Selasa, 27 Maret 2012

Ketika A Sakit di Rumah, RS bukan Opsi Utama


Merawat Baby A dengan Cemas
Baby A saat berumur 5 bulan
Dalam dua hari ini, aku menikmati hari dengan lebih santai meski Pontianak terasa semakin panas. Karuan saja, karena sudah lama sekali tidak kubaui bumi basah oleh air hujan. Rasanya sudah cukup lama terik matahari menantangku sendirian tanpa disertai awan hitam yang mengundang hujan. Dalam situasi cuaca panas eksrtim seperti ini, menjadi kesenangan tersendiri bagi para warga yang malas membuang sampah, memuluskan kebiasaan mereka membakar sampah yang kemudian tidak saja menyebarkan asap kemana-mana tetapi bau menyengat dari sampah bakaran seperti karet. Kontra denganku, selain tidak ada kebiasaan membakar sampah (dengan banyak alasan mulai dari yang kukemukan soal asap dan bau atau polusi udara sampai pada ikutannya seperti pelepasan CO2), aku selalu langganan radang tenggorokan sampai ISPA setiap kali musim panas dan tradisi bakar-bakar dilakukan. Anak-anakku, terutama G selalu langganan batuk, P akan meler terus karena pilek dan badannya sampai ke bibirnya akan muncul bercak merah, ruam karena alergi.

Intinya, jangankan anak-anak, orang dewasa sepertiku perlu ekstra menjaga stamina tubuh dalam kondisi cuaca seperti sekarang. Hal terburuk yang kuhadapi dalam seminggu terakhir ini adalah sakitnya si baby boy, A. Tanda-tanda itu sudah muncul seminggu sebelumnya, buang anginnya bau sekali begitu juga pupnya. Ia juga jarang menghabiskan makanannya, terkadang muntah setelah makan sampai-sampai terakhir ia memang kelihatan ogah makan. Ini pertanda buruk karena pada dasarnya ia anak yang senang makan. Puncaknya adalah hari Senin lalu, 19 Maret 2012, aku harus melakukan doctor’s visit, karena dari malam hari ia mulai muntah-muntah dan gelisah tidur, sepertinya karena mules-mules perutnya karena kembung. Dan, kondisi ini terus berlanjut sampai seharian meskipun ia sudah kuberi obat, bahkan tambah parah disertai panas tinggi dan mencret, dan terus menerus muntah yang membuatnya semakin lemah. Lebih dari 24 jam kondisinya tidak semakin membaik, aku memutuskan untuk kembali ke Dokter membawa kekhawatiranku kalau-kalau ini gejala atau mungkin sudah Demam Berdarah (DB). Kami pulang mengantongi antibiotik, obat diare dan turun panas plus surat pengantar untuk test darah ke Lab. Cesilia di Jl. Diponegoro karena Dokter punya kekhawatiran yang sama denganku kalau-kalau itu DB melihat A muntah terus-menerus padahal sudah lebih dari 24 jam minum anti muntah, panas badannya pun tidak turun-turun. Untuk tidak mengatakan tidak ada perubahan sama sekali, setelah kunjungan kedua ini, A selalu terlihat seolah sudah membaik di pagi hari, namun di siang sampai malam hari kondisinya kembali melemah dengan intensitas pupping dan muntah yang semakin sering dengan interval yang semakin dekat (tidak sampai hitungan jam). Ini berlangsung selama dua hari, dan sudah hitungan hari kelima masa sakit A. Keadaan ini membuatku stress dan frustrasi, kadang muncul penyesalan kenapa aku tidak memeriksakan saja dia ke lab untuk memastikan dimana masalahnya sehingga treatment pun tepat. Namun, aku sepakat dengan kata hubby-ku via SMS, kalau itu juga tidak menjamin apa-apa, yang penting memastikan ia tetap mendapat supply makanan dan air sehingga tidak kekurangan cairan. Dan, terakhir hubbyku mengingatkanku unutk memakai ‘feeling’ keibuanku apakah memang perlu untuk ke RS atau tidak. Akupun terbersit untuk pergi saja ke RS, namun kepalaku sudah begitu apriori dengan perawatan rumah sakit yang sering tidak ramah. Tidak tega meliht anakku mesti di-infus dan sedihnya akan menyaksikan dia tidak bebas bergerak karena jarum infus dan akupun akan tidak bebas memenuhi kemauan anaku, misalnya memberinya ASI dan berusaha memenuhi apa saja yang diinginkannya termasuk membiarkannya berguling-guling sesuka hati mencari posisi yang lebih comfort seperti yang ia lakukan di ruang depan TV (yang memaksa kami harus tidur di depan TV sementara, karena A tidak suka di kamar tidur). Aku mengabaikan saja saran beberapa orang (teman dan adik-adikku) untuk mengajak A ke RS karena semakin melemah dengan kondisi aku masih bisa mencekokinya dengan makanan dan air. Ya, ia memang tidak kehilangan selera makan (mungkin karena sangat lapar juga), namun perutnya selalu menolak dan memuntahkan semua yang masuk. Opsi terakhir, aku memutuskan untuk membuatkan rice juice dicampur susu segar dua sendok. Opsi ini berhasil berlangsung selama 2 hari. Hari pertama, rice juice masih dimuntahkan setelah sempat mengendap 45 menit sampai 1 jam di perut. Namun, di hari kedua, aku sudah menambahkan beras hitam dan susu segar dengan selang-seling menyuapinya yoghurt rasa blueberry. Untungnya, A tidak pernah menolak air putih, bahkan terkadang ia marah-marah jika diberi sedikit. Treatment ini sukses membuat A kelihatan lebih segar, ia mulai bermain dan duduk lama serta teriak-teriak, teriakan yang sudah beberapa hari hilang berganti rengekan, bahkan terakhir rengekan itu menjadi tidak begitu nyaring cenderung terdengar menahan sakit yang sedemikian rupa, dan sedikit sengau.

Hari berikutnya, kondisi A berangsur semakin membaik, panasnya sudah turun, pupnya berkurang namun masih muntah dengan interval yang cukup panjang,  4 kali yang berlangsung selama satu hari.  Namun, aku sudah bisa tersenyum karena aku yakin, masa-masa mengkhawatirkan itu sebentar lagi lewat, memang aku masih was-was dan extra attempts (melakukan apa saja yang membuatnya kelihatan nayaman dan memastikan makan dan minum tidak dimuntahkan dengan menyuapi sedikit demi sedikit), serta keep on massaging him – ya rutinitas baru selama dia sakit, satu-satunya yang menenangkan dia sampai tertidur adalah memijatnya dari punggung sampai ke kaki (mempraktek sedikit gerakan shiatsu yang pernah kupelajari) dengan posisinya telungkup. Ini bisa kulakukan sepanjang malam sampai ia benar-benar tidur. Terkadang, aku yang ketiduran.

selama tiga malam berturut-turut, kami sudah seperti pengungsi di rumah sendiri. Menggelar kasur tipis di depan TV, tetap ia lebih banyak memilih di atas ubin dan tikar, dan kubiarkan itu, yang penting dia tidur. Dan setelah tidur aku akan menggotongnya ke kasur kembali, untuk kemudian jika dia beranjak lagi, hal paling buruk yang aku lakukan adalah mengalasi perutnya dengan kain.

Merawat anak yang sakit memang menguras pikiran, perasaan dan tenaga ekstra. Apalagi anak seumuran A (sebelas bulan), yang belum bisa bicara dan menyampaikan keinginannya. Rasanya, aku sudah sangat extra protection terhadap anak-anak, dengan menjaga makan mereka dan menjaga kebersihan alat-alat makan mereka. Namun dengan baby A, satu yang terkadang kecolongan, dia terkadang berhasil meminum air mandinya, dugaanku itulah yang membuatnya terserang virus atau bakteri yang pada akhirnya berhasil ia kalahkan dalam waktu cukup lama, 6 hari.  Ini kali pertama aku harus merawat anak-anak dalam waktu lama, biasanya kalau mereka sakit, paling lama tiga hari. Tentu saja berat, bukan hanya karena hampir selalu ketika hubby-ku tidak ada di rumah, tetapi karena aku juga harus ‘menjaga’ kedua kakaknya agar tidak tertular. 


Mengapa Rumah Sakit BUkan Opsi Utama

Biaya bukan satu-satunya yang menjadi keengganan untuk menjadikan RS sebagai opsi. Memang, pergi ke RS harus memiliki modal, setidaknya jika ingin dirawat, harus memberikan deposit  (saya tidak ingat persis, tapi 5 tahun lalu, di suatu RS Swasta memberikan batas minimal 5 ratus ribu deposit). Bagiku, yang paling utama adalah, aku masih menganggap RS membuat bertambah sakit, bukan sembuh (konteksnya rawat inap). Mungkin juga aku masih trauma terkait dengan pelayanan yang tidak memanusiakan (ingat postinganku Edisi Ultah G). Dan, yang terpenting, aku tidak bisa terlihat tidak berdaya dengan hanya menungguinya saja di bed, paling-paling memanggil perawat jika terjadi sesuatu. Di RS aku tidak bisa bebas membuatkan rice juice (tidak  mungkin membawa blender ke RS) dan menyediakan air putih hangat (RS tidak menyediakan fasilitas seperti itu, kalaupun ada harus beli dengan menyediakan termos pun tidak terjamin kebersihannya). Di rumah, aku bisa melakukan apa saja, bukan saja untuk A tetapi untuk kedua kakaknya yang juga harus kujaga ekstra (meskipun ini bisa diatasi dengan menitipkan mereka di rumah tantenya, yang juga pasti akan merawat mereka dengan baik). Yang pasti, aku sebisanya tidak memisahkan ketiga anakku dan sebisanya aku akan merawat mereka.


Kreatifitas Ibu diperlukan Saat Anak Sakit
Panik adalah satu kata yang kuhindari ketika menghadapi anak yang sakit. Potensi itu ada karena aku banyak merawat anak-anakku sendiri, seringnya mereka sakit ketika hubby tidak di rumah. Rasanya memang akan beda ketika bisa bersama-sama merawat anak sakit. Tapi, hubby selalu memberi support dari jauh termasuk mengingatkan agar tidak panik dan mengingat untuk menjaga kesehatanku juga. Dengan tidak panik, ada banyak hal atau langkah yang bisa diambil oleh Ibu apalagi ketika RS bukan menjadi opsi pertama. Ketika A sakit, aku bukan saja seperti Ibunya tetapi aku menjadi 'perawat dadakan - urgent nurse'. Setiap saat mengobservasi suhu badannya, menghitung muntah dan pup-nya, sesekali bertanya pada tuan Google (ketika ia tidur), memastikan asupan makanan yang memadai dan tetap bisa diterima oleh ususnya sampai memijatnya (ini yang tidak mungkin dilakukan oleh perawat RS) dan menyusuinya (sebelumnya, aku memastikan untuk feed myself susu dan makan lebih banyak, karena kuantitas ASI-ku tidak begitu banyak lagi). 

Dalam stress dan frustrasi (karena keadaannya tidak semakin membaik, dan memuntahkan semua makanan), aku mencoba berkreasi dengan memblender buburnya ditambah garam dan gula serta 2 sdm susu Ultra Cair Putih. Terakhir hubby ku menyarankan susu bear brand (katanya ini baik buat pencernaanya). Ini keputusan berisiko tentunya karena susu cair (pasteurisasi kemasan) seperti ini tidak direkomendasikan bagi anak di bawah 1 tahun. Namun, aku memang mengandalkan feelingku bahwa tidak akan terjadi apa-apa karena aku masih memberi ASI. Persoalannya, ASI sudah tidak cukup lagi memenuhi kebutuhan A, dia sering nangis karena ASI-ku tidak memadai. Jadilah susu pasteurisasi kemasan ini sebagai pilihan dengan memberikannya sedikit saja dan menjaid campuran makanan (tidak langsung). 

Karena A terus menerus muntah dan mencret (muntaber), aku juga selalu menyediakan berbagai opsi air sebegai pengganti cairan mulai dari air putih hangat (yang ia sangat suka), air teh manis hangat (kadang air teh manis-asin hangat - yang ia sangat tidak suka), sampai pada air putih manis-asin hangat (ala cairan oralit) dan susu (baik ASI-ku yang seadanya sampai susu pasteurisasi kemasan Bear Brand dan Ultra Milk Putih). Oh ya, termasuk air rebusan daun jambu merah (A sangat tidak suka, jadilah aku yg memminumnya dengan harapan, setidaknya bisa diserap melalui ASI-ku. 

Untuk perut kembungnya yang tidak surut-surut, aku selalu mengandalkan daun mengkudu disamping rumah. Hanya mengambil beberapa helai, dipanggang di atas api beberapa saat kemudian ditapalkan ke perutnya. Lainnya, aku juga mencoba menggunakan saran seorang Bapak penjual roti yang kami temui ketika pulang dari praktek Dokter, dua helai daun sirih dan satu siung bawang merah tunggal, dikunyah kemudian dibalur dan ditapalkan ke perut. Aku juga rutin membalurkan bawang merah yang diuleg dicampur dengan minyak goreng dan minyak kayu putih ke badannya, kemudian memijit seluruh tubuhnya. Terkadang, aku mencampurkan bawang merah, garam, dan daun sirih ke air mandi A. Wah, Banyaknya, aku mainkan instingku saja, karena tak ada waktu untuk bertanya dan apalagi harus loading internet untuk menanyai Mr. Google. Aku melakukan apa saja yang kupikir mungkin baik. Ini semua sangat membanntu, A terus menerus buang angin, dan menyurutkan perut kembungnya sehingga dia tidak lagi gelisah tidur. Memang perlu kesabaran karena proses seperti ini terkesan lambat tapi efektif dan alami, tidak secepat ketika minum obat efeknya, tetapi obat selalu punya kontra indikasi atau efek samping.

Jumat, 16 Maret 2012

Ultra Kanan???

lagi hit kata2 TOLAK sekarang. Saya menolak KEKERASAN dalam bentuk apapun dan oleh siapapun atas nama etnis, agama, dan kelompok manapun. Saya juga menolak berteman dengan FBkers yang suka posting status RASIS karena saya cinta damai. Mari ciptakan Kalbar yang damai dengan cerdas tanpa mau diprovokasi. PEACE ...
(Status FB-ku, Kamis 15 Maret 2012)
Sudah lama skali aku tidak menjawab pertanyaan "Whta's on your mind?" di dinding FB-ku. "Mau tau aja yang kupikirkan", Paling acungan jempol dan komentar yang kalau diladeni bisa saja 24 jam sehari tidak cukup. Terkadang memang hanya sekedar ada comment, terkadang ada  juga yang serius (banget). Kali ini aku tergoda memasang status karena aku sedang khawatir dengan kondisi akhir-akhir ini di Pontianak, dan puncaknya tiga hari terakhir ini dimana terjadi aksi bentrok antara massa FPI dan warga Dayak. Postingan di wall FB kebanyakan teman juga rada rasis, provokatif dan menambah masalah. Muncullah postinganku di atas. 
Ya, memang FB tidak bisa menjadi indikator tetapi dalam beberapa peristiwa penting (celakanya) aku tahu dari FB, mulai dari postingan link berita dari kawan, status panjang ataupun pendek sampai pada tag foto-foto. Setidaknya, ada 3 peristiwa penting dan menggemparkan rasa etnisitas, atau ke-Dayakan, pertama adalah ketika protes warga Dayak atas statement Pak Thamrin Amal Tomagola terkait kesaksiannya sebagai sasksi ahli di persidangan kasus Ariel (Peter Pan). Pembeberan fakta penelitian beliau (tak perlu kusampaikan di sini) memicu kemarahan orang Dayak, meskipun itu adalah temuan penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya serta kreatifitas intelektual seorang Profesor Sosiologi. Kedua adalah penolakan warga Dayak Kalteng atas FPI di Kalteng yang mengakibatkan gagal mendaratnya pesawat yang ditumpangi oleh beberapa pengurus FPI di airport Tjilik Riwut, kemudian harus kembali ke Jakarta. Aksi ini memicu aksi-aksi lain di berbagai tempat dengan tema sama, penolakan FPI mulai dari Jakarta sampai daerah (tetapi tidak di Pontianak). Ketiga adalah peristiwa dalam 3 hari terakhir ini yang sebetulnya sudah terlihat potensi manifestnya dari Minggu lalu, ketika aku membaca tautan berita seorang teman FB terkait pertemuan Ketua Dewan Adat Dayak Kalbar, degan FPI (tidak perlu juga kujelaskan di sini apa yang dibahsa dalam pertemuan itu). Ini menimbulkan protes kalangan tertentu, merasa DAD mengkhianati Dayak dengan bersekutu dengan FPI yang kerap anarkis dan memilih jalan kekerasan dalam penyelesaian persoalan (meskipun tindakan seperti ini tidak hanya dilakukan FPI, masih banyak kelompok funudamentalis lainnya atas nama etnis yang kerap berlaku sama, memilih jalan kekerasan). 
Sore tadi mestinya kami pergi ke rumah Om di Sungai Raya untuk acara keluarga, tapi urung karena hubbyku terjebak aksi karena ada pemblokiran jalan menuju rumah. Jalan air menggunakan Ferry itulah yang dipilih tetapi harus terjebak lagi oleh antrian panjang lonjakan penumpang ferry. Sudah sangat sore bari my hubby tidab di rumah. Sopir mobil yang harusnya kami tumpangi ke rumah ompun tidak bisa menembus blokiran dan juga tidak berani karena ia seorang Tiong Hoa, salah satu kelompok etnis yang juga pernah bentrok denggan FPI saat perayaan imlek 2 tahun lalu. Aku sendiri tidak yakin kami bisa menembus blokiran jalan dan bisa pulang kembali ke rumah dengan lancar jika niat pergi ke rumah om diteruskan. betul saja, karena situasi ternyata semakin memanas, meskipun diberitakan telah terjadi pertemuan antara wakil kedua belah pihak pada Rabu Malam, 14 Maret 2012. Unggahan video youtube terakhir dari seorang teman menunjukan situasi memanas sementara waktu jam 22.10 (kamis, 15 Maret 2012), membuat Polisi meluncurkan peluru panas ke langit sebagai peringatan. Beberapa info lain menjelaskan masih ada konsentrasi massa setidaknya di  2 tempat, Jalan Veteran dan Tanjung Raya (sebelumnya konsentrasi di Jalan A. Yani, Veteran, dan juga Soetoyo - Rumah Panjang). 
Aku teringat beberapa waktu lalu ketika aksi di kalteng, aku belajar tentang kelompok ultra-kanan. Menurut my hubby, inilah yang disebut dengan kebangkitan ultra-kanan. Bangkitnya kaum fundamentalis-radikal, unjuk kekuatan mengatasnamakan kepentingan - kemaslatan yang tidak jelas. Hari ini aku kembali mencari tautan terkait sampai aku menemukan berita di Republikaonline tentang ultra-kanan ini. Aku tertarik untuk meng-share-nya di FBku, untuk meningatkan kebanyakan orang yang menurutku memang sedang mengikut perasaan, tidak lagi berpikir cerdas dan logis melihat situasi, cenderung provokatif. Setidaknya, dalam situasi yang memanas seperti ini, sedikit orang bisa berpikir tidak sekedar hitam-putih saja. Kembali ke tautan itu, aku mengambil statemen Matthew Collins, seorang aktivis anti fasis Inggris, Mantan Relawan Neo-Nazi dan pernah berada di inti lingkaran grup ultra-kanan di Inggris: "Itu benar-benar kebencian murni. Saya mulai melihat itu sebagai upaya menghancurkan hidup orang lain. Kekerasan hanya satu-satunya cara yang mereka gunakan untuk perubahan," (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/08/10/lpp8nh)
Menurutku, statement ini cocok menggambarkan situasi saat ini. Ini yang disebut dengan istilah my hubby, "kebangkitan ultra-kanan". Aku masih saja mencoba untuk beranalogi dengan orang-orang sepertiku yang hanya bisa ngomong 'damai' via status FB, kemudian mendapat dukungan dari para jempolers dan komentators. Analogi yang disertai daras syukur pada Tuhanku, ternyata masih ada sedikit orang berpikir sama (jikalau lah mereka jujur), membawa visi dan misi 'perdamaian'. HIngga, tak terbendung jua, aku menuliskan dikomentarku untuk para jempolers dan komentators, seperti ini:
"Terima Kasih Tuhan, setidaknya Kalbar masih punya 17 (bahkan 20) orang jempolers dan komentator yg saya anggap memiliki visi sama 'cinta damai', dan saya percaya lebih banyak lagi orang2 di antara saya dan mereka-mereka ini, hanya saja bagai sebutir jarum diantara tumpukan jerami kering, sulit terlihat bahkan tersentuh, di kelilingi oleh kobaran api di sekelilingnya...".
 

Minggu, 11 Maret 2012

Edisi Ultah G yang kelima

Permintaan Sederhana G

G's 1st day to PG (2 th 5 bln)
Dua minggu lalu, tepatnya tanggal 26 february 2012, G berultah yang ke-5. Aku dan hubby memang sudah sepakat untuk akan terus 'mengingat' hari istimewa anak2, termasuk ada bersama mereka (tidak mengagendakan kegiatan jauh dari rumah). Mensyukurinya itu kata yang lebih tepat. Bukan hanya sekedar ultah G, tetapi mengingatkanku pula akan begitu mahadahsyat proses menghadirkan generasi baru yang disebut manusia ke muka bumi ini, Ya, proses penciptaan yang begitu kompleks bagi akal manusiawi. Aku mengingat selalu momen-momen menegangkan sekaligus mengembirakan, menambahkan deretan baris ucap syukurku atas berkat dari Tuhanku.
Ini tentang hari ultah G, jadi aku tidak akan kembali ke 'momenku'  yang telah lewat itu untuk saat ini. Seperti kebanyakan anak2, G sudah jauh2 hari, tepatnya ketika adiknya P berultah ke-3 atau 5 bulan sebelum hari ultahnya dia selalu menanyakan kapan ultahnya dan meminta dibelikan kue ultah, termasuk mengundang kawan2nya ke rumah. seperti yang telah kusampaikan di atas, kami memang tidak pernah melewatkan momen spesial setidaknya ultah hari lahir dan ultah pernikahan. Tentu saja bukan pesta besar, tapi hanya lilin yang menyala dan kue serta makan yang spesial menurut ukuran kami dengan mengundang hanya saudara dan teman dekat yang jumlahnya tidak akan lebih dari 30 orang. Kami lebih memanfaatkan momen ini untuk berbagi dan mendapatkan do'a dari sedikit banyak orang, bukan untuk kepentingan tertentu yang menyangkut hal-hal yang mungkin saja memperlihatkan prestise di kalangan tertentu. Itu hanya pemborosan belaka yang tidak ada gunanya selain berfoya-foya untuk dilihat banyak orang dan kadang dijadikan gaya hidup.
Rasanya, kalaupun kami orang kaya, tidak bijak juga membiasakan anak-anak untuk melakukan hal-hal yang mubazir. Aku percaya, bahwa makhluk-makhluk kecil yang masih polos sebantaran G dan P tidak ‘pandai’ menuntut banyak. Bagaimana bisa ada anak-anak dari kalangan tertentu tidak mau makan kalau tidak pergi ke resto berlabel internasional, atau merayakan ultah disalah satu restoran yang franchise-nya bisa ditemui hampir di seluruh kota besar, dan juga bisa-bisanya anak-anak minta hadiah yang mahal-mahal?. Menurutku, cerminan pola asuh orang tua bisa dilihat di sini. Yah, anak-anak memang polos, dan mereka akan mengingat lekat apapun, termasuk momen seperti ultah. Memilih merayakannya dengan sederhana tidak membuat G marah-marah, ngambek, bahkan ketika satupun teman skul-nya di TK A tidak datang (karena tidak diundang, maklum cuma antar keluarga dan staf-staf Bapaknya di kantor aja) dia Cuma bilang, “tidak satupun teman-temanku yang tahu rumahku, jadi mereka tidak datang.” Padahal, setiap hari dia dijemput mobil sekolahan, ada teman-temannya.
Kembali ke G-ku. Tidak ada hadiah istimewa untuknya. Ketika aku bertanya, 

“kamu mau hadiah apa G?.” 

Dia tidak segera menjawab, bergaya mikir dulu, namun akhirnya muncul juga dari mulutnya. Jauh sebelumnya, aku sudah mengira-ngira mainan baru, baju baru, atau buku baru. Semuanya salah. 

“Ibu, aku minta dibeliin tali aja hadiahnya.”

Aku tercengang dan balik bertanya untuk memastikan yang kudengar,

“Tali???, tali buat apa nak?”. 

Jawab G, “Iya, tali bu. Tali yang warna-warni.” 

Aku baru ngeh, dugaanku tali seperti itu bagian dari hal baru di sekolahnya. Kebiasaan G memang menceritakan hal-hal baru di sekolahnya seperti mainan. Kenapa tali ini menjadi istimewa, pasti karena ada di sekolahnya atau dia pernah mendengar usul dari orang-orang di sekolah, bisa temannya, atau bahkan gurunya. 

“Bu, bisa gak kasi kado tali?”, Tanya G. 
“Bisa lah, tapi tali mau buat apa?, “Tanyaku. 
“Buat ikat dino (bermacam-macam mainan Dino-nya maksudnya), bu.”

Permintaan itupun aku iyakan. Sorenya aku segera menyampaikan permohonan G ke hubby, yang merespon dengan keheranan juga, tapi aku segera menjelaskan sebelum dia menanyakan hal yang sama denganku sebelumnya ke G. Aku mengajak hubby untuk membelikan saja oil pastel sebagai ganti milik G yang sudah lama karena sudah habis dan banyak patah oelh kedua orang adiknya. Ini tidak berlebihan karena oil pastel lamanyapun bukan pemberian kami tapi dari auntienya di Surabaya. Berikut, kami membelikan warship, mainan kapal perang yang bisa dijalankan di air (dengan batre). Ini juga tidak berlebihan karena sudah lama sekali kami tidak membelikannya mainan, dan beberapa Minggu menjelang ultahnya, dia juga lagi gandrung sekali dengan perahu dan kapal, dipengaruhi oleh tema ajar di sekolahnya. Nah, yang terakhir tentulah tali warna/I pengikat dino. Dan, ternyata justeru permintaan sederhana itulah yang paling sulit kami temukan di toko yang kami tuju. Aku nyengir saja, ngomong ke hubby,

“yang kita pikir permintaan yang aneh, terlalu simple untuk sebuah harapan akan kado ultah, ternyata paling sulit didapat”.

Yah, kadang memang kita terlalu menganggap sederhana sesuatu. Termasuk menganggap ‘sederhana’ keinginan anak. Aku belajar banyak dari ‘permintaan’ G ini.


Flash Back: ‘Menghadirkan’ G dengan penuh kerumitan

G (tengah) bersama Dek P n Jo: Gak Sabaran Potong Kue
Untuk G-ku, Selamat ulang tahun, sayang. Ibu ada untukmu, karena memang begitu seharusnya. Dan, akan selalu seperti kau minta dan seperti takdir dari-Nya. Bahkan ketika kau tumbuh dewasa dan jauh, aku adalah Ibumu. Ketika kau bahagia dan sedih, aku Ibumu. Ketika aku marah dan tak setuju dengan pilihanmu, aku Ibumu. Untuk sesuatu yang tak kan pernah bisa kaupahami dengan hanya logika, aku sedih sekaligus bahagia setiap saat menyaksikan kau bertumbuh dari waktu ke waktu. Tapi satu yang pasti, tangan Tuhan bekerja memungkinkan semua, bahkan mendapat ijin melahirkanmu ke dunia ini, dengan beralaskan keyakinanku yang begitu besar akan kasih-Nya. Aku menembus duga tak kan bisa melahirkanmu ke dunia ini, tapi ternyata bukan hanya kamu, hadiah indah dalam bentuk wajah adik-adikmu, pipi bakpao P adik perempuanmu, dan si gigi tajam, baby Ava adik laki-lakimu itu menambah tantangan hidup aku dan Bapakmu. Yah, melatih kesabaran kami dengan tingkah-tingkah kalian yang terkadang harus kami kontrol untuk tidak menjadi emosi.

Untukmu, Ibu bangga. Di usia ke-5, kau terlihat cerdas dari tutur dan tingkahmu. Kau hanya anak-anak, tapi aku tahu kau begitu menyayangiku, dan kau selalu menginginkan Ibu menjadi orang yang lebih ekspresif kepadamu, mengungkap rasa sayang Ibu dengan memelukmu, menciummu dan memuji setiap tingkahmu yang menurutmu ‘luar biasa’. Dan, memang kau selalu melakukan sesuatu yang luar biasa termasuk ketika kau sering menyuruh orang-orang rumah pergi, siapapun yang ‘mengingatkanmu’ ketika kasar, mukulin dan ngusilin adik, menyalahkan orang lain, dsb. Tapi, kau hanya anak-anak, sayang. Kau mengajari kami, orang tua untuk sabar dan mengerti bagaimana memahamimu. Terkadang, kami (tanpa sengaja) terlalu menuntutmu ‘dewasa’, melakukan segala sesuatu seperti orang dewasa, misalnya mengemasi mainan tanpa asistensi, makan sendiri tanpa asistensi, dan banyak lagi. Maafkan untuk ini.

G kecil-ku yang masih bayi dulu, yang hampir lahir di toilet ruang bersalin salah satu RS Swasta di Pontianak, kini berumur lima tahun, sudah bertumbuh tinggi, dia penyayang, selalu mengingatkanku untuk beristirahat, bahkan memijitku. Selalu tidak sabar menceritakan segala sesuatu yang dialaminya di sekolah. Terkadang ia tiba-tiba memeluk dan menciumku, mengingatkanku betapa aku jarang mengungkapkan rasa sayangku dengan gaya verbal seperti itu.

G Kecilku satu-satunya anakku yang lahir tidak disaksikan oleh Bapaknya, karena ‘tertib tak berkelasnya’ aturan di salah satu RS swasta tempatku melahirkan itu. Isteri harusnya mendapat dukungan kejiwaan penuh dari suami, tetapi suamiku tidak diijinkan menungguiku melahirkan. Suamiku juga tidak tahu kalau aku pingsan berkali-kali menahan kontraksi terus menerus di ruang bersalin, ditemani bidan yang tidak peduli (hanya peduli untuk bicara kasar sambil menulis kemudian pergi dalam waktu lama), rasis, dan menganggap remeh pasiennya. Aku ingat, si bidan ini tidak percaya ketika aku bilang aku sudah mau partus, sampai akhirnya G hampir lahir di toilet karena si Bidan memaksaku untuk ‘bersih-bersih’ ke toilet dengan alasan biar bayiku lahir dengan bersih. Tapi aku selalu ingat, tanganku menyentuh kepala G yang sudah mau keluar dari jalan lahirnya. Merinding jika ingat pengalaman ini, betapa seorang Ibu yang bertarung antara hidup dan mati (meskipun ini proses alami), diperlakukan dengan tidak manusiawi. Dimarahi, ketika mengerang kesakitan.

G umur 2 hari
Ah G, tapi kau tahu, kau memecahkan ketuban persis  ketika aku dan hubbyku sedang nonton film, the patriot, jam 10 malam. Tapi lama baru kau lahir, selang 5 jam kemudian. Kau juga minum air ketuban yang membuat kau, bayi merahku, harus diinjeksi macam-macam obat dan antibiotic tanpa pemberitahuan kepada kami orang tuamu. Aku juga tak pernah lupa sulitnya bertemu denganmmu untuk memberimu ASI. Aku menangis setiap kali mendengar tangisan dari ruang perawatan bayi, kupikir itu kau. Dan, aku tak pernah bisa tidur tenang. Malam yang sulit meski Cuma 3 malam. Aku harus meminta bapakmu atau tante sumimu untuk memohon ke suster jika ingin bertemu denganmu dan menyusuimu. Jam-jam yang sulit, harusnya anak baru lahir mendapat ASI dan didekap Ibunya, tapi kau ‘diambil’ dariku untuk dirawat intensif gara-gara minum air ketuban. Menyedihkan sekali G, tapi ini tidak hanya dialami olehku, ada banyak Ibu-ibu lain yang mengalami hal yang hampir serupa. Itulah yang membuatku berjanji (untuk tidak mengatakan bersumpah) tidak akan melahirkan di RS lagi, kecuali ada hal yang darurat seperti harus operasi atau ada persoalan yang mengaharuskan adanya tindakan medis darii RS. Tapi, semua sedih dan risauku tertebus ketika membawamu pulang dan bebas menyusuimu dengan dukungan penuh Bapakmu. Disayangkan kau tidak memperoleh hakmu untuk minum kolostrum dari air susuku karena kau dipisahkan dariku segera setelah kaulahir, apapun alasannya, setidaknya, harusnya RS mengijinkan aku menyusuimu dini dan mendekapmu dalam beberapa jam kemudian toh bisa kembali ke ruang perawatan intensif. Yah, begitulah sayang, di banyak tempat, pelayanan kesehatan tidak berperikemanusiaan memperlakukan perempuan, seolah-olah hamil dan melahirkan itu kutukan. Perempuan melahirkan harus di-exclude, diisolasi dengan tidak ditunggui suami, seperti orang yang berpenyakitan menular. Mereka hanya mau uang kita, tapi tidak melayani dengan hati. Lucunya, itu terjadi di RS. Aku diperlakukan dengan sebaliknya ketika melahirkan di sebuah klinik dekat rumah ketika  melahirkan adik-adikmu. Aku diperlakukan dengan baik dan manusiawi mulai dari ketika aku selalu melakukan kunjungan rutin untuk kontrol selama masa kehamilan. Ditunggui suami dan memberikan ASI dini.

Cerita ini mungkin juga akan kaualami suatu hari kelaj, G. Mudah-mudahan, sistem pelayanan publik kesehatan sudah membaik ketika itu. Kau tidak mengalami hal serupa. Atau kalaupun tidak, pengalamanku bisa mengajarkanmu untuk bagaimana mestinya bertindak daam situasi seperti ini. Termasuk membuat pilihan, jangan percaya pelayanan kesehatan di RS lebih baik dari klinik. 

I Love You with all my heart, just like the sun, the moon and the stars' lihgts that you will always see and feel during your days


Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...