Enough is enough!
Mampir curhat lagi di Tengah Ruai.
Sulit memahami ketercukupan jika setiap hari kita
disuguhi hasil inovasi dalam berbagai
rupa di kehidupan kita. Mulai dari apa yang kita makan, kita pakai, kita
nikmati dengan mata dan kesemua yang bersumber dari nominal angka di
kertas bernama “uang”. Ya, kesemuanya
itu butuh uang: nongkrong di warkop dan warteg, beli baju, nonton di bioskop
khan pake uang.
Ini hanya hasil pengamatanku bagaimana dunia ini semakin
menggiring orang untuk menjadi ‘fake’, tidak menjadi dirinya, tidak menjadi apa
adanya bahkan menjadi “good pretender”
demi apa yang saya juga tidak tahu. Mungkin saja salah satunya untuk
mendapatkan pengakuan atas eksistensi diri. Fakta, ada seorang temanku punya
teman perempuan yang masih belia yang
memutuskan menikahi seseorang dengan perbedaan usia yang jauh. Pertanyaanku
kenapa mau menikah di usia yang baru saja lepas dari remaja akhir, jawabnya
karena sang lelaki punya banyak uang dan memberikan rekening dengan isi sepuluh digit angka yang bisa ia akses
kapanpun dan untuk apapun yang ia inginkan. Mengejutkanku memang karena aku
tahu pekerjaan sang lelaki yang katanya bekerja di salah satu institusi negara
tak sebanding dengan deretan digit angka di rekening bank, toh pekerjaannya itu
juga tidak memungkinkan untuk melakukan side job dengan nilai ekonomis sebesar
itu.
Seharusnya aku tidak
terkejut dengan realitas di atas. Bukankah sekarang jamak ada banyak oknum ASN
yang mendadak kaya tanpa dapat rejeki nomplok padahal gaji bulanan sudah sangat
jelas. Jamak juga anggota parlemen mendadak punya rumah mentereng dan mobil
mewah di awal-awal periode jabatannya. Ini berbanding lurus dengan semakin
menigkatnya kasus-kasus korupsi yang pelakunya tidak saja pejabat tinggi negara
tetapi bahkan oknum ASN. Ingat kasus Gayus, Sang ASN yang bisa sangat kaya
karena bablas dengan setoran pajak besar dari wajib pajak bernilai besar. Ingat
juga oknum anggota parlemen yang kadang
seperti etalase barang mewah mulai dari asesoris seperti tas sampai busana dan
hobby online shopping seperti Angelina Sondakh. Online shopping ini sendiri bukan lagi bicara produk saja
tetapi jasa. Ingat juga dua tahun terakhir ini (2015-2016) sibuknya Polisis
menggrebek para pelaku prostitusi online yang korbannya kebanyakan para artis
dengan harga beragam. Bukankah ini manifestasi dari ‘enough is not enough’?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar