Kamis, 30 September 2010

Peace ...



“Dua Kelompok Bertikai Sepakat Berdamai”. Itulah sebuah headline news hari ini terkait kerusuhan di Kabupaten Tarakan, Kalimantan Timur yang terjadi Minggu 26/09/2010 lalu. Seharusnya, ini berita baik atau buruk ya?. Tadi pagi, aku mengawali hari ini dengan chat simple dengan teman sekantor sambil cek email. Aku teringat sewaktu di SD dulu, setiap tanggal 30 September, ada keharusan untuk menonton film Gerakan 30 S. Besok harinya, guru akan bertanya siapa saja yang tidak nonton. Yang tidak nonton pasti dianggap tidak mencermin warga Negara yang baik karena melewat catatan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Saat itu, bukan hanya sekian banyak anak lain seusiaku bahkan senior-seniorku  terdahulu dan diriku sendiri bahkan tidak pernah menduga bahwa itu adalah goresan sejarah yang telah diputarbalikan sebagai bentuk doktrin dan alat pembungkaman serta alat mengubur masa lalu hanya segelintir tokoh yang merasa diri pahlawan dan perlu pengakuan atas apa yang dia anggap kepahlawanannya itu.

Kembali ke soal headline news, itu adalah sebuah judul berita yang dimuat dalam Media Indonesia online hari ini. Di satu sisi, aku menganggap ini hal yang baik dan mudah-mudahan memang demikian. Di sisi lain, ada kekhawatiran ini hanyan propaganda untuk menutupi ketidak mampuan menghadapi situasi seperti kerusuhan di Tarakan ini. Banyak sejarah mencatat ketidakmampuan pemerintah dan aparat keamanan dalam mengantisipasi hal-hal seperti ini. Sering kata perdamaian hanya untuk mendapat simpati dari banyak pihak atas kinerja aparat dan pemerintah bukan untuk menunjukan situasi yang sesungguhnya, apalagi menunjukan kemampuan masyarakat dalam melakukan resolusi konflik.  

Setidaknya, berita ini menunjukan salah satu peran media dalam merangka mempromosikan perdamaian, tidak sekedar membuat berita bombastis dan provokatif di balik slogan “bad news is good news”, karena tak jarang media dituduh sebagai penyebab meluasnya konflik karena pemberitaan yang tidak berimbang dan terlalu mengumbar peristiwa-peristiwa dengan vulgar. Tapi, kalau masyarakatnya sudah terdidik dan mengerti perdamaian yang sesungguhnya dan memang dalam kondisi bisa menerima perbedaan, pemberitaan apapun tidak akan menyulut emosi massa. Saya teringat dengan status seorang teman di Facebook, “banyak cara menuju rukun: menerapkan pendidikan perdamaian, muatan local multi-kultur, bergabung di CU .. kalau ini berkembang dengan baik mestinya tidak ada saling sikut antar etnis/agama..”. Tanpa bermaksud menilai  statement ini, paling tidak terlihat adanya hal kongkrit di sana, ketimbang model dan bentuk pembangunan perdamaian dan rekonsiliasi cara konvensional selama ini yang dilakukan di meja bundar dengan para actor tajir bersafari dan berjas plus label tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat kemananan dan pemerintah. Dan, perbincangan selesai di ruangan dingin full AC dengan snack dan makanan yang enak. Di balik pintu, masyarakat masih was-was. Membangun pendidikan early warning system juga masih penting dilakukan nampaknya terutama bagi pemerintah dan aparat keamanan, sehingga sigap mengantisipasi kondisi yang berpotensi konflik yang lebih besar. Tapi, aku sendiri berpikir nakal, “jangankan membangun early warning system untuk konflik, membangun early warning system bencana aja belum genah”. Wah, wah, terus mesti diapain?.


Rabu, 29 September 2010

Refleksi Individu Proses Visioning (Tulisanku pada Kamis, 29 November 2007)


Aku teringat proses visioning lembaga ku beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 28-30 September 2007. Proses itu merefleksikan tidak saja gerakan sosial yang sudah dibangun oleh Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan barat, tetapi sekaligus merefleksikan apa yang sudah aku sumbangkan dalam gerakan sosial. Menjadi bagian dari sebuah gerakan yang dikenal oleh banyak orang. Tidak mudah. Apalagi ternyata ini semua dimulai dengan dasar kesadaran (bisa jadi juga kemarahan terhadapa ketertindasan yang diciptakan kekuatan yang luar biasa) akan ketertindasan yang dialami oleh orang Dayak.

Pengalaman awal yang dialami oleh para pioneer gerakan ini tentu saja tidak sama dengan yang kualami ketika pertama kali bergabung dalam gerakan. Namun, setiap orang dengan pengalaman yang berbeda akan menyumbangkan banyak hal yang berbeda pula dan hendaknya semakin memperkaya esensi dari perjuangan ke arah tujuan yang sama. Di perjalanannya, aku terkadang bertanya, apakah betul tujuan itu sama?. Tidak ada yang bisa menjawabnya selain diriku sendiri. Dan, aku sampai pada beberapa kemungkinan (terlalu dini untuk menyimpulkan). Kemungkinan pertama, tujuannya sama tetapi berbeda individu dan kelompok, berbeda pula caranya. Kemungkinan kedua, tujuannya tidak sama karena setiap individu dan/atau kelompok memiliki dasar/alasan, cara, kepentingan dan harapan yang berbeda pula. Kemungkinan ketiga, tujuannya berbeda tetapi caranya mencapai tujuan berbeda karena kemampuan individu dana/atau kelompok merespon dinamika dan kompleksitas persoalan juga beragam dengan dasar awalnya juga beragam.

Terlepas dari kemungkinan di atas, aku ingin mengungkapkan kekagumanku dan keberuntunganku telah memperoleh ruang besar untuk memahami 'ke-DAyakanku' dan juga mempelajari banyak hal tentang perjuangan identitas. Entah kemanapun tujuannya, ada nilai-nilai pengikat yang menjadikan gerakan ini sangat istimewa. Idealnya, sebuah gerakan memiliki 'sesuatu' yang ingin diperjuangkan bersama-sama, cita-cita bersama.

Kembali ke visioning, ternyata dasar (yang dalam konteks ini disebut cita-cita awal) dari orang-orang seperti Sandra, Masiun, Kanyan, dan Pak Mecer tidak lah muluk-muluk, namun mereka memiliki kekuatan yang dalam hal ini aku sebut keyakinan akan sesuatu dalam memulai gerakan pemberdayaan Pancur Kasih secara umum, dan LBBT khususnya. Theori visioning menawarkan proses penkajian ulang terus menerus dari mimpi atau cita-cita, mencari kebanggaan yang diperkuat terus menerus. Jelas, esensinya bahwa apa yang dilakukan berangkat dari cita-cita besar yang menuntut integritas dan kebersamaan. Setiap orang memiliki cita-cita pribadi, namun dalam konteks gerakan ia juga harus bergabung memperkuat keyakinan akan sesuatu yang dicita-citakan bersama. Ibarat bangunan, tidak gampang membangun fondasi dengan material yang berbeda dengan kekuatan dan kelemahannya masing-masing.

Richness Vs Poverty (Ditulis pada Jumat, 30 November 2007)


Tanggal 31 Oktober - 02 Nopember 2007, aku menghadiri workshop “Development Efforts for Poverty Alleviation”, di Kapuas Palace Hotel. Itu adalah perhelatan sebuah lembaga donor besar dari Netherlands, Oxfam Novib yang sejak 1993 memberikan dukungan penuh terhadap LBBT ,dan juga telah mendukung banyak lembaga seperti Walhi, PEK-PK, Sawit Watch dan masih banyak lagi tersebar di seluruh dunia dengan konsen isunya masing-masing.

Pertemuan ini istemewa karena membicarakan hal-hal strategis ke depan yang harus dimulai dan dibangun bersama oleh beberapa lembaga yang bekerja di Kalimantan, baik di tingkat Region Kalimantan mapun Nasional. Dimulai dengan sebuah riset yang memuat analisis terhadap kondisi di Kalimantan yang dilakukan oleh Dirk Van Esbroeck (dari South Research), kegiatan ini juga merupakan refleksi dan perumusan kerja-kerja ke depan yang dilakukan.

Membicarakan Kalimantan, maka setiap orang akan teringat dua sisi yang bertolak belakang (kontroversi) dalam konteks kondisi seperti kalimat yang dipilih oleh Dirk dalam judul analisisnya “Kekayaan kami adalah Sumber Utama Kemiskinan Kami – Our Richness is the Major Source of Our Poverty”. Kekayaan Versus Kemiskinan dialami dalam waktu yang bersamaan dan seakan-akan tiada bedanya. Kompleksnya persoalan yang dituai oleh Kalimantan karena kekayaannya telah menjerembabkan rakyatnya bergelimang ‘kekurangan’ bukannya ‘berkelimpahan’ atas sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya. Sebut saja kekayaan alam yang jelas-jelas dimiliki dan dipelihara oleh rakyat Kalimantan. Untuknya mereka harus ‘berebut’ - merebut sesuatu yang sedari awal telah diwariskan oleh nenek-moyang mereka. Tak pelak, hak-hak rakyat atas tanah dan sumber –sumber penghidupan lainnya diabaikan dengan berbagai alat yang setiap saat berubah bentuknya, terkadang menjelma dalam kebijakan yang ‘manis-manis’, lebih ekstrem lagi dalam bentuk kekerasan fisik seperti intimidasi. Konflik horizontal antar komunitaspun sering terjadi, yang akarnya adalah persoalan tanah.

Dalam kerangka program, advokasi hak atas tanah dan sumber penghidupan lainnya di Kalimantan, telah diusung oleh banyak NGO seperti LBBT, PEK-PK, Gemawan, Walhi (daerah dan Nasional), Sawit Watch, eLPaGar, Institit Dayakologi, secretariat SeGeraK dan Save Our Borneo. Workshop ini merupakan salah satu ajang konsolidasi gerakan di tingkat jaringan. “Berjaringan” adalah salah satu modal utama yang memperkuat existensi dan kerja-kerja NGO. Namun, disadari sangat tidak mudah. Banyak sekali NGO dengan focus kerja yang beragam, karenanya menuntut pembagian peran. Dalam pembagian peran, dituntut kemampuan kerja sama dan saling menyumbangkan kapasitas dan kompetensi baik individu maupun lembaga.

Hal menarik dari pertemuan ini adalah berhasil ditemukannya dan dirumuskannya strategi advokasi yang berbeda terhadap “existing oil palm” dan “Expanding oil palm”. Dalam perjalanannya, perbedaan strategi atas 2 hal tersebut sering menimbulkan ‘konflik’ antar NGO yang sebetulnya memiliki tujuan yang sama. Pertemuan ini telah menemukan cara saling mengkoordinasikan dan memahami cakupan kerja dan caranya masing-masing yang akan didetilkan ke dalam pembagian peran dan focus isu serta wilayah. Ini menjadi PR bersama yang terkesan sangat sederhana, namun pada prakteknya lumayan sulit di tengah kesibukan masing-masing. Skenario Building dalam kerangka advokasi bersama sudah pernah dirumuskan dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, dan masih belum terbaca sampai dimana prosesnya sudah berjalan.

Pendekatan program yang ditawarkan oleh Oxfam Novib (direpresentasikan oleh Henk Peters – Program Officer Regional untuk Kedaulatan Pangan dan Pendapatan di Asia Selatan dan Asia Tenggara), menjadi bagian dari PR tersebut untuk kembali dipikirkan bersama.

Pertambangan sebagai Bagian dari Konflik Tanah dan Sumber Penghidupan Lainnya

1. Kasus-kasus pertambangan Besar di Indonesia

Kasus pencemaran akibat pertambangan menjadi trend beberapa tahun terakhir di Indonesia. Masih nyaris terdengar gaung protes perempuan dan anak di Kalimantan Timur yang biasanya mengusahakan emas secara tradisional, kemudian digusur oleh PT. KEM dengan dampak kerusakan lingkungan yang parah. Masih terbayang tandusnya bumi kaya Papua oleh gerusan raksasa bernama PT. Free Port yang menawarkan surga dunia dan lembah tangis rakyat kecil yang kehilangan tanahnya. Jeda beberapa saat, sambil terus terdengar teriakan menuntut kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), misalnya kekerasan terhadap perempuan di areal pertambangan, kita dikejutkan dengan kasus Buyat, yang oleh beberapa kalangan disebut cerminan awal tragedi Minamata di Sulawesi Utara oleh PT. Newmount.

Contoh-contoh di atas merupakan topik utama yang selalu menjadi ‘Hight-lights’ dalam setiap program kampanye para pemerhati lingkungan serta pembicaraan di berbagai media sejak tahun 1998-2001. Ternyata, sebagian besar rakyat Indonesia harus meratapi kekayaan akan sumber daya energi, mineral dan bahan galian. Konflik-konflik tanah dan kekayaan alam lainnya menjadi meningkat yang dibarengi oleh gerakan ‘klaim’ masyarakat lokal atas hilangnya tanah, kerusakan lingkungan, kehilangan sumber pencaharian dan perlakuan yang tidak adil dalam pekerjaan.

Bicara tentang konflik tanah dan kekayaan alam lainnya terkait dengan kasus pertambangan, mungkin tidak berlebihan jika kita mencoba melihat sejuah mana kebijakan pertambanan di Indonesia memiliki andil dalam melanggengkan konflik tersebut. Mengapa konflik pertambangan tidak pernah terselesaikan, dan masyarakat tidak pernah bisa didengar tuntutannya atas nama apapun.

2. Andil Kebijakan melanggengkan Konflik Pertambangan di Kalimantan Barat

Pertambangan merupakan sektor yang menjamin pertumbuhan ekonomi sangat cepat, terutama emas. Ini sangat dimaklumi karena logam mulia ini memiliki nilai yang sangat tinggi. Terlepas dari pengusahaan emas besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahann besar asing yang memperoleh legitimasi pemerintah melalui hak kelola, pengusahaan emas besar-besaran yang dilakukan oleh rakyatpun sangat marak, terutama yang dilakukan di atas sungai. Ini dilakukan dengan system mengeruk pasir yang bercampur emas dari dasar sungai untuk kemudian emasnya ‘diikat’ dengan merkuri.

Praktek-praktek di atas terjadi begitu saja seakan-akan saling berlomba. Namun, seiring dengan itu pula, produk-produk hukum terkait dengan pertambanganpun sangat sulit menjadi ‘alat’ yang mampu menjadi perwujudan tanggung jawab negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan menjamin/memenuhi (to fullfill) atas penikmatan hak-hak oleh rakyat. Justeru, telah terjadi ketimpangan penguasaan atas tanah dan kekayaan alam lainnya. Ketimpangan ini ditandai dengan meluasnya konflik yang tidak saja menghadapkan rakyat dengan pemerintah (melalui kebijakan eksploitasinya) dan perusahaan-perusahaan besar pemegang ijin. Lebih jauh, konflik antar komunitas (horizontal) juga semakin terpelihara dengan didukung oleh paradigma otonomi daerah sebagaib legitimasi pemilik modal dan siapa saja yang memiliki saku tebal bermain sebagai aktor utama di arena ini. Hak atas lingkungan yang harus dilihat utuh dengan melihat keterkaitannya dengan hak-hak lainnya seperti hak atas air bersih, hak atas kesehatan dan hak atas tanah menjadi di awing-awang semata.

Proses-proses perubahan hukum baik pada tingkat pusat (nasional) maupun daerah (lokal) belum menunjukan reformasi yang sesungguhnya dalam sektor pertambangan. Di Kalimantan Barat, pertambangan emas terapung di atas sungai menjadi semakiin marak. Beberapa pihak menyebutnya dengan Pertambangan Emas Skala Kecil, Pertambangan Emas Tanpa Ijin atau pertambangan emas liar dan ‘Jek’oleh rakyat.

Usaha-usaha advokasi konflik di sector pertambangan juga semakin marak dilakukan oleh aktivis lingkungan. Namun demikian, ini dirasakan sulit karena harus menghadapkan masyarakat dengan masyarakat, Ini diungkapkan oleh salah seorang aktivis yang pernah bergabung dengan Jaringan Advokasi Tambang Adat di Pontianak. Berangkat dari kasus-kasus pertambangan besar akhir-akhir ini, banyak orang memang seolah-olah tidak begitu tertarik membicarakan pertambangan emas skala kecil. Padahal, sejak tahun 1998, pertambangan emas skala kecil oleh rakyat selama ini menjadi pemicu trjadinya konflik horizontal. Sebut saja konflik horizontal orang Punan Uheng Kereho dengan Penambang Emas di DAS Kapuas, yang memuncak pada tahun 2002 dan berakhir denan aksi pengusrian.

Dalam hukum nasional, pertambangan emas rakyat tidak diatur. Undang-undang Pokok Pertambangan No. 11 tahun 1967 sendiri mengacu kepada Undang-undang 1945, Pasal 33, ayat 3 yang menyatakan bahwa “bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”. Pasal ini jelas mempertegas Hak Menguasai Negara (HMN) terhadap segala jenis bahan galian,termasuk emas. Bahkan, pengaturan tentang hak-hak adat dan pengelolaan lingkiungan tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Undang-undang (Lihat pasal 1 dari UU No. 11/1967 yang menyatakan bahwa ‘Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional Bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”).

Absolutisme negara masih kental dalam produk kebijakan dan Undang-undang pertambangan. Pada tingkat daerah sendiri, ini tidak menjadi perhatian serius karena pengaturan pertambangan di tingkat daerah mengacu kepada Surat Keputusan Menteri. Pada pasal 4 dari UU No. 11/1967 menyatakan bahwa penguasaan bahan galian adalah oleh negara dan pelaksanaannya diserahakan kepada Menteri melalui Surat Keputusan dan pemerintah daerah tingkat I. Bagaimana dengan pengembangan masyarakat, pengelolaan lingkungan dan bahkan pengakuan tentang aturan lokal tentang hak-hak adat tidak ada termuat secara eksplisit. Undang-undang ini justeru menawarkan (memberi ruang) beberapa bentuk perijinan pertambangan umum seperti Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan (PKP), Pertambangan Batubara, Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD) dan Surat Ijin Pertambangan Rakyat (SIPR). Inilah dilematis dan jalan buntu yang tergambar dalam melakukan advokasi hak dan kebijakan di sector pertambangan.

(Tulisan tahun 2002, diperbaharui 30 Nopember 2007)

Community Organizers - Penggerak Kampung (tulisanku pada Kamis, 13 Desember 2007)


Dalam 5 tahun terakhir sejak aku bergabung dengan LBBT, aku akrab dengan istilah community organiser (baca: CO)yang diusung sebagai aktor sentral dalam proses organizing (pengorganisasian) yang menjadi program andalan LBBT sejak tahun 1993. Istilah ini bahkan sudah turun ke kampung-kampung nan jauh di sana, di tempat-tempat para aktivist LBBT pergi, tinggal,belajar, bekerja bersama dan menjalin pertemanan dengan Masyarakat Adat di Kalimantan Barat.

Aku tertarik menulis apa yang beberapa hari ini menggelayuti pikiranku soal CO=Community Organzer dan CO=Community Organizing. Berawal dari proses workshop pendokumentasian pengalaman para CO lokal dan/atau penggerak kampung yang difasilitasi LBBT awal Desember lalu (3-5 Desember 2007, aku ingin berbagi soal bagaimana 'mendaratkan' konsep pengorganisasian di tingkat lokal dan tidak terjebak dengan istilah 'keren' itu sehingga prinsip-prinsipnyapun terabaikan atau terlupakan. Yang tepat mungkin memakai istilah terlupakan dalam konteks ini, yang disebabkan proses retelling dan reinstalling tidak begitu menarik bagi NGO-NGO yang bekerja di MA. Praktis dan terkesan tekhnis, meski sesungguhnya merupakan fondasi yang menjadi penting untuk melakukan advokasi, terutama advokasi hak Masyarakat yang tertindas.

Semakin banyak dan maraknya kasus-kasus yang selalu diwarnai oleh aksi 'menuntut' hak di tingkat lokal/masyarakat, mau tidak mau harus diakui telah membuat cara berppikir NGO maupun masyarakat yang didampinginya ter-'frame' menterjemahkan kerja-kerja di tingkat lokal adalah menggalang aksi atas kasus-kasus saja: baik mendesak pemerintah atau bahkan langsung berhadapan dengan perusahaan yang selama ini mengambil tanah dan sumber penghidupan mereka. Sementara, dalam aksi-aksi tersebut tak jarang pula masyarakat mengalami tindak kekerasan: dipenjara, ditembaki dan diadu domba antar mereka serta dibohongi sehingga harus berkali-kali melakukan negosiasi.

Proses dua hari lebih tersebut menjadi refleksi bagi NGO-NGO yang bekerja di komunitas untuk mengkaji ulang sejauh mana konsep dan prinsip pengorganisasian betul-betul bisa dipahami, bahkan oleh para CO lokal di masyarakat. Bagaimana pendekatan-pendekatan pengorganisasian dan kerja-kerja advokasi di tengah dinamika di masyarakat yang begitu cepat berubah.

Mother's Day (tulisan pada Selasa, 18 Desember 2007)


Mother’s Day merupakan salah satu budaya yang telah dikembangkan di Amerika dan Eropa untuk menghormati Ibu dengan segala jasa dan baktinya. Tradisi ini juga dikenal di Indonesia meski perayaannya tidak semeriah hari-hari bersejarah lainnya. Namun, di Indonesia, hari ibu merupakan tonggak sejarah pembebasan kaum perempuan, berawal dengan dilaksanakannya Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. 

Jika perayaan hari Ibu di Amerika dan Eropa diwarnai dengan mengirim kartu, bunga dan hadiah/souvenir untuk Ibu dan membebaskan kaum Ibu dan/atau perempuan dari aktifitas domestic, di Indonesia tidak begitu kental dengan aktifitas yang demikian. Namun secara historis ini merupakan catatan besar pembebasan kaum perempuan Indonesia dari ketertindasannya. Ditandai dengan lebih terorganisir dan terkonsolidasinya gerakan perempuan di Indonesia dalam wadah berbagai organisasi kala itu. Tanpa hendak menelusuri balik sejarah hari Ibu, tulisan ini hendak mengatakan bahwa Hari Ibu versi Amerika dan Eropa tidaklah sama dengan Hari Ibu versi Indonesia. 

Meskipun secara ritual, kemeriahan perayaan Hari ibu di Indonesia kalah meriah dibandingkan dengan di Amerika dan Eropa, namun harus diakui bahwa tonggak sejarah gerakan perempuan sudah dimulai. Sayangnya, ini tidak disadari banyak orang terutama kaum perempuan sekarang karena keterbatasan pengetahuan tentang sejarah. Yang disampaikan di ataspun merupakan kontekstual masa perjuangan Negara Indonesia dari penindasan colonial (pra-kemerdekaan). Dalam konteks relasi dalam keluarga, Indonesia juga mengenal budaya menjunjung tinggi seorang Ibu bukan saja karena dia telah melahirkan generasi penerus tetapi karena perannya yang begitu besar dalam mengusahakan kesehatan yang baik bagi anaknya sejak dalam kandungan dan juga mendidik anaknya. Setiap saat, adalah hari-hari dimana setiap individu memuja Ibu, tidak saja pada tanggal 22 Desember. Dengan demikian, budaya memeriahkan hari ibu secara besar-besaran tidak lagi dianggap begitu penting dalam ritual khusus. Untuk tidak hendak mengatakannya tidak penting, minimal, sekarang orang mungkin bisa sekedar mengingat tanggal 22 Desember adalah hari dimulainya Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta yang artinya bagian dari sejarah gerakan perempuan di Indonesia. Artinya, tetaplah m enjadi sebuah pengetahuan yang besar, sehingga tuntutannya sekarang adalah bagaimana menempatkan perempuan/Ibu sebagai mitra sejajar dengan peran yang juga adil serta perlakuan yang adil pula akan memanusiakan kaum perempuan/Ibu tidak hanya sekedar sebagai kaum yang dihormati dan disanjung karena kecantikannya dan kemuliaannya menghadirkan ‘anak’ di muka bumi. Ini mutlak tentang hak kaum perempuan. Kata Ibu sendiri hendaknya tidak lagi terbatas pada sebuah ‘titel’ yang melekat pada seorang perempuan dewasa, seorang perempuan yang telah menikah, perempuan yang telah memiliki anak, seorang guru perempuan, ataupun sekedar sapaan halus tetapi lebih utuh dan kompleks.

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...