Saya ingin membagi tentang women
power dari momen pre-course Short Term Award (STA) Australia Awards Indonesia
2019. Kami berkumpul di Hotel Double Tree by Hilton, Jakarta sebagai
"awardee' setelah lolos melewati tahapan seleksi administrasi (dokumen
data personal, curriculum vitae, rencana proyek) dan wawancara. Saya secara
pribadi ‘dipaksa’ seorang teman untuk mendaftar melalui organisasi dimana ia
bekerja. Dari tiga orang yang di-endorse oleh satu lembaga ini, dewi
keberuntungan berpihak kepada saya.
Senior Multi-faith Women Leaders,
itulah tema utama STA ini. Ini yang menantang sekaligus sempat membuat
saya tidak yakin bisa lolos. Saya belum pernah berada pada top level Management, sebagai pimpinan. Saya
juga cukup lama menjauh dari isu perempuan setelah sebelas tahun banyak
berinteraksi dengan perempuan adat selain freelance sebagai fasilitator pada pertemuan
dengan isu gender untuk perempuan. Senior?. Ya, kalau umur sepertinya sudah
senior tetapi secara pengalaman saya pasti belum seberapa. Belum lagi pikiran
saya mulai membangun benteng, diantaranya, membayangkan jika di sana berkumpul
para senior leaders, maka saya bukan apa-apa. Akan banyak perempuan hebat yang
berlomba bercerita pengalaman dan pengetahuannya, sementara pengalaman saya
usang.
Group Photo pada Hari Terakhir Pre-course, 9/5/'19 |
Betul saja, saya menjumpai
perempuan yang hebat-hebat dari berbagai latar belakang profesi, ilmu dan
pendidikan, suku dan tentu agama dan keyakinan (namanya juga multifaith
ya...lintas keyakinan). Di hari pertama, saya mulai sok tahu menebak-nebak
seperti apa perempuan-perempuan ini. Pas sudah, saya adalah orang yang terakhir
berkenalan. Tetapi, mereka ternyata betul-betul hebat, bukan dengan berlomba
bercerita tentang “siapa mereka” tetapi satu persatu mereka sangat mengesankan
“Down to Earth” dengan segudang pengetahuan dan pengalaman yang bisa jadi bukan
Cuma satu folder di file storage otak mereka. Ada yang Prof. S-3, S-2, calon
S-2, Sedangkan aku...???. Aku mah apa atuh. Pernah mencoba saja apply untuk
S-2, tetapi telat submit aplikasi. Ya, kami sangat beragam bukan hanya dari
keyakinan. Kami beragam dari segi usia, pengetahuan, isu yang ditekuni,
profesi, dan agama dan keyakinan (Hindu, Budha, Katolik, Protestan, Islam,
Konghucu, dan Ahmadiyah). Kami hanya seragam dalam hal kodrati sebagai
perempuan. Kami tidak mempersoalkan keberagaman atau perbedaan kami sebagai
masalah dan sumber menunjukan kebenaran dan kehebatan kami masing-masing. Iya,
tentu saja orang-orang yang mendaftar turut serta dalam Short course ini sudah
‘beres’ untuk tidak mempersoalkan perbedaan tetapi sebaliknya mampu berdamai
dan menghadapi perbedaan itu dan memobilisasi kekuatan kami masing-masing untuk
secara bersama-sama menyebarkan pesan-pesan perdamaian, kesetaraan, toleransi,
pluralisme dan keadilan. Kedengarannya sangat besar dan ideal ya?!. Memang,
tetapi bukan tidak mungkin jika lingkupnya kita mulai dari keluarga-menanamkan
sedini mungkin nilai-nilai itu, kemudian lingkup kerja/organisasi/komunitas.
Dan bagi saya, itulah esensi dan sejatinya seorang pemimpin. Tidak melulu harus
berada pada top level Management. Bahkan seorang Office Boy di kantor bisa saja
memiliki sikap kepemimpinan melebihi seorang direktur.
Alissa Wahid, Dok. AAI 7/5/'19 |
Materi-materi yang disampaikan oleh
narasumber bukan saja sebagai pemantik
diskusi, tetapi sekaligus mengisi pundi-pundi pengetahuan dan juga menguatkan.
Alissa Wahid misalnya, menyampaikan Social Harmony sebagai sebuah cita-cita
yang hanya mungkin dicapai dengan melihat keberagaman sebagai kekayaan bangsa
Indonesia. Dahulu, Gus Dur, dengan kerendahan hati dan kesederhanaan mau
merangkul semua kalangan. Di masa kini, Social Harmony mendapat tantangan
oleh gerakan transformasi nilai
disebabkan oleh eksklusifisme dan pengarusutamaan intoleransi (presentasi
Alissa Wahid). Indonesia bisa kembali menjadi model Social harmony di mata
dunia dengan keberagamannya, tapi hanya di tangan pemimpin yang berani berdiri
paling depan memberdayakan masyarakatnya tanpa melilhat darimana ia berasal.
Bersaama Lies Markus dan Ayu Dewi
Kartika (alumni Short Course sebelumnya), kami
berkesempatan mengetahui berbagai
dinamika yang mungkin akan kami hadapi di Australia nanti terkait dengan
kebersamaan selama dua Minggu itu, yang sudah dimulai dari pre-course ini. Iya,
sikap toleransi, memahami satu sama lain, saling tolong serta tidak egois
adalah beberapa poin yang disampaikan. Bagaimana tidak, kami akan tinggal dalam
satu apartemen bernama Dockland. Kami akan bersama-sama setiap hari ke kampus
Universitas Deakin (kepayang kalau ada yang suka telat), kami juga akan visit
ke beberapa organisasi yang relevan dengan berbagai tema isu proyek kami.
Intinya, menjadikan ini sebagai proses belajar bersama yang membutuhkan
self-management yang tinggi agar tidak merugikan pihak lain dalam satu tim.
Prof. Shahram Ahbarzadeh dan Anne
Marie Ferguson memfasilitasi kami untuk kembali mengingat proses perjalanan
kepemimpinan secara pribadi dengan metode mengingat momen yang menjadi “turning
poin”. Di sini, terlihat setiap orang memiliki dinamika hidup masing-masing
yang menjadi dasar menentukan ia hari ini. Yang namanya dinamika ya
jatuh-bangun dalam prosesnya. Di situlah nilai-nilai kepemimpinan lahir, dari
bagaimana cara menghadapi situasi pada saat “di bawah” maupun “di atas”. Pada
akhirnya, berdasarkana pengalaman-pengalaman pribadi itu, kami mendefinifikan
kembali kepemimpinan perempuan, apa yang menjadi ke-khas-annya. Kepemimpinan
perempuan merupakan keniscayaan mengikuti ruang dan waktu, ditunjang dengan
gerakan feminist yang telah menempatkan perempuan tidak lagi berada pada ruang
kosong seiring jaman yang berubah. Gerakan yang tidak menempatkan perempuan
mengambil alih posisi untuk harus menjadi di atas sebagai pesaing dari
laki-laki apalagi bentuk pembangkangan tetapi menempatkan perempuan dengan
segala kekuatan dan kemampuannya untuk memanusiakan diri dan dimanusiakan
secara adil dan setara oleh pihak lain baik di ranah publik ataupun domestik.
Berikut adalah beberapa definisi
kepempimpian berdasarkan ekstraksi pengalaman kami:
Prof. Shahram Ahbarzadeh & Anne Marie Ferguson, Dok Iwi 9/5/'19 |
1.
Perspektif feminist dan bersifat inklusif
2.
Kemampuan menjadi motor penggerak
3.
Kepekaan memahami situasi dan kebutuhan orang-orang
yang dipimpin
4.
Tidak egois, mampu membagi peran dan tanggung jawab
5.
Melakukan capacity
Building (sendiri ataupun untuk orang lain yang ia pimpin)
6.
Kemampuan berkomunikasi, berinteraksi dan didengar
dengan baik (tanpa banyak bicara)
7.
Kemampuan bicara dan aksi yang selaras
8.
Tidak melulu berorientasi hasil tetapi menghargai
proses
9.
Memahami konsep gender dan keadilan gender
10. Menitik-beratkan
pada penyelesaian masalah dalam setiap proses (part of Solutions, not part of
problem)Persoanl Journey Para Awardee ditempel di Wall |
Saya Menjelaskan Personal Journey of Leadership, Dok. AAI |
Dalam hal kepemimpinan, baik itu
kepemimpinan secara formal struktural dalam sebuah organisasi/institusi maupun
kepemimpinan yang non-formal sehari-hari, perempuan ternyata masih memiliki
banyak sekali hambatan baik dari dalam maupun dari luar yang dipengaruhi
berbagai faktor. Hambatan dari dalam salah satunya ketiakpercayaan diri. Ini
lebih pada ketidakmampuan mengorganisir
kekuatan/kemampuan diri yang bisa dijawab dengan memberikan ruang seperti
(self) capacity Building dan affirmative Action serta apresiasi oleh
orang-orang sekitar. Dari pihak luar, sudah saatnya cap negatif (salah satunya,
perempuan itu lemah) dan tidak berpihak kepada pemberdayaan perempuan yang
melekat erat bak stempel permanen, bersama-sama ditanggalkan. Budaya patriarki
adalah salah satu yang mendominasi diskusi kami sebagai hal yang paling
berkontribusi melanggengkan cap negatif ini. Saya sering meminjam istilah dari
film divergent (ehm, yang pernah nonton filmnya pasti tahu) untuk
menggambarkan posisi perempuan dalam struktur patriarki di masyarakat. Kata
divergent ini bermakna “aneh” atau keanehan. Namun, jangan buru-buru memberi
konotasi negatif. Dalam konteks tulisan ini, saya mengajak memahami keanehan
ini merupakan kekuatan yang telah dimobilisasi sebagai energi besar untuk
berkontribusi terhadap perubahan ke arah yang lebih baik dengan aktor utama
perempuan. Kami memulainya dengan merencanakan proyek yang akan kami kerjakan baik secara bersama-sama maupun indvividu. Selain memperkuat aspek kepemimpinan kami secara pribadi, proyek ini juga harus berkontribusi positif terhadap organisasi yang mengutus kami dan tentunya harus mempromosikan toleransi dan kesetaraan gender.
Itu sekilas jejak awal dari STA Multifaith Women Leaders. Akan ada tulisan lain tentang ini, tentang bagaimana saya memulai petualangan bersama dengan dua orang peserta naik sky-train, kereta bandara dan commuter line untuk yang pertama kali. Tentunya, coming soon cerita-cerita dari negeri Kangguru nantinya di bulan Juli sampai ke post course di bulan Oktober. Siapa tahu ini menginspirasi pembaca "Tengah Ruai" untuk belajar di Australia, karena selain STA, juga ada Long Term Awards atau beasiswa full untuk program S-2, S-3 dan Phd.