Selasa, 12 November 2019

Bunga Matahari (Helianthus annuus)

Photo by: Sentot
Bunga Matahari tentulah tanaman hias yang sangat popular diketahui banyak penduduk bumi alias bunga sejuta umat. Negara seperti Ukraina menjadikannya sebagai bunga nasional, sedangkan negara bagian Kansas, Amerika Serikat menjadikannya sebagai bunga resmi (sumber: wikipedia). 

Yang sangat tidak umum adalah bagaimana saya pada akhirnya menanam bunga ini. Saya pernah menuliskan tentang bunga Tetepok, dan bibit biji bunga matahari pada gambar ini kuperoleh satu paket dengan bunga Tetepok. Jika bunga matahari itu sangatlah umum, maka yang tidak umum adalah cara saya memperolehnya. Nah, di sini aku ingin menceritakan kembali secara singkat.

Dari 10 biji yang tumbuh cukup baik dan berbunga cuma satu pohon. Satu ini juga akan memberiku lebih dari 10 biji bibit utk diranam kembali. Oh ya, 10 biji bibit itu adalah pemberian seorang bapak tukang kebun di salah satu resto yang juga menjual bibit bunga. Awalnya aku membeli bunga dan bibit sedap malam, lalu berharap membeli bibit bunga matahari, tapi ternyata tidak ada dijual. Saat hendak pulang, dia menyodorkan 10 biji bibit. "Ini saja yang ada, coba saja ditanam Mbak, mungkin bisa hidup." Aku juga diberi bibit tetepok dan kejibling. Tetepoknya sudah punah dimakan oleh ikan di kolam, sedangkan Kejiblingnya masih tumbuh dengan hijau. 

Sebagai terima kasihku, aku memberi tahu nama beberapa jenis bunga yang ia tanam tapi ternyata dia sendiri tidak tahu namanya, seperti torenia dan bromelia. Aku menyarankan Si Bapak untuk membuat name tag untuk semua kolekasi tanamannya. "Biar kalo Bapak ditanyai calon pembeli atau pelanggan, Bapak bisa jawab, " ujarku sambil berlalu.
Oh ya, dibawah satu tangkai bunga mekar itu ada dua kuntum calon bunga lagi.

Senin, 11 November 2019

LENSAKU #2: Dibalik Short Term Awards Program Australia Awards Indonesia


1. Lampion Kertas Novel Bekas

Objek menarik ini aku temui di Red Spice Road Restaurant, dirangkai setengah lingkaran pada lampu yang menempel di tembok. Di bawahnya, kami berasa dalam makan malam yang romantis dengan temaram cahaya bergradasi kuning emas berasal dari pantulan kertas novel bekas yang berwarna coklat, sepertnya kertasnya juga daur ulang. Makan di sini mengingatkan untuk mendaur ulang sampah. Nah, kalo apa yang sudah aku makan di sini gak bisa didaur ulang.


Gambar 1. Jalinan Kertas Bekas Novel sebagai Lampion Lampu

2. Yoga Mate Warna-warni

Ruang pertemuan, baik itu ruang rapat, ruang pelatihan ataupun ruang diskusi hendaknya tidak kaku karena akan membuat jenuh terkungkung dan ngantuk. Kondisi ini perlu disiasati dengan menciptakan susana cair. Bagaimana mencairkan suasana?. Salah satunya adalah dengan menempatkan objek yang berwarna-warni dengan pola yang beragam, bisa dalam bentuk kertas yang bentuknya sudah dikreasi berbagai bentuk, lukisan berbagai tema, cat warna berbeda pada masing-masing sisi tembok, tanaman indoor, poster yang artistik, dan banyak lagi. Gambar yang satu ini bisa jadi satu alternatif, tumpukan matras yoga warna-warni. Iya, aktifitas yoga sederhana sendiri bisa dijadikan ice-breaking atau pembangun suasana, setidaknya duduk saja bersila, lalu breath-in, breath-out. Sederhana khan membuat betah di ruang pertemuan.



Gambar 2. Matras Yoga di Ruang Pelatihan

3. Kaki Meja Ukiran Kayu

Kayu adalah adalah salah satu media menarik untuk seni ukir atau pahatan dalam bentuk apapun. Gambar ini adalah satu sudut yang sekaligus merupakan kaki meja sebenarnya. Setiap penjuru kaki meja di salah satu ruangan Gedung Parlemen Victoria ini dibuat dalam bentuk pahatan singa dari kayu, dilapisi pernis berwarna gold kecoklatan.


Gambar 3. Pilar Meja berukir Singa

4. Sudut Plafon Penangkap Cahaya 

Ini masih dalam ruangan yang sama dengan meja dalam foto nomor 3, berada di Gedung Parlemen Victoria. Fokus dari foto ini adalah ukiran pada tembok plafon pemerangkap cahaya matahari dari atas. Setiap tembok di ruangan gedung ini, menurut guide person kami memang dilapisi emas (emas beneran lho...). Lihatlah pantulan cahaya dari tembok berapis emas ini. Ukiran-ukiran yang begitu banyak itu (hanya satu sudut ini yang aku ambil, biar ga kebanyakan, dan pembaca juga bosan ntar) potongan peristiwa-peristiwa perbudakan dan kerja paksa rakyat untuk menambang emas di zaman kolonialisasi.
Gambar 4. Sudut Plafon Keemasan di Gedung Parlemen Victoria, Melbourne

5. Patung Queen Victoria

Inilah objek yang pertama kali kita jumpai jika berkunjung ke Gedung Parlemen. Patung Ratu Victoria dengan mahkota dan memeganga tongkat. Ini merupakan simbol kebesaran kekuasaan yang dimiliki oleh Ratu Victoria pada masa itu.
Gambar 5. Patung Queen Victoria di Gedung Parlemen

6. View Musim Dingin di Hadapan Gedung Parlemen Victoria

Ini adalah view dijalan Bourke Street. Foto ini saya ambil dengan persis berdiri di tangga depan gedung parlemen Victoria yang berada di Spring Street. Suasana terlihat teduh karena sedang hujan gerimis di musim dingin kala itu. Lihatlah pohon-pohon yang terlihat kaku tapi tidak membeku itu, pertanda sedang musim dingin atau lepas musim gugur di negeri ini.
Gambar 6. "Bourke Street" di Depan Gedung Parlemen Victoria

Senin, 04 November 2019

LENSAKU #1: di Balik Program Short Term Awards Australia Awards Indonesia, Nomer 2 Membuat Pengen Nyebur

Welcome November!!!!

Oktober telah berlalu, aku begitu masih menyimpan segar ingatan moment dua minggu di Melbourne, Asutralia. Kali ini, aku ingin membagi foto-foto cantik dan unik selama mengikuti program mulai dari pra kursus, kursus sampai ke pasca kursus. Semua foto saya ambil dengan kamera Sony Nex 5. Oh ya, dalam program kursus, kami, para peserta memang sangat dianjurkan untuk mengambil sebanyak-banyaknya gambar atau foto dari setiap moment. Semua foto adalah karya saya sendiri, bebas untuk digunakan untuk keperluan non-komersil dengan mencantumkan credit photo-nya atas nama Iwi Sartika atau Ruaimana. Maklumilah segala kekurangannya karena aku ini bukan pro photographer, melainkan pembelajar yang senang dengan segala masukan.

1. Lampu dan Lampion Rotan
Lampu-lampu ini menggantug di lobby restoran Hotel Double Tree by Hilton, Jakarta. Lampu ini menerangi lobby yang begitu luas ditata dengan meja dan kursi di pelataran yang persis bersisian dengan kolam renang yang di dekor dengan perahu yang diisi dengan berbagai macam buah-buahan di malam hari. Di pinggir kolam juga diisi dengan gerobak-gerobak berbagai makanan seperti bakso dan soto serta minuman seperti Es Krim Turki. Lampu yang menggantung ini tentu biasa, tetapi tidak dengan lampionnya atau kurungan lampu yang unik. lampion ini lebih menyerupai keranjang, terdiri dari jalinan rotan berbentuk kurva terbalik dengan bolongan di atas agar memunginkan menutupi bola lampu.  


2.Poolside dan Perahu Apung Buah
Objek di tengah adalah perahu yang mengapung di kolam renang bermuatan buah Durian. Sudut perahu lain di sebelah kiri sebenarnya bermuatan aneka buah seperti semangka, melon, dan laiin-lain. 


3. Corner Decor dengan Miniatur Perahu, Keranjang dan Etalase Buah
Ini adalah decor interior hotel persis di samping kiri pintu masuk ke restoran dari arah dalam. Sepertinya, ini di dekor khusus untuk bulan Ramadhan, karena pada kunjungan berikutnya, saya tidak menjumpai lagi dekor seperti ini. 



4.Lampu Ruang Pertemuan
Bola-bola lampu kecil ini menggantung di bagian tengah palfon atas salah satu ruang pertemuan kami. tentu saja penerangan utama berasal dari lampu neon yang tertutup dalam bentuk segi empat di atas. Bola lampu kecil berbentuk melingkar hanya menambahkan nuansa artistik ruangan ini agar tidak kaku.




Selasa, 17 September 2019

Merayakan Keberagaman bersama SMP St. Fransiskus Asisi Pontianak 2019

Mei 2019 merupakan bulan yang istimewa bagi saya. Selesai kontrak dengan proyek satu tahun lebih, membuat saya memiliki banyak waktu untuk belajar dan jalan-jalan ke Melbourne, Asutralia dalam program Short Term Award dengan beasiswa Australia Awards Indonesia. Kursus singkat ini sendiri berlangsung di bulan Juli, namun sebelumnya, para penerima beasiswa diwajibkan untuk mengikuti pra-kursus di Jakarta di bulan Mei ini. Demikian juga di akhir program, ada satu rangkaian kegiatan pasca-kursus yang juga harus diikuti. Pengalaman-pengalaman saat kurus di Melbourne ada dalam tulisan tersendiri. Kali ini, saya ingin membagi pengalaman yang tak kalah penting yakni salah satu yang juga menjadi prasyarat keikutsertaan dalam beasiswa ini, tepatnya Award Project. Award project ini adalah proyek yang kita usul diawal saat melamar untuk beasiswa kursus singkat ini. Ini juga menjadi penentu diterima atau tidaknya kita sebagai peserta kursus, tentu tergantung kepada tema yang diangkat dan apakah proyek ini memberi manfaat terkait dengan isu yang diangkat dalam program kursus ini, yakni isu lintas keyakinan, keberagaman, perempuan, kepemimpinan, toleransi dan isu lain yang bersinggungan dengan kepemimpinan perempuan. 

Ketika mengajukan lamaran, saya mengusulkan proyek dokumenter melibatkan millenials kampus. Proyek yang ingin memetakan hal-hal positif di kampus terkait dengan relasi millenials lintas keyakinan, bagaimana mereka menghadapi dan merawat perbedaan (baca: keberagaman). Namun, pada perjalanannya, setelah mendapatkan banyak masukan selama proses pra-kursus, saya memutuskan untuk merubah proyek saya. Perubahan ini sendiri final justeru disaat kami masuk dalam sessi mentoring. Saya tetiba saja terpikirkan untuk membuat proyek sederhana yang tidak memerlukan waktu panjang agar gampang diukur. Lahirlah gagasan membuat proyek melibatkan anak SMP untuk merayakan keberagaman. Momentum perayaan kemerdekaan RI yang ke-74 menjadi momentum penting menurut saya. At the last minute, setelah bolak-balik memikirkan kegiatan yang pas, mulai dari membuat komik, foto, menulis cerpen/cergam, melukis tote bag, sampai ke menulis surat untuk Indonesia, saya berhenti pada lomba desain poster. Ya, lomba desain poster melibatkan siswa-siswi SMP dengan tema Merayakan Keberagaman. Dengan poster, anak-anak SMP akan lebih fun dan bisa lebih luas berekspresi melalui gambar dan pesan-pesan tentang toleransi dan perdamaian sebagai bagian penting dalam menerima keberagaman. Proyek ini tidak hanya mengeksplorasi kemampuan seni, tetapi juga memberi ruang mereka mengekspresikan makna keberagaman bagi mereka serta bagaimana mereka bisa mengajak orang lain untuk bersikap terhadap keberagamaman. Sehingga, mereka tidak saja belajar tentang apa itu poster, tetapi juga mempelajari apa itu keberagaman dan bagaimana seharusnya memaknai dan menyikapi keberagaman melalui pesan dalam poster.

Saya bahagia sekali karena perubahan ide proyek ini diterima oleh mentor saya dan disambut baik pula oleh salah satu sekolah swasta di Pontianak, SMP Santo Fransiskus Asisi. Saya sempat khawatir tidak akan mampu melaksanakan award project ini karena ketiadaan biaya. Tentu saja saya harus keluar dari kekhawatiran saya sendiri dengan memikirkan strategi. Pemilihan lomba poster ini juga salah satu mengatasi kekhawatiran karena sepertinya ini yang paling memungkinkan dengan biaya yang tidak terlalu besar. Kemudian, memanfaatkan momentum peringatan 17 Agustusan sekolah. Saya juga melibatkan kawan-kawan yang bisa melakukan pekerjaan secara sukarela, misalnya untuk desain promo dan juri. Yang lain, saya menggunakan resource sendiri bersama Pak Suami untuk dokumentasi foto dan film. Sementara, untuk kepanitiaan, saya serahkan sepenuhnya kepada panitia acara 17-an di sekolah. Di bawah supervisi Kepala Sekolah, panitia ini sudah menjalankan fungsi sebagai organizing commitee kegiatan saya yang dirangkaikan dengan beberapa kegiatan sekolah dalam rangka memperingati kemerdekaan RI ke-74. 

Senin, 19 Agustus 2019, kegiatan lomba desain poster inipun digelar. Pesertanyapun melampui target yang semula saya rencanakan untuk siswa-siswi kelas XII menjadi melibatkan seluruh siswa dengan jumlah 296 orang dari tiga kelas yakni kelas XII, XIII dan IX. Ini diputuskan oleh pihak sekolah karena kegiatan ini juga diharapkan memberi manfaat terkait dengan performance sekolah mempertahankan akreditas A serta menjadi bagian penting menjabarkan nilai-nilai yakni nilai pluralitas yang dijunjung tinggi oleh Persekolahan Santo Fransiskus Asisi Pontianak. Sekolah ini sendiri merupakan salah satu mitra Aliansi Perdamaian dan Transfromasi (ANPRI), sehingga moment "merayakan keberagaman" ini dianggap bentuk visualisasi jati diri sekolah dalam mempromosikan perdamaian dan toleransi dengan melibatkan siswa-siswinya. Ketua Panitia, Agustinus Sungkalang, SS sendiri mengungkapkan bahwa kegiatan ini meskipun merupakan lomba tetapi tidak menekankan pada kompetisinya melainkan menekankan kepada keterlibatan seluruh siswa dengan kreatifitasnya untuk mempromosikan perdamaian dan toleransi". Bagi saya, ini yang disebut dengan menjadikan "ownership" proyek ini bukanlah sebagai proyek atau kegiatan saya yang dijalankan oleh sekolah tetapi merupakan kegiatan sekolah sebagai bentuk perhatian dan kepedulian serta implementasi nilai yang menjadikan siswa-siswi sebagai aktor. Sehingga pada prosesnya saya betul-betulnya hanya memantau dan memastikan kegiatan berjalan sesuai dengan yang direncanakan dalam konteks substansi, yakni mengurai makna keberagaman bagi peserta serta menyampaikan pesan perdamaian dan toleransi kepada publik. 

Kegiatan ini berlangsung dari pagi jam 07.30 - 12.00 WIB di persekolahan Santo Fransiskus Asisi. Setiap kelas diawasi oleh gurunya masing-masing di ruangan kelas.Semua berjalan dengan lancar sesuai dengan yang diharapakan dimana setiap murid terlibat dan tidak satupun dari mereka yang tidak menyerahkan hasil meski beberapa dari murid mengeluhkan sulit menemukan ide, tidak bisa menggambar dan tidak terlalu paham dengan bagaimana membuat pesan yang baik dalam poster. Setidaknya, beberapa anak yang terkesan tidak pandai memggambar, mereka menggambar bendera merah-putih saja dengan ukuran yanng besar. Hasil lomba diumumkna hari berikutnya, tanggal 20 Agustus 2019. Tidak cukup waktu untuk penilaian dewan juri dan pengumuman di hari yang sama karena di sore hari, persekolahan digunakan oleh murid SMA. Akan dipilih dan diumumkan enam karya poster terbaik, dan akan ada pengharagaan dalam  bentuk medali dan uang tunai bagi enam besar ini, serta akan ada sertifikat bagi seluruh murid yang sudah berpartisipasi dalam lomba. 




Senin, 09 September 2019

CONSCIOUS CLOSET: Dress Women Up!.

VICTORIA WOMEN CENTRE
 Sabar. Saya tidak akan langsung membahas CONSCIOUS CLOSET, meskipun ini judul dari tuliasn ini. Dalam tulisan ini, saya akan mulai dengan  kunjugan saya bersama dengan 23 sahabat perempuan lainnya ke Victorian Women Centre, Melbourne-Australia. Ini salah satu agenda diantara agenda kunjungan lainnya yang semoga nantinya saya "mood' menuliskannya juga. Site visit seperti ini dijadwalkan oleh Alfred Deakin Institut bagi para penerima beasiswa Short Term Awards-nya Australia Awards Indonesia. Ada banyak keuntungan mengintegrasikan site visit sebagai bagian dalam agenda belajar seperti ini, diantaranya adalah pertama, peserta tidak akan bosan, meskipun kunjungan ini juga sebetulnya bagian proses pembelajaran dengan metode diskusi-shared learning. Betul sekali, kami tidak terasa capek meskipun agenda sangat full setiap harinya. Kami fun, karena setiap harinya setelah in-class session yang menghadirkan pembicara atau narasumber dirangkaikan dengan diskusi dan tanya-jawab, akan terbayarkan dengan kunjungan-kunjungan seperti ini. Kedua, ini juga menjadi kesempatan untuk menjadikan penerima beasiswa sebagai "promotor" tempat-tempat yang dikunjungi. Pastinya, moment seperti ini tidak akan pernah lepas dari cekrekan kamera mulai dari photo selfie, wefie sampai kepada photo obyek apa saja. Tentunya, akan berakhir pada postingan status di sosial media. Bayangkan, jika ada 25 peserta, maka dalam satu moment dengan obyek yang sama ataupun berbeda, setidaknya akan ada paling kurang 25 photo dari 25 telepon selular pintar, toh semua orang punya setidaknya satu alat komunikasi ini. Terlebih lagi, mengambil gambar juga sangat disarankan selama kursus berlangsung dengan tidak lupa menambahkan tanda pagar atau hashtag (#) #kedubesaustralia #australiaawards #OZAlum. Bahkan, AAI mengadakan kompetisi photo dan postingan sosial media terbaik selama di Australia.


BURWOOD CAMPUS - DEAKIN UNIVERSITY
Kamis, 25 Juli 2019 adalah agenda mentoring proyek secara bergantian. Bagi yang belum dimentoring memiliki kesempatan untuk keliling di area kampus Deakin Burwood. Kampus yang menyambut siapapun dari seluruh penjuru dunia dengan keberagamannya. Area kampus yang setiap sudutnya menenteramkan dan menyenangkan dengan desain eksterior dan interior yang sangat artistik di Kota Melbourne. Ya, itulah mengapa Melbourne disebut sebagai Kota Seni (City of Arts). Tak terkecuali di kampus ini, setiap ruang terisi dengan berbagai visual arts disertai dengan pesan-pesan kunci tentang keberagaman, relasi yang setara antara dosen dan mahasiswa serta mahasiswa dan mahasiswa.

Lingkungan yang tertata begitu apik dan sangat eco-friendly membuat mahasiswa akan betah, setiap sudut area kampus disediakan tempat sepeprti bangku atau apapun yang bisa didayagunakan untuk mahasiswa mulai dari yang serius seperti diskusi sampai ke hal yang santai misalnya nongkrong ngobrol hal-hal ringan. Yang menarik perhatian saya adalah tap water yang juga tersedia di area kampus, dimana setiap orang bisa refill tumbler untuk akses air minum gratis. Ini memang bukan pemandangan ganjil di negara seperti Australia, karena di setiap jalan utama di pusat perbelanjaan, di dekat stasiun dan halte tap water gampang dijumpai. Selain disediakan untuk isi ulang tumbler, juga bisa langsung diminum dari kran yang memang sudah didesain "mancar" ke mulut.


Kami menggunakan kampus Burwood untuk mempelajari tentang pentingnya Wellbeing dan sessi mentoring award project secara bergiliran. Kami yang selesai dalam proses mentoring bisa memanfaatkan waktu untuk "jalan-jalan" di sekitar lingkungan k
ampus sembari menunggu giliran kawan lain. Saya dan beberapa teman menyempatkan melihat-lihat perpustakaan dan mengagumi tataannya ynag begitu "homy", dan tak sedikitpun ruang dan tembok tidak dimanfaatkan untuk memajang berbagi pernik yang unik dan memiliki nilai pengetahuan, dan tentu akan selalu ada tergantung lukisan. Beberapa kawan lain menyempatkan untuk berkunjung dan berbelanja di toko merchandise kampus yang menyediakan berbagai produk seperti tote-bag dengan tulisan Deakin Univrsity dan juga pesan-pesan keberagaman cukup dengan lima dollar saja di tangan.





CONSCIOUS CLOSET
Usai sesi mentoring, peserta berkunjung ke Victoria Women Centre, gedung bersejarah yang dulunya adalah Rumah Sakit, tempat tujuh lembaga yang konsen pada isu perempuan berada, diantaranya Fitted for Work dengan Toko Conscious Closet-nya.


Toko ini menjual berbagai produk dari donatur untuk menggalang dana program mereka. Salah satu program menarik adalah memberikan bantuan pakaian kepada perempuan yang membutuhkan untuk keperluan seperti wawancara kerja dan acara-acara lainnya yang mungkin saja merupakan kesulitan tersendiri bagi perempuan tertentu memilih outfit. Klien hanya perlu membuat perjanjian terlebih dahulu untuk kemudian mendapat layanan penyediaan outfit (mulai dari setelan pakaian, make up, sepatu, tas, parfum, dan lainnya berdasarkan kebutuhan klien) dengan asistensi desainer untuk konsultasi sampai ke tekhnis memilih fashion yang cocok. Tempat ini juga menyediakan layanan training make up untuk klien yang membutuhkan. Mereka bahkan menyediakan assesories sampai kepada shampo dan produk untuk tubuh sehari-hari lainnya yang biasa digunakan perempuan. Peserta berkesempatan untuk berbelanja di toko Conscious Closet (berdonasi) dan juga melihat-lihat ruang "dressing room" klien mereka yang katanya dalam satu hari rata-rata ada janji dengan 8 klien. Di ruangan ini, klien akan diasistensi memilih pakaian apapun yang mereka suka berapapun banyaknya oleh desainer volunteer. Pakaian-pakaian yang diberikan secara cuma-cuma ini terlebih dahulu sudah disortir berdasarkan jenis kain, berdasarkan kegunaan dan juga warna. Untuk donasi barang yang dianggap masih sangat bagus, mereka akan jual di toko sebagai bentuk penggalangan dana, yang mana dana yang terkumpul diperuntukkan bagi operasional organisasi.

Beberapa hal di atas menarik untuk bisa ditiru, misalnya bagaimana pengelolaan air bersih untuk warga dan memastikannya bisa diakses oleh siapa saja dan dimana saja. Jika terlalu sulit membuat tap water di ruang-ruang publik, mungkin kita belajar dulu bagaimana caranya pasokan air dari PDAM ke rumah-rumah warga dan yang dibayar cukup mahal tiap bulannya bersih, lancar, dan tidak asin di saat musim kemarau. Mungkin terlalu jauh mengharapkan bisa langsung diminum dari kran tanpa merebus terlebih dahulu. Toh, khusus untuk warga di Kota Pontianak, sudah sangat tergantung kepada air hujan untuk masak dan cuci buah-sayur, serta kepada air galon yang entah bersih-sehat atau tidak karena tetap tidak ada jaminan.

Rabu, 03 Juli 2019

Mekar Perdana Adenium "Black Jack'

"Katakan dengan bunga!".
Adenium Black Jack
Kata-kata ini sering kita dengar, bahwa bunga mampu mewakili rasa. Lihat saja orang-orang kerap berkirim rangkain bunga pada momen perayaan ulang tahun, hari valentine, pernikahan, persahabatan, ucapan selamat atas kelulusan dan banyak lagi momen bahagia lainnya. Sebaliknya, bunga juga menjadi simbol ungkapan empati dan simpati pada momen yang tidak mengenakan seperti duka-cita. Bunga juga begitu akrab dalam berbagai ritual-ritual adat di banyak komunitas di Indonesia pada prosesi kedua momen di atas. Demikian juga pada ritual-ritual keagamaan tertentu.

 Tahun lalu (2018), aku dan kedua sahabatku merayakan ulang tahun kami bersamaan karena tanggalnya yang berdekatan di bulan Juni. Kami merayakan dengang sederhana bertepatan persis dengan tanggal ultahku, bertempat di rumah sahabatku yang hanya berselang satu hari lebih dulu dari tanggal kelahiranku. Iseng, akupun "memaksa" diberi hadiah ultah salah satu jenis koleksi adenium yang begitu banyak di rumahnya. Dan aku berhasil. Aku mendapatkannya. Pilihanku jatuh pada Black Jack.

Tahun ini, sudah genap setahun Black Jack berada di rumah, dan ia mekar pertama kali dengan dua kuntum di bulan Mei lalu. Jadilah ia sasaran lensa makroku. Akhirnya...aku bisa juga memamerkan dua kuntum itu ke pemberinya, sahabatku yang selalu meminta aku memberi "progress report" pertumbuhan Black Jack. Black Jack ini  adalah jenis kelompok varietas, yakni hasil perkawinan atau persilangan dengan kelompok spesies dari jenis asli. Asalnya dari Bangkok, begitu;ah dijelaskan oleh sahabatku, si pemberinya. Hasil persilangan seperti ini memunculkan bentuk baru yang bisa dilihat dari kelopak bunganya berlapis (ber-layer) seperti mawar, tidak seperti jenis asli yang kelopaknya hanya satu lapis. Pun demikian dengan warnanya yang cenderung bergradasi seperti Black Jack ini dengan gradasi warna ungu dan merah menghasilkan warna mendekati maron dan hitam. Indah bukan?!.

Adenium ini merupakan tanaman hias sukulen (memiliki batang yang menyimpan banyak cadangan air). Di Indonesia, ia juga sering dikenal dengan sebutan kamboja. Menurut Mas Wiki, adenium atau kamboja ini berasal dari Asia Barat dan Afrika, dari daerah gurun pasir yang kering, dari daratan Asia Barat sampai Afrika. Iapun sering dijuluki sebagai mawar gurun/padang pasir (desert rose).


Senin, 24 Juni 2019

Buah "Daun"

Buah D'aun (Foto: Lili D)
Jika anda ditanya tentang gambar di samping, mungkin lebih banyak menjawab tidak tahu. Kecuali jika anda pernah merasakan tinggal di rumah terapung dan tergolong  aktif serta intens beraktifitas di sungai. Aku mengenalinya sebagai Buah Daun. Ya, ini adalah buah berbentuk daun bahkan namanyapun dalam istilah lokal (bahasa ibuku) disebut demikian, Buah D'aun (dibaca dengan penekanan pada bunyi 'd' diawal kata). Pada gambar, Buah Daun sudah dilepas kulitnya. Kulitnyapun berwarna seperti daun, berwarna hijau disaat belum matang, dan berwarna coklat dikala sudah matang. Pada saat berwarna coklat inilah, Buah Daun yang pohonnya tumbuh di pesisir sungai ini biasanya gugur jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus. Biasanya, Buah Daun akan mengapung segerombolan dengan sampah dedaunan, buah-buahan yang tumbuh di pesisir sungai seperti putat dan ntangis serta ranting-ranting kayu.

Buah ini sering dimakan langsung dalam keadaan mentah. Bisa juga diolah dengan dimasak sebagai campuran rebusan ikan sungai.  Setelah matang, air sayur buah daun ini akan berwarna susu. Daging buah berasa sedikit gurih dengan kuah yang akan cenderung sedikit sepat (kelat) sebagai rasa khas dari buah ini.

Saat kecil, di kala air mulai pasang, aku dan kakakku sering berkayuh menyusuri sungai untuk mengumpulkan Buah D'aun. Tidak memerlukan waktu lama untuk membawa pulang cukup banyak buah, toh kami juga bisa menemukannya tersangkut di batang apung penyangga lanting (rumah terapung) tempat kami tinggal (1980-an). Nah, jika anda tahu apa nama latin atau bahasa Indonesia dari buah ini, jangan sungkan untuk  berbagi ya.

Selasa, 18 Juni 2019

Tetepok (Water Snow Flakes, Floating Heart)

Bunga Tetepok
Aku menduga ia teratai kecil, tetapi Si Tukang Kebun menegaskan bukan. "Ini hanya tanaman air liar yang tumbuh begitu saja di situ!." Karenanya, Si Tukang kebun mengambilkan dan memberikan cuma-cuma tanaman itu kepadaku. Aku tertarik dengan bunga kecilnya dan pasti indah jika ia mengapung di permukaan air kolam ikanku.

Dan terjadilah!. Ia berpindah tempat. Jika aku suka melihat daunnya yang serupa teratai dan bunga putih kecil itu, ikanku suka menggrogoti daunnya untuk dimakan. Oalaaah...dikira tumbuhan pakan!!. Banyak daun hijau itu tak berbentuk utuh menyerupai hati lagi karena gigitan ikan. Baiklah, sesungguhnya tidak ada yang benar-benar tak berarti di dunia ini. Tidak ada satupun yang tak terhubung satu dengan yang lainnya.


Karena semua makhluk terhubung satu sama lain, akupun menghubungkan diri dengan mesin pencari Dewa Google. Mencari tahu dengan "kata kunci" ciri-ciri fisik bunga ini kemudian melihat gambar yang sesuai. Belum selesai, aku mendapat notifikasi akun sosmedku terkait postku tentang bunga ini. Belum selesai aku menemukan yang kucari, aku mendapati komentar berisi informasi tentang bunga ini dari satu orang teman di sosmed ini. Aku mencoba memberi verifikasi bagi diriku sendiri (karena tidak boleh percaya pada satu sumber saja khan?!), melakukan konfirmasi balik dengan mesin pencari google, mengumpulkan beberapa informasi lain dan ternyata informasi dari kawan itu benar adanya.  

Bunga Tetepok (Nymphoides Indica). Ia sering juga disebut Water Snow Flakes atau juga disebut Floating Heart. Pada tahun 2011, pada perayaan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN), bunga tetepok pernah dijadikan sebagai puspa Nasional. Ia bisa ditemukan di berbagai belahan dunia seperti Eropa, Amerika dan Asia (salah satunya Indonesia). 

Pertemuanku dengan bunga ini adalah suatu kebetulan di hari Jumat Berkat. Kami sedang merayakan kelulusan si sulung, G, dengan makan siang bareng di resto  yang belum pernah kami kunjungi tapi sering kulihat orang-orang narsis dengan bunga-bunga indah di halaman resto itu (karena gak diendorse, nama resto dan alamat detil tidak disebutkan). Tepatnya di Jalan Arteri Supadio, Kabupaten Kubu Raya. Aku juga berharap bisa membeli bibit bunga di sana. Hasil akhirnya, saya mendapat bibit gratis Tetepok ini (bisa gratis karena alasan di atas, "tidak untuk dijual, dianggap tanaman liar" oleh si tukang kebun), diberi gratis 10 biji bunga matahari (alasan gratis hampir sama, "belum ada bibit atau biji yang layak untuk dijual), membeli dua tangkai bunga sedap malam beserta bibitnya dengan total harga Rp. 30. 000;, diberi gratis satu biji dan satu tanaman Keji Beling (katanya tanaman obat). Lumayan greget dengan ketidaktahuan si tukang kebun sampai akhirnya aku tidak tahan untuk tidak memberi saran sebelum kami beranjak. Saranku adalah agar si tukang kebun harus berusaha mencari tahu nama setiap tanaman yang ia tanam dan rawat di halaman resto itu. Dan, agar tidak lupa, ia mestinya menempel tag nama tanaman sehingga dia tidak banyak menjawab "tidak tahu".

Apapun itu, hasil akhir semakin paripurna dengan agenda silaturahmi kerumah sahabat lama yang sudah belasan tahun tidak bertemu.  Kami mendapat suguhan menu lontong, roti cane dan gulai daging sapi dari isteri sahabat lamaku  itu. Kutunggu Jumat Berkat berikutnya... untuk kutulis

Senin, 20 Mei 2019

Women Power dalam Keberagaman

Saya ingin membagi tentang women power dari momen pre-course Short Term Award (STA) Australia Awards Indonesia 2019. Kami berkumpul di Hotel Double Tree by Hilton, Jakarta sebagai "awardee' setelah lolos melewati tahapan seleksi administrasi (dokumen data personal, curriculum vitae, rencana proyek) dan wawancara. Saya secara pribadi ‘dipaksa’ seorang teman untuk mendaftar melalui organisasi dimana ia bekerja. Dari tiga orang yang di-endorse oleh satu lembaga ini, dewi keberuntungan berpihak kepada saya.

Senior Multi-faith Women Leaders, itulah tema utama STA ini. Ini yang menantang sekaligus sempat membuat saya tidak yakin bisa lolos. Saya belum pernah berada pada  top level Management, sebagai pimpinan. Saya juga cukup lama menjauh dari isu perempuan setelah sebelas tahun banyak berinteraksi dengan perempuan adat selain freelance sebagai fasilitator pada pertemuan dengan isu gender untuk perempuan. Senior?. Ya, kalau umur sepertinya sudah senior tetapi secara pengalaman saya pasti belum seberapa. Belum lagi pikiran saya mulai membangun benteng, diantaranya, membayangkan jika di sana berkumpul para senior leaders, maka saya bukan apa-apa. Akan banyak perempuan hebat yang berlomba bercerita pengalaman dan pengetahuannya, sementara pengalaman saya usang. 

Group Photo pada Hari Terakhir Pre-course, 9/5/'19
Betul saja, saya menjumpai perempuan yang hebat-hebat dari berbagai latar belakang profesi, ilmu dan pendidikan, suku dan tentu agama dan keyakinan (namanya juga multifaith ya...lintas keyakinan). Di hari pertama, saya mulai sok tahu menebak-nebak seperti apa perempuan-perempuan ini. Pas sudah, saya adalah orang yang terakhir berkenalan. Tetapi, mereka ternyata betul-betul hebat, bukan dengan berlomba bercerita tentang “siapa mereka” tetapi satu persatu mereka sangat mengesankan “Down to Earth” dengan segudang pengetahuan dan pengalaman yang bisa jadi bukan Cuma satu folder di file storage otak mereka. Ada yang Prof. S-3, S-2, calon S-2, Sedangkan aku...???. Aku mah apa atuh. Pernah mencoba saja apply untuk S-2, tetapi telat submit aplikasi. Ya, kami sangat beragam bukan hanya dari keyakinan. Kami beragam dari segi usia, pengetahuan, isu yang ditekuni, profesi, dan agama dan keyakinan (Hindu, Budha, Katolik, Protestan, Islam, Konghucu, dan Ahmadiyah). Kami hanya seragam dalam hal kodrati sebagai perempuan. Kami tidak mempersoalkan keberagaman atau perbedaan kami sebagai masalah dan sumber menunjukan kebenaran dan kehebatan kami masing-masing. Iya, tentu saja orang-orang yang mendaftar turut serta dalam Short course ini sudah ‘beres’ untuk tidak mempersoalkan perbedaan tetapi sebaliknya mampu berdamai dan menghadapi perbedaan itu dan memobilisasi kekuatan kami masing-masing untuk secara bersama-sama menyebarkan pesan-pesan perdamaian, kesetaraan, toleransi, pluralisme dan keadilan. Kedengarannya sangat besar dan ideal ya?!. Memang, tetapi bukan tidak mungkin jika lingkupnya kita mulai dari keluarga-menanamkan sedini mungkin nilai-nilai itu, kemudian lingkup kerja/organisasi/komunitas. Dan bagi saya, itulah esensi dan sejatinya seorang pemimpin. Tidak melulu harus berada pada top level Management. Bahkan seorang Office Boy di kantor bisa saja memiliki sikap kepemimpinan melebihi seorang direktur.

Alissa Wahid, Dok. AAI 7/5/'19
Materi-materi yang disampaikan oleh narasumber  bukan saja sebagai pemantik diskusi, tetapi sekaligus mengisi pundi-pundi pengetahuan dan juga menguatkan. Alissa Wahid misalnya, menyampaikan Social Harmony sebagai sebuah cita-cita yang hanya mungkin dicapai dengan melihat keberagaman sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Dahulu, Gus Dur, dengan kerendahan hati dan kesederhanaan mau merangkul semua kalangan. Di masa kini, Social Harmony mendapat tantangan oleh  gerakan transformasi nilai disebabkan oleh eksklusifisme dan pengarusutamaan intoleransi (presentasi Alissa Wahid). Indonesia bisa kembali menjadi model Social harmony di mata dunia dengan keberagamannya, tapi hanya di tangan pemimpin yang berani berdiri paling depan memberdayakan masyarakatnya tanpa melilhat darimana ia berasal. 


Bersaama Lies Markus dan Ayu Dewi Kartika (alumni Short Course sebelumnya), kami  berkesempatan  mengetahui berbagai dinamika yang mungkin akan kami hadapi di Australia nanti terkait dengan kebersamaan selama dua Minggu itu, yang sudah dimulai dari pre-course ini. Iya, sikap toleransi, memahami satu sama lain, saling tolong serta tidak egois adalah beberapa poin yang disampaikan. Bagaimana tidak, kami akan tinggal dalam satu apartemen bernama Dockland. Kami akan bersama-sama setiap hari ke kampus Universitas Deakin (kepayang kalau ada yang suka telat), kami juga akan visit ke beberapa organisasi yang relevan dengan berbagai tema isu proyek kami. Intinya, menjadikan ini sebagai proses belajar bersama yang membutuhkan self-management yang tinggi agar tidak merugikan pihak lain dalam satu tim.

Prof. Shahram Ahbarzadeh dan Anne Marie Ferguson memfasilitasi kami untuk kembali mengingat proses perjalanan kepemimpinan secara pribadi dengan metode mengingat momen yang menjadi “turning poin”. Di sini, terlihat setiap orang memiliki dinamika hidup masing-masing yang menjadi dasar menentukan ia hari ini. Yang namanya dinamika ya jatuh-bangun dalam prosesnya. Di situlah nilai-nilai kepemimpinan lahir, dari bagaimana cara menghadapi situasi pada saat “di bawah” maupun “di atas”. Pada akhirnya, berdasarkana pengalaman-pengalaman pribadi itu, kami mendefinifikan kembali kepemimpinan perempuan, apa yang menjadi ke-khas-annya. Kepemimpinan perempuan merupakan keniscayaan mengikuti ruang dan waktu, ditunjang dengan gerakan feminist yang telah menempatkan perempuan tidak lagi berada pada ruang kosong seiring jaman yang berubah. Gerakan yang tidak menempatkan perempuan mengambil alih posisi untuk harus menjadi di atas sebagai pesaing dari laki-laki apalagi bentuk pembangkangan tetapi menempatkan perempuan dengan segala kekuatan dan kemampuannya untuk memanusiakan diri dan dimanusiakan secara adil dan setara oleh pihak lain baik di ranah publik ataupun domestik.

Prof. Shahram Ahbarzadeh & Anne Marie Ferguson, Dok Iwi 9/5/'19
 Berikut adalah beberapa definisi kepempimpian berdasarkan ekstraksi pengalaman kami:
1.     Perspektif feminist dan bersifat inklusif
2.     Kemampuan menjadi motor penggerak
3.     Kepekaan memahami situasi dan kebutuhan orang-orang yang dipimpin
4.     Tidak egois, mampu membagi peran dan tanggung jawab
5.     Melakukan capacity Building (sendiri ataupun untuk orang lain yang ia pimpin)
6.     Kemampuan berkomunikasi, berinteraksi dan didengar dengan  baik (tanpa banyak bicara)
7.     Kemampuan bicara dan aksi yang selaras
8.     Tidak melulu berorientasi hasil tetapi menghargai proses
9.     Memahami konsep gender dan keadilan gender
10.  Menitik-beratkan pada penyelesaian masalah dalam setiap proses (part of Solutions, not part of problem)

Persoanl Journey Para Awardee ditempel di Wall
Saya Menjelaskan Personal Journey of Leadership, Dok. AAI
Dalam hal kepemimpinan, baik itu kepemimpinan secara formal struktural dalam sebuah organisasi/institusi maupun kepemimpinan yang non-formal sehari-hari, perempuan ternyata masih memiliki banyak sekali hambatan baik dari dalam maupun dari luar yang dipengaruhi berbagai faktor. Hambatan dari dalam salah satunya ketiakpercayaan diri. Ini lebih  pada ketidakmampuan mengorganisir kekuatan/kemampuan diri yang bisa dijawab dengan memberikan ruang seperti (self) capacity Building dan affirmative Action serta apresiasi oleh orang-orang sekitar. Dari pihak luar, sudah saatnya cap negatif (salah satunya, perempuan itu lemah) dan tidak berpihak kepada pemberdayaan perempuan yang melekat erat bak stempel permanen, bersama-sama ditanggalkan. Budaya patriarki adalah salah satu yang mendominasi diskusi kami sebagai hal yang paling berkontribusi melanggengkan cap negatif ini. Saya sering meminjam istilah dari film divergent (ehm, yang pernah nonton filmnya pasti tahu) untuk menggambarkan posisi perempuan dalam struktur patriarki di masyarakat. Kata divergent ini bermakna “aneh” atau keanehan. Namun, jangan buru-buru memberi konotasi negatif. Dalam konteks tulisan ini, saya mengajak memahami keanehan ini merupakan kekuatan yang telah dimobilisasi sebagai energi besar untuk berkontribusi terhadap perubahan ke arah yang lebih baik dengan aktor utama perempuan. Kami memulainya dengan merencanakan proyek yang akan kami kerjakan baik secara bersama-sama maupun indvividu. Selain memperkuat aspek kepemimpinan kami secara pribadi, proyek ini juga harus berkontribusi positif terhadap organisasi yang mengutus kami dan tentunya harus mempromosikan toleransi dan kesetaraan gender.  

Itu sekilas jejak awal dari STA Multifaith Women Leaders. Akan ada tulisan lain tentang ini, tentang bagaimana saya memulai petualangan bersama dengan dua orang peserta naik sky-train, kereta bandara dan commuter line untuk yang pertama kali. Tentunya, coming soon cerita-cerita dari negeri Kangguru nantinya di bulan Juli sampai ke post course di bulan Oktober. Siapa tahu ini menginspirasi pembaca "Tengah Ruai" untuk belajar di Australia, karena selain STA, juga ada Long Term Awards atau beasiswa full untuk program S-2, S-3 dan Phd.

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...