Rabu, 03 Juli 2019

Mekar Perdana Adenium "Black Jack'

"Katakan dengan bunga!".
Adenium Black Jack
Kata-kata ini sering kita dengar, bahwa bunga mampu mewakili rasa. Lihat saja orang-orang kerap berkirim rangkain bunga pada momen perayaan ulang tahun, hari valentine, pernikahan, persahabatan, ucapan selamat atas kelulusan dan banyak lagi momen bahagia lainnya. Sebaliknya, bunga juga menjadi simbol ungkapan empati dan simpati pada momen yang tidak mengenakan seperti duka-cita. Bunga juga begitu akrab dalam berbagai ritual-ritual adat di banyak komunitas di Indonesia pada prosesi kedua momen di atas. Demikian juga pada ritual-ritual keagamaan tertentu.

 Tahun lalu (2018), aku dan kedua sahabatku merayakan ulang tahun kami bersamaan karena tanggalnya yang berdekatan di bulan Juni. Kami merayakan dengang sederhana bertepatan persis dengan tanggal ultahku, bertempat di rumah sahabatku yang hanya berselang satu hari lebih dulu dari tanggal kelahiranku. Iseng, akupun "memaksa" diberi hadiah ultah salah satu jenis koleksi adenium yang begitu banyak di rumahnya. Dan aku berhasil. Aku mendapatkannya. Pilihanku jatuh pada Black Jack.

Tahun ini, sudah genap setahun Black Jack berada di rumah, dan ia mekar pertama kali dengan dua kuntum di bulan Mei lalu. Jadilah ia sasaran lensa makroku. Akhirnya...aku bisa juga memamerkan dua kuntum itu ke pemberinya, sahabatku yang selalu meminta aku memberi "progress report" pertumbuhan Black Jack. Black Jack ini  adalah jenis kelompok varietas, yakni hasil perkawinan atau persilangan dengan kelompok spesies dari jenis asli. Asalnya dari Bangkok, begitu;ah dijelaskan oleh sahabatku, si pemberinya. Hasil persilangan seperti ini memunculkan bentuk baru yang bisa dilihat dari kelopak bunganya berlapis (ber-layer) seperti mawar, tidak seperti jenis asli yang kelopaknya hanya satu lapis. Pun demikian dengan warnanya yang cenderung bergradasi seperti Black Jack ini dengan gradasi warna ungu dan merah menghasilkan warna mendekati maron dan hitam. Indah bukan?!.

Adenium ini merupakan tanaman hias sukulen (memiliki batang yang menyimpan banyak cadangan air). Di Indonesia, ia juga sering dikenal dengan sebutan kamboja. Menurut Mas Wiki, adenium atau kamboja ini berasal dari Asia Barat dan Afrika, dari daerah gurun pasir yang kering, dari daratan Asia Barat sampai Afrika. Iapun sering dijuluki sebagai mawar gurun/padang pasir (desert rose).


Senin, 24 Juni 2019

Buah "Daun"

Buah D'aun (Foto: Lili D)
Jika anda ditanya tentang gambar di samping, mungkin lebih banyak menjawab tidak tahu. Kecuali jika anda pernah merasakan tinggal di rumah terapung dan tergolong  aktif serta intens beraktifitas di sungai. Aku mengenalinya sebagai Buah Daun. Ya, ini adalah buah berbentuk daun bahkan namanyapun dalam istilah lokal (bahasa ibuku) disebut demikian, Buah D'aun (dibaca dengan penekanan pada bunyi 'd' diawal kata). Pada gambar, Buah Daun sudah dilepas kulitnya. Kulitnyapun berwarna seperti daun, berwarna hijau disaat belum matang, dan berwarna coklat dikala sudah matang. Pada saat berwarna coklat inilah, Buah Daun yang pohonnya tumbuh di pesisir sungai ini biasanya gugur jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus. Biasanya, Buah Daun akan mengapung segerombolan dengan sampah dedaunan, buah-buahan yang tumbuh di pesisir sungai seperti putat dan ntangis serta ranting-ranting kayu.

Buah ini sering dimakan langsung dalam keadaan mentah. Bisa juga diolah dengan dimasak sebagai campuran rebusan ikan sungai.  Setelah matang, air sayur buah daun ini akan berwarna susu. Daging buah berasa sedikit gurih dengan kuah yang akan cenderung sedikit sepat (kelat) sebagai rasa khas dari buah ini.

Saat kecil, di kala air mulai pasang, aku dan kakakku sering berkayuh menyusuri sungai untuk mengumpulkan Buah D'aun. Tidak memerlukan waktu lama untuk membawa pulang cukup banyak buah, toh kami juga bisa menemukannya tersangkut di batang apung penyangga lanting (rumah terapung) tempat kami tinggal (1980-an). Nah, jika anda tahu apa nama latin atau bahasa Indonesia dari buah ini, jangan sungkan untuk  berbagi ya.

Selasa, 18 Juni 2019

Tetepok (Water Snow Flakes, Floating Heart)

Bunga Tetepok
Aku menduga ia teratai kecil, tetapi Si Tukang Kebun menegaskan bukan. "Ini hanya tanaman air liar yang tumbuh begitu saja di situ!." Karenanya, Si Tukang kebun mengambilkan dan memberikan cuma-cuma tanaman itu kepadaku. Aku tertarik dengan bunga kecilnya dan pasti indah jika ia mengapung di permukaan air kolam ikanku.

Dan terjadilah!. Ia berpindah tempat. Jika aku suka melihat daunnya yang serupa teratai dan bunga putih kecil itu, ikanku suka menggrogoti daunnya untuk dimakan. Oalaaah...dikira tumbuhan pakan!!. Banyak daun hijau itu tak berbentuk utuh menyerupai hati lagi karena gigitan ikan. Baiklah, sesungguhnya tidak ada yang benar-benar tak berarti di dunia ini. Tidak ada satupun yang tak terhubung satu dengan yang lainnya.


Karena semua makhluk terhubung satu sama lain, akupun menghubungkan diri dengan mesin pencari Dewa Google. Mencari tahu dengan "kata kunci" ciri-ciri fisik bunga ini kemudian melihat gambar yang sesuai. Belum selesai, aku mendapat notifikasi akun sosmedku terkait postku tentang bunga ini. Belum selesai aku menemukan yang kucari, aku mendapati komentar berisi informasi tentang bunga ini dari satu orang teman di sosmed ini. Aku mencoba memberi verifikasi bagi diriku sendiri (karena tidak boleh percaya pada satu sumber saja khan?!), melakukan konfirmasi balik dengan mesin pencari google, mengumpulkan beberapa informasi lain dan ternyata informasi dari kawan itu benar adanya.  

Bunga Tetepok (Nymphoides Indica). Ia sering juga disebut Water Snow Flakes atau juga disebut Floating Heart. Pada tahun 2011, pada perayaan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN), bunga tetepok pernah dijadikan sebagai puspa Nasional. Ia bisa ditemukan di berbagai belahan dunia seperti Eropa, Amerika dan Asia (salah satunya Indonesia). 

Pertemuanku dengan bunga ini adalah suatu kebetulan di hari Jumat Berkat. Kami sedang merayakan kelulusan si sulung, G, dengan makan siang bareng di resto  yang belum pernah kami kunjungi tapi sering kulihat orang-orang narsis dengan bunga-bunga indah di halaman resto itu (karena gak diendorse, nama resto dan alamat detil tidak disebutkan). Tepatnya di Jalan Arteri Supadio, Kabupaten Kubu Raya. Aku juga berharap bisa membeli bibit bunga di sana. Hasil akhirnya, saya mendapat bibit gratis Tetepok ini (bisa gratis karena alasan di atas, "tidak untuk dijual, dianggap tanaman liar" oleh si tukang kebun), diberi gratis 10 biji bunga matahari (alasan gratis hampir sama, "belum ada bibit atau biji yang layak untuk dijual), membeli dua tangkai bunga sedap malam beserta bibitnya dengan total harga Rp. 30. 000;, diberi gratis satu biji dan satu tanaman Keji Beling (katanya tanaman obat). Lumayan greget dengan ketidaktahuan si tukang kebun sampai akhirnya aku tidak tahan untuk tidak memberi saran sebelum kami beranjak. Saranku adalah agar si tukang kebun harus berusaha mencari tahu nama setiap tanaman yang ia tanam dan rawat di halaman resto itu. Dan, agar tidak lupa, ia mestinya menempel tag nama tanaman sehingga dia tidak banyak menjawab "tidak tahu".

Apapun itu, hasil akhir semakin paripurna dengan agenda silaturahmi kerumah sahabat lama yang sudah belasan tahun tidak bertemu.  Kami mendapat suguhan menu lontong, roti cane dan gulai daging sapi dari isteri sahabat lamaku  itu. Kutunggu Jumat Berkat berikutnya... untuk kutulis

Senin, 20 Mei 2019

Women Power dalam Keberagaman

Saya ingin membagi tentang women power dari momen pre-course Short Term Award (STA) Australia Awards Indonesia 2019. Kami berkumpul di Hotel Double Tree by Hilton, Jakarta sebagai "awardee' setelah lolos melewati tahapan seleksi administrasi (dokumen data personal, curriculum vitae, rencana proyek) dan wawancara. Saya secara pribadi ‘dipaksa’ seorang teman untuk mendaftar melalui organisasi dimana ia bekerja. Dari tiga orang yang di-endorse oleh satu lembaga ini, dewi keberuntungan berpihak kepada saya.

Senior Multi-faith Women Leaders, itulah tema utama STA ini. Ini yang menantang sekaligus sempat membuat saya tidak yakin bisa lolos. Saya belum pernah berada pada  top level Management, sebagai pimpinan. Saya juga cukup lama menjauh dari isu perempuan setelah sebelas tahun banyak berinteraksi dengan perempuan adat selain freelance sebagai fasilitator pada pertemuan dengan isu gender untuk perempuan. Senior?. Ya, kalau umur sepertinya sudah senior tetapi secara pengalaman saya pasti belum seberapa. Belum lagi pikiran saya mulai membangun benteng, diantaranya, membayangkan jika di sana berkumpul para senior leaders, maka saya bukan apa-apa. Akan banyak perempuan hebat yang berlomba bercerita pengalaman dan pengetahuannya, sementara pengalaman saya usang. 

Group Photo pada Hari Terakhir Pre-course, 9/5/'19
Betul saja, saya menjumpai perempuan yang hebat-hebat dari berbagai latar belakang profesi, ilmu dan pendidikan, suku dan tentu agama dan keyakinan (namanya juga multifaith ya...lintas keyakinan). Di hari pertama, saya mulai sok tahu menebak-nebak seperti apa perempuan-perempuan ini. Pas sudah, saya adalah orang yang terakhir berkenalan. Tetapi, mereka ternyata betul-betul hebat, bukan dengan berlomba bercerita tentang “siapa mereka” tetapi satu persatu mereka sangat mengesankan “Down to Earth” dengan segudang pengetahuan dan pengalaman yang bisa jadi bukan Cuma satu folder di file storage otak mereka. Ada yang Prof. S-3, S-2, calon S-2, Sedangkan aku...???. Aku mah apa atuh. Pernah mencoba saja apply untuk S-2, tetapi telat submit aplikasi. Ya, kami sangat beragam bukan hanya dari keyakinan. Kami beragam dari segi usia, pengetahuan, isu yang ditekuni, profesi, dan agama dan keyakinan (Hindu, Budha, Katolik, Protestan, Islam, Konghucu, dan Ahmadiyah). Kami hanya seragam dalam hal kodrati sebagai perempuan. Kami tidak mempersoalkan keberagaman atau perbedaan kami sebagai masalah dan sumber menunjukan kebenaran dan kehebatan kami masing-masing. Iya, tentu saja orang-orang yang mendaftar turut serta dalam Short course ini sudah ‘beres’ untuk tidak mempersoalkan perbedaan tetapi sebaliknya mampu berdamai dan menghadapi perbedaan itu dan memobilisasi kekuatan kami masing-masing untuk secara bersama-sama menyebarkan pesan-pesan perdamaian, kesetaraan, toleransi, pluralisme dan keadilan. Kedengarannya sangat besar dan ideal ya?!. Memang, tetapi bukan tidak mungkin jika lingkupnya kita mulai dari keluarga-menanamkan sedini mungkin nilai-nilai itu, kemudian lingkup kerja/organisasi/komunitas. Dan bagi saya, itulah esensi dan sejatinya seorang pemimpin. Tidak melulu harus berada pada top level Management. Bahkan seorang Office Boy di kantor bisa saja memiliki sikap kepemimpinan melebihi seorang direktur.

Alissa Wahid, Dok. AAI 7/5/'19
Materi-materi yang disampaikan oleh narasumber  bukan saja sebagai pemantik diskusi, tetapi sekaligus mengisi pundi-pundi pengetahuan dan juga menguatkan. Alissa Wahid misalnya, menyampaikan Social Harmony sebagai sebuah cita-cita yang hanya mungkin dicapai dengan melihat keberagaman sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Dahulu, Gus Dur, dengan kerendahan hati dan kesederhanaan mau merangkul semua kalangan. Di masa kini, Social Harmony mendapat tantangan oleh  gerakan transformasi nilai disebabkan oleh eksklusifisme dan pengarusutamaan intoleransi (presentasi Alissa Wahid). Indonesia bisa kembali menjadi model Social harmony di mata dunia dengan keberagamannya, tapi hanya di tangan pemimpin yang berani berdiri paling depan memberdayakan masyarakatnya tanpa melilhat darimana ia berasal. 


Bersaama Lies Markus dan Ayu Dewi Kartika (alumni Short Course sebelumnya), kami  berkesempatan  mengetahui berbagai dinamika yang mungkin akan kami hadapi di Australia nanti terkait dengan kebersamaan selama dua Minggu itu, yang sudah dimulai dari pre-course ini. Iya, sikap toleransi, memahami satu sama lain, saling tolong serta tidak egois adalah beberapa poin yang disampaikan. Bagaimana tidak, kami akan tinggal dalam satu apartemen bernama Dockland. Kami akan bersama-sama setiap hari ke kampus Universitas Deakin (kepayang kalau ada yang suka telat), kami juga akan visit ke beberapa organisasi yang relevan dengan berbagai tema isu proyek kami. Intinya, menjadikan ini sebagai proses belajar bersama yang membutuhkan self-management yang tinggi agar tidak merugikan pihak lain dalam satu tim.

Prof. Shahram Ahbarzadeh dan Anne Marie Ferguson memfasilitasi kami untuk kembali mengingat proses perjalanan kepemimpinan secara pribadi dengan metode mengingat momen yang menjadi “turning poin”. Di sini, terlihat setiap orang memiliki dinamika hidup masing-masing yang menjadi dasar menentukan ia hari ini. Yang namanya dinamika ya jatuh-bangun dalam prosesnya. Di situlah nilai-nilai kepemimpinan lahir, dari bagaimana cara menghadapi situasi pada saat “di bawah” maupun “di atas”. Pada akhirnya, berdasarkana pengalaman-pengalaman pribadi itu, kami mendefinifikan kembali kepemimpinan perempuan, apa yang menjadi ke-khas-annya. Kepemimpinan perempuan merupakan keniscayaan mengikuti ruang dan waktu, ditunjang dengan gerakan feminist yang telah menempatkan perempuan tidak lagi berada pada ruang kosong seiring jaman yang berubah. Gerakan yang tidak menempatkan perempuan mengambil alih posisi untuk harus menjadi di atas sebagai pesaing dari laki-laki apalagi bentuk pembangkangan tetapi menempatkan perempuan dengan segala kekuatan dan kemampuannya untuk memanusiakan diri dan dimanusiakan secara adil dan setara oleh pihak lain baik di ranah publik ataupun domestik.

Prof. Shahram Ahbarzadeh & Anne Marie Ferguson, Dok Iwi 9/5/'19
 Berikut adalah beberapa definisi kepempimpian berdasarkan ekstraksi pengalaman kami:
1.     Perspektif feminist dan bersifat inklusif
2.     Kemampuan menjadi motor penggerak
3.     Kepekaan memahami situasi dan kebutuhan orang-orang yang dipimpin
4.     Tidak egois, mampu membagi peran dan tanggung jawab
5.     Melakukan capacity Building (sendiri ataupun untuk orang lain yang ia pimpin)
6.     Kemampuan berkomunikasi, berinteraksi dan didengar dengan  baik (tanpa banyak bicara)
7.     Kemampuan bicara dan aksi yang selaras
8.     Tidak melulu berorientasi hasil tetapi menghargai proses
9.     Memahami konsep gender dan keadilan gender
10.  Menitik-beratkan pada penyelesaian masalah dalam setiap proses (part of Solutions, not part of problem)

Persoanl Journey Para Awardee ditempel di Wall
Saya Menjelaskan Personal Journey of Leadership, Dok. AAI
Dalam hal kepemimpinan, baik itu kepemimpinan secara formal struktural dalam sebuah organisasi/institusi maupun kepemimpinan yang non-formal sehari-hari, perempuan ternyata masih memiliki banyak sekali hambatan baik dari dalam maupun dari luar yang dipengaruhi berbagai faktor. Hambatan dari dalam salah satunya ketiakpercayaan diri. Ini lebih  pada ketidakmampuan mengorganisir kekuatan/kemampuan diri yang bisa dijawab dengan memberikan ruang seperti (self) capacity Building dan affirmative Action serta apresiasi oleh orang-orang sekitar. Dari pihak luar, sudah saatnya cap negatif (salah satunya, perempuan itu lemah) dan tidak berpihak kepada pemberdayaan perempuan yang melekat erat bak stempel permanen, bersama-sama ditanggalkan. Budaya patriarki adalah salah satu yang mendominasi diskusi kami sebagai hal yang paling berkontribusi melanggengkan cap negatif ini. Saya sering meminjam istilah dari film divergent (ehm, yang pernah nonton filmnya pasti tahu) untuk menggambarkan posisi perempuan dalam struktur patriarki di masyarakat. Kata divergent ini bermakna “aneh” atau keanehan. Namun, jangan buru-buru memberi konotasi negatif. Dalam konteks tulisan ini, saya mengajak memahami keanehan ini merupakan kekuatan yang telah dimobilisasi sebagai energi besar untuk berkontribusi terhadap perubahan ke arah yang lebih baik dengan aktor utama perempuan. Kami memulainya dengan merencanakan proyek yang akan kami kerjakan baik secara bersama-sama maupun indvividu. Selain memperkuat aspek kepemimpinan kami secara pribadi, proyek ini juga harus berkontribusi positif terhadap organisasi yang mengutus kami dan tentunya harus mempromosikan toleransi dan kesetaraan gender.  

Itu sekilas jejak awal dari STA Multifaith Women Leaders. Akan ada tulisan lain tentang ini, tentang bagaimana saya memulai petualangan bersama dengan dua orang peserta naik sky-train, kereta bandara dan commuter line untuk yang pertama kali. Tentunya, coming soon cerita-cerita dari negeri Kangguru nantinya di bulan Juli sampai ke post course di bulan Oktober. Siapa tahu ini menginspirasi pembaca "Tengah Ruai" untuk belajar di Australia, karena selain STA, juga ada Long Term Awards atau beasiswa full untuk program S-2, S-3 dan Phd.

Jumat, 22 Februari 2019

Photo Cap Go Meh 2019: Aksi Naga di Tahun Babi

 Minggu pagi, pukul 07.00, kompleks pertokoan di jalan Diponegoro sudah perlahan disesaki oleh manusia dan tentu saja jejeran kendaraan yang diparkir. Masyarakat tumpah ruah dari berbagai latar belakang antusias mengikuti ritual Naga Buka Mata di Klenteng Kwan Tio Bio (17/2/2019).

Satu per satu replika naga denga beraneka corak maupun warna serta ukurannya berarak dan secara bergiliran mengikuti ritual buka mata di Klenteng. Setelah itu, replika naga ini melakuan kunjungan "mencari angpao" ke para donatur. Puncak arak-arakan replika naga ini adalah pada hari ke-15 di tahun baru imlek yang dikenal dengan Cap Go Meh. Dalam keluarga Tionghoa, ini merupakan momen "Makan Besar" besama keluarga. "Naga-naga" inipun siang-malam mencari dan memikat donatur dengan liukan tarian serta atraksi lainnya dengan disokong para penari yang saya lihat semuanya laki-laki diiringi tabuhan gong dan gendang. Memeang sempat tertangkap oleh mata saya ada satu perempuan yang masuk dalam tim arakan naga bukan sebagai penari tetapi menjadi pembawa tongkat bola (pemandu naga). 

 Selama dua hari penuh, siang-malam para penari naga ini terus beraksi dan beratraksi,  unjuk kebolehan dan menjadi sasaran lensa kamera mulai dari kamera HP, DSLR bahkan sasaran selfie dan live broadcast oleh para pegunjung. Kali ini, arakan dan atraksi berpusat di jalan Gajah Mada dimana naga-naga lebih fokus mencari angpao di hotel-hotel yang ada di jalan ini. Keesokan harinya setelah Cap Go Meh, naga-naga ini harus dibakar sebagai bentuk "pemurnian bumi" dengan mengirim roh-roh naga ke kahyangan. Tidak boleh ada yang tersisi, karena dikhawatirkan akan meninggalkan juga hal-hal yang tidak baik.

Tahun ini, hanya ada 26 replika naga yang beraksi di Kota Pontianak. Namun, acara serupa ini juga berlangsung di daerah lain seperti Kubu Raya, Bengkayang, dan Singkawang. Selain atraksi naga, yang paling ditunggu-tunggu pada momen ini adalah atraksi tatung. Namun, dalam tiga tahun terakhir, di kota Pontianak, pertunjukan tatung tidak diperkenankan di ruang publik karena dianggap mengandung unsur kekerasan yang sangat rentan ditiru oleh anak-anak. Aksi tatung hanya diperkenankan di tempat tertutup, seperti klenteng. Tahun ini, seperti para tatung dipusatkan di SIngkawang dimana media melansir ada 1.026 tatung turut serta memeriahkan Cap Go Meh.

Apa lagi yang ingin kita ingkari dari indahnya keberagaman?. Rupa wajah, cara berpakaian, suku, agama dan bahkan kasta bisa bersama-sama menikmati momen "tarian naga" ini tanpa harus khawatir. Filosofi membuat replika naga, membuka mata, serta atraksinya bersama dengan barongsai  dan berbagai replika hewan yang dianggap pembawa hoki ata keberuntunga seperti ikan Lou Han dan Koi sesungguhnya penuh muatan kebaikan yang hendak diingatkan pentingnya bagi kita manusia untuk menjaga kemurnian bumi dengan menjaga relasi antar makhluk yang aku percaya terkoneksi satu sama lain.
Hanya saja, manusia begitu senang meng-kotak-kotakan diri. Kita terima saja ini realitas yang tidak bisa dihindari karena banyak yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, disitulah pentingnya memelihara dan merawat tradisi yang memungkin kan kita yang berbeda-beda ini seakan tak bersekat, hanya dalam waktu dua hari saja. Setelahnya, tentu akan kembali ke kotak masing-masing, kemudian akan sibuk memamerkan ke-sok akraban di sosial media.

Bagi saya, satu hal yang selalu ter-replay dan ter-rewind oleh saya setiap saat melihat perayaan Cap Go Meh ataupun keleluasan saudara-saudara Tionghoa merayakan Imlek adalah jasa besar seroang Gus Dur. Tidak perlu saya jelaskan di sini apa, intinya, beliaulah yang telah mewariskan ruang yang luas dan tidak kaku berbungkus aturan yang memberikan hak kepada masyarakat tionghoa merayakan imlek.

Semoga Engkau Tersenyum disana ya Pak. Senyum aja kog repot!.

Rabu, 20 Februari 2019

Sang Bunga Eksotik, Forest Ghost Flower (Aeginetia Indica L)

Aeginetia Indica L (Forest Ghost Flower), Lili D
Jangan seram dulu ya dengan nama Inggris-nya. Sesungguhnya, tampilannya unik dan eksotik. Bunga ini adalah salah satu tumbuhan parasit akar yang hidup dari mengambil nutrisi dari akar tumbuhan inangnya dan tidak memerlukan fotosintesis. Parasit akar (serabut) ini disebut oleh beberapa literatur berasal dari India dan tersebar diantaranya di Indonesia, Filipina, Malaysia, Jepang, Korea, Bangladesh, China, Thailand, Bhutan dan Nepal. Dalam bahasa latinnya ia disebut sebagai Aeginetia Indica L (masuk dalam familia Orobanchaceae). Tumbuhan berbunga tetapi tidak berdaun ini (lihat foto), ditemukan oleh kakakku di sekitar ladang padi di kampung kelahiran kami. Karena tumbuhan ini asing bagi kakakku, jadilah dia memposting foto bunga ini di WA group untuk mencari tahu dan yang paling utama pamer, he, he, he. Pada foto, seperti yang kita lihat, bunga ini tumbuh di pekarangan, mohon jangan dianggap pembohongan terhadap publik terkait habitatnya. Aku sempat bingung kenapa bisa tumbuh tunggal, rapi dan tidak ada tumbuhan inangnya, sementara yang kubaca bahwa tumbuhan ini adalah parasit akar. Baru setelah kakakku menjelaskan, aku mengerti jika ini adalah bagian skenario publikasi (untuk tidak menyebut pamer lagi) karena saat menjumpainya di sekitar ladang, kakakku tidak membawa serta kamera HP. Tidak pendek akal, iapun menculik bunga ini, kemudian ditanam  di pekarangan rumah mamak. Jadilah demikian adanya. Semoga, bunga itu tidak mati seketika karena dipisahkan dari inangnya, ya. Meski, menurut seorang temanku yang paham tentang vegetasi, bunga ini termasuk tanaman hias yang bisa dibudidayakan dengan memecahkan/memisahkannya. Ada juga satu artikel yang aku baca menyebut jika bunga ini termasuk jenis anggrek. Di masyarakat Sunda, bunga ini disebut Pacingan atau Pacing Dawin.

Selain begitu unik, tanaman ini ternyata merupakan tanaman herbal yang berkhasiat untuk mengobati diabetes, tumor, kanker, liver, batuk dan artritis dengan adanya kandungan diantaranya Asam Aeginetic dan Polyene. Orang di kampungku dan komunitas Ibanik percaya bunga ini bisa untuk membantu "mengobati" anak yang mengalami keterlambatan berjalan dengan cara disabet / dipukulkan di lutut yang istilah lokalnya di-pangkong, sehingga sebutannya pun "Bunga Pangkong Palak Lutut" yang artinnya Bunga (yang dipukulkan) di Dengkul. Sayangnya, bunga ini hanya mekar sekali sepanjang tahun pada musim angin muson, artinya sulit untuk bisa terus menjumpainya. Jadi, tidak heran, begitu kakaku posting foto di group tidak ada yang tahu, dan akupun begitu sibuk mencari literatur dan referensi sampai menemukannya di beberapa sumber yang bisa dilihat di bawah tulisan ini.


Tahun Banjir Buah Hutan

Langsat
Tahun ini kita bisa bereksperimen ataupun jelajah aneka ragam rasa buah-buahan yang berasal dari hutan, bahkan buah-buah yang kita sendiri baru lihat atau belum tahu kalau bisa dimakan. Biasanya, kita begitu akrab dengan King of Fruit, si durian yang selalu berkawan pada musim yang hampir sama dengan rambutan, langsat dan cempedak.

Langir (isi dalam)
Kali ini, kita bisa menemukan lebih banyak jenis buah-buhan hutan lain, sebut saja beberapa di antaranya buah mentawak, kemayau, angkahapm, pedalai/paluntan, pingan, keranji, teluk kejirak, dan langir. Tahun ini (2019) Tuhan memberikan rejeki berlimpah melampui kebiasaan, dimana hampir semua buah yang akrab dengan kehidupan di pelosok, kampung dan desa bisa dijumpai dan dinikmati bahkan di kota-kota. Tentu saja, jika di kota memerlukan rogohan kocek cukup dalam ketimbang di pusat
Langir
kecamatan atau pusat kabupaten dari daerah tempat ia berasal. Di kota seperti Pontianak, penjual memainkan harga cukup jauh di atas harga di daerah dengan alasan biaya angkut dari kampung yang mahal, tergantung dari daerah mana buah-buah itu dipasok ke kota Pontianak. Ambil contoh, suatu hari saya membeli buah mentawak, yang katanya dipasok dari Serimbu, harganya berada di rentang Rp. 15.000-25.000 per biji tergantung ukuran dan tingkat kematangan. Semakin besar dan semakin matang buah maka akan semakin mahal. Rentang harga yang sama juga berlaku di kota Sintang. Tadinya saya berpikir bahwa di Sintang akan lebih murah, tapi ternyata sama. Dari ini, bisa disimpulkan pemasok buah bukan berasal dari daerah pedalaman di Sintang melainkan dari Kabupaten lain. Berbeda dengan buah kemayau. Di salah satu spot penjual buah-buahan hutan ini, saya mendapati harga per Kg buah kemayau sebesar Rp. 35.000/Kg, dengan alasan pemasok buah ini dari daerah di Kabupaten Kapuas Hulu. Di Kabupaten Sanggau, buah ini bisa didapati jauh lebih murah dengan harga Rp. 15.000/Kg.

Pakawai (Bukan Durian ya)
Pekawai (isi dalam)
Mentawak

Buah-buahan yang melilmpah ini tentu tidak terlepas dari fenomena iklim. Di akhir pertengahan 2018 hingga awal 2019, kita menghadapi musim kemarau yang tidak terlalu kering dimana masih ada curah hujan yang signifikan. Ini mempengaruhi kondusifitas tanaman buah di hutan dalam menghasilkan atau berproduksi. Alhasil, tahun ini banjir buah hutan di Pontianak. Mesti dicoba satu-satu. Dan, yang menarik adalah jika  kita sadar keberadaan buah-buah ini mengindikasikan masih terjaganya lingkungan hutan. Namun, realitas bahwa ketersediaan buah-buahan ini, jauh sebelum ini mungkin melampui yang terlihat saat ini seiring dengan realitas eksploitasi terhadap hutan dalam bentuk apapun. Ini menghantarkan kita kepada keriskanan dan kerentanan keberlangsungan buah-buahan ini. Coba saja inventarisasi dan catat yang kita temukan saat ini. Sepuluh sampai dua puluh tahun yang akan datang, kita coba cari dan apakah akan ditemukan lagi?.

Konsep Makan (Kebiasaan) dan Konsep Diri (Kperibadian)

Suatu hari, saya pernah ditanya oleh seorang teman, "Mengapa kamu lebih sering 'skip' makan siang?. Kenapa tidak skip makan pag...