Selasa, 30 Agustus 2016

Bermaknakah Kategorisasi Usia untuk Tontonan?


Setiap ke bioskop, sepuluh sampai lima belas menit sebelum show saya selalu ngedumel tentang orang tua yang membawa anak-anak nonton (dibawah 13th), jelas-jelas kategori "Dewasa" penuh dengan adegan pertarungan, tembak2an, berdarah-darah sampai ke adegan "kissing" (yang lucu, pernah ada adegan begini, si org tua sibuk nutupin mata anaknya, ckckck).  

Ilustrasi: www.kaskus.co.id


Management bioskop tentu hanya memberi himbauan "tontonlah film sesuai dengan kategori usia". Sebatas itu. Tapi ingat, ini adalah industri dan pasar, anak dua tahun saja sudah satu tiket. Satu tiket saja Rp. 40.000;/orang untuk hari senin-jumat, dan Rp. 60.000;/orang untuk Sabtu-Minggu (akhir pekan). Orang tualah yang mesti paham mengapa ada kategorisasi usia penonton untuk film-film yang diproduksi. Pikirkanlah bahwa anak adalah "peniru" yang sangat baik, "fotokopi" yang sangat baik. Toh, ada film anak-anak khan??!!.


 "Dampak negatif lainnya trauma atau phobia juga bisa berawal dari tontonan yang kadang baru muncul dan mengganggu saat mereka dewasa bahkan usia lanjut seperti yang klien saya alami. Efek negatifnya puluhan tahun bahkan sampai dibawa ke liang lahat kalau ngga diberesin tuh program pikiran yang negatif, " demikikian komentar dari seorang Ibu yang sekaligus seorang Hypnotherapyst yang juga beberapa kali diundang dalam program acaraku membahas tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan pola asuh atau parenting. 

 Mengapa ada kategorisasi usia?.  

Kategorisasi usia tidak hanya berlaku untuk tontonan di bioskop tapi berlaku untuk semua jenis tontonan dalam bentuk program tayangan di televisi. Berdasarkan kebijakan pemerintah (berdasarkan PP No. 18/2014)., kategori yang dimaksud adalah penonton semua umur (SU), penonton berusia 13 tahun atau lebih (13+), penonon berusia 17 tahun atau lebih (17+), dan penonton usia 21 tahun atau lebih (21+). Namun, untuk tayangan televisi, biasanya hanya terdiri dari kategori Semua Umur (SU), Remaja (R), Dewasa (D), Bimbingan Orang Tua (BO). Untuk film, dalam prosesnya, penentuan ini setelah produk film melalui Lembaga Sensor Film (LSF) yang juga bekerja berdasarkan kebijakan ini dengan mengacu ke Undang-undang perfilman tenutnya (UU No. 33 Tahun 2009).

Klasifikasi usia yang dilakukan tentulah dimaksudkan agar menjadi perhatian karena ada dampak-dampak buruk yang mungkin terjadi jika tidak dibatasi. Bicara dampak, beberapa hal sudah dikemukan di atas terkait dengan perubahan prilaku ke arah yang destruktif dengan meniru adegan film, bahkan sampai kepada efek jangka panjang di kemudian hari seperti phobia tertentu dan traumatis akan peristiwa tertentu.

 

Selasa, 23 Agustus 2016

Merdekakah Kita?

Beranda Ruai Spesial Kemerdekaan Ri ke-71
Agustus ini, Indonesiaku tercinta berusia 71 tahun. Andai manusia, ia sudah termasuk centenarian (orang yang berusia di atas 100 tahun). Sebagai Warga Negara Indonesia, aku tak pernah berhenti berharap di atas banyak tinta merah di setiap bab buku perjalanan negeriku ini. Harapan itu penting untuk dipelihara dan diwariskan pada tunas-tunas muda. Namun, akankah warisan harapan itu ukurannya jauh lebih besar dari bongkahan kekecewaan mereka atas hutang yang meningkat setiap tahunnya (per Maret 2016 saja, hutang Indonesia sebesar Rp. 3, 271, 82 triliun (sumber:Sindonews)), atas asap tebal hampir setiap tahun yang meliburkan mereka sekolah, yang dalam sejarah diklaim terparah terjadi di tahun 2015. Dan, di tahun ini, bukan tidak mungkin terjadi lagi. Pada Jumat (19/8) pagi saja, satelit Modis dari NASA mendeteksi 158 hotspot di Kalimantan Barat.

Merdekakah Kita?. Iya jika merdeka itu ialah mengibarkan bendera merah-putih dengan tiang yang dicat warna putih. Iya, jika turut serta hiruk pikuk lomba balap karung, bola dangdut, makan kerupuk, catur, gaplek, volly ball, memasukan paku ke dalam botol, menangkap bebek, mengumpulkan dan menggigit koin di atas pepaya, sepeda hias dan jalan santai, mewarnai gambar, bola dangdut, panjat pinang, tepuk/perang bantal dan karaokean. Iya, jika masih ada upacara bendera. Namun, di tengah hiruk pikuk itu, ada rakyat yang takut kelaparan karena tidak boleh membakar ladang (jika membakar ladang akan ditangkap karena dianggap menyebabkan kebakaran hutan dan lahan, melanggar inpres No. 11/2015 dan maklumat bersama Pemerintah Daerah dan Aparat Keamanan untuk di beberapa daerah seperti di Kapuas Hulu). DI sudut lain negeri ini, ada anggota keluarga yang masih basah sembab mata mereka kehilangan keluarganya yang dihukum mati atas pelanggaran hukum atau kejahatan berat narkoba dengan dalih efek jera. Anak-anak dan perempuan kejahatan seksual juga semakin meningkat. Kesemuanya itu berlomba pada level status siaga yang ditetapkan pemerintah. Merdeka itu siaga?. Gampang-gampang susah untuk dijawab.

Baiklah kita terus mengurai harapan, bahwa negeri ini hanya sedang sakit, dan bukannya tidak ada obat atas penyakit itu. Hanya perlu dokter yang handal dengan mental setebal baja. Akan penuh catatan hitam ketimbang putih jika hanya melihatnya hitam-putih, akan banyak yang salah ketimbang yang benar jika meletakkannya pada salah-benar. Akan banyak negatif daripada positif jika hanya berhenti pada simbol + dan - saja. Buang semua dikotomi dan cara pandang kaca mata kuda. Kita merdekakan diri dengan mengamati, menganalisa, dan menjadi bagian dari pencari solusi. Bukan manut dan menyerahkan saja pada pemimpin. "Maki" (baca: kritik-ototkritik) pemimpinmu dengan ketajaman analisa bukan pedang kemarahan. Dengan demikian, kita bisa lega memekikkan merdeka atas diri kita sendiri.


Selasa, 09 Agustus 2016

AADK: Ada Apa Dengan "Kita" #Merawat Kapal Demokrasi


Ada Apa Dengan, bukan dengan Aku, bukan dengan Kamu tapi Kita. AADK?. Kita itu adalah berawal dari diriku dan dirimu, dan sekarang kita bertambah diri mereka melekat pada tunas-tunas yang akan mulai menggantikan pucuk dan dahan tua. Satu dekade, namun kita seakan masih masig bercengkraama dengan fajar pagi tadi, tapi mari kita masih setia bersama hingga senja setiap hari, mencinta hingga tua, renta dan benar-benar mati. Dan, tunas-tunas muda itu akan meneruskan giliran mengejar mimpi, bukan mimpi kita tapi kepunyaan mereka. Biarlah kita tinggal dalam ingatan saja. 



Satu dekade, dan aku ingin menuliskan kembali tentang kita:

Saat itu, Sabtu 27 Mei 2006, kerak bumi bergeser di Yogyakarta yang dikenal dengan gempa Yogya. Tapi itulah hari deklarasi janji kita dihadapan keluarga, sahabat dan yang lain. Hanya berselang dua hari sebelum semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo (yang pada akhirnya juga telah "menenggelamkan" bukan hanya tempat tinggal, tapi harapan dan relasi sosial di Desa-desa karena seluruh anggota keluarga kita di Porong-Siring pun harus berpindah ke tempat lain). 


http://i.huffpost.com/gen/1088266/images/o-GAY-MARRIAGE-facebook.jpg
Sumber: Huffingtonpost.com
Beberapa orang keluarga dan sahabat satu persatu telah "pulang" lebih dahulu. Gedung saksi bisu itupun sudah selesai direnovasi. Akulah yang pertama kali berdiri di panggungnya menjadi MC dalam sebuah acara penggalangan dana sekaligus peresmiannya, dengan membaui aroma cat tembok yang masih membuatku sesak. 

Satu dekade. Suatu hari, kita dalam sebuah pernikahan yang jauh dari konsep pernikahan yang dibayangkan banyak keluarga orang timur. Beberapa hari sebelumnya, kamu berada di belahan dunia lain (di Negeri Paman Sam kalau tidak salah), dan aku berada di belahan lain (di Negeri Rose From the North, Chiang Mai). Tangan kreatif temanku Ewald membuat kartu undangan, kemurahan hati sang Adik Nyai yang bolak-balik ke percetakan memastikan dapat harga murah dan sebelumnya mondar-mandir ikut memetakan bridal termurah di kotaku. Dan, banyak lagi lainnya seperti Kak Maria dan Erny, Yasinta, dan Marten yang sibuk memastikan segala sesuatu cukup menggambarkan adanya sebuah jamuan makan siang sederhana untuk sebuah pernikahan. Trio Laurens, Lilis dan Bang Mumus mengabadikan momen ini dalam video dan foto tapi sebagian besar foto itu entah dimana. Ada masing-masing satu foto dari tiga orang ini yang paling kusuka; pertama, fotoku close-up menoleh menyamping dan tersenyum (dari Lilis), kedua, foto dari Laurens yaitu foto close-up tiga tangan masing-masing satu tanganku, satu tangan lelakiku dan satu tangan Romo Sonny dengan cincin kami masing-masing (bagian memalukan ternyata jari Romo Sonny jauh lebih halus dari jariku, he, he, he...), ketiga, foto long-shot dari Mumus saat melangkah keluar dari gereja, dan lelakiku tertawa lepas. 

Support kawan-kawan dari Kantorku kala itu, juga beberapa kawan dari kantornya dan mitra kerja yg hadir, utamanya yang dari Jakarta menjadi representasi "keluarga" lelakiku kala itu. Dan yang terpenting adalah telepon dari Mbakyuku yang baik Iie Astuti pada hari H-1 menopang langkah yakin pada ikrar itu.
Satu momen tak terlupakan juga ketika Bang Fubertus Ipur sebagai saksi kanonik datang lebih rapi dengan setelan jas licin dibanding calon pengantin. Bang Kanyan Sang Direkturku yang juga saksi Kanonik kala itu sepertinya lebih siap dengan argumentasi-argumentasi hukum ketimbang mengisi form pemeriksaan kanonik dan menjawab pertanyaan Pr. Sony Wengkang. Oh iya, Romo Sony juga sudah "pensiun", tapi saat itulah aku mengetahui ternyata cara pikirnya progresif juga dari anggapanku sebelumnya. Proses pemeriksaan kanonik yang lebih seperti diskusi kecil saja di luar mengisi form dan menjawab pertanyaan baku yang sudah terstandarisasi.

Oh iya, tak boleh terlupakan adalah Pak Thomas Daliman yang tak berhasil kurayu meminjamkan mobil PW nya plus jadi sopir paling keren (takut mogok katanya), pada akhirnya jadi saksi pernikahan bersama omku.Di atas itu semua, terpenting pula adalah restu dua pasangan hebat yang kami sebut orang tua, dua diantaranya kini telah tiada (semoga Mr. Konstansius Kuanay dan Mr. Setio Sutrisno sudah damai bersama-Mu).

Keluarga, rekan, sahabat dan semuanya, "You are all angels for us". Give us your prayers, always. 

Aku jadi rindu Ayah:

" Ayah dengarlah, betapa setulusnya kumencintaimu." Hari itu adalah hari tak terlupakan atas restumu, cintamu, dan kepercayaanmu atas hidupku, pilihanku, dan kemerdekaanku. Kelembutan cinta-kasih yang tersembunyi bertahun-tahun dibalik tembok kokoh hatimu dan hanya mampu kutembus dengan satu kata pembuktian; yang sampai detik ini masih menjadi pekerjaan rumah buatku, tak terselesaikan sampai kau diputuskan "pulang". Aku sadar ini tak akan pernah usai tapi biarlah ini menjadi misteri yang aku jalani dengan bahagia. Hadiah dariku adalah doa untuk keabadianmu dalam kerahiman ilahi."


Aku juga rindu Ayahmu, Mertuaku:
"Kita tak sempat saling memberikan perhatian dari jarak dekat dalam waktu yang lama kecuali melalui telepon dan sesekali kami pulang saat libur lebaran. Serasa singkat perjumpaan itu, tapi aku tahu cintamu tak tersembunyikan saat mengingatkan untuk makan, menyusui, dan menyayangi anak-anak. Terakhir perjumpaan kita, kau memintaku mengambil pil yang terjatuh saat hendak kauminum dan aku baru tahu matamu tak lagi melihat, saat arah jarimu meraihnya jauh dari sodoran tanganku. Aku juga akan selalu mendoakanmu."

Dan, untukmu lelakiku, we've made it this far!!. Right here, in the tenth wide ocean, you, my man is standing still in the same ship I belong. I deserve your body, heart, and mind to drown into not to posses as you're not belong to me. I can only promise you a companion and all things you deserve. A lovely companion to the end of the rainbow I dream of. Where there's no religion and hatred of differences but a beautiful life as colorful as rainbow that appears along the smooth sunlights, the splash of the rain drops, and the flash of lightning. I (still) love you as you likewise. 

"... right beside you is where I belong, from this moment on."

Thank you Lord for sending me a man like him, thank you for always hearing and answering my prayers. Thank you for helping us maintaining love in our heart, mind and body. My prayers go to You My Lord for all spouses of husband and wife all over the world, especially to those people who were supporting us, relatives and colleagues.

Banyak kepingan kisah tentang kita. Namun, dalam sedetik hanya dengan satu jari tanpa disadari kaubisa menghancurkan karya imaginasi yang proses melahirkannya sama seperti mengirimmu pada dua dunia sekaligus, yakni dunia nyata dan imaginasi itu sendiri dipenuhi dengan pilihan dan godaan dalam kontraksi berjam-jam. Aku yang tak peduli merawat kepingan itu seperti menyesalinya saat ini. Menyesali peristiwa yang dalam sekejap telah merampas tak berbekas semua yang tersimpan di meja kerja kantorku dengan lahapan api di pagi menjelang siang Agustus, 9 Agustus 2007 lalu (ini hanya tiga hari sebelum kepergian Ayahku di 13 Agustus, rentetan peristiwa sendu).

Aku akan kembali 'memanggilnya', mungkin ia masih tersimpan dalam kepingan, tak utuh tapi itu cukup. Berharap ia lahir dengan jiwa dan ruh yang sama meski hadir bukan sebagai mahakarya.
Setapak demi setapak dalam guliran masa masih aku, dirimu n kini brsama tiga bintang harapan pemantik smangat mengayuh biduk kecil menggapai 'kapal demokrasi' impian itu yang bukan kau ataupun aku yang tahu di pulau mana ia berada. Tapi kaulah yang menamainya 'Kapal Demokrasi', meski bagiku ia hanya "Biduk Kecil".

*Yang tertunda alias sisa-sisa peringatan satu dekade pernikahan kita, Hantu Blau'ku.


Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...