Selasa, 30 Oktober 2018

Mancing Ikan Lais yang Masih Eksis

Suatu pagi, di Dusun Sekucing Bulin, desa Sekucing Kualan, Simpang Hulu Kabupaten Ketapang....

Aku kalah cepat menembus embun mendahului matahari terbit untuk bernostalgia. Nostalgianya apa, itu yang akan kuceritakan di sini. Sebelumnya, aku mau katakan aku didahului oleh lampu pijar semesta yang memulai tugas rutinnya itu karena aku telat bangun. Aku telat bangun karena kualitas tidur yang buruk akibat flu berat sampai badan meriang di kampung orang tdai malamnya. Masih ada untung yang kusyukuri, yakni embun putih yang membentuk butir sangat halus pada tanaman hijau. Ya, harusnya ia bening tapi karena sangat halusnya menjadi memutih hampir menyerupai kapas. Di kampung atau desa, dulu, saat paling menyenangkan di pagi hari salah satunya adalah berinteraksi dengan embun pagi. Hembusan angin pagi akan menghempaskan dinginnya di wajah. Dingin yang segar. Aku juga sangat senang mengebaskannya ketika ia sedang bercumbu dengan rumput hijau yang menjadi lantai bumi, sebelum ia hilang menguap karena sinar matahari pagi yang mulai hangat.

Ibu-ibu yang memancing di Sungai Kualan
Ini tentang nostalgia memancing. Bukan memancing perasaan tetapi memancing ikan di sungai. Pagi-pagi aku  berjalan menelusuri tepian sungai Kualan, berharap ada hal menarik yang bisa kutangkap dengan mata lensaku. Aku hendak menghibur diri yang terlewatkan momen ingin turut serta warga mengangkat pukat (jaring ikan) karena telat bangun pagi hari. Di sungai, aku sudah meyaksikan tiga ibu ini sedang terdiam mengapung di atas perahu masing-masing. Terdiam dalam harap. Tentu saja mereka sedang konsentrasi dan fokus pada jari-tangan yang memegang tali pancing yang sudah berlabuh hampir ke dasar sungai, bersiap-siap menarik jika terasa sedikit saja gerakan di bawah air melalui tali pancing. Di sinilah kesabaran diuji, karena tidak ada yang tahu apakah ikan-ikan di dalam sana lapar dan tertarik dengan umpan atau tidak.

Pukat atau Jaring Ikan
Ibu-ibu ini mengingatkanku pada masa-masa aku sempat merasa tinggal di rumah terapung atau lanting milik kakek-nenekku yang keseharian mereka lekat dengan mencari ikan sebagai sumber protein bagi kami dengan menggunakan berbagai cara dan alat, mulai dari pancing, pukat, jermal, jala, takan (pancing yang didiamkan semalam atau lebih dengan di tancapkan di pinggir sungai dengan gagang kayu kecil yang kokoh mennjulang ke sungai,  dengan kail/mata pancing yang lebih besar biasanya), entaban, dll yang tak kuingat namanya (toh aku juga tidak punya foto untuk mengilustrasikannya).

Dulu aku sering menemani nenek berperahu memancing, membantunya memegang tali pancing untuk merasakan sensasi tarikan ikan memakan umpan (umumnya cacing). Aku tidak pernah mau bagian memasang umpan karena takut cacing, begitulah setelah dapat ikan karena artinya harus megeluarkan mata pacing dari mulut ikan dengan cacing yang masih bergerak. Saya hanya kebagian sesi menarik pancing dan makaaan. Menariknya, di masa tertentu, kami tidak perlu berperahu jauh-jauh, cukup memancing di atas lanting. Selain memancing, aku juga sering diajak kakek menemaninya mengangkat pukat. Keseruannya adalah menyaksikan dan memetik berbagai jenis ikan yang tersangkut di jaring. Ya, berbagai jenis ikan dari yang bersisik sampai yang tidak bersisik. Ingatanku tentang ikan bersisik hanya pada satu jenis ikan yaitu ikan jelawat dan yang tidak bersisik adalah ikan lais. Dua jenis ikan ini tergolong jenis ikan yang mahal saat ini. Ikan jelawat tidak begitu banyak diminati karena banyak tulang, sedangkan ikan lais sangat populer untuk diolah menjadi ikan asin, belongsong (ikan asin lais yang digantung dengan tali dari rotan) ataupun ikan  (ikan yang diasapkan di atas para-para dengan bara api di bawahnya). Dua olahan ikan yang kusebut ini bisa menguras dompet sampai Rp. 200.000 rupiah per kilo gramnya. Di dusun ini aku menjumpai ikan asin lais dengan harga hanya Rp. 50.000; per kilogram. Tentunya aku tidak bisa menahan diri membelinya. Ikana asin yang tidak terlalu asin, dengan aroma yang khas. Harga ikan memang sudah diatur melalui Perdus (Peraturan Dusun), sehingga, siapapun warga setempat memang hanya akan menjual dengan harga fixed  dan sama. Berbeda jika mereka menjualnya ke Balai Berkuak atau pusat kecamatan, harga mencapai  Rp. 60.000; per kilogram. dan, semakin jauh produk ini keluar tentu akan lebih mahal.

Ikan Asin Lais
Dalam ingatanku di masa kecil, Ikan lais sangatlah jinak saat masih kecil, aku serig menangkapinya dengan kedua telapak tanganku dari atas lanting. Ya, tapi itu dulu. Sekarang kondisi berbeda. Jika dulu mungkin ibu-ibu itu sempat merasakan pengalaman memancing, kemudian bisa menyaksikan ikan berenang, sekarang mungkin tidak karena air keruh (aku katakan mungkin karena tidak pernah menanyakan ini lebih jauh).

Memancing memang menjadi salah satu rutinitas ibu-ibu yang hidupnya berada di dekat sungai. Kaum laki-laki biasanya lebih akrab dengan menebar jala atau memasang pukat dan takan dan Entaban.  Berkunjung ke dusun ini menjadi suatu kewajiban makan berulam ikan, selain ikan lais yang paling umum disajikan adalah ikan tapah. Tapi aku tidak akan menceritakan tentang ikan tapah di sini ya...cukup nama saja sebagai oleh-oleh.

Credit Photo: Iwi S
 



Kamis, 25 Oktober 2018

Jembatan Tayan Kapuas

 Dulu, jembatan ini begitu fenomenal. Netizen seakan tidak kekinian kalau tidak posting foto di Sosmed dengan latar jembatan atau sekedar berada di area jembatan. Aku sendiri baru akrab dengan jembatan ini sejak tahun 2018, seringnya karena urusan pekerjaan di daerah Kabupaten Ketapang yang mengharuskan melewati jembatan ini. Jembatan ini merupakan bagian penting Jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan Kalimantan  Barat dan Kalimantan Tengah. Jembatan ini sendiri masuk wilayah Kabupaten Sanggau. Sebelum jembatan ini selesai dibangun dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo dan beroperasi pada 22 Maret 2016, Kapal Ferry milik ASDP menjadi alat transporter untuk barang, kendaraan dan orang dari Tayan menuju Piasak (dan sebaliknya). Aku sempat merasakan momen ini di tahun 2008.

Jembatan Tayan kini sudah menjadi salah satu ikon Kalimantan Barat dengan panjang 1.440 meter, lebar sekitar 11 meter dan tinggi dari muka air Sungai Kapuas saat banjir tertinggi 13 meter (wikipedia).




 Inilah bagian yang paling rendah dari jembatan yang bisa dijumpai saat pertama kali memasuki jembatan sebelum lengkungan setengah lingkaran sebagai bagian tertinggi dari bagian jembatan. Konstruksi dengan bagian kotak lebih rendah kemudian melengkung setengah lingkaran bisa dilihat dari ujung ke ujung jembatan atau dua sisi jembatan.


Foto ini satu-satunya yang aku ambil dengan ponsel pintar dari bawah jembatan dimana ada Cafe Terapung menjual kelapa muda. Ya, pemandangan ke arah jembatan dari sini akan lebih jelas.  Sayangnya, warna susu coklat air Sungai Kapuas, kalau buatku menjadi sesuatu yang ingin disesali (andai bisa mengembalikan waktu).



Saat pgi hari, suasana di area jembatan lengang. Ini akan berubah di sore hari menjelang malam. Akan  ramai kita jumpai orang berjalan kaki, kendaraan roda dua dan roda empat berhenti di pinggir atau badan kiri-kanan jembatan. Mamang-mamang dengan dagangan panganan pun gampang dijumpai di sini. Demikian pula orang-orang duduk di atas motor atau bersandar di besi tembok jembatan untuk "makan angin' dan menunggu matahari terbenam. Bagaimana tidak!. Dari sini, kau bisa minta sepotong senja, jingga. Tapi tahan!!!, jangan menoleh ke bawah!. Itu bukan lautan atau kolam susu coklat di lagunya Koes Plus itu. Itu air sungai yang terlanjur bergumul lumpur entah mengapa dan darimana. Dari tambang??!!. Entahlah.

Credit Photo: Iwi S

Rabu, 24 Oktober 2018

Blue Daze, Si Cantik Keluarga Morning Glory

Credit Photo: Iwi S
Kecil mungil, berbunga dan cenderung hidup adaptive di segala musim dan iklim (tropis dan sub tropis). Itulah Blue Daze. ada banyak sebutannya seperti Hawaiian Blue Eyes, Brazilian Dwarf Morning Glory, dan nama latin Evolvulus Glomeratus. Si mungil ini bisa ditanam dengan steknya, hanya dengan dipatahkan saja kemudian ditancap ke tanah atau ke pot. Sangat gampang khan. Tidak jauh berbeda dengan tanaman lain, ia lebih menyenangi ditempat yang terpapar sinar matahari pagi langsung.
Suatu hari, saya hanya membawa tiga stek yang saya patahkan dari rumpun bunga induk di rumah teman saya. Dan, dalam beberapa waktu, stek itu mengeluarkan cabang atau tangkai baru yang dihampir semua ujung tangkainya mengeluarkan bunga biru dengan putik putih.

Setiap kali satu tangkai menjadi rimbun dengan banyak tangkai cabang baru, aku mematahkan tangkai tuanya dan menancapkannya kembali ke tanah, terus menerus seperti itu sampai kemudian ia berjejer begitu banyak dan indah di atas media tanah dalam pot dinding panjang terbuat dari talang air hujan segi empat yang kucantolkan di tembol pagar rumah dengan rangka besi. Blue Daze juga akan sangat cocok sebagai bunga gantung (dengan pot gantung).

Bunga biru Blue Daze ini akan muncul di pagi hari. Mekarnya akan mengikuti siklus matahari tenggelam, sehingga di sore hari bunganya akan kuncup. Nah, bagi pencinta bunga tetapi memiliki waktu terbatas dan lahan terbatas untuk menanam, Blue Daze bisa menjadi pilihan. Kalau anda bertetanggaan dengan saya, dengan senang hati akan saya bagi dengan cuma-cuma.


Kamis, 18 Oktober 2018

Belajar Proses dengan Garlic Vine (Mansoa Hymenaea)

Mengamati tanaman sekitar membantu kita belajar tentang sebuah proses. Proses yang pada akhirnya menghasilkan sesuatu. Seperti apa hasilnya tentu tergantung kepada banyak hal. Apakah banyak hal itu?. Salah satunya adalah yang berhubungan dengan bagaimana kita mengintervensi proses dan juga secara "natur" atau alamiah sesuatu yang berproses itu. 

Ini hanya tentanng bunga. Tetapi, kita bahkan bisa berguru kepada sekuntum bunga yang hidup tetapi tak terjangkau bentuk tuturnya oleh kemanusiawian kita yang bisa mengungkapkan lisan dengan gampang. Aku merekam proses kuncup sampai mekarnya bunga Garlic Vine di tengah perjalanan tugasku di salah satu dusun site program kantorku. Lensaku selalu menambah keindahan dari bunga-bunga yang memang sudah indah sebagai ciptaan. Terkadang, manusia saja yang terlalu sibuk untuk mengamati keindahan itu, apalagi memahami filosofi di dalamnya, salah satunya adalah belajar berproses. 

Hari itu, aku datang di dusun ini untuk suatu pekerjaan yang mengharuskanku tinggal satu malam. Bunga itu membayar lelahku dengan kuncupnya yang ungu dengan gradasi putih di tangkai kelopak. Kuncup mungil itu bergerombol indah dengan semut-semut kecil menggodanya. Belum satupun kuncup itu kelihatan akan mekar. Keesokan harinya pun tidak, sampai kutinggalkan pulang kembali ke Pontianak. 

Keesokan harinya, satu pekerjaan lainnya ternyata mengharuskanku kembali dengan jeda hanya satu malam. Dan aku seperti mendapat panggilan menyaksikan proses si kuncup mekar dan seperti menjawab harapanku untuk menikmati hasil dari proses kuncup ungu bergradasi putih di tangkai, mekar menjadi ungu tua dan pink peach.  
Bukan hanya aku, semut-semutpun sepertinya tidak hanya menggoda tetapi menghisap madu bunga. Aku hanya tak berhasil menangkap proses "penghisapan" itu denga lensaku karena jingga yang tadinya di langit segera berubah gelap sendu kelabu menghantarkan turunnya si jingga bulat bergantian shift di kutub ini dengan bulan yang juga temaram. Aku beruntung dengan masih bisa bermain ISO yang cukup tinggi dan diafragma sebaliknya untuk menangkap jejeran kelopak mekar membentuk oval. Seperti itulah kehidupan ini membuat manusia menjalani proses. Amati sekitar yang menawarkan alternatif, pilihlah dan ikuti tahap demim tahap dengan ketekunan, dan hasilnya akan mencengangkan.

Credit Photo: Iwi S






Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...