Senin, 20 Mei 2019

Women Power dalam Keberagaman

Saya ingin membagi tentang women power dari momen pre-course Short Term Award (STA) Australia Awards Indonesia 2019. Kami berkumpul di Hotel Double Tree by Hilton, Jakarta sebagai "awardee' setelah lolos melewati tahapan seleksi administrasi (dokumen data personal, curriculum vitae, rencana proyek) dan wawancara. Saya secara pribadi ‘dipaksa’ seorang teman untuk mendaftar melalui organisasi dimana ia bekerja. Dari tiga orang yang di-endorse oleh satu lembaga ini, dewi keberuntungan berpihak kepada saya.

Senior Multi-faith Women Leaders, itulah tema utama STA ini. Ini yang menantang sekaligus sempat membuat saya tidak yakin bisa lolos. Saya belum pernah berada pada  top level Management, sebagai pimpinan. Saya juga cukup lama menjauh dari isu perempuan setelah sebelas tahun banyak berinteraksi dengan perempuan adat selain freelance sebagai fasilitator pada pertemuan dengan isu gender untuk perempuan. Senior?. Ya, kalau umur sepertinya sudah senior tetapi secara pengalaman saya pasti belum seberapa. Belum lagi pikiran saya mulai membangun benteng, diantaranya, membayangkan jika di sana berkumpul para senior leaders, maka saya bukan apa-apa. Akan banyak perempuan hebat yang berlomba bercerita pengalaman dan pengetahuannya, sementara pengalaman saya usang. 

Group Photo pada Hari Terakhir Pre-course, 9/5/'19
Betul saja, saya menjumpai perempuan yang hebat-hebat dari berbagai latar belakang profesi, ilmu dan pendidikan, suku dan tentu agama dan keyakinan (namanya juga multifaith ya...lintas keyakinan). Di hari pertama, saya mulai sok tahu menebak-nebak seperti apa perempuan-perempuan ini. Pas sudah, saya adalah orang yang terakhir berkenalan. Tetapi, mereka ternyata betul-betul hebat, bukan dengan berlomba bercerita tentang “siapa mereka” tetapi satu persatu mereka sangat mengesankan “Down to Earth” dengan segudang pengetahuan dan pengalaman yang bisa jadi bukan Cuma satu folder di file storage otak mereka. Ada yang Prof. S-3, S-2, calon S-2, Sedangkan aku...???. Aku mah apa atuh. Pernah mencoba saja apply untuk S-2, tetapi telat submit aplikasi. Ya, kami sangat beragam bukan hanya dari keyakinan. Kami beragam dari segi usia, pengetahuan, isu yang ditekuni, profesi, dan agama dan keyakinan (Hindu, Budha, Katolik, Protestan, Islam, Konghucu, dan Ahmadiyah). Kami hanya seragam dalam hal kodrati sebagai perempuan. Kami tidak mempersoalkan keberagaman atau perbedaan kami sebagai masalah dan sumber menunjukan kebenaran dan kehebatan kami masing-masing. Iya, tentu saja orang-orang yang mendaftar turut serta dalam Short course ini sudah ‘beres’ untuk tidak mempersoalkan perbedaan tetapi sebaliknya mampu berdamai dan menghadapi perbedaan itu dan memobilisasi kekuatan kami masing-masing untuk secara bersama-sama menyebarkan pesan-pesan perdamaian, kesetaraan, toleransi, pluralisme dan keadilan. Kedengarannya sangat besar dan ideal ya?!. Memang, tetapi bukan tidak mungkin jika lingkupnya kita mulai dari keluarga-menanamkan sedini mungkin nilai-nilai itu, kemudian lingkup kerja/organisasi/komunitas. Dan bagi saya, itulah esensi dan sejatinya seorang pemimpin. Tidak melulu harus berada pada top level Management. Bahkan seorang Office Boy di kantor bisa saja memiliki sikap kepemimpinan melebihi seorang direktur.

Alissa Wahid, Dok. AAI 7/5/'19
Materi-materi yang disampaikan oleh narasumber  bukan saja sebagai pemantik diskusi, tetapi sekaligus mengisi pundi-pundi pengetahuan dan juga menguatkan. Alissa Wahid misalnya, menyampaikan Social Harmony sebagai sebuah cita-cita yang hanya mungkin dicapai dengan melihat keberagaman sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Dahulu, Gus Dur, dengan kerendahan hati dan kesederhanaan mau merangkul semua kalangan. Di masa kini, Social Harmony mendapat tantangan oleh  gerakan transformasi nilai disebabkan oleh eksklusifisme dan pengarusutamaan intoleransi (presentasi Alissa Wahid). Indonesia bisa kembali menjadi model Social harmony di mata dunia dengan keberagamannya, tapi hanya di tangan pemimpin yang berani berdiri paling depan memberdayakan masyarakatnya tanpa melilhat darimana ia berasal. 


Bersaama Lies Markus dan Ayu Dewi Kartika (alumni Short Course sebelumnya), kami  berkesempatan  mengetahui berbagai dinamika yang mungkin akan kami hadapi di Australia nanti terkait dengan kebersamaan selama dua Minggu itu, yang sudah dimulai dari pre-course ini. Iya, sikap toleransi, memahami satu sama lain, saling tolong serta tidak egois adalah beberapa poin yang disampaikan. Bagaimana tidak, kami akan tinggal dalam satu apartemen bernama Dockland. Kami akan bersama-sama setiap hari ke kampus Universitas Deakin (kepayang kalau ada yang suka telat), kami juga akan visit ke beberapa organisasi yang relevan dengan berbagai tema isu proyek kami. Intinya, menjadikan ini sebagai proses belajar bersama yang membutuhkan self-management yang tinggi agar tidak merugikan pihak lain dalam satu tim.

Prof. Shahram Ahbarzadeh dan Anne Marie Ferguson memfasilitasi kami untuk kembali mengingat proses perjalanan kepemimpinan secara pribadi dengan metode mengingat momen yang menjadi “turning poin”. Di sini, terlihat setiap orang memiliki dinamika hidup masing-masing yang menjadi dasar menentukan ia hari ini. Yang namanya dinamika ya jatuh-bangun dalam prosesnya. Di situlah nilai-nilai kepemimpinan lahir, dari bagaimana cara menghadapi situasi pada saat “di bawah” maupun “di atas”. Pada akhirnya, berdasarkana pengalaman-pengalaman pribadi itu, kami mendefinifikan kembali kepemimpinan perempuan, apa yang menjadi ke-khas-annya. Kepemimpinan perempuan merupakan keniscayaan mengikuti ruang dan waktu, ditunjang dengan gerakan feminist yang telah menempatkan perempuan tidak lagi berada pada ruang kosong seiring jaman yang berubah. Gerakan yang tidak menempatkan perempuan mengambil alih posisi untuk harus menjadi di atas sebagai pesaing dari laki-laki apalagi bentuk pembangkangan tetapi menempatkan perempuan dengan segala kekuatan dan kemampuannya untuk memanusiakan diri dan dimanusiakan secara adil dan setara oleh pihak lain baik di ranah publik ataupun domestik.

Prof. Shahram Ahbarzadeh & Anne Marie Ferguson, Dok Iwi 9/5/'19
 Berikut adalah beberapa definisi kepempimpian berdasarkan ekstraksi pengalaman kami:
1.     Perspektif feminist dan bersifat inklusif
2.     Kemampuan menjadi motor penggerak
3.     Kepekaan memahami situasi dan kebutuhan orang-orang yang dipimpin
4.     Tidak egois, mampu membagi peran dan tanggung jawab
5.     Melakukan capacity Building (sendiri ataupun untuk orang lain yang ia pimpin)
6.     Kemampuan berkomunikasi, berinteraksi dan didengar dengan  baik (tanpa banyak bicara)
7.     Kemampuan bicara dan aksi yang selaras
8.     Tidak melulu berorientasi hasil tetapi menghargai proses
9.     Memahami konsep gender dan keadilan gender
10.  Menitik-beratkan pada penyelesaian masalah dalam setiap proses (part of Solutions, not part of problem)

Persoanl Journey Para Awardee ditempel di Wall
Saya Menjelaskan Personal Journey of Leadership, Dok. AAI
Dalam hal kepemimpinan, baik itu kepemimpinan secara formal struktural dalam sebuah organisasi/institusi maupun kepemimpinan yang non-formal sehari-hari, perempuan ternyata masih memiliki banyak sekali hambatan baik dari dalam maupun dari luar yang dipengaruhi berbagai faktor. Hambatan dari dalam salah satunya ketiakpercayaan diri. Ini lebih  pada ketidakmampuan mengorganisir kekuatan/kemampuan diri yang bisa dijawab dengan memberikan ruang seperti (self) capacity Building dan affirmative Action serta apresiasi oleh orang-orang sekitar. Dari pihak luar, sudah saatnya cap negatif (salah satunya, perempuan itu lemah) dan tidak berpihak kepada pemberdayaan perempuan yang melekat erat bak stempel permanen, bersama-sama ditanggalkan. Budaya patriarki adalah salah satu yang mendominasi diskusi kami sebagai hal yang paling berkontribusi melanggengkan cap negatif ini. Saya sering meminjam istilah dari film divergent (ehm, yang pernah nonton filmnya pasti tahu) untuk menggambarkan posisi perempuan dalam struktur patriarki di masyarakat. Kata divergent ini bermakna “aneh” atau keanehan. Namun, jangan buru-buru memberi konotasi negatif. Dalam konteks tulisan ini, saya mengajak memahami keanehan ini merupakan kekuatan yang telah dimobilisasi sebagai energi besar untuk berkontribusi terhadap perubahan ke arah yang lebih baik dengan aktor utama perempuan. Kami memulainya dengan merencanakan proyek yang akan kami kerjakan baik secara bersama-sama maupun indvividu. Selain memperkuat aspek kepemimpinan kami secara pribadi, proyek ini juga harus berkontribusi positif terhadap organisasi yang mengutus kami dan tentunya harus mempromosikan toleransi dan kesetaraan gender.  

Itu sekilas jejak awal dari STA Multifaith Women Leaders. Akan ada tulisan lain tentang ini, tentang bagaimana saya memulai petualangan bersama dengan dua orang peserta naik sky-train, kereta bandara dan commuter line untuk yang pertama kali. Tentunya, coming soon cerita-cerita dari negeri Kangguru nantinya di bulan Juli sampai ke post course di bulan Oktober. Siapa tahu ini menginspirasi pembaca "Tengah Ruai" untuk belajar di Australia, karena selain STA, juga ada Long Term Awards atau beasiswa full untuk program S-2, S-3 dan Phd.

Jumat, 22 Februari 2019

Photo Cap Go Meh 2019: Aksi Naga di Tahun Babi

 Minggu pagi, pukul 07.00, kompleks pertokoan di jalan Diponegoro sudah perlahan disesaki oleh manusia dan tentu saja jejeran kendaraan yang diparkir. Masyarakat tumpah ruah dari berbagai latar belakang antusias mengikuti ritual Naga Buka Mata di Klenteng Kwan Tio Bio (17/2/2019).

Satu per satu replika naga denga beraneka corak maupun warna serta ukurannya berarak dan secara bergiliran mengikuti ritual buka mata di Klenteng. Setelah itu, replika naga ini melakuan kunjungan "mencari angpao" ke para donatur. Puncak arak-arakan replika naga ini adalah pada hari ke-15 di tahun baru imlek yang dikenal dengan Cap Go Meh. Dalam keluarga Tionghoa, ini merupakan momen "Makan Besar" besama keluarga. "Naga-naga" inipun siang-malam mencari dan memikat donatur dengan liukan tarian serta atraksi lainnya dengan disokong para penari yang saya lihat semuanya laki-laki diiringi tabuhan gong dan gendang. Memeang sempat tertangkap oleh mata saya ada satu perempuan yang masuk dalam tim arakan naga bukan sebagai penari tetapi menjadi pembawa tongkat bola (pemandu naga). 

 Selama dua hari penuh, siang-malam para penari naga ini terus beraksi dan beratraksi,  unjuk kebolehan dan menjadi sasaran lensa kamera mulai dari kamera HP, DSLR bahkan sasaran selfie dan live broadcast oleh para pegunjung. Kali ini, arakan dan atraksi berpusat di jalan Gajah Mada dimana naga-naga lebih fokus mencari angpao di hotel-hotel yang ada di jalan ini. Keesokan harinya setelah Cap Go Meh, naga-naga ini harus dibakar sebagai bentuk "pemurnian bumi" dengan mengirim roh-roh naga ke kahyangan. Tidak boleh ada yang tersisi, karena dikhawatirkan akan meninggalkan juga hal-hal yang tidak baik.

Tahun ini, hanya ada 26 replika naga yang beraksi di Kota Pontianak. Namun, acara serupa ini juga berlangsung di daerah lain seperti Kubu Raya, Bengkayang, dan Singkawang. Selain atraksi naga, yang paling ditunggu-tunggu pada momen ini adalah atraksi tatung. Namun, dalam tiga tahun terakhir, di kota Pontianak, pertunjukan tatung tidak diperkenankan di ruang publik karena dianggap mengandung unsur kekerasan yang sangat rentan ditiru oleh anak-anak. Aksi tatung hanya diperkenankan di tempat tertutup, seperti klenteng. Tahun ini, seperti para tatung dipusatkan di SIngkawang dimana media melansir ada 1.026 tatung turut serta memeriahkan Cap Go Meh.

Apa lagi yang ingin kita ingkari dari indahnya keberagaman?. Rupa wajah, cara berpakaian, suku, agama dan bahkan kasta bisa bersama-sama menikmati momen "tarian naga" ini tanpa harus khawatir. Filosofi membuat replika naga, membuka mata, serta atraksinya bersama dengan barongsai  dan berbagai replika hewan yang dianggap pembawa hoki ata keberuntunga seperti ikan Lou Han dan Koi sesungguhnya penuh muatan kebaikan yang hendak diingatkan pentingnya bagi kita manusia untuk menjaga kemurnian bumi dengan menjaga relasi antar makhluk yang aku percaya terkoneksi satu sama lain.
Hanya saja, manusia begitu senang meng-kotak-kotakan diri. Kita terima saja ini realitas yang tidak bisa dihindari karena banyak yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, disitulah pentingnya memelihara dan merawat tradisi yang memungkin kan kita yang berbeda-beda ini seakan tak bersekat, hanya dalam waktu dua hari saja. Setelahnya, tentu akan kembali ke kotak masing-masing, kemudian akan sibuk memamerkan ke-sok akraban di sosial media.

Bagi saya, satu hal yang selalu ter-replay dan ter-rewind oleh saya setiap saat melihat perayaan Cap Go Meh ataupun keleluasan saudara-saudara Tionghoa merayakan Imlek adalah jasa besar seroang Gus Dur. Tidak perlu saya jelaskan di sini apa, intinya, beliaulah yang telah mewariskan ruang yang luas dan tidak kaku berbungkus aturan yang memberikan hak kepada masyarakat tionghoa merayakan imlek.

Semoga Engkau Tersenyum disana ya Pak. Senyum aja kog repot!.

Rabu, 20 Februari 2019

Sang Bunga Eksotik, Forest Ghost Flower (Aeginetia Indica L)

Aeginetia Indica L (Forest Ghost Flower), Lili D
Jangan seram dulu ya dengan nama Inggris-nya. Sesungguhnya, tampilannya unik dan eksotik. Bunga ini adalah salah satu tumbuhan parasit akar yang hidup dari mengambil nutrisi dari akar tumbuhan inangnya dan tidak memerlukan fotosintesis. Parasit akar (serabut) ini disebut oleh beberapa literatur berasal dari India dan tersebar diantaranya di Indonesia, Filipina, Malaysia, Jepang, Korea, Bangladesh, China, Thailand, Bhutan dan Nepal. Dalam bahasa latinnya ia disebut sebagai Aeginetia Indica L (masuk dalam familia Orobanchaceae). Tumbuhan berbunga tetapi tidak berdaun ini (lihat foto), ditemukan oleh kakakku di sekitar ladang padi di kampung kelahiran kami. Karena tumbuhan ini asing bagi kakakku, jadilah dia memposting foto bunga ini di WA group untuk mencari tahu dan yang paling utama pamer, he, he, he. Pada foto, seperti yang kita lihat, bunga ini tumbuh di pekarangan, mohon jangan dianggap pembohongan terhadap publik terkait habitatnya. Aku sempat bingung kenapa bisa tumbuh tunggal, rapi dan tidak ada tumbuhan inangnya, sementara yang kubaca bahwa tumbuhan ini adalah parasit akar. Baru setelah kakakku menjelaskan, aku mengerti jika ini adalah bagian skenario publikasi (untuk tidak menyebut pamer lagi) karena saat menjumpainya di sekitar ladang, kakakku tidak membawa serta kamera HP. Tidak pendek akal, iapun menculik bunga ini, kemudian ditanam  di pekarangan rumah mamak. Jadilah demikian adanya. Semoga, bunga itu tidak mati seketika karena dipisahkan dari inangnya, ya. Meski, menurut seorang temanku yang paham tentang vegetasi, bunga ini termasuk tanaman hias yang bisa dibudidayakan dengan memecahkan/memisahkannya. Ada juga satu artikel yang aku baca menyebut jika bunga ini termasuk jenis anggrek. Di masyarakat Sunda, bunga ini disebut Pacingan atau Pacing Dawin.

Selain begitu unik, tanaman ini ternyata merupakan tanaman herbal yang berkhasiat untuk mengobati diabetes, tumor, kanker, liver, batuk dan artritis dengan adanya kandungan diantaranya Asam Aeginetic dan Polyene. Orang di kampungku dan komunitas Ibanik percaya bunga ini bisa untuk membantu "mengobati" anak yang mengalami keterlambatan berjalan dengan cara disabet / dipukulkan di lutut yang istilah lokalnya di-pangkong, sehingga sebutannya pun "Bunga Pangkong Palak Lutut" yang artinnya Bunga (yang dipukulkan) di Dengkul. Sayangnya, bunga ini hanya mekar sekali sepanjang tahun pada musim angin muson, artinya sulit untuk bisa terus menjumpainya. Jadi, tidak heran, begitu kakaku posting foto di group tidak ada yang tahu, dan akupun begitu sibuk mencari literatur dan referensi sampai menemukannya di beberapa sumber yang bisa dilihat di bawah tulisan ini.


Tahun Banjir Buah Hutan

Langsat
Tahun ini kita bisa bereksperimen ataupun jelajah aneka ragam rasa buah-buahan yang berasal dari hutan, bahkan buah-buah yang kita sendiri baru lihat atau belum tahu kalau bisa dimakan. Biasanya, kita begitu akrab dengan King of Fruit, si durian yang selalu berkawan pada musim yang hampir sama dengan rambutan, langsat dan cempedak.

Langir (isi dalam)
Kali ini, kita bisa menemukan lebih banyak jenis buah-buhan hutan lain, sebut saja beberapa di antaranya buah mentawak, kemayau, angkahapm, pedalai/paluntan, pingan, keranji, teluk kejirak, dan langir. Tahun ini (2019) Tuhan memberikan rejeki berlimpah melampui kebiasaan, dimana hampir semua buah yang akrab dengan kehidupan di pelosok, kampung dan desa bisa dijumpai dan dinikmati bahkan di kota-kota. Tentu saja, jika di kota memerlukan rogohan kocek cukup dalam ketimbang di pusat
Langir
kecamatan atau pusat kabupaten dari daerah tempat ia berasal. Di kota seperti Pontianak, penjual memainkan harga cukup jauh di atas harga di daerah dengan alasan biaya angkut dari kampung yang mahal, tergantung dari daerah mana buah-buah itu dipasok ke kota Pontianak. Ambil contoh, suatu hari saya membeli buah mentawak, yang katanya dipasok dari Serimbu, harganya berada di rentang Rp. 15.000-25.000 per biji tergantung ukuran dan tingkat kematangan. Semakin besar dan semakin matang buah maka akan semakin mahal. Rentang harga yang sama juga berlaku di kota Sintang. Tadinya saya berpikir bahwa di Sintang akan lebih murah, tapi ternyata sama. Dari ini, bisa disimpulkan pemasok buah bukan berasal dari daerah pedalaman di Sintang melainkan dari Kabupaten lain. Berbeda dengan buah kemayau. Di salah satu spot penjual buah-buahan hutan ini, saya mendapati harga per Kg buah kemayau sebesar Rp. 35.000/Kg, dengan alasan pemasok buah ini dari daerah di Kabupaten Kapuas Hulu. Di Kabupaten Sanggau, buah ini bisa didapati jauh lebih murah dengan harga Rp. 15.000/Kg.

Pakawai (Bukan Durian ya)
Pekawai (isi dalam)
Mentawak

Buah-buahan yang melilmpah ini tentu tidak terlepas dari fenomena iklim. Di akhir pertengahan 2018 hingga awal 2019, kita menghadapi musim kemarau yang tidak terlalu kering dimana masih ada curah hujan yang signifikan. Ini mempengaruhi kondusifitas tanaman buah di hutan dalam menghasilkan atau berproduksi. Alhasil, tahun ini banjir buah hutan di Pontianak. Mesti dicoba satu-satu. Dan, yang menarik adalah jika  kita sadar keberadaan buah-buah ini mengindikasikan masih terjaganya lingkungan hutan. Namun, realitas bahwa ketersediaan buah-buahan ini, jauh sebelum ini mungkin melampui yang terlihat saat ini seiring dengan realitas eksploitasi terhadap hutan dalam bentuk apapun. Ini menghantarkan kita kepada keriskanan dan kerentanan keberlangsungan buah-buahan ini. Coba saja inventarisasi dan catat yang kita temukan saat ini. Sepuluh sampai dua puluh tahun yang akan datang, kita coba cari dan apakah akan ditemukan lagi?.

Jumat, 18 Januari 2019

Dunia "Seakan-akan":Jargon Politik dan Hoax


Dua tahun lalu saya pernah menulis status di salah satu sosmed yang saya ikuti dengan cukup panjang. Isinya tentang bagaimana saya sudah jengah dengan kegaduhan politik yang cenderung gaduh negatif, black propaganda sampai kemudian yang sekarang ini mem-viralkan kata hoax dan membangunkan gerakan anti hoax dengan tebaran tagar berisi kata ini salah satunya #turnbackhoax. Tidak terasa juga sudah dua tahun ini saya tidak membuat status serupa itu.

Tahun ini sudah (2019) disebut sebagai tahun politik karena akan berlangsung Pemilu Legislatif dan Presiden. Narasi dan diksi yang dibangun tidak jauh berbeda dengan empat tahun lebih yang lalu. Wajah politik praktis Indonesia masih menyeramkan karena bumbu pedas dari setiap orang yang secara notabene merupakan pendukung dari masing-maing kubu masih sama saja, bertaburan hujat (bukannya kritik membangun), nyinyir dan hoax yan bahkan hasil produksi empat atau lilma tahun lalu dan seharusnya makanan sudah expired masih saja dikonsumsi bahkan disebarluaskan kembali, Angin media digital begitu mumpuni saat ini memberi ruang 'viralkan" informasi serupa itu, dan orang cukup bermodalkan jaringan, satu akun sosmed, tombol like dan share. Seburuk-buruknya punya HP murah dan bisa terima SMS pun bisa menjadi target. Menyberlah semua itu tidak pilih kalangan. Bahkan kalangan yang danggap terdidik sekalipun terseret menelan mentah-metah berita hoax hanya karena ingin membenarkan dukungannya terehadap pihak tertentu. 

Bagaimana penerimaan terhadap informasi seputar perpolitikan itu?. Tentu beragam, ada yang merespon dengan argumentasi analitik, ada yang bergaya nyinyir (karena tujuannya memang membuat sensi atau baperan kelompok yang dianggap berseberangan, harapnya dapat balesan sampai adu statement pedas, adu meme, adu kutipan). Di sosial media seperti Facebook misalnya, banyak yang (seakan-akan) melek politik tapi omongan masih seputar jargon. Apa yang disampaikan (seakan-akan) hasil pengamatan bahkan opini pribadi tetapi tak lebih dari mengulang saja pendapat orang lain sebelumnya. Lebih seperti pesan berantai. Ini biasanya terjadi pada beberapa orang yang berdiskusi dengan banyak orang, sedikit membaca. Kalaupun membanca, mungkin sumbernya "hoax" atau mungkin saja hanya membaca judul atau bagian kesimpulan.

Bentuk lainnya, terjadi pada orang yang banyak membaca buku tetapi tidak didiskusikan sehingga sangat text-book cara berpikirnya atau tidak kontekstual cenderung berkutat pada pemahamannya sendiri alias tidak open-minded. Konsep kebenaran mutlakpun terjadi pada apa yang ia pikir benar. Sesat pikir jadinya. Masih untung kalo yang dibaca adalah buku tentang teori, bisalah disebut sebagai orang yg teoritikal. Kalo yang dibaca media "hoax", gimana?.

Ini bukan ajakan untuk jangan lagi membaca dan berdiskusi lho ya. Intinya, kembali ke soal politik (terserah, mau politik apapun itu), analisa sederhana dinamika politik lokalnya dulu donk keluarin. Ini khususnya untuk orang yang notabene terididik dengan baik, para kaum cerdidk pandai itu. Jadi, orang seperti saya bisa belajar lebih banyak, bacaannyapun bukan hoax, bertindaknyapun gak ikut2an trend, berucappun tidak asal "nge-beo", tetapi lebih kritis dan cerdas.




Konsep Makan (Kebiasaan) dan Konsep Diri (Kperibadian)

Suatu hari, saya pernah ditanya oleh seorang teman, "Mengapa kamu lebih sering 'skip' makan siang?. Kenapa tidak skip makan pag...