Rabu, 20 Februari 2019

Tahun Banjir Buah Hutan

Langsat
Tahun ini kita bisa bereksperimen ataupun jelajah aneka ragam rasa buah-buahan yang berasal dari hutan, bahkan buah-buah yang kita sendiri baru lihat atau belum tahu kalau bisa dimakan. Biasanya, kita begitu akrab dengan King of Fruit, si durian yang selalu berkawan pada musim yang hampir sama dengan rambutan, langsat dan cempedak.

Langir (isi dalam)
Kali ini, kita bisa menemukan lebih banyak jenis buah-buhan hutan lain, sebut saja beberapa di antaranya buah mentawak, kemayau, angkahapm, pedalai/paluntan, pingan, keranji, teluk kejirak, dan langir. Tahun ini (2019) Tuhan memberikan rejeki berlimpah melampui kebiasaan, dimana hampir semua buah yang akrab dengan kehidupan di pelosok, kampung dan desa bisa dijumpai dan dinikmati bahkan di kota-kota. Tentu saja, jika di kota memerlukan rogohan kocek cukup dalam ketimbang di pusat
Langir
kecamatan atau pusat kabupaten dari daerah tempat ia berasal. Di kota seperti Pontianak, penjual memainkan harga cukup jauh di atas harga di daerah dengan alasan biaya angkut dari kampung yang mahal, tergantung dari daerah mana buah-buah itu dipasok ke kota Pontianak. Ambil contoh, suatu hari saya membeli buah mentawak, yang katanya dipasok dari Serimbu, harganya berada di rentang Rp. 15.000-25.000 per biji tergantung ukuran dan tingkat kematangan. Semakin besar dan semakin matang buah maka akan semakin mahal. Rentang harga yang sama juga berlaku di kota Sintang. Tadinya saya berpikir bahwa di Sintang akan lebih murah, tapi ternyata sama. Dari ini, bisa disimpulkan pemasok buah bukan berasal dari daerah pedalaman di Sintang melainkan dari Kabupaten lain. Berbeda dengan buah kemayau. Di salah satu spot penjual buah-buahan hutan ini, saya mendapati harga per Kg buah kemayau sebesar Rp. 35.000/Kg, dengan alasan pemasok buah ini dari daerah di Kabupaten Kapuas Hulu. Di Kabupaten Sanggau, buah ini bisa didapati jauh lebih murah dengan harga Rp. 15.000/Kg.

Pakawai (Bukan Durian ya)
Pekawai (isi dalam)
Mentawak

Buah-buahan yang melilmpah ini tentu tidak terlepas dari fenomena iklim. Di akhir pertengahan 2018 hingga awal 2019, kita menghadapi musim kemarau yang tidak terlalu kering dimana masih ada curah hujan yang signifikan. Ini mempengaruhi kondusifitas tanaman buah di hutan dalam menghasilkan atau berproduksi. Alhasil, tahun ini banjir buah hutan di Pontianak. Mesti dicoba satu-satu. Dan, yang menarik adalah jika  kita sadar keberadaan buah-buah ini mengindikasikan masih terjaganya lingkungan hutan. Namun, realitas bahwa ketersediaan buah-buahan ini, jauh sebelum ini mungkin melampui yang terlihat saat ini seiring dengan realitas eksploitasi terhadap hutan dalam bentuk apapun. Ini menghantarkan kita kepada keriskanan dan kerentanan keberlangsungan buah-buahan ini. Coba saja inventarisasi dan catat yang kita temukan saat ini. Sepuluh sampai dua puluh tahun yang akan datang, kita coba cari dan apakah akan ditemukan lagi?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...