Kamis, 28 Mei 2015

Ketika Semua Bicara Senja

Photo: Iwi S
ku pernah bilang...

Gagap syukur dan gagal paham itu akan seperti penyakit akut yang bisa disembuhkan dengan membuka mata selebar dunia dan hati seluas samudera. Lalu berpijak pada keberanian menggugat ketidakadilan. Kritis!.

Isi pundi-pundi ilmu untuk pengetahuan yg tak hanya berhenti pada secarik kertas putih dan pena bertinta hitam, hitam-putih.
Atau kelihaian jemari menari menaklukan detak detik waktu


Ketika itu, kau bilang, "Apa!?".

Kaubilang, "Aku hanya peduli sang bayu yang membelai rambutku saat melintasi sungai kapuas, ha, ha, ha."

Baiklah, jangan sekadar desahan. Ijinkan ia menyusup & diam sejenak. Pada dada yg gemuruh melampui ombak sore. Jangan sekadar belaian. Pandu ia berlagu tak tentu irama. Tarikan gemerisik gesekan dedaunan olehnya. Ada kita; kau, aku, sang bayu, dan dedaunan. 

Padahal aku hanya ingin bilang, aku resah kawan. Gundah pada banyak fakta, berita, dan semakin dalam gundah itu ketika senja. Kenapa?. Senja selalu menggiring pada malam saat aku selalu berbisik pada Tuhan setelah sebelas dua belas malam, "Ya Tuhanku, Ya Allahku, Kasihanilah Aku dan Seluruh Makhluk di Muka Bumi Ini." (Istilah Tuhan setelah 11/12 malam hanya karena tidak boleh sama dengan Tuhan Jam Sepuluh Malamnya Ine Febrianti, tapi terinspirasi tidak salah, toh, aku selalu tidur dan bicara dengan-Nya sehabis menonton acara Panji Pragiwagsono, Sebelas-Dua Belas itu).

Apa yang kugundahkan?
Pada setiap kata yang bisa menusuk lebih tajam dari belati di banyak media sosial
Pada berita tentang mati-mematikan, hina-dihinakan, tipu-menipu, KW-kawean
Pada kepulan asap ruang belakang
Pada banyak detak-detik waktu yang terus berputar tanpa henti dan manusi tak begitu, terkadang mesti berhenti sejenak. 

Tapi banyak rupa pencinta senja
Kupancing hanya dengan dua helai foto senja tepian Kapuas di tugu Equator yang tak pernah selesai diperbaiki itu. Dan mereka bersuara...

Sang Novelis, Masri Sareb Putra bilang, "senja, sesekali cahaya kuning keemasan membias sinarnya memendar liar antara permukaan air laut. mungkin, ada yang tertaut lalu tinggal di sana: sekeping hati meski matahari kan tenggelam, meski matahati kan padam untuk terbit lagi."

Seorang aktivis, Abdias Sami bilang, "Senja memberi pesan bahwa semua ada akhirnya."

Sang Peneliti, Chatarina Pancer Istiyani bilang, "Ingin kuprotes ... mengapa senja berlalu begitu cepat. Namun aku gak jadi protes ... justru karena sebentar itulah, rasa ini jadi begitu dalam, dalam pelukannya."

Seorang Jurnalis Senior Budi Miank bilang, "Ah, senja itu kamu. Ya, kamu!."

"Jangan pernah memotong senja. Ia bukan tart yang kau suguhkan di meja berwarna jingga. Senja juga bukan barisan puisi yang bisa kau penggal menjadi bait-bait romantik. Senja itu setia. Ia datang membuka gerbang malam."


Mereka semua pengagum senja!. Karena itu aku pikir, egois sekali Seno Gumira Adjidarma yang membawa sepotong senja untuk pacarnya (Novel Sepotong Senja Untuk Pacarku). Aku bilang saja pada para pengagum senja, "Untukmu...ya untukmu para pengagum senja." Mengapa tak kalian ambil saja sepotong senja untuk kekasih atau mantan kekasih seperti Seno Gumira Adjidharma yg egois." "AKu juga tak perlu gundah.". 

Ah...terserah, bagiku senja itu alarm "pulang", agar tak tenggelam, agar tak mabuk bayangan silluete malam.
Buatku senja selalu menggiring kita untuk ingat jalan pulang. Mari minta para penabuh gendang bekerja dan kita menarikan selamat datang malam!. 

*Untuk Para Pengagum Senja 

 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...