Kamis, 17 Maret 2016

All's Fake



Enough is enough!

Mampir curhat lagi di Tengah Ruai. 

Sulit memahami ketercukupan jika setiap hari kita disuguhi  hasil inovasi dalam berbagai rupa di kehidupan kita. Mulai dari apa yang kita makan, kita pakai, kita nikmati dengan mata dan kesemua yang bersumber dari nominal angka di kertas  bernama “uang”. Ya, kesemuanya itu butuh uang: nongkrong di warkop dan warteg, beli baju, nonton di bioskop khan pake uang. 

Ini hanya hasil pengamatanku bagaimana dunia ini semakin menggiring orang untuk menjadi ‘fake’, tidak menjadi dirinya, tidak menjadi apa adanya bahkan menjadi “good pretender”  demi apa yang saya juga tidak tahu. Mungkin saja salah satunya untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensi diri. Fakta, ada seorang temanku punya teman perempuan yang  masih belia yang memutuskan menikahi seseorang dengan perbedaan usia yang jauh. Pertanyaanku kenapa mau menikah di usia yang baru saja lepas dari remaja akhir, jawabnya karena sang lelaki punya banyak uang dan memberikan rekening dengan isi  sepuluh digit angka yang bisa ia akses kapanpun dan untuk apapun yang ia inginkan. Mengejutkanku memang karena aku tahu pekerjaan sang lelaki yang katanya bekerja di salah satu institusi negara tak sebanding dengan deretan digit angka di rekening bank, toh pekerjaannya itu juga tidak memungkinkan untuk melakukan side job dengan nilai ekonomis sebesar itu. 
Ilustrasi dari http://www.ekoph.net

Seharusnya  aku tidak terkejut dengan realitas di atas. Bukankah sekarang jamak ada banyak oknum ASN yang mendadak kaya tanpa dapat rejeki nomplok padahal gaji bulanan sudah sangat jelas. Jamak juga anggota parlemen mendadak punya rumah mentereng dan mobil mewah di awal-awal periode jabatannya. Ini berbanding lurus dengan semakin menigkatnya kasus-kasus korupsi yang pelakunya tidak saja pejabat tinggi negara tetapi bahkan oknum ASN. Ingat kasus Gayus, Sang ASN yang bisa sangat kaya karena bablas dengan setoran pajak besar dari wajib pajak bernilai besar. Ingat juga  oknum anggota parlemen yang kadang seperti etalase barang mewah mulai dari asesoris seperti tas sampai busana dan hobby online shopping seperti Angelina Sondakh. Online shopping ini sendiri bukan lagi bicara produk saja tetapi jasa. Ingat juga dua tahun terakhir ini (2015-2016) sibuknya Polisis menggrebek para pelaku prostitusi online yang korbannya kebanyakan para artis dengan harga beragam. Bukankah ini manifestasi dari ‘enough is not enough’?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...