetapi, ini
menunjukan realitas apa yang mereka hadapi dan lakukan selama ini tidak bisa lepas
begitu saja mendominasi cara pandang, cara kerja dan analisa mereka dalam
konteks fasilitasi. Terlihat, mereka mulai menyadari bahwa apa yang mereka
lakukan selama ini bukan memfasilitasi, cenderung sekedar (sekonyong-konyong)
seperti pemberi solusi tanpa pemahaman substansi dan konteks, menggurui dengan
teori-teori dan opini pada slide power point yang berakhir pada tanya-jawab
dimana masyarakat kurang lebih seperti gelas kosong yang mereka isi, dan tentu
saja tidak banyak berkreatifitas dengan alat-alat yang berpola dan berwarna
warni, apalagi menggunakan apa saja yang tersedia di kampung ketika “power
point” tidak bisa menyelamatkan mereka karean tidak listrik misalnya. Tapi
semua ini tidak terlalu penting, karena semua itu butuh proses dan kemauan untuk
mencoba ketika mereka pulang ke habitatnya masing-masing. Yang terpenting di
sini adalah kerelaan mereka dalam berpartisipasti penuh tanpa penolakan sama
sekali terhadap kelompok yang akan praktek fasilitasi dan memaksa mereka
terlibat berulang kali. Mereka penuh antusiasme, kadang diselingi kejailan dan
kenakalan kecil, tak berlebihan. Tanpa, mereka sebetulnya sedang menjadi guruku
yang sempurna, yakni bagaimana menghargai setiap orang dan menjadikan setiap
orang bermakna, tanpa ada yang ‘dikecilkan’ dan ‘dikucilkan’.
Hari keempat; berlanjut dengan praktek fasilitasi dengan memperhatikan
beberapa catatan dari hasil pengamatan sesama mereka dan catatan dari aku dan
enal. Kami menambahkan beberapa hal substansi dalam terkait Dinamika Kelompok,
bagaimana mereka memahami dinamika keterlibatan dalam keberagaman sebuah
kelompok dari latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang berbeda dan cara
pandang yang berbeda pula sebagai salah satu tugas penting dari seorang
fasilitator. Ini adalah hari terakhir, dan kesan membahagiakan bagiku adalah
ketika setiap orang merasakan mereka belajar sesuatu dari proses ini. Sebuah
refleksi menarik dari beberapa orang terungkap kira-kira begini, “selama ini
kita dengan bangga merasa sebagai fasilitator, memfasilitasi dimana-mana,
ternyata kita tak lebih dari sekedar narasumber.” “Kita sudah menggunakan
metode seperti ini, tetapi belum mendalami tekhnik dan masih belum
memaksimalkan alat bantu dan jarang memperhatikan etika, seperti bahasa-bahasa
yang digunakan termasuk bahasa tubuh yang penting diperhatikan dalam
fasilitasi”.
Delapan jam sehari, dengan menyisakan waktu malam hari untuk mengendapkan segala sesuatu yang sudah kami pelajari bersama. Di hari ketiga, kami memilih menggunakannya untuk malam keakraban dengan barbeque party dengan banyak potongan ayam dan entah berapa ekor ikan ditemani beberapa minuman. Menariknya, ini juga malam yang betul-betul menstimulasi hormon endhorpine kami karena banyak tertawa mendengarkan candaan lucu hampir semua peserta secara bergiliran. Dari sini lahir beberapa istilah "akai", "ancore", dan "nakal" dibalik cerita lucu mereka. Aku juga berkesempatan hunting beberapa gambar bunga dengan lensa makro dan beberapa candid-an dengan lensa 18-24. Kalo kata Adam, "fasilitator merangkap dokumentasi", tapi sesungguhnya membiasakan diri (baca: belajar) tekhnik photografi.
Yah, itulah proses belajarku bersama kawanku enal dan 20 orang peserta ToF
yang diselenggarakan HuMa dan LBBT. Aku memberi apresiasi khusus pada kedua
lembaga ini yang telah mengobati kerinduanku pada “ruang ilmu” yang selalu
kusempatkan untuk kukunjungi. Semoga akan ada banyak kesempatan lagi berikutnya
untuk aku belajar tentang banyak hal meskipun hanya dari “halaman belakang”. Aku
tidak akan mau berhenti, karena aku tidak percaya kebenaran mutlak di dunia ini
yang bisa menghentikan prosesku berpikir dan belajar sampai mati. Tapi hanya
satu kebenaran, pada Dia.
Senin, 29 September 2014
Petualangan Nyi Oblong, Bawang Bombay dan Bawang Kucai
![]() |
In the Boat Back From Sungai Garong |
Seperti apakah petualangan yang akan kutulis ini?. Jangan dibayangkan akan seperti cerita horor Nyi Blorong atau cerita pilunya Bawang Putih dan Bawang Merah. Cerita ini adalah cerita antara aku dan dua orang temanku. Aku dan satu orang temanku dalam cerita ini kebetulan sudah mantan di lembaga dan teman satunya lagi masih berstatus staf ketika cerita ini bergulir. Tentu saja aku tidak akan menyebut nama sebenarnya karena aku harus melindungi identitas asli kedua orang teman ini, bukan hanya karena ini cerita nyata tetapi untuk memberi privacy mereka dan mebiarkan keleluasan berfikir pembaca (kalo ada yang baca) tanpa harus berhenti dengan membayangkan para aktor cerita ini karena (mungkin saja) mereka mengenalinya.
Nyi Oblong itu adalah aku. Penamaan ini kuberikan sendiri dan kunyatakan pada suatu perjalanan ke ladang bersama dengan perempuan adat Sei. Garong ke kebun mereka. Bisa ditebak, ini ada hubungannya dengan kebiasaanku memakai kaos oblong, dan dalam perjalanan inipun semua kostum yang kubawa adalah kaos oblong berwarna hitam.
Bawang Bombay adalah sebutanku kepada si kakak senior karena badannya yang besar. Karena bobot yang berat, seringkali ia terduduk sepanjang perjalanan, baik perjalanan menuju ke Kampung Sei. Garong maupun perjalanan kami ke kebun suatu hari. Ya, kaki tidak mampu lagi menyangga badan, jadinya sering terjerembab, ditunjang lagi sandal jepit yang tidak anti-slip.
Bawang Kucai (Lokiu) adalah gelar yang kuberi kepada si kakak senior satunya lagi, yang di atas kusebut masih aktif sebagai staf di LBBT. Penamaan ini sendiri tidak ada hubungannya dengan fisik, tapi spontan saja mencari yang ada hubungannya dengan bawang, dan tidak boleh Bawang Putih atau Bawang Merah karena ini akrab sekali degan judul sinetron ataupun cerita anak tentang dua saudara tiri: si jahat dan si baik. Cerita ini sendiri jauh dari labek baik-buruk, hitam-putih, tapi hanya cerita untuk melekatkan di ingatan perjalanan bersama kedua sahabatku ini dalam rangka kerja namun bersuka cita.
Kembali ke awal cerita. Lama aku tidak bersentuhan dengan dunia luar setelah tidak lagi bekerja dan terkadang melakukan perjalanan ke banyak tempat dalam rangka pekerjaanku itu. Bertemu dengan banyak orang dan belajar dari cara hidup, cara pandang dan pengetahuan mereka. Aku mendapat tawaran untuk terlibat dalam satu pertemuan untuk perempuan adat di Sei. Garong. Ini seperti oase di tengah padang gurun, hingga aku langsung menyambutnya. Apalagi, masuk dalam daftar ini juga adalah kedua sahabatku, Si Babai dan Si Bacai. Lucu ya ...
Perjalanan kami dari Pontianak ditemani oleh satu orang teman dari Amerika yang sedang magang di Walhi, Diana. Sembilan jam perjalanan lumayan berat buatku setelah sekian lama tidak melakukan perjalanan jauh. Menyiksa karena aku mabok perjalanan darat, dipicu oleh aroma di dalam bis yang berbaur antara bau AC, parfum penumpang dan juga bau keringat. Perhentian sementara adalah Kota Nanga Pinoh, dan berlanjut dengan speed boat ke hulu Sungai Melawi sampai pada perhentian terakhir melalui sungai di Kampung Mentibar (di hulu Kec. Serawai) dan berlanjut dengan jalan kaki sekitar satu jam ke Kampung Sei. Garong. Sebenarnya ada alternatif lain melalui Sungai Kecil - Sungai Mentibar, tetapi debit sungai kecil kala itu karena kemarau. Kami tiba sore hari, disambut ramai oleh penduduk setempat sampai pada malam hari dimana kami saling memperkenalkan diri.
Pagi hari kami mengikuti upacara adat penyambutan dengan ritual yang dipimpin dua orang Baliatn perempuan yang membaca mantra berisi doa selamat dan pengikatan tali dari kulit kayu di pergelangan tangan kami masing-masing dan kitau manok (membawa ayam mengelilingi kami masing-masing), menggigit besi parang dan menandai dahi kami dengan darah ay
am yang telah disembelih.
Pertemuan Perempuan Adat Natai Sanggo
![]() |
Kelompok Perempuan Natai Sanggo/Cam Samsung GT I-8150 |
Muara dari diskusi ini adalah melihat seberapa besar mereka ingin membangun kelompok dan mengorganisir diri melakukan kegiatan kelompok yang telah mereka rencanakan, diantaranya membuat kebun. Kelompok itu sendiri dengan sangat mudah dibentuk dan mereka namai "Natai Sanggo". Ada beberapa kelompok lain mengikuti kelompok ini yang mereka namai sesuai dengan nama kampung mereka masing-masing dengan kegiatan yang hampir sama yakni bercocok tanam di kebun dengan komoditi yang berbeda. Proses diskusi formal ini berlangsung tidak terlalu lama, dan berlanjut dengan berkunjung ke kebun kelompok Natai Sanggo yang memakan waktu 45 menit berjalan kaki. Kami menyaksikan mereka mengolah sendiri lahan (mencangkul lahan bekas dibakar sebelumnya). Kami sekali-sekali saja meminjam pacul dan berpose mencangkul, setelahnya kami menghabiskan waktu duduk di saung sembari mengamati ibu yang kebagian tugas memasak makan siang kami, ditemani gelas-gelas tuak. Setelah makan siang pun, kami pulang.
Waktu sore kami habiskan dengan berkunjung ke air terjun versi orang lokal di situ. Menurutku, ini hanya riam/jeram. Menyenangkan karena di perjalanan ke sana kami juga sempat melihat tempat penyemain bibit karet yang dilakukan kelompok lain yang dibentuk kaum lelaki. Di jeram, aku, Babay dan Bacai serta Diana lomba menyelam, siapa yang paling lama itulah pemenang. Dan, akulah pemenang.
Ada cerita lain dibalik pertemuan perempuan ini, misalnya cerita soal dinamika kelompok di komunitas mereka sendiri, dinamika permasalahan penduduk setempat dengan perusahaan sawit yang berencana melakukan ekspansi ke wilayah mereka. Diskusi begitu mencair mulai dari advokasi kebijakan dan pengelolaan pembukuan untuk usaha yang baru mereka mulai yaitu warung sembako dan sampai ke bagaimana menata kampung diantaranya rencana mengandangkan ternak, yang awalnya tertambat dimana-mana dan kotorannya bersebaran dimana-mana bisa dimanfaatkan untuk membuat kompos dan juga membaut kampung tidak kotor. Yah, begitulaah semuanya berlangsung sampai hari keempat kami berada di kampung itu. Sore hari dihari ketiga kami ikut serta bermain volley ball.
Bumbu cerita lucu lainnya yang berkesan adalah cerita soal mimpi ngompol dimalam hari, cerita soal bagaimana susahnya ketika mau BAB atau BAK karena WC jauh. Aku sering menahan keinginan alamiah itu karena tidak kuasa harus keluar di malam gelap ke WC yang lumayan jauh dari rumah tempat kami nginap, belum lagi hujan selalu mengguyur malam disana. Keahlian melompat di kegelapan agar terhindar menginjak kotoran hewan sapipun harus kumiliki. Suatu malam, Bacai juga pernah terjerembak dan terinjak kotoran yang sudah agak hancur terhanyut oleh guyuran hujan, dan itu menjadi bahan lelucon kami. Cerita lucu lainnya di malam hari adalah cerita "mencuri" makanan sncak Diana karena kelaparan (akibat makan malam yang seadanya karena selera makan dihari ketiga sudah mengendur).
Ritme hidup pagi hari ketika bangun tidur juga menarik. Kami selalu dibangunkan oleh suara oink-oink satu keluarga babi yang berada hampir persis di bawah kamar tidur kami berempat. Aroma khas dari sana juga sering tercium dan terkadang ditambah setelan musik dari smartphone Bacai, semuanya kuanggap seperti simponi unik saja untuk memaknai petualangan ini. Sampai pada suatu hari, aku tidak lagi menikmati simponi itu karena setelan musik yang biasanya salah satu lagunya adalah "Just Give Me A Reason" , tiba-tiba berubah jadi "Surti dan Tedjo"...wah ...aku protes kepada Bacai dan tentu saja ini selalu berakhir dengan lelucon. Aktifitas rutin pagi hari lainnya adalah mandi, dan bagian ini tidak terlalu menyenangkan bagiku, karena aku penikmat pemandangan air, senang menyentuh air tapi aku tidak suka dengan rutinitas mandi. Bagian ini selalu menjadi poin khusus bagianku di-bully oleh ketiga orang teman dan juga beberapa penduduk setempat yang kala itu bersamaan pergi ke sungai.
Suatu hari, rutinitas mandi sore kami (aku biasanya hanya cuci muka dan gosok gigi), berpindah lagi ke Jeram khusus bersama dengan Ibu-ibu. Senang sekali melihat ibu-ibu sering membuat formasi siap difoto di sungai. Kali ini, aku ikut menikmati kejernihan sungai dengan berenang cukup lama karena ini adalah kali trakhir ke tempat ini karena sebentar akan kembali pulang. Ya...diantara kami, Babay lah yang paling tidak bisa menyembunyikan kesukaannya, dia begitu bersemangat sampai celana panjang lembut tang pakai terhanyut terbawa arus air ketika ia membukanya. Ini juga bagian lucunya dan sebetulnya salah satu bagian penting penamaan bawang sebagai nama depan karena nyerempet dikitlah dengan cerita bawang putih dn bawang merah soal kain yang sedang dicuci dan terhanyut oleh air.
Semua berlalu hingga hari terakhir. Tiba waktu berpisah dengan penduduk. Kami senang karena perjalanan pulang dilakukan melalui track baru, yakni lewat Sungai Garong - Sungai Mentibar. Berkali-kali kami tersangkut dan beberapa orang harus turun dan mendorong perahu kami karena tersangkut di dasar sungai yang dangkal atau pohon yang rubuh melintas sungai. Tapi bagian ini juga memiliki keseruan tersendiri. We are happy. Aku melihat rona bahagia pada setiap orang kecuali Diana yang terlihat lelah meski ia menyembunyikannya. Perjalanan pulang selalu menjadi perjalanan yang terasa lebih singkat dan menyenangkan. Lama jauh dari signal HP dan juga internet, seperti pergi bertapa namun bedanya ini menjalani sesi lain kehidupan yang memiliki warna dan ritme berbeda dengan yang biasanya kujalani. Toh, aku juga pernah mengalami kehidupan di kampung dua puluhan tahun yang silam.
Percayalah, sekali-kali kita keluar menjalani kehidupan di luar kebiasaan dan di luar yang kita anggap "zona nyaman" memberi makna kepada kita untuk menjalani kehidupan itu sendiri dengan segala sisinya. Other Awesome Places are Waiting for Me to be Explored and to be Learned.
Langganan:
Postingan (Atom)
Konsep Makan (Kebiasaan) dan Konsep Diri (Kperibadian)
Suatu hari, saya pernah ditanya oleh seorang teman, "Mengapa kamu lebih sering 'skip' makan siang?. Kenapa tidak skip makan pag...
-
Kembang Kopi Halaman Rumah Ibuku Ini adalah tulisan pertamaku di tahun 2015. Ini sudah seperti mengumpulkan PR di tahun lalu, dimana...
-
Photo: Iwi S (Dec. 2017) Lingkau, begitulah ia disebut oleh orang di Kampungku. Jagung begitulah orang di Kampung Almh. Nenekku menyebut...
-
Pohon Sirsak “Survivor Suatu hari, di tahun 2008, aku harus mengambil keputusan yang sulit yakni untuk mengakhiri saja kehidupan s...