Jumat, 10 Februari 2012

Promise

I was touched by a word of my "bed-mate", that I'm supposed to keep on practicing to write. Otherwise, I might difficult to start again after long been 'idle'. Yeah, I have the same thing to worry about. I'm afraid of being stag in sharpening my writing skill. At least I have been many times write case studies and conduct my research writing. 

I want to promise to keep practice to write, but I remember that I've promised myself. I remember one day, I wrote the promise, which the notes still saved in my computer, written on May 15, 2009. This is it...!!!. 

To day is hopefully to be more relax after worked hard to fninsh my writing. It has been too long I work on it but still I have got force my brain to work hard, both to learn and to write and analyse human rigths in general and Ecosoc’s rights particularly as perspective in my case writing.

I feel so free and want to scream, uuuh… finally. Actually, at the same to day is my sadness as I realize that I’m getting poorer and poorer in knowledge and skill of writing. I get trouble in systemize ideas bear in my mind and analyse the case. Damned ….!!!!!. I know that I have to fix this stiuation as well as to break my stupidness. Whatever … thank God, there are many ways you show me to walk through to show who I am and make ease everybody looks at me, so they know that this is I am. Though it is quiet hard to stick on the same way I walked in previous yesterdays.

The most important thing I try to hold from to day is I try to promise to myself, from now on, I will keep on writing everything I see, I feel and I do – the whole of my experience, so I go to make this lovely laptop to be more productive. Hope this is not an empty promise that will bring me to the flexibility of thinking, learning, and analyzing and wrtite them all in at least in a piece of paper.

Oh My God. Back to my writing. I have sent it to Bang Emil and start to imagine what would be happened then; fool analysis that he or some other friends might laught at. Just the same as previously, I can’t really strong enough to admit that  I am the foolish one. At least, this is my start of expectation that I will do to get better and better. I will always guide my hands to keep pressing my keyboard and touching one-by-one letters, create word-by-word, sentence-by-sentence to paragraph, and finally a systematic story paraphrased in pages of my blank sheet. Hopefully.

Well, there is something also touch me to day. A news came to my office yesterday. Sad news… there are two of our friends, Pak Iyon and Bambang  just arrested by the Police for they are hostage the Surveyor team for coal mining project in their area. This reasonable, because, local communities have ever been voiced out their denial obver the project, that the project instead of give benefits to them, it will destroy their forest and brings them to be landless. There will be many other impacts that definitely could happen in the future in many aspect of their life. The most crucial one is their rights to land and health environment. They threaten to get problem in accessing resources they life depend on.

This case brings some of NGOs come together to formulate steps and strategy to help the people.

Ha, ha, and now I'm so shy since I can not prove it to myself, to keep own promise. It doesn't really that bad, coz at least I did to force myself to work on my blog, to write down whatever, no matter what the reader might thing of the quality, This is it. Everybody free to evaluate, to judge or to criticize, but this is the only I can do at this time. I expect to much to have another serious writing to make one day.

Senin, 06 Februari 2012

Menyangkal Naluri Keibuan (Denying Motherhood Instinct)

Thursday, October 7, 2011

Aku dikagetkan dengan kabar kabur. Tentulah maksudnya bukan kabar yang bersifat kabur melainkan kabar tentang kabur. Kabur, begitulah kata yang muncul dari mulut seorang lelaki tua (belum cukup tua sesungguhnya, tetapi gurat wajahnya lebih tua dari usianya, dan konon, guratan itu symbol beban hidup). Kata kabur itu berat terucap dari bibirnya, namun sebaris kalimat muncul, “anakku kabur dari rumah membawa cucuku, hanya karena kata-kata yang keluar dari mulutku didasari cinta”. Begitulah meski tak persis sama yang kudengar. Aku hanya mencoba membuatnya puitis tanpa merubah makna.

Tak tahu persis, apa yang tepat untuk menggambarkan emosiku ketika itu. Pastinya aku tidak senang, tidak juga marah tetapi prihatin. Awalnya aku sedih dan bertarung dengan luapan emosi sampai sedikit air mata tak terbendung ketika kulihat mata malaikat kecil digendongan sang Kakek. Mata tak berdosa, dan terlihat membutuhkan perlindungan dan kasih saying. Aku langsung mendekapnya dengan haru, dan seketika aku melihat wajah anaku yang terpaut hanya 3 Minggu usianya, dia 5 bulan lebih dan anaku pas 6 bulan. Dia hanya diam dalam dekapku karena belum bisa berkata-kata, tapi tatap matanya seolah menghujan ke relung jiwaku yang entah apa. Mungkin itu naluri keibuanku. Aku mencoba menyingkap bajuku hendak memberinya ASI-ku karena kulihat dia lapar, tetapi dia enggan. Pantas saja, si kakek bilang, dia sudah lama berhenti ASI. Aku jadi “malu” karena naluri keibuanku yang seolah-olah sok tahu. Kenapa tidak, tiga orang anaku kuberikan haknya untuk minum ASI ekslusif selama 6 bulan dan banyak kesenangan, ketenaran dan petualangan yang kutolak hanya karena aku memilih memberikan ASI ekslusif pada anak-anakku. Bali, Philippine, Swiss, tempat-tempat dimana aku diundang namun aku tak hirau demi anakku. Alangkah “bodohnya” aku demi naluari keibuanku. Sebenarnya bukan hanya arena naluri itu, tetapi memberikan apa yang seharusnya menjadi hak anak-anaku yang secara sadar aku tahu konsekwensinya saat aku memutuskan menjadi Ibu.

Itu adalah cerita kemarin dengan segala luapan emosi dan bayang-bayang laluku dalam menghadapi tantangan menjadi Ibu.

Hari ini, hari kedua malaikat kecil yang dipanggil “My Baby” oleh Ibunya itu berada di rumah. Rasaku masih sama, tetapi aku lebih bertambah prihatin ketika melihat sang Kakek terus menerus menggendong dan selang beberapa saat meletakkan cucu untuk membuatkannya susu. Aku mendekati malaikat kecil itu dan berkata padanya, “sayang, kamu beruntung masih memiliki kakek yang begitu memperhatikanmu.” Kata-kataku berhenti di situ, tetapi berlanjur di dalam hatiku “...  kamu masih beruntung memiliki kakek yang menyayangimu daripada seorang Ibu yang menyangkal naluri keibuannya”.

Mungkin kata hatiku begitu kejam, tapi aku sudah mencoba memahami bahwa ada banyak Ibu dimuka bumi ini yang memang ‘tidak siap’ dengan ‘keibuannya’ dengan alasan yang aku tak tahu. Apakah itu karena bukan keputusan sadar??? Mungkin. Tapi dengan kondisi sadar memutuskan sekalipun, seorang Ibu bisa menjual anaknya karena himpitan ekonomi, seorang ibu bisa membunuh anaknya hanya karena merusak lipstick dengan menulis kata “mama, I love you so much”. Setidaknya, itulah berita yang muncul di TV akhir-akhir ini.

Kembali ke soal si Kakek dan Cucu. Aku melihat sang Kakek terus menyembunyikan kesedihan. Kulihat (meski tak terucap), dia masih berharap si anak atau si Ibunya cucu datang menjenguk mereka. Aku berkali-kali menanyakan kepastian mereka pulang, tapi 3 jawaban berubah-ubah selalu muncul dari mulut sang Kakek. Terkadang dia bilang Pagi ini, Besok, besok malam. Sampai akhirnya kuminta suamiku untuk membeli tiket untuk besok malam. Setidaknya cukup memberi peluang dugaanku akan harapan sang Kakek bisa menjadi kenyataan. Toh, tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan berkehendak. Dugaanku ini semakin mendekati kebenaran bahwa sang kakek berharap si Ibu datang karena pagi ini si kakek mengakui mengirim SMS kepada anaknya dan mencoba menelpon tetapi tidak aktif. Aku sendiri sebetulnya berharap sama, karena menurutku seorang Ibu pasti akan merindukan anaknya dan anak akan merasa aman di dekap Ibunya. Setidaknya, situasi yang kubayangkan tidak ekstrim, bahwa setidaknya Ibu memberanikan diri datang untuk mengucapkan selamat jalan atau bahkan menemani si Ayahnya/mengantar pulang anaknya dan ayahnya karena bagaimanapun terbayang repotnya seorang laki-laki, sekalipun dia pernah punya anak, harus mengurus bayi berumur 5 bulan lebih yang bukan anaknya, bahkan cucunya sekalipun. Kasihan sekali aku memikirkannya.

Siang ini, aku mendapati si Cucu dan si Kakek baring bersisian di atas kasur empukku didepan TV. Si Kakek terlihat lelah sampai ketiduran berusaha menidurkan si cucu. Terliah si cucu belum juga tidur siang meski terlihat mengantuk, dan susupun dia tolak. Dan,  si Kakek ketiduran di samping si cucu. Aku lihat tatapan malaikat kecil itu begitu sendu padaku ketika kutanya,

“mengapa tidak mau tidur, nak?.” Seandainya dia bisa menjawab, mungkin dia akan bilang, “aku ingin Ibu!.” “aku rindu Ibu!.” Sama ketika anaku Pravda yang sudah bisa bicara selalu  bertanya, “mana Ibunya?”, ketika dia mencariku.

Tuhan, sudahlah. Aku lelah dengan pikiranku ini. Aku menuliskan ini karena aku tahu bahwa seorang Ibu tak seharusnya menolak karuniamu dalam bentuk naluri keibuannya, apalagi menyangkalnya untuk alasan apapun. Ibu dari Malaikat kecil bernama “My Baby berinisial P”  itu adalah seorang perempuan hebat karena dia mampu menerima titipanmu melalui sakitnya melahirkan. Tentu seorang Ibu juga mampu menjaga anaknya dan memberikan kasih sayang sama seperti ketika ia dikasihi oleh Tuhan dengan memberinya ayah dan ibu yang memeliharanya dengan cinta.

Aku ingin berhenti di sini, sambil menunggu keajaiban. Keajaiban sederhana tapi sangat bermakna bagi malaikat kecil dan sang Kakek yang sedang berharap. Oh ya Tuhan, hari ini kulihat sang Kakek berdo’a makan cukup panjang, dan aku yakin do’a harapan itu disampaikannya pada-Mu dan juga sudah kau dengar Tuhan. Kabulkanlah.


Catatan Malam tentang seorang Ayah (Kakek si Baby ‘ P’ ), yang kusebut Paman, apresiasiku atas cintanya dan kesabarannya untuk anaknya dan cucunya.

Monolog Tiga dan Satu [tulisanku pada saat berultah ke-31]


 
Selasa, 23 Juni 2009

Sore itu, di ruang yang terkesan kaku …

Hanya ada aku, 1 laptop menyala tempat jari jemariku bermain dari satu huruf ke huruf lain dan satu angka ke angka lain. Tadinya, aku log in facebook, fasilitas di internet yang lagi heboh saat ini, sampai-sampai MUI-pun mengancam mengharamkannya. Banyak ucapan selamat dari friends, friends of friends. Aku mencoba membalas satu persatu. Tak lazim dengan yang sering dilakukan beberapa kawan, mereka memilih efisiensi (mungkin karena banyak kerjaan atau sibuk, atau menganggap basa/i) dengan membalasa secara kolektif ucapan selamat. Aku pikir, hanya sehari, mungkin akan sedikit berkesan lain, untuk tidak mengatakan tidak sama sekali. Aku mencoba mengucap balik harapan dan doa orang2 itu dengan menyebut satu persatu nama mereka. Kelihatan sederhana dan biasa, tapi aku percaya kekuatan kata-kata. Aku menulisnya dengan hati. Ucapan-ucapan itu bukan sekedar untuk menambah ‘recent activity’ pada halaman facebook tetapi di dalamnya memuat spirit yang juga mengingatkan aku untuk melakukan hal yang sama, berdo’a dan berharap kebaikan kepada orang lain. Aku sering meminta kepada Tuhan, tetapi itu mungkin terbatas untukku, keluargaku dan orang-orang terdekatku saja. Tak banyak alasan untuk meminta bagi orang-orang yang secara tidak langsung bersentuhan dengan kehidupanku karena batas jarak dan waktu. Tapi, tekhnologi facebook membantu untuk itu.

Hanya ada aku, ‘si putih’ (sebutanku buat laptop apple pemberian hubby), sebuah PC dengan status mati, secangkir kopi dingin, sepotong kue jumput-jumput pisang hadiah dari Ace penjual kue, seloyang kue dan beberapa potong ikan asin dari Kak Sinta. Tadi sedikit ramai di ruang terbuka yang tepat di belakang ruang kerjaku. Ada surprise party dari adiku, Sumi yang datang dengan serombongan orang rumah lengkap dengan anak-anakku. Padahal, aku baru saja terbangun dari tidur sebentar karena aku tiba-tiba merasa begitu pusing dan mual. Aku masih sempat mengirimkan kembali tulisanku ke Mas Bawor dan Kang Didin, ternyata mereka belum menerima tulisan yang sudah kukirim berminggu-minggu lalu. Aku juga masih punya PR untuk mengoreksi Work Plan dan budget salah satu proyek kantor bareng HuMA tetapi tertinggal di rumah.

Aku begitu jenuh terkungkung di ruang kaca nan panas ini, sehingga terlintas terpikirkan untuk menulis monolog. Terciptalah Monolog Tiga dan Satu

Di ruang berukuran 3x3, berkumpul saudara, anak dan juga beberapa temanku. Ada kue bertuliskan 31 di atasnya sedang terbakar lilin yang menyala. Tak lama kemudian, aku meniup lilin itu satu persatu dibantu oleh Galang, anakku. Lagu Selamat ulang tahun yang tak begitu merdupun berkumandang.

Hari ini, aku sudah berdiri pada dua digit angka ganjil itu. Tiga dan Satu.

“Huh, bilang saja ga berani bilang 31 (Tiga Puluh Satu), malu ketahuan tua!.”

“Siapa takut, siapa malu. Bukankah kalo soal umur orang bilang 31 itu kategori kepala tiga. Bangga donk punya kepala sampe tiga, banyak otak, uploading juga bisa banyak ga bakal overload. Kepala tiga adalah perumpamaan untuk usia yang matang, matang artinya semakin banyak pengalaman (baik dan buruk, senang dan susah) alias banyak makan garam (awas hipertensi), matang artinya dewasa, dewasa artinya  bijak, bijak artinya ya bijak. Sudah. Aku cuma ingin kehidupanku penuh dengan kebijaksanaan. Sulit memang tetapi bukan berarti tidak mungkin.”

“Logika garing dan ga menarik. Bukannya kedewasaan tidak bisa direfleksikan melalui angka-angka saja?. Kedewasaan dan kebijaksanaan sangat abstrak untuk diukur hanya pada satu atau dua bahkan lebih angka. Barangkali tidak sesederhana itu.”.

“Bilang aja tua!, susah amat sih”.

“Enggak, aku ga mau dibilang tua. tua lambang ketakberdayaan, tua berati ga bisa apa-apa, tua berarti akan mati, tua berarti dependensi tinggi, dan tua berarti bau tanah …”.

Dan tiba-tiba, aku berpikir nakal.

“hey, gimana kalau angka 31 kita balik jadi 13…!”.

“Arrrggh, dasar tua ga mau terima kenyataan. Lha, nambah lagi daftarnya, tua berarti keras kepala, bebal, kembali ke digit 1 tapi angka ‘0’, ga progresif dan stagnan. Mau ga dibilang angka ‘NULL’. Hayo, masih ga terima kenyataan!.”

“Sudahlah. Apa yang salah dengan tua. Aku memang sudah tua. Aku juga dikelilingi oleh banyak orang yang sudah tua, yang dulunya juga muda.”

“So What?.”

“No matter what. This is a beautiful life. I could get through this long journey because of God’s blessings since the day I called human.”.

Aku mencoba menyadarkan diri, begitu banyak kemudahan dan keindahan yang kualami yang sayang untuk kukutuk. Seandainya sedikit saja rasa syukur itu hadir setiap hari dalam hidupku, akan terasa begitu dekat jiwa ini dengan kefanaan yang indah dan aku tahu bahwa di atas kefanaan itu ada kekuatan yang begitu besar, yakni keyakinan akan sesuatu yang kuanggap lebih ampuh dari sekian ribu baris lafal do’a dari mulut-mulut orang yang mengaku beriman kepada Tuhan-nya dan pergi ke kuil, gereja, masjid dan pura hanya untuk membuktikan keimanannya itu. Mereka memperoleh pujian tetapi pada saat yang sama mereka mengutuk orang karena tidak berdoa novena, tidak berzikir dan tidak membakar hiu’ di kuil. Tapi, ini juga bagian penting dan seni dari hidup ini. Aku tidak tahu aku berada dimana karena bukan aku yang menilai, tapi setidaknya aku mengerti fakta seperti itu. Semoga ini menjadi pegangan untukku, sehingga aku tidak menjadi latah ke gereja dan berdoa dengan tujuan yang tak jelas tapi berlandaskan keyakinan akan kekuatan yang Maha Dahsyat itu. Yang tidak beranak dan diperanakan itu. Yang menjadi misteri yang membuat orang saling klaim kebenaran dan saling bunuh. Yang membuat orang dipisahkan atas nama perbedaan. Yang membuat cinta dan damai sulit diaktualisasikan dalam dunia ini.

“Wow, what a fantastic words I made!.
“Am I wiser?.”
“Is that because of my centimentil feeling or just an adjustment to this growing ages?.”

“I don’t care!”.
“I know what I know alias pokoknya aku tahu.”

“Apa yang kau tahu?”.

“Kau ingin menunjukan betapa cerdasnya dirimu, padahal kata-kata itu banyak diucapkan orang-orang untuk menutupi kekurangan dan ketakmauannya saja.”

“Maksudmu?.”

“Ya, kebetulan kamu seorang aktivis NGO, mikirmu rada on the human rights perspective lah. Tapi coba kautanyakan betul-betul pada dirimu, apakah emang benar kau sekompromi itu, jika dalam kondisi tertentu yang rumit.”

“Well, perhaps, but I’m now talking about my thoughts, not a feeling of a certain complicated condition. Let’s see it this way, that this a thing to be a common understanding and knowledge!. Just that simple, honey.”

Pembicaraanku dengan aku yang lain sungguh mulai menjadi kompleks dan topiknya bisa menyebar. Sebetulnya, ini yang kurasakan terakhir ketika harus berdebat dengan seorang teman yang terlalu terobsesi dengan kata “trully me, my true colors atau the real me”, dengan mengatakan orang lain picik tanpa ukuran yang jelas yang cenderung sangat subjektif dan tak berdasar intelektualit

Jumat, 03 Februari 2012

The Coming Soon and the Must Watching Film

Yesterday, I couldn't close my eyes. Did not know why my eyes just kept open even it was mid night already. It forced to keep moving and pressing the remote control in my hand from one channel to others.

What was the final destination. I stopped at the metroTV channel that just featured the newest released movie of Michelle Yeoh. I don't really a fan of this actress although i like some of her film like Crouching Tiger Hidden Dragon, Tommorow Never Dies (James Bond Series). No need to say the reason why, but then I guess this will be the other specific reason to 'welcome' Michelle Yeoh into my favorites actress. Of course it depends on how she 'drown' herself as Aung San Suu Kyi.

Yeah, the news told the film of Luc Besson of France who just released his newest masterpiece, the Lady - a film on the pro-democracy activist Aung San Suu Kyi, who has been struggling against the military governmental, Junta in Myanmar (previously as Burm). Hearing this news, soon I kept in mind that this must be told to my hubby and some friends who like such movie. Yes, I put this film in my must-watched film. Can't wait ...
Michelle Yeoh as Aung San Suu Kyi in "The Lady" by Luc Besson' [Image Source: Waspada online]

Ah, wished my friend TE, AA, SH read this note. It's okay indeed, I've put this into my FB's status, but until now no one (there's someone who did actually) to press the "like" button or even commenting.

Rabu, 01 Februari 2012

Ethnic Issue to Play [English Practice dulu Yach ...]

During these four days, I've been thinking of how ethnic as well as religion remains the sexiest issues 'played' by certain group of people to break this peaceful life of many religions and ethnics in my beloved country, Indonesia.

Yesterday, I was asked by my hubby to manage contact with some friends in South Kalimantan to cross check an information he gained from his former boss (still his boss actually) - which is this boss claimed the info came from a valid resource (a church figure). The point the issue was that there was action taken by the Dayak somewhere (at the begining, this is not clear where it takes place) to attack the non-Dayak miners. Of course I was surprised to hear that since I knew that there's no info from mailing list and email at all. "Regional Walhi supposed to know this first," i thought. At least, they spread the info to the limited person or mailing list.

Both me and my hubby tried to find some news link and contact some friends. I contacted my friend who used to work with an NGO based in South Kalimantan - she had been long moved to Bogor. I got some friends' contact numbers.

No longer, I got a news from regional police station of South Kalimantan Website that released the very short feature of the conflict, That there was an action to blockade the area of local community that has been claimed and used by the mining enterprise. Local community - the Dayak Deyah (there also a different name of this ethnic like Teyah as stated in the news released in www.metroTVnews.com stated on January 31, 2012) - I don't know which one is right.

Thank God, I found that this conflict was about the demand from the local communities to the mining enterprise to give
 compensate of 55 Billion Rupiah over their territory as vast as 700 hectares that they claimed as their ancestral territory. This kind of conflict is common in my ears, as I've been worked in an Organization that work to assist this kind of conflict, let say as popular as agrarian conflict. Just want to say that this is not a new thing in my country. I don't want to talk about hte conflict. This is only to say that how ethnic issue, especially in Kalimantan still a very sexiest issue to play. You guess who are playing. I guess, this is one of the created conflict to be highlighted as the 'tool' or as mean to come to the next election in 2014. Many political party and figures are starting to build good image, they suddenly be a hero for the conflicted communities and affected communities.

Well, how this issue I considered as vulnerable is that because, initially, I got the news the "the Dayak designed an attack against Java miners" - what a sadly news. Again, thank God, it's not true... truly an 'Bird News' - Kabar Burung.

 I suddenly texted my friend to clarify the news, that some TV station has released the news and until today, local communities still blockade the conflicted object/area as there's no delegation from the company to come to negotiate with the local people with regard to the compensation demanded.

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...