Jumat, 22 Februari 2019

Photo Cap Go Meh 2019: Aksi Naga di Tahun Babi

 Minggu pagi, pukul 07.00, kompleks pertokoan di jalan Diponegoro sudah perlahan disesaki oleh manusia dan tentu saja jejeran kendaraan yang diparkir. Masyarakat tumpah ruah dari berbagai latar belakang antusias mengikuti ritual Naga Buka Mata di Klenteng Kwan Tio Bio (17/2/2019).

Satu per satu replika naga denga beraneka corak maupun warna serta ukurannya berarak dan secara bergiliran mengikuti ritual buka mata di Klenteng. Setelah itu, replika naga ini melakuan kunjungan "mencari angpao" ke para donatur. Puncak arak-arakan replika naga ini adalah pada hari ke-15 di tahun baru imlek yang dikenal dengan Cap Go Meh. Dalam keluarga Tionghoa, ini merupakan momen "Makan Besar" besama keluarga. "Naga-naga" inipun siang-malam mencari dan memikat donatur dengan liukan tarian serta atraksi lainnya dengan disokong para penari yang saya lihat semuanya laki-laki diiringi tabuhan gong dan gendang. Memeang sempat tertangkap oleh mata saya ada satu perempuan yang masuk dalam tim arakan naga bukan sebagai penari tetapi menjadi pembawa tongkat bola (pemandu naga). 

 Selama dua hari penuh, siang-malam para penari naga ini terus beraksi dan beratraksi,  unjuk kebolehan dan menjadi sasaran lensa kamera mulai dari kamera HP, DSLR bahkan sasaran selfie dan live broadcast oleh para pegunjung. Kali ini, arakan dan atraksi berpusat di jalan Gajah Mada dimana naga-naga lebih fokus mencari angpao di hotel-hotel yang ada di jalan ini. Keesokan harinya setelah Cap Go Meh, naga-naga ini harus dibakar sebagai bentuk "pemurnian bumi" dengan mengirim roh-roh naga ke kahyangan. Tidak boleh ada yang tersisi, karena dikhawatirkan akan meninggalkan juga hal-hal yang tidak baik.

Tahun ini, hanya ada 26 replika naga yang beraksi di Kota Pontianak. Namun, acara serupa ini juga berlangsung di daerah lain seperti Kubu Raya, Bengkayang, dan Singkawang. Selain atraksi naga, yang paling ditunggu-tunggu pada momen ini adalah atraksi tatung. Namun, dalam tiga tahun terakhir, di kota Pontianak, pertunjukan tatung tidak diperkenankan di ruang publik karena dianggap mengandung unsur kekerasan yang sangat rentan ditiru oleh anak-anak. Aksi tatung hanya diperkenankan di tempat tertutup, seperti klenteng. Tahun ini, seperti para tatung dipusatkan di SIngkawang dimana media melansir ada 1.026 tatung turut serta memeriahkan Cap Go Meh.

Apa lagi yang ingin kita ingkari dari indahnya keberagaman?. Rupa wajah, cara berpakaian, suku, agama dan bahkan kasta bisa bersama-sama menikmati momen "tarian naga" ini tanpa harus khawatir. Filosofi membuat replika naga, membuka mata, serta atraksinya bersama dengan barongsai  dan berbagai replika hewan yang dianggap pembawa hoki ata keberuntunga seperti ikan Lou Han dan Koi sesungguhnya penuh muatan kebaikan yang hendak diingatkan pentingnya bagi kita manusia untuk menjaga kemurnian bumi dengan menjaga relasi antar makhluk yang aku percaya terkoneksi satu sama lain.
Hanya saja, manusia begitu senang meng-kotak-kotakan diri. Kita terima saja ini realitas yang tidak bisa dihindari karena banyak yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, disitulah pentingnya memelihara dan merawat tradisi yang memungkin kan kita yang berbeda-beda ini seakan tak bersekat, hanya dalam waktu dua hari saja. Setelahnya, tentu akan kembali ke kotak masing-masing, kemudian akan sibuk memamerkan ke-sok akraban di sosial media.

Bagi saya, satu hal yang selalu ter-replay dan ter-rewind oleh saya setiap saat melihat perayaan Cap Go Meh ataupun keleluasan saudara-saudara Tionghoa merayakan Imlek adalah jasa besar seroang Gus Dur. Tidak perlu saya jelaskan di sini apa, intinya, beliaulah yang telah mewariskan ruang yang luas dan tidak kaku berbungkus aturan yang memberikan hak kepada masyarakat tionghoa merayakan imlek.

Semoga Engkau Tersenyum disana ya Pak. Senyum aja kog repot!.

Rabu, 20 Februari 2019

Sang Bunga Eksotik, Forest Ghost Flower (Aeginetia Indica L)

Aeginetia Indica L (Forest Ghost Flower), Lili D
Jangan seram dulu ya dengan nama Inggris-nya. Sesungguhnya, tampilannya unik dan eksotik. Bunga ini adalah salah satu tumbuhan parasit akar yang hidup dari mengambil nutrisi dari akar tumbuhan inangnya dan tidak memerlukan fotosintesis. Parasit akar (serabut) ini disebut oleh beberapa literatur berasal dari India dan tersebar diantaranya di Indonesia, Filipina, Malaysia, Jepang, Korea, Bangladesh, China, Thailand, Bhutan dan Nepal. Dalam bahasa latinnya ia disebut sebagai Aeginetia Indica L (masuk dalam familia Orobanchaceae). Tumbuhan berbunga tetapi tidak berdaun ini (lihat foto), ditemukan oleh kakakku di sekitar ladang padi di kampung kelahiran kami. Karena tumbuhan ini asing bagi kakakku, jadilah dia memposting foto bunga ini di WA group untuk mencari tahu dan yang paling utama pamer, he, he, he. Pada foto, seperti yang kita lihat, bunga ini tumbuh di pekarangan, mohon jangan dianggap pembohongan terhadap publik terkait habitatnya. Aku sempat bingung kenapa bisa tumbuh tunggal, rapi dan tidak ada tumbuhan inangnya, sementara yang kubaca bahwa tumbuhan ini adalah parasit akar. Baru setelah kakakku menjelaskan, aku mengerti jika ini adalah bagian skenario publikasi (untuk tidak menyebut pamer lagi) karena saat menjumpainya di sekitar ladang, kakakku tidak membawa serta kamera HP. Tidak pendek akal, iapun menculik bunga ini, kemudian ditanam  di pekarangan rumah mamak. Jadilah demikian adanya. Semoga, bunga itu tidak mati seketika karena dipisahkan dari inangnya, ya. Meski, menurut seorang temanku yang paham tentang vegetasi, bunga ini termasuk tanaman hias yang bisa dibudidayakan dengan memecahkan/memisahkannya. Ada juga satu artikel yang aku baca menyebut jika bunga ini termasuk jenis anggrek. Di masyarakat Sunda, bunga ini disebut Pacingan atau Pacing Dawin.

Selain begitu unik, tanaman ini ternyata merupakan tanaman herbal yang berkhasiat untuk mengobati diabetes, tumor, kanker, liver, batuk dan artritis dengan adanya kandungan diantaranya Asam Aeginetic dan Polyene. Orang di kampungku dan komunitas Ibanik percaya bunga ini bisa untuk membantu "mengobati" anak yang mengalami keterlambatan berjalan dengan cara disabet / dipukulkan di lutut yang istilah lokalnya di-pangkong, sehingga sebutannya pun "Bunga Pangkong Palak Lutut" yang artinnya Bunga (yang dipukulkan) di Dengkul. Sayangnya, bunga ini hanya mekar sekali sepanjang tahun pada musim angin muson, artinya sulit untuk bisa terus menjumpainya. Jadi, tidak heran, begitu kakaku posting foto di group tidak ada yang tahu, dan akupun begitu sibuk mencari literatur dan referensi sampai menemukannya di beberapa sumber yang bisa dilihat di bawah tulisan ini.


Tahun Banjir Buah Hutan

Langsat
Tahun ini kita bisa bereksperimen ataupun jelajah aneka ragam rasa buah-buahan yang berasal dari hutan, bahkan buah-buah yang kita sendiri baru lihat atau belum tahu kalau bisa dimakan. Biasanya, kita begitu akrab dengan King of Fruit, si durian yang selalu berkawan pada musim yang hampir sama dengan rambutan, langsat dan cempedak.

Langir (isi dalam)
Kali ini, kita bisa menemukan lebih banyak jenis buah-buhan hutan lain, sebut saja beberapa di antaranya buah mentawak, kemayau, angkahapm, pedalai/paluntan, pingan, keranji, teluk kejirak, dan langir. Tahun ini (2019) Tuhan memberikan rejeki berlimpah melampui kebiasaan, dimana hampir semua buah yang akrab dengan kehidupan di pelosok, kampung dan desa bisa dijumpai dan dinikmati bahkan di kota-kota. Tentu saja, jika di kota memerlukan rogohan kocek cukup dalam ketimbang di pusat
Langir
kecamatan atau pusat kabupaten dari daerah tempat ia berasal. Di kota seperti Pontianak, penjual memainkan harga cukup jauh di atas harga di daerah dengan alasan biaya angkut dari kampung yang mahal, tergantung dari daerah mana buah-buah itu dipasok ke kota Pontianak. Ambil contoh, suatu hari saya membeli buah mentawak, yang katanya dipasok dari Serimbu, harganya berada di rentang Rp. 15.000-25.000 per biji tergantung ukuran dan tingkat kematangan. Semakin besar dan semakin matang buah maka akan semakin mahal. Rentang harga yang sama juga berlaku di kota Sintang. Tadinya saya berpikir bahwa di Sintang akan lebih murah, tapi ternyata sama. Dari ini, bisa disimpulkan pemasok buah bukan berasal dari daerah pedalaman di Sintang melainkan dari Kabupaten lain. Berbeda dengan buah kemayau. Di salah satu spot penjual buah-buahan hutan ini, saya mendapati harga per Kg buah kemayau sebesar Rp. 35.000/Kg, dengan alasan pemasok buah ini dari daerah di Kabupaten Kapuas Hulu. Di Kabupaten Sanggau, buah ini bisa didapati jauh lebih murah dengan harga Rp. 15.000/Kg.

Pakawai (Bukan Durian ya)
Pekawai (isi dalam)
Mentawak

Buah-buahan yang melilmpah ini tentu tidak terlepas dari fenomena iklim. Di akhir pertengahan 2018 hingga awal 2019, kita menghadapi musim kemarau yang tidak terlalu kering dimana masih ada curah hujan yang signifikan. Ini mempengaruhi kondusifitas tanaman buah di hutan dalam menghasilkan atau berproduksi. Alhasil, tahun ini banjir buah hutan di Pontianak. Mesti dicoba satu-satu. Dan, yang menarik adalah jika  kita sadar keberadaan buah-buah ini mengindikasikan masih terjaganya lingkungan hutan. Namun, realitas bahwa ketersediaan buah-buahan ini, jauh sebelum ini mungkin melampui yang terlihat saat ini seiring dengan realitas eksploitasi terhadap hutan dalam bentuk apapun. Ini menghantarkan kita kepada keriskanan dan kerentanan keberlangsungan buah-buahan ini. Coba saja inventarisasi dan catat yang kita temukan saat ini. Sepuluh sampai dua puluh tahun yang akan datang, kita coba cari dan apakah akan ditemukan lagi?.

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...