Rabu, 01 April 2015

Gizi Sarapan Pagi #BerandaRuaiShow


"U r what u eat". Lupakan slogan "4 Sehat 5 Sempurna" krn tdk relevan dg kebutuhan gizi yg berbeda tiap orang.

Embedded image permalink
Julianto Gambir (Ahli Gizi) mengungkapkan bahwa tubuh yg pendek dan bahkan pendek sekali dg tidak memenuhi parameter standar yg sdh ditentukan berdasarkan kelompok umur adalah indikator kekurangan gizi. Bahkan juga berhubungan erat dg tingkat kecerdasan. Penting bagi ibu hamil sedini mgkn sejak dlm kandungan sampai anak berusia dua th memperhatikan pemenuhan gizi seimbang.

Sekolah Gratis Untuk Anak tak Mampu #BerandaRuaiShow

"Sekolah gratis (utamanya bagi anak dari keluarga dg keterbatasan finansial) mestinya tdk cuma gratis SPP, mereka perlu penunjang spt seragam, buku, sepatu dan tas", ungkap Anggita dan Sammy, Komunitas Khatulistiwa Berbagi. Mereka dan tiga belas org rekannya memfasilitasi delapan puluh org anak dari keluarga yg tdk mampu dengan berbagai kelompok umur. Selama 1 tahun, mereka menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa senang pd anak2 tanpa merasa sekolah/belajar adalah beban (tdk jarang anak dari kalangan ini didiskriminasi dlm lingk. Sekolah bahkan dlm proses belajar-mengajar). 

Anak Muda yang Peduli
Menyentuhnya lagi, anak2 muda ini memulai langkah kecil mereka dengan melangkah sendiri, menyisihkan uang jajan mereka u/ pengadaan sarana-prasarana sekolah. Mereka bermimpi suatu saat memiliki t4 belajar yg layak, dimana dari situlah anak2 asuh mereka akan membuat bertumbuh besar pohon mimpi dari setiap anak u/ menjadi kenyataan.

Inilah 4 dari 15 anggota komunitas Khatulistiwa Berbagi sisihkan uang jajan u/ sarana & prasarana belajar bg anak2 marginal

Pelayanan Publik di Kalimantan Barat #BerandaRuaiShow

Mbak Reny Hidjazie dan Mbak Evy at Beranda Ruai show "Mendorong Mekanisme Pengaduan Pelayanan Publik di Kalbar".

Salah satu yang didorong oleh Koalisi Masyarakat Sipil u/ Reformasi Birokrasi adalah "ruang" tempat penyedia dan penerima layanan bisa duduk "satu meja" atau dg "dikawinkan", istilahnya Mbak Reny. Apalagi masyarakat sekarang sdh kritis, dasar hukum yg mengatur mekanisme komplain & partisipasi masy. Jg sdh ada, ungkap Direktur PPSW sekaligus anggota koalisi ini.
Embedded image permalink
Dari Kiri: Mbak Evi, Mbak Reny, Iwi dan Bennie

Mbak Evy (programme organizer koalisi) menambahkan, "Perlu keterbukaan dari pemerintah dan penyedia layanan publik atas pengaduan apapun, serta penting kemauan berubah sehingga pelayanan publik Kalbar perlahan menuju ke arah yg lebih baik." 

Keduanya mengungkapkan bahwa perlunya perubahan ke arah yg lebih baik karena layanan publik yg baik merupakan indikator IPM (Indeks Pembangunan Manusia), katakanlah di dua sektor saja seperti pendidikan dan kesehatan sbg awal untuk kemudian ke sektor lain secara bertahap.

Benar mbak, semoga pemerintah daerah semakin menyadari tanggung jawabnya u/ memperbaiki layanan sosial dasar di Kalbar. Adalah kewajiban pemerintah sebagai representasi negara u/ memenuhi hak WN atas pelayanan publik yg baik, setidaknya secara bertahap (progressive realization). Kalau sdh baik (plg tdk pendidikan, kesehatan dan jamsos) barulah kita bisa bangga menyebut diri sebagai negara demokrasi.

Jumat, 20 Maret 2015

Relasi

Suatu waktu kita mungkin ingin menjelaskan arti sebuah relasi, bagaimana memaknai relasi dalam berbagai konteks. Relasi ini bisa diterjemahkan sangat luas, mulai dari pertemanan, pasangan, persaudaraan, tim kerja, tetangga, kelompok arisan, anak-orang tua dan bahkan dengan hewan peliharaan serta dengan tumbuhan yang kita tanam atau yang intens kita jumpai di sekitar kita. Namun, pernahkah setiap relasi itu kita menyadari seringnya kita absen melihat relasi dengan pemilik hidup?.

Pada dasarnya, banyak orang akan memahami relasi vertikal ini dalam wujud spiritualitas, religi, dan bertumpu pada ajaran kebenaran, yakni kebenaran yang mutlak. Kebenaran yang tidak mematikan proses berpikir dan merekonstruksi jalan menuju kebenaran itu sendiri. Jauh berbeda dari kebenaran dalam relasi horizontal, karena tidak ada dan tidak boleh ada kebenaran mutlak di sana karena itulah yang mematikan berprosesnya nalar dan rasa. Aku melihat kedua relasi (vertikal dan horizontal) ini mestinya berjalan seiring karena itulah penjelasan atasnya tidak pernah berakhir dan menjadi proses yang bisa dikatakan aku tidak punya pilihan selain menjalaninya, yakni persis adalah proses kehidupan ini yang juga penuh dengan gelombang, turun-naik, vertikal-horizontal, dan lain-lain. Orang bilang, ya Up and Down.

Pada setiap relasi, kita seperti membangun ruangnya masing-masing. Di ruang masing-masing ini orang berharap akan lebih intens membangun hal-hal baru berdasarkan kesukaan, kegilaan, pekerjaan sampingan, dan wujud eksistensi identitas tertentu yang hendak dibangun. Jadi, jangan heran jika yang namanya komunitas berbasis hobby/profesi akan semakin bertumbuh, kelompok arisan akan selalu ada, perkumpulan berbasis suku, asal dan marga tertentu selalu kita temui. Kesemuanya ini yang kusebut sebagai "memaknai relasi". Orang terkadang bisa dilihat kadar 'sosial' atau 'gaulnya' dari seberapa banyak komunitas yang ia ikuti.

Mari kembali kepada relasi yang terkadang terabaikan, relasi dengan pemilik hidup. Tapi, kog jadi gak enal yach...seolah-olah diriku lagi menggurui soal atau urusan dengan "yang Satu itu". Yah, itung-itung mengingatkan diri sendiri aja lah. Aku, kamu, kita, tentunya memiliki keyakinan akan satu hal di atas segala hal. Yakini saja apapun yang kita pilih sebagai kebenaran, dan bagaimana kebenaran itu akan menggiring kepada kebenaran yang sesungguhnya, akan selalu ada pengalaman hidup yang jika kita jalani dengan keikhlasan mempertemukan kita pada titik tempat beradanya arah yang harus dituju. Guess what?!. Bebas saja mengintpretasikan ini...take it easy braayyy and sisthaaa....

Minggu, 25 Januari 2015

Kematian Yang Ditentukan



Akhir-akhir ini aku kembali pada situasi dimana sulit mengendalikan dominasi rasa untuk sejajar dengan logika. Rasa sedih, kecewa, kasihan yang semuanya terfokus pada detik-detik yang dalam hitungan mundur dibayangi wajah-wajah enam orang terpidana mati kasus narkoba yang menunggu eksekusi pada hari Minggu, 18 Januari 2015. Membayangkan wajah-wajah keluarga mereka yang terpaksa harus menerima kenyataan atas waktu dan cara kematian yang sudah ditentukan oleh kejaksaan. Masih rasa yang sama ketika eksekusi mati Tibo Cs pada delapan tahun lalu (22 September 2006) untuk kasus kerusuhan Poso. Rasa yang pada tataran kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia sesungguhnya bisa dijelaskan sejalan dengan logika, bahkan logika sederhana sekalipun, misalnya mati tidak seharusnya menjadi bentuk hukuman atas kejahatan apapun, apalagi dengan dalih efek jera. Toh, semua manusia akan mati. Ini bisa jadi sangat subyektif, tetapi rasa dan logika ini mempertanyakan beberapa hal diantaranya, apakah ada jaminan bahwa proses-proses hukum terhadap para napi ini berjalan dengan adil, tidak diskriminatif dan bebas dari kepentingan yang lebih besar?. 

Sumber: http://www.cdn.klimg.com
Banyak sekali orang pintar di negaraku terutama para penegak hukum yang kuyakin mampu mencari alternatif-alternatif hukuman berat lain selain hukuman mati. Tetapi, ini masih seperti harapan yang mengawang jauh dibalik  awan-awan. Entah siapa yang mampu menjelaskan kenapa, akupun tidak, selain ungkapan kekecewaanku bahwa ini bentuk kemalasan berpikir yang luar biasa. Otak untuk menganalisa kalah tajam dan menakutkan dari pelor panas senjata. 

Detik-detik menjelang eksekusi menyesakan dadaku, serasa seakan diriku yang akan menghadapinya. Membayang mereka tak sanggup lagi berbuat apa-apa tetapi pasrah, bergulat dengan bayang-bayang kematian yang disahkan secara hukum manusia melalui keputusan kejaksaan dan popor senjata penembak jitu Polisi Brimob. Entah apa yang mereka rasa ketika waktu dan tempat kematian telah ditentukan dan dipersiapkan diwarnai hingar bingar, hiruk pikuk setuju-tidak setuju, pantas-tidak pantas, iba-hujatan dan paling pasti ekspos media. Ini pula yang membuat hatiku semakin resah, membaca dan mendengar pernyataan orang-orang yang setuju dengan penghukuman demikian, percaya bahwa itu tindakan  menyelamatkan generasi bangsa. 

Aku memahami sikap dan pikiran orang-orang yang setuju dengan menempatkan rasa dan logika seperti yang kualami saat ini, hanya saja mungkin dalam pijakan yang berbeda. Aku cenderung berpikir bahwa selalu ada cara lain dan mesti ada kesempatan kedua bagi orang-orang jahat sekalipun dengan alas belas kasihan dan hak asasi manusia. Dan mereka, kecenderungannya berpikir praktis dan percaya bahwa hanya kematian yang bisa menghentikan ‘jahatnya’ seseorang agar ia tidak menyebarkan virus jahatnya kepada yang lain atau melakukannya kembali dengan kesempatan yang ada. Ya, kedua sikap dan pikiran inipun bisa diklaim sebagai yang paling benar. Mungkin saat ini, aku harus banyak melihat dengan mata hati bukan mata-kepala saja, bahwa negaraku tidak sedang ketakutan dan panik tetapi betul-betul sedang peduli akan keselamatan bangsa dari kejahatan luar biasa narkoba dan terorisme dalam bingkai penegakan hukum.

Kembang Kopi dan Kumbang

Kembang Kopi Halaman Rumah Ibuku

Ini adalah tulisan pertamaku di tahun 2015. Ini sudah seperti mengumpulkan PR di tahun lalu, dimana aku memiliki target untuk mengabadi beberapa simbol dari golden memory  masa kecilku, yang masih membekas hingga kini. Dan, sudah sekian lama bahkan melampui lebih dari seperempat abad baru kuingin memetik filosofi dibalik simbol-simbol ini, salah satunya adalah kembang kopi. Sebuah oleh-oleh dari liburan panjang yang tak mampu untuk tidak ku-share di media sosial yang kuikuti.

Mengapa kembang kopi?. Akan kujawab disini. Pastinya bukan karena aku penyuka kembang dan penyuka kopi yang pernah nyaris bertahan lama sebagai coffeeholic. Ini hanya visualisasi kerinduanku pada masa lalu, masa kecil di kampung halamanku. Aku kecil, sekitar umur empat tahun masih selalu ter-recall di memoriku saat ini. Ia adalah diriku yang bercelana pendek biru, dan (sepertinya) tak berbaju, begitu bahagianya berlarian dengan kakaku yang setahun lebih tua dariku. Kami kecil bersembunyi dibalik pohon sahang di kebun kakek dan sesekali memetik buahnya yang ranum untuk dimakan kulit arinya. Selang waktu, kami bermain petak umpet sampai ke kebun kopi kakek dimana kami melakukan hal yang sama. Hanya saja perlu sedikit kerja keras untuk yang satu ini. Kami harus menggunakan tangga dan targetpun bukan hanya kulit ari buah kopi yang ranum, tapi juga kembang putihnya untuk kami sunting dirambut setelah sebelumnya kami ciumi dulu aromanya (tentu dengan membuang daun-daunnya – kejam ya...).


Sesederhana itu kisah lalu yang tersimpan rapi di sudut memori keemasanku. Itu semua seperti kisah singkat di film pendek karena cerita mesti usai (tapi ternyata belum usang) bermula ketika kami masuk Sekolah Dasar, yang artinya meninggalkan kampung halaman, kebun kopi, kebun sahang, kebun tebu, pohon jeruk yang sering kami panjat, pohon asam pelam dan mangga, dan burung Beruwi’ (Kenyalang). Sekolah telah mencerabutku dari semua itu bahkan dari kedua orangtuaku karena sekolah itu artinya bermigrasi ke pusat desa, tinggal di lanting kakek-nenek, dijambangi bapak sekali-kali (mamak tidak pernah ikut, dugaanku itu sulit karena mamak melahirkan adik-adik kami setiap tahun) dan pulang ke kampung hanya sekali ketika libur panjang di bulan Juni. Liburan di sini berarti mencari uang sekolah (membantu Bapak menoreh karet), menjemur-mengisar dan menumbuk padi. Mestinya ada cerita tersendiri tentang ini semua. Kali ini, mari kembali ke kembang kopi.


Kembang kopi memiliki filosofis yang kuat menggambarkan kesolidan relasi secara universal (bagi saya lho...), baik itu persaudaraan, persahabatan maupun pekerjaan karena ia bergerombol dengan indahnya dalam satu tumpukan pada satu ruas tangkai. Kesetaraan dan kesederhanaan juga tergambarkan dari setiap kembang kecilnya yang berwarna putih dengan ukuran yang hampir sama. Terlepas dari filosofis kembang kopi, aku sendiri begitu merindukan aroma kopi racikan kakekku yang prosesnya begitu menantang sebelum ia tersaji harum panas di mug. Memanen kopi selalu disertai dengan ritual mengebaskan serangga merah, merendamnya untuk memudahkan menguliti (agar kulit arinya terkelupas – buah kopi segar tentu kulit arinya beberapa kami makan), menjemur, disangrai sampai hitam dan keluar aroma khas lalu digiling  ketika masih panas, terakhir disaring tepung kopinya (ah, aku masih menjumpai penggiling kopi kakek saat kepulanganku tahun ini, tak terawat dan disimpan di dek rumah bapakku). Dan jadilah kopi beraroma “kuat”, yang belum pernah kutemukan dikopi yang selam ini kubeli diwarung bahkan dengan merk terkenal sekalipun (subyektif sekali ya). Aku kecil dan kakakku sering curi-curi menyruput kopi kakek. Terkadang, ia langsung mengerti melihat tatapan 'ingin' kami, maka ia langsung menyuruh kami mengambil gelas masing-masing dan ia dengan senang hati membagi kopi pahitnya (jadi kangen almarhum...).

Pohon kopi dan kembang kopi belum semuanya punah. Aku masih menjumpainya ketika pulang ke kampung, dan sudah kujanjikan pada diriku untuk mengabadikannya jika kutemukan ia mekar. Bersamaan dengan keinginanku mengabadikan kembang Putat dan Mentangis (tapi tidak kesampaian karena aku tidak singgah cukup lama di pusat desa dimana aku mungkin menemukannya dengan harus berperahu atau menyisir daratan di pinggir Sungai Ketungau atau Sungai Air Nyuruk). Bahagia rasanya, seperti bernostalgia kembali dengan masa kecil ketika kutemui si kembang kopi persis di samping rumah emak. Satu hari saja kudapati tiada hujan, aku mengabadikannya dengan kamer EOS 60D dan lensa makro sehingga ia terlihat indah bersama dengan kumbang yang sedang mencumbuinya. Kumbang yang narsis, ia nyempil aja ketika aku mengambil fokus pada kembang yang menyerupai bulir-bulir. Tapi, aku senang ia tertangkap lensaku, menjadikan jepretanku hidup meski sedikit over lighting dari sunrise kala itu.

Rabu, 17 Desember 2014

Narasi Kota di Kelilingi Gunung, Palu

Berandai ini adalah kesempatan terakhir, aku ingin menuliskan tentang sebuah kota, sebuah lembah di kelilingi gunung, Palu. Kesempatan di akhir tahun untuk mengunjungi kota ini pertama kali setelah sekian lama tempat ini sudah menjadi rumah kedua si Daddy. Kepergianku pun karena jadi 'sertaan' nya berbungkus pekerjaan tentunya. Bagaimana tempat ini sudah menjadi seperti rumah kedua baginya bisa kuilustrasikan dengan "bahkan aku sendiri seperti sedang bertamu dan dia tuan rumah" meskipun aku datang bersamanya.

Di luar itu semua, ini sama sekali bukan tentang pekerjaan. Sebelumnya, aku hanya mendapati semua itu dari jepretan si Daddy dan cerita soal keindahan yang terkadang rasanya seperti semakin menyisihkan dan menyudutkan aku dari rasa bahagianya yang semestinya juga bisa kunikmati. Sekarang, aku hanya ingin menarasikan keindahan teluk Palu dan indahnya lampu malam serta suasana tepi laut yang sempat kuabadaikan dengan Kamera EOS 60D, dengan lensa 50 MM. Itu semua bukan dari cerita, tapi yang kusaksikan sendiri meskipun ini belum seberapa dan belum menjadi jawaban atas kebinaran Daddy setiap bercerita tentang tempat-tempat yang ia kunjungi di tiap sudut pegunungan di Sulteng itu. Ini kuibaratkan hanya di beranda saja.

Suatu hari usai pertemuan, kami; aku dan suamiku dan dua orang teman bertolak seiring senja berlabuh. Kami menuju ke arah entah mana, tak terlalu kupedulikan. Yang kutahu itu adalah kampung halaman temanku, berada di tepi laut, bernama Limboro. Tanpa kusadari, aku memberi kesempatan sejenak agas-agas menggigit kulitku dengan kejam sementara aku berpindah-pindah mencari spot untuk merekam gambar perahu nelayan dan ombak meliuk di pantainya. Ah, sayangnya rintik hujan dan awan hitam tak mengijinkan menyaksikan matahari terbenam. Menjelang malam kami kembali ke kota Palu dan aku sempat menikmati temaram lampu sepanjang jalan di pinggir pantai. Berhenti sejenak di kantor temanku untuk makan malam, aku dan Daddy kembali ke Hotel Sutan Raja tempat kami menginap.

Sekelumit perjalanan ini bermuatan cerita indah dari lima komunitas di tiga Kabupaten di dataran tinggi Sulawesi Tengah. Tentang mereka, para petani cengkeh, petani nilam, dan petani kakao yang mencoba bertahan dari masa ke masa dari gerusan pembangunan dalam bentuk ekspansi modal besar perusahaan perkebunan skala besar sampai ke taman nasional. Ya... cerita yang sama memang bergulir dimana-mana, konflik komunitas masyarakat yang berada di sekitar hutan dengan pengelola perkebunan ataupun dengan pengelola taman nasional.

Poin menarik dari seluruh rangkaian perjalanan selama empat hari ini, aku bertemu dengan orang-orang yang membuatku penasaran dengan keindahan dataran tinggi, ditambah lagi beberapa orang dari mereka mulai mempromosikan keindahan tempat-tempat seperti situs-situs purbakala.

Konsep Makan (Kebiasaan) dan Konsep Diri (Kperibadian)

Suatu hari, saya pernah ditanya oleh seorang teman, "Mengapa kamu lebih sering 'skip' makan siang?. Kenapa tidak skip makan pag...