Senin, 20 Mei 2019

Women Power dalam Keberagaman

Saya ingin membagi tentang women power dari momen pre-course Short Term Award (STA) Australia Awards Indonesia 2019. Kami berkumpul di Hotel Double Tree by Hilton, Jakarta sebagai "awardee' setelah lolos melewati tahapan seleksi administrasi (dokumen data personal, curriculum vitae, rencana proyek) dan wawancara. Saya secara pribadi ‘dipaksa’ seorang teman untuk mendaftar melalui organisasi dimana ia bekerja. Dari tiga orang yang di-endorse oleh satu lembaga ini, dewi keberuntungan berpihak kepada saya.

Senior Multi-faith Women Leaders, itulah tema utama STA ini. Ini yang menantang sekaligus sempat membuat saya tidak yakin bisa lolos. Saya belum pernah berada pada  top level Management, sebagai pimpinan. Saya juga cukup lama menjauh dari isu perempuan setelah sebelas tahun banyak berinteraksi dengan perempuan adat selain freelance sebagai fasilitator pada pertemuan dengan isu gender untuk perempuan. Senior?. Ya, kalau umur sepertinya sudah senior tetapi secara pengalaman saya pasti belum seberapa. Belum lagi pikiran saya mulai membangun benteng, diantaranya, membayangkan jika di sana berkumpul para senior leaders, maka saya bukan apa-apa. Akan banyak perempuan hebat yang berlomba bercerita pengalaman dan pengetahuannya, sementara pengalaman saya usang. 

Group Photo pada Hari Terakhir Pre-course, 9/5/'19
Betul saja, saya menjumpai perempuan yang hebat-hebat dari berbagai latar belakang profesi, ilmu dan pendidikan, suku dan tentu agama dan keyakinan (namanya juga multifaith ya...lintas keyakinan). Di hari pertama, saya mulai sok tahu menebak-nebak seperti apa perempuan-perempuan ini. Pas sudah, saya adalah orang yang terakhir berkenalan. Tetapi, mereka ternyata betul-betul hebat, bukan dengan berlomba bercerita tentang “siapa mereka” tetapi satu persatu mereka sangat mengesankan “Down to Earth” dengan segudang pengetahuan dan pengalaman yang bisa jadi bukan Cuma satu folder di file storage otak mereka. Ada yang Prof. S-3, S-2, calon S-2, Sedangkan aku...???. Aku mah apa atuh. Pernah mencoba saja apply untuk S-2, tetapi telat submit aplikasi. Ya, kami sangat beragam bukan hanya dari keyakinan. Kami beragam dari segi usia, pengetahuan, isu yang ditekuni, profesi, dan agama dan keyakinan (Hindu, Budha, Katolik, Protestan, Islam, Konghucu, dan Ahmadiyah). Kami hanya seragam dalam hal kodrati sebagai perempuan. Kami tidak mempersoalkan keberagaman atau perbedaan kami sebagai masalah dan sumber menunjukan kebenaran dan kehebatan kami masing-masing. Iya, tentu saja orang-orang yang mendaftar turut serta dalam Short course ini sudah ‘beres’ untuk tidak mempersoalkan perbedaan tetapi sebaliknya mampu berdamai dan menghadapi perbedaan itu dan memobilisasi kekuatan kami masing-masing untuk secara bersama-sama menyebarkan pesan-pesan perdamaian, kesetaraan, toleransi, pluralisme dan keadilan. Kedengarannya sangat besar dan ideal ya?!. Memang, tetapi bukan tidak mungkin jika lingkupnya kita mulai dari keluarga-menanamkan sedini mungkin nilai-nilai itu, kemudian lingkup kerja/organisasi/komunitas. Dan bagi saya, itulah esensi dan sejatinya seorang pemimpin. Tidak melulu harus berada pada top level Management. Bahkan seorang Office Boy di kantor bisa saja memiliki sikap kepemimpinan melebihi seorang direktur.

Alissa Wahid, Dok. AAI 7/5/'19
Materi-materi yang disampaikan oleh narasumber  bukan saja sebagai pemantik diskusi, tetapi sekaligus mengisi pundi-pundi pengetahuan dan juga menguatkan. Alissa Wahid misalnya, menyampaikan Social Harmony sebagai sebuah cita-cita yang hanya mungkin dicapai dengan melihat keberagaman sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Dahulu, Gus Dur, dengan kerendahan hati dan kesederhanaan mau merangkul semua kalangan. Di masa kini, Social Harmony mendapat tantangan oleh  gerakan transformasi nilai disebabkan oleh eksklusifisme dan pengarusutamaan intoleransi (presentasi Alissa Wahid). Indonesia bisa kembali menjadi model Social harmony di mata dunia dengan keberagamannya, tapi hanya di tangan pemimpin yang berani berdiri paling depan memberdayakan masyarakatnya tanpa melilhat darimana ia berasal. 


Bersaama Lies Markus dan Ayu Dewi Kartika (alumni Short Course sebelumnya), kami  berkesempatan  mengetahui berbagai dinamika yang mungkin akan kami hadapi di Australia nanti terkait dengan kebersamaan selama dua Minggu itu, yang sudah dimulai dari pre-course ini. Iya, sikap toleransi, memahami satu sama lain, saling tolong serta tidak egois adalah beberapa poin yang disampaikan. Bagaimana tidak, kami akan tinggal dalam satu apartemen bernama Dockland. Kami akan bersama-sama setiap hari ke kampus Universitas Deakin (kepayang kalau ada yang suka telat), kami juga akan visit ke beberapa organisasi yang relevan dengan berbagai tema isu proyek kami. Intinya, menjadikan ini sebagai proses belajar bersama yang membutuhkan self-management yang tinggi agar tidak merugikan pihak lain dalam satu tim.

Prof. Shahram Ahbarzadeh dan Anne Marie Ferguson memfasilitasi kami untuk kembali mengingat proses perjalanan kepemimpinan secara pribadi dengan metode mengingat momen yang menjadi “turning poin”. Di sini, terlihat setiap orang memiliki dinamika hidup masing-masing yang menjadi dasar menentukan ia hari ini. Yang namanya dinamika ya jatuh-bangun dalam prosesnya. Di situlah nilai-nilai kepemimpinan lahir, dari bagaimana cara menghadapi situasi pada saat “di bawah” maupun “di atas”. Pada akhirnya, berdasarkana pengalaman-pengalaman pribadi itu, kami mendefinifikan kembali kepemimpinan perempuan, apa yang menjadi ke-khas-annya. Kepemimpinan perempuan merupakan keniscayaan mengikuti ruang dan waktu, ditunjang dengan gerakan feminist yang telah menempatkan perempuan tidak lagi berada pada ruang kosong seiring jaman yang berubah. Gerakan yang tidak menempatkan perempuan mengambil alih posisi untuk harus menjadi di atas sebagai pesaing dari laki-laki apalagi bentuk pembangkangan tetapi menempatkan perempuan dengan segala kekuatan dan kemampuannya untuk memanusiakan diri dan dimanusiakan secara adil dan setara oleh pihak lain baik di ranah publik ataupun domestik.

Prof. Shahram Ahbarzadeh & Anne Marie Ferguson, Dok Iwi 9/5/'19
 Berikut adalah beberapa definisi kepempimpian berdasarkan ekstraksi pengalaman kami:
1.     Perspektif feminist dan bersifat inklusif
2.     Kemampuan menjadi motor penggerak
3.     Kepekaan memahami situasi dan kebutuhan orang-orang yang dipimpin
4.     Tidak egois, mampu membagi peran dan tanggung jawab
5.     Melakukan capacity Building (sendiri ataupun untuk orang lain yang ia pimpin)
6.     Kemampuan berkomunikasi, berinteraksi dan didengar dengan  baik (tanpa banyak bicara)
7.     Kemampuan bicara dan aksi yang selaras
8.     Tidak melulu berorientasi hasil tetapi menghargai proses
9.     Memahami konsep gender dan keadilan gender
10.  Menitik-beratkan pada penyelesaian masalah dalam setiap proses (part of Solutions, not part of problem)

Persoanl Journey Para Awardee ditempel di Wall
Saya Menjelaskan Personal Journey of Leadership, Dok. AAI
Dalam hal kepemimpinan, baik itu kepemimpinan secara formal struktural dalam sebuah organisasi/institusi maupun kepemimpinan yang non-formal sehari-hari, perempuan ternyata masih memiliki banyak sekali hambatan baik dari dalam maupun dari luar yang dipengaruhi berbagai faktor. Hambatan dari dalam salah satunya ketiakpercayaan diri. Ini lebih  pada ketidakmampuan mengorganisir kekuatan/kemampuan diri yang bisa dijawab dengan memberikan ruang seperti (self) capacity Building dan affirmative Action serta apresiasi oleh orang-orang sekitar. Dari pihak luar, sudah saatnya cap negatif (salah satunya, perempuan itu lemah) dan tidak berpihak kepada pemberdayaan perempuan yang melekat erat bak stempel permanen, bersama-sama ditanggalkan. Budaya patriarki adalah salah satu yang mendominasi diskusi kami sebagai hal yang paling berkontribusi melanggengkan cap negatif ini. Saya sering meminjam istilah dari film divergent (ehm, yang pernah nonton filmnya pasti tahu) untuk menggambarkan posisi perempuan dalam struktur patriarki di masyarakat. Kata divergent ini bermakna “aneh” atau keanehan. Namun, jangan buru-buru memberi konotasi negatif. Dalam konteks tulisan ini, saya mengajak memahami keanehan ini merupakan kekuatan yang telah dimobilisasi sebagai energi besar untuk berkontribusi terhadap perubahan ke arah yang lebih baik dengan aktor utama perempuan. Kami memulainya dengan merencanakan proyek yang akan kami kerjakan baik secara bersama-sama maupun indvividu. Selain memperkuat aspek kepemimpinan kami secara pribadi, proyek ini juga harus berkontribusi positif terhadap organisasi yang mengutus kami dan tentunya harus mempromosikan toleransi dan kesetaraan gender.  

Itu sekilas jejak awal dari STA Multifaith Women Leaders. Akan ada tulisan lain tentang ini, tentang bagaimana saya memulai petualangan bersama dengan dua orang peserta naik sky-train, kereta bandara dan commuter line untuk yang pertama kali. Tentunya, coming soon cerita-cerita dari negeri Kangguru nantinya di bulan Juli sampai ke post course di bulan Oktober. Siapa tahu ini menginspirasi pembaca "Tengah Ruai" untuk belajar di Australia, karena selain STA, juga ada Long Term Awards atau beasiswa full untuk program S-2, S-3 dan Phd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...