Senin, 03 Agustus 2015

JURNAL DUA MALAM: Menembus Negeri di Atas Awan dan Napak Tilas Dongeng Negeri Buah Kana



Sebuah jurnal perjalananku menembus negeri di atas awan untuk pertama kalinya melewati rute dari Kota Pontianak ke Kota Sintang sejak dibukanya jalur udara. Aku mengawali bulanku, ya bulan Juni adalah bulanku karena ini adalah bulan dari tanggal lahirku. “Juni, kau masih setia saja, ya!”. Tapi, ulang tahunku masih beberapa pekan lagi. Entah, semoga ada lagi hal yang menggugahku mengisi laman tengah ruaiku ini. Kadang merasa bersalah padanya ketika ia mulai sepi bisu dan kaku. Kaku disini bukan hanya tak ada tulisan tapi juga gambar-gambar yang bisaku narasikan. 
Moderating Daniel Banai, M. Afen dan Munaldus Nerang

Kali ini, aku memenuhi undangan tugas yang sering kusebut “doing a hobby instead of job’. I won’t going too far with this statement. Let’s say just “work” to make it more general in intepretation. Lha piye tho...kog jadi speaking English. Ini tanda-tanda bahwa aku sebetulnya lagi bingung mulai darimana. Intinya, ada dua hal yang kuceritakan disini dalam bingkai Jurnal Dua Malam. Pertama, ini adalah cerita tentang reuni dengan teman SMP, SMA dan Kuliah meski ini sebetulnya tidak disengaja, termasuk cerita tentang kesan pertama untuk rute penerbangan Pontianak-Sintang.  Kedua ini adalah cerita part of the work, dimana aku “membantu” menjadi Moderator peluncuran buku novel seorang  penulis yang kebetulan adalah saudara kandung dari teman akrabku ketika kuliah, ya ... komentar umumku tentang Novel Keling Kumang. 

Negeri di Atas Awan dan Reuni Tak Disengaja
Sintang bukan tempat yang asing bagiku. Enam tahun aku menghabiskan waktu di masa-masa pertumbuhan karena memenuhi hakku atas pendidikan di sekolah lanjutan pertama (di SD Pancasetya I) dan menengah (SMAN 1).
Sayangnya, tidak banyak Golden Memoryku di masa-masa itu. Ini hanya sekedar mengambil hak atas pendidikan dan kebutuhanku untuk menimba ilmu pengetahuan, karena enam tahun dijalani hanya dengan rutinitas sekolah-pulang (bekerja membantu urusan rumah tangga dan mengasuh saudara sepupu, anak dari om-tante tempat aku dan saudara-saudaraku yang lain tinggal menumpang). Sementara, diusia segini, mestinya anak seusiaku masih dalam pengawasan dan kontrol orang tua dan tentu penuh dengan kasih sayang orang tua, dijaman sekarang disebut dengan usia ABG. Tapi, kebutuhan akan kasih-sayang, peluk hangat dan perhatian lain dari orang tua pun sudah jauh sebelumnya tak kudapat karena sejak usia 6 tahun saat masuk SD saja, aku sudah berpisah dengan orang tua, tinggal dengan nenek-kakek di pusat desa, untungnya dalam pengasuhan yang begitu membekas penuh dengan kasih-sayang meski ya ...tetap saja beda dengan orang tua. Sudahlah ... ini bisa menjadi sub cerita tersendiri lagi kalau diceritakan. 

Aku akan mencoba runut saja, tanpa menggebu-gebu. Bagaimana ya menggambarkan tentang kekaguman terhadap ciptaan Tuhan. Ya, aku selalu mengagumi berbincang-bincang dengan Gustiku atas bahagianya aku menyaksikan tumpukan-tumpukan mega (awan putih bersih) di langit biru sepanjang perjalanan di udara. Sering aku terbang, tapi tak selalu kutemui mereka yang begitu kontras biru (light blue)-putih bercahaya (bright white) ditambah lagi pelangi kembar yang biasa ku lihat dario bawah, kini terlihat dari atas awan berkilau di satu spot menjelang pendaratan persis di satu area saja.Itu pertanda habis hujan. 

“Wow, pelangi!!!”.
“Bukan satu tapi dua”. "Double MeJiKuHiBiNiU (Merah-Jingga-Kuning-Hijau-Biru-Nila-Ungu)."
"Gusti, apalagi yang kupinta selain bisa melihat indahnya lukisan ini."
"Beri lagi aku langit biru itu, ya."

Tak henti aku berterima kasih pada Gustiku atas keindahan ini. Entahlah, kenapa aku menjadi peragu untuk mengambil kamera EOS 60D ku untuk mengabadikannya, dan akan tercipta syair-syair indah pujian atas-Mu. Tak henti aku bersyukur, karena di pendaratan aku sudah dijemput oleh sahabatku, Neneng. Hampir dua puluh tahun sejak 1996 kami tidak bertemu. Aku memang menelponnya sesaat sebelum berangkat, dan ia menawarkan menjemput di airpot dan memintaku tidak menolak tawaran makan siang di rumahnya. Semua aku iyakan karena memang belum kesampaian bertemu sejak ia menelpon keacara  talk showku yang sedang on-air dimana aku sedang nge-host. Dan, ia menelpon hanya untuk meminta nomorku ke stasiun TV tempat aku bekerja. I was thinking she might be "gone" already, karena dia sering sekali pingsan plus pake kerasukan segala waktu kami masih di SMA dulu. Ternyata kami masih sangat saling mengingat jelas perawakan masing-masing, hingga singkat saja pertemuan setelah hampir dua puluh tahun itu membuat aku tak “tertangkap” oleh Even Organizer acara yang mengundangku yang juga menjemputku (ternyata) ke air port. Tapi, berhubung EO tidak pernah konfirmasi adanya jemputan, singkat saja aku melaju diboncengan Neneng. Kami menuju ke rumahnya. Makan siang sudah siap dan aku menyempatkan untuk berkenalan dengan suami dan dua anaknya, mengagumi rumahnya yang besar berkesan alami karena dikitari pohon-pohon karet. 

Devi, Neneng and Me
Perjumpaan dengan Neneng membuahkan agenda lain untuk bertemu dengan teman kami yang lain, Devi. Kami wara/i mencari alamat Devi yang kami sendiri tidak tahu bahkan tidak ada sedikitpun petunjuk untuk sekedar bertanya kepada orang lain misal tetangganya, kami hanya tahu dia di Alai. Tapi, akhirnya kami dipertemukan juga dengan nge-track ke tempat Devi pernah bekerja (berdasarkan info dari suami Neng). Cerita romansa, ngarol ngidul, aku lebih banyak mendengar karena sebagian besar teman-teman SMA aku lupa nama mereka. 

Reuni ini berlanjut lagi (tanpa sengaja) ketika aku sudah mulai siap dengan agenda, berkah keawalan datang di acara, aku bertemu dengan pemilik katering acara yang ternyata adalah teman SMP-ku, Cori. 

Turun dari mobil, aku menyaksikan perempuan "berbobot' sedang mengatur tataan sajian makan malam di atas meja prasmanan. Aku merasa mengenalnya dan menepuk bahunya.
 
"Hai...", sapaku lembut. 
"Apa kau masih kenal aku?," tanyaku ragu bercampur penasaran.
" Waaaiii, Iwi ... !!!".
Sambil berangkulan denganku ia segera berujar, "tentu saja aku ingat, gimana bisa lupa dengan Iwi, Si Mata Kucing. Mata kucingmu itu lho, masih juga sampai sekarang, gak berubah.". 

Sesi saling bertanya kabar berlanjut dengan cerita tentang hidup dan pekerjaan. Ternyata, kami sama-sama pernah menjadi aktivis dan juga sama-sama terpaksa mendaftar PNS "demi" orang tua. Bedanya, aku mundur setelah dinyatakan lulus dan merasa begitu mencintai kemerdekaanku dan dia memilih menjalani saja keinginan orang tuanya dan mencoba menikmati "kepegawaiannya" dia dengan nyambi usaha katering bersama saudara-saudaranya. Ia bahkan mesti melanjutkan sekolah S2 yang sebetulnya tidak ia sukai demi karir pegawainya, sedang aku, bertahun-tahun bermimpi mau ambil S2 di luar negeri belum kesampaian dengan bermacam alasan. Itulah hidup.
Cori and Me

Belum lepas bernostalgia dengan teman di SMP dan SMA, dan sembari menunggu acara, aku mendapat SMS dari Bang Masri Sareb, sang Penulis buku Keling Kumang yang sebentar lagi akan di launching dan dibedah, dan aku akan menjadi moderator di bedah bukunya. 

SMS diterima ...
"Iwi, Fidel and our dad are otw from Sanggau to Sintang now."
"Really?!, tanyaku menegaskan. 
"Yup." Jawab Bang Masri. 
"Sounds good to me after been long."

Ya .... Fidel memang datang setelah acaraku sedang running, aku bisa menyaksikan dari panggung tempat aku sudah bertugas menjadi moderator bedah buku yang menghadirkan tiga orang pembahas. Mereka ini adalah Munaldus Nerang (Boards dan Founder CU Keling Kumang), Daniel Banai (Narasumber Utama buku Keling Kuman), dan M. Afen (Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Sintang). 

Fidel and Me
Aku dan Fidel juga bercerita tentan kehidupan dan pekerjaan masing-masing. Tidak banyak karena perbincangan ini mesti diselingi dengan foto-foto bareng, say good bye dan juga basa-basi karena sudah penghujung seluruh rangkaian acara launching dan bedah buku. I'm so proud of him for he is now being the real teacher as what exactly we have to be, while I'm not. Fidel is a headmaster at school now. 


 



Keling Kumang, The Historical Work of My Young Age
Ini hanya sekedar komentar umumku terhadap novel Keling Kumang. Bagiku pribadi, hadirnya novel yang diklaim oleh sang penulis, Masri sebagai sebuah novel berlatar sejarah menjadi sedikit ruang untuk napak-tilas ke masa dimana aku masih mendengarkannya sebagai sebuah cerita lisan pengantar tidur atau ritual bercengkrama dengan almarhum kakek yang ketika itu begitu kukagumi bagaimana begitu detilnya alur cerita lengkap dengan mantra-mantra pujian (syair dalam bahasa Iban 'dalam' yang aku sendiri tidak paham hanya memahami beberapa konteks seperti pujian terhadap manusia dan alam serta kidung perasaan sedih-bahagia yang menggambarkan dinamika kehidupan di sebuah negeri "Buah Kana" atau yang umum dikenal sebagai kayangan. Keling dan Kumang adalah dua tokoh sentral dalam cerita ini. 
With Hetty and Angel, Staffs of KK, Photo: Hetty

Novel ini juga sudah mengisi kerinduanku pada sosok seorang kakek sang pendongeng. Aku bahkan tidak pernah sekalipun mendengar Ayah-Ibuku berdongeng untukku, apalahi tentang Keling Kumang karena mereka merasa tidak punya kemampuan untuk melakukan itu sepeti kakekku. Itu yang kusebut sebagai napak-tilas, seolah-olah almarhum kakek kembali hadir. Aku senang sudah memiliki satu referensi dalam bentuk novel untuk mengingat kembali momen bersama kakek dan juga inti cerita Keling Kumang, meski itu semua dalam ruang dan waktu yang jauh berbeda. Ya, di jaman digital, kultur bercerita lisan seperti yang dilakukan orang tua dahulu mesti mulai bergeser-meluas-bertransformasi (aku tidak ingin mengatakan berubah) dalam hal tekhnik. Visualisasi dalam bentuk novel atau mendokumentasikan "folklore" atau cerita rakyat yang seringnya dituturkan lisan. Dengan menuliskan tentu akan memperkaya pengetahuan banyak orang tentang cerita itu sendiri, baik tentang alurnya, nilai-nilai (moral), pesan serta relasi (atau jika ada, kaitan bahkan keterikatan) dari cerita itu sendiri dengan masa sekarang. Persis seperti ketika saat ini orang Indonesia sedang menggilai film Mahadewa, Mahabrata dan Khrisna dalam berbagai kemasan ceritanya tanpa menghilangkan inti dari cerita itu sendiri serta tokoh-tokoh sentralnya. Cerita Mahadewa contohnya, sebetulnya hanyalah cikal-bakal lahirnya kitab Wreda umat Hindu tetapi ia menjadi sangat universal dalam hal penikmat karena mengangkat soal budaya lampau dan juga mengajarkan nilai-nilai pengorbanan serta keikhlasan. 

Secara substansi, aku belum meluangkan waktu membaca detil Novel Keling Kumang. Toh, buku itu kemudian kujadikan hadiah untuk kakakku. Akan tetapi, ada beberapa poin penting bagiku dari novel itu sendiri secara spesifik dan cerita Keling Kumang sebagai sebuah cerita lisan popular di kalangan Dayak Iban secara umum. 

With Cori, Angel and Masri, Photo: Masri
Novel Keling-Kumang memang tidak (akan) mampu menyajikan utuh sebuah cerita lisan popular Dayak Iban yang memiliki berbagai macam versi berdasarkan penuturnya. Namun, tokoh-tokoh sentral, termasuk tokoh lain disamping Keling dan Kumangpun membutuhkan eksplorasi lebih jauh dan mendalam. Salah satu pembahas sekaligus narasumber utama, Daniel Banai, misalnya mengingatkan Sepunti sebagai salah satu tokoh sentral yang selalu ada bersama Kumang atau asisten Kumang, sebagai tokoh perempuan yang begitu kuat dan setia. Demikian juga dengan tokoh yang disebut sebagai Inai Bujang. Sepertinya, timeline menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi penulis. Terlihat dengan hanya ada satu narasumber utama, padahal ada banyak orang tua yang juga memahami betul cerita ini. Tentu akan menjadi lebih kompleks jika mencari lebih dari satu narasumber tetapi sebetulnya dengan mengambil lebih banyak narasumber, novel ini akan lebih kaya melalui proses sinkronisasi dan lebih mampu menggambarkan dinamika yang dihadapi masing-masing tokoh sentral. Tapi, baru-baru ini aku mendengar bahwa novel ini akan dibuat trilogi dan juga sebuah miniseri TV. Semoga proses menuju pencapaian berikutnya ini bisa lebih menggambarkan beberapa hal yang kusampaikan di atas. 

Novel Keling-kumang dan cerita Keling-Kumang mengingatkan kita akan adanya keterikatan masa lampau dan masa sekarang diantaranya nilai-nilai kultural dan filosofis. Sebagai contoh, CU (Credit Union) Keling-Kumang yang menjadikannnya cikal-bakal dalam sejarah  yang tidak hanya terpusat pada aspek keuangan saja tetapi juga pada aspek sosial (di sektor pendidikan dengan adanya SMK Keling-Kumang yang baru berdiri tahun 2015). Hal ini disampaikan oleh Munaldus Nerang, Pendiri dan Pengurus Keling-Kumang pada saat peluncuran Novel Keling-Kumang di Aula CU Keling-Kumang Juni lalu. 

Penulisan cerita Keling-Kumang ke dalam Novel menunjukan bahwa tradisi lisan (budaya bertutur) sudah mulai bergeser menjadi budaya menuliskan atau mendokumentasikan. Ini diakui oleh seorang pembahas, pak M. Afen, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sintang (diungkapkan pada acara peluncuran buku). Menurut saya, "pergeseran" ini sebaiknya dilihat sebagai perkembangan dalam proses transformasi dan transfer pengetahuan dengan tesis sederhana bahwa budaya membaca sudah semakin membaik dan masyarakat bahkan di kampung-kampung sudah melek media (media literacy). 

Dan, aku ingin menutup tulisan ini dengan kutipan yang kukutip dalam penutupan sesi peluncuran dan bedah buku Novel Keling-Kumang. Kutipan dari seorang maestro sastra, tapol Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer, yang sudah seperti menjadi keharusan buatku. 
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian". 


*** 

FYI: ini adalah tulisan yang sudah tersimpan lama sekali sebagai draft sejak bulan Juni, dan baru statusnya "finish" dalam hitungan bulan.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...