Kamis, 06 Juli 2017

Bertahan Hidup: Kisah Si Pohon Sirsak dan Saudaranya

Pohon Sirsak “Survivor
Suatu hari, di tahun 2008, aku harus mengambil keputusan yang sulit yakni untuk mengakhiri saja kehidupan sebatang pohon sirsak di samping rumahku untuk membuat lebih luas kawasan dapur dan area parkir, atau membiarkannya hidup saja. Pilihan membiarkannya hidup pun sebetulnya pilihan yang rumit. Ia tumbuh terlindungi dari sinar matahari dari timur yang ia butuhkan untuk menjadi pohon yang sehat dan produktif. Akupun tidak diuntungkan dengan kondisi ini.

Pada akhirnya, aku berpikir untuk tidak menjadikan ini sebagai pilihan yang rumit, yang harus dianalisis terlalu panjang-lebar meski sempat membingungkan. Aku memutuskan bertindak lebih bijak terhadap pohon sirsak yang sudah terlanjur tumbuh. Meskipun ia hanya pohon, tapi tidak ada salahnya aku mekesampingkan egoku memiliki ruang parkir yang luas untuk hanya satu motor dan beberapa sepeda. Ia terlanjur tumbuh meskipun tidak begitu sehat. Akan tetapi, satu pohon sirsak yang tidak sehat ini telah mengajariku filosofi bertahan hidup. Sudah lima tahun (2003-2008) ia menjadi bagian dari rumahku. Lebih dari itu, ia yang menurut ukuranku tidak produktif karena tidak pernah menghasilkan buah yang ranum dari bunga yang bermekaran tak kenal musim, berakhir dengan berserakan di tanah, justeru begitu berjasa bukan dari buahnya tetapi dari daunnya. Beberapa kali, helai demi helai daun sirsak itu berhasil membebaskan rasa sakit suamiku dari asam urat yang berlebih kadarnya.

Semakin banyak pula kehidupan telah diberi oleh dedauann yang tidak terlalu rindang itu terhadap kupu-kupu untuk bertransformasi dari ulat-kepompong dan berakhir pada berbagai ragam corak dan ukuran kupu-kupu. Aku sudah menurunkan ekspektasi untuk bisa menikmati buah ranum pohon sirsak itu, tetapi menikmati saja setiap satu siklus kehidupan setiap kupu-kupu yang menjadikannya tempat bertransformasi . Aku juga menikmati ketika kal-kala harus memetik lembar daunnya sebagai ramuan herbal penurun kadar asam urat suamiku. Terkadang, aku juga meminumnya, toh katanya bagus juga untuk kesehatan. Tak jarang, tetanggapun meminta daun sirsak itu untuk menjadi bahan tambahan sebagai pelembut atau pengempuk daging.

Beberapa tahun kemudian (aku lupa persis tahun berapa, kalau tidak salah 2015), sirsak itu pada akhirnya memberikan juga kepadaku buahnya yang ranum. Aku bahkan bisa membagi buahnya dengan tetangga. Mungkin saja karena ia sudah mulai meninggi melampui  tembok rumah dan bisa merasakan hangat sinar matahari pagi, membuatnya lebih produktif. Namun, akupun tidak berharap lagi akan buah yang banyak. Setiap saat ia meninggi, aku terpaksa meminta adikku memotong pohonnya. Aku juga harus memikirkan kenyamanan tetangga sebelah rumah yang terlindungi jika ia kubiarkan rindang. Kadang aku berpikir, kasihan sekali pohon sirsakku harus “dibonsai”?!. Jangan-jangan, seandainya aku bisa mendengar dan memahaminya, mungkin ia sudah berteriak menolak perlakuan seperti itu. Bukankah ia juga makhluk hidup?!. Nyatanya, kusaksikan pohon sirsakku masih saja sama rindangnya dipenuhi  dedauanan hijau yang semakin lebar dari sebelumnya. Semakin banyak ulat hijau bercokol di dedaunan itu yang berakhir dengan kepompong coklat bergelantungan. Bunganyapun tetap bermekaran, namun kebanyakan berakhir dengan serakan kelopaknya di tanah.

Begitulah dilema berakhir pada keputusan menghormati proses “bertahan hidup” pohon sirsakku. Pohon sirsak “survivor” yang tidak sengaja mengajariku tentang  bagaimana menyikapi kehidupan yang prosesnya tak selalu sesuai dengan yang kita ingini. Tetapi, selalu ada cara untuk bertahan hanya dengan mensyukuri saja proses yang sudah dilalui dan tetap memlihara semangat untuk berharap segala sesuatu akan baik dan membaik pada akhirnya. Akupuh mulai menikmati rutinitas, memotong dahan-dahan yang sudah mulai banyak dan memerintahkan adikku memotong pohonnya ketika sudah terlalu tinggi dan mulai terlihat mengganggu tetangga. Tahun ini (2017), akupun mulai menambahkan beberapa pot bunga dari jenis yang tidak terlalu membutuhkan banyak sinar matahari untuk menjadi teman si pohon sirsak “survivor” itu. Tidak terasa, sirsak itu sudah menjadi pohon yang menua (gak ngitung umur sesungguhnya, tapi perkiraanku ia sudah berumur sekitar 15 tahun terhitung sejak aku mulai pindah ke rumahku dari rumah kontrakanku di tahun 2004, toh sebetulnya ia juga bawaan dari halaman rumah kontrakanku).

Pohon Sirsakku Punya Saudara

Pohon sirsakkku itu sebetulnya memiliki saudara. Namun, saudaranya itu tak terelakan untuk dipindahtangankan karena tumbuh persis di tempat hendak dibangun tembok pagar rumah.  Perindahan tangan itupun tujuannya untuk menyelamatkannya karena ia lebih produktif, sudah berkali-kali berbuah dan berakhir di mesin blender menjadi minuman segara dalam bentuk jus sirsak yang sehat. Ia diadopsi oleh adikku dan berpindah menjadi penghuni halaman adikku. Dengan demikian, iapun semakin mendapat tempat yang memadai untuk tumbuh subur karena halaman yang luas. Namun, tahun ini (2017) adikku memutuskan membangun kembali rumahnya. Saudara sirsakku inipun harus “dimatikan”. Sepertinya, tidak ada pilihan lain yang dimiliki adikku untuk mempertahankannya. Iapun sudah sangat rindang dan besar untuk berpindah tempat, tidak seperti ketika ia dipindahkan dari halamanku dengan postur yang masih memungkinkan berpindah meski sudah berbuah. Kalaupun dipindahkan, mungkin ia akan mati juga. Dan kemana memindahkan pohon sirsak sebesar itu (sayang sekali, aku tidak punya foto terakhirnya).

Ya, begitulah nasib saudara si sirsak yang awalnya harus dilakukan misi penyelamatan, diadopsi oleh adikku. Pada akhirnya, harus ditebang karena tidak ada pilihan lain dari si tukang pekerja rumah. Begitu pula  setiap kehidupan, terkadang memang sesuatu harus berakhir tidak sesuai dengan harapan. Orang sering menyebutnya kegagalan. Kalaupun suatu produk kegagalan dibiarkan, ia akan memunculkan sesuatu yang dianggap keanehan. Berandai-andai, saudara pohon pohon sirsakku ini  adalah manusia, mungkin ia seperti manusia yang kita kenal sehat dan bahagia hidupnya, tiba-tiba harus “dimatikan” karena tidak ada pilihan lain, dan itulah pilihannya (jadi ingat pada eksekusi mati napi narkoba, meski kejauhan nih analoginya). Setiap satu siklus kehidupan akan hilang, dan meninggalkan siklus kehidupan (baru) yang lain. Semoga saja, masih ada sedikit ruang di halaman rumah adikku untuk menyokong siklus kehidupan lain dari pohon sirsak yang lain pula.

Tentang Sirsak, the “Survivor” ini, aku pernah mengabadikannya di laman FBku pada tahun 2014. Namun, tidak ada cerita tentang ia yang pada akhirnya berbuah sampai ranum juga seperti yang kutulis di atas karena momen langka ini terjadi setahun kemudian (2015). Beginilah narasiku sebagai caption foto Pohon Sirsakku di atas. Ini tentangnya saat itu yang kurang lebih sama dengan yang kutulis saat ini: 

Sirsak “surivor”,  tumbuh dg sedikit sinar matahari karena tumbuh dibalik tembok samping rumahku. Tetapi ia selalu bertahan di segala musim. Bahkan di musim berbuah ia memaksakan diri mengikuti proses alami tersebut namun di banyak masa ia hanya terhenti pada proses mekarnya bunga. Pernah sekali berbuah sampai tiga dengan fisik yg kerdil, tetap saja tak sampai ranum lalu terjatuh ke halaman yang tertutup cor semen padat. Jadinya, tak pernah sekalipun merasakan jus sirsak segar dari pohon satu ini. Padahal, sodara sebantarannya juga sangat produktif berbuah tak kenal musim. Ia beruntung tumbuh disisi lain rumahku yg terpapar sinar matahari lebih. Namun sekitar empat tahun lalu, ketika ia sudah beberapa kali kupanen, wilayah tumbuhnya tergusur sketsa rumah yg sudah berbentuk kini. Iapun harus dicabut diusia produktif, dan kami mengambil kebijakan untuk memindahkannya ke halaman rumah adikkuJohanna Sumiati yg masih sangat luas. Alhasil, ia semakin produktif dan rimbun daunnya. Sesekali dapat bagi hasil buahnya, sempat beberapa kali berakhir di gelas jus, bahkan buahnyapun sempat dibagi ke rekan kerja adikku. Sungguh kontras dg kondisi sodaranya yg di rumahku yg kadang juga harus mencium bau detergen dan pewangi pakaian tetangga yang terlebih dahulu membangun tembok bersisian dgn tumbuhnya sirsakku. Beberapa kali kami harus nemotong pohonnya yg terlalu tinggi dan merambah ke rumah tetangga. Namun sirsak "survivor" ini sungguh dahsyat, berkali2 ia membantu menurunkan kadar asam urat suamiku. Berkali2 pula tetangga minta memetik daunnya u/ beberapa macam penyakit atsu sekedar melembutkan daging saat dimasak. Aku jg beberapa kali merebus dan meminum daunnya u/ kesehatan. Banyak jasanya!

Sabtu, 03 Juni 2017

Catatan yang tertunda: Menembus Subuh di Keraton Kusuma Negara

Foto: Tanto Yakobus
Pukul 03.40. a.m.. saya dan rombongan Danau Sentarum Kapuas River Cruise Adventure 2017 tiba di Keraton Kusuma Negara Bumi Lawang Kuari, Kabupaten Sekadau. Subuh-subuh seakan mendapat tantangan untuk "snacking with no worry" (kayak tagline iklan ya ..). Bagaimana tidak,  dikategorikan snack tapi berat!, lihat saja kotakan itu, isinya tiga macam kue asin-manis, ada kopi (yang ini aromanya betul-betul membuat melek paripurna, he, he...) dan teh di gelas, durian serta langsat. Inilah suguhan dari Keraton Kusuma Negara. Kami disambut oleh pengurus Keraton, Abang Junaedy. Seyogyanya, menu ini kami santap sebagai menu pembuka di sore hari menjelang makan malam di Youth Centre. Akan tetapi, karena keterlambatan, menu pembuka atau pengantar makan malam menjadi menu sarapan pagi yang keawalan.

Berikutnya adalah main course (menu utama) untuk sarapan pagi kami yang keawalan (karena seperti yang saya sampaikan sebelumnya, seharusnya ini makan malam tadi malam) di Betang Youth Centre ditemani sajian musik dan tarian tiga etnis dengan tuan rumah Bupati Sekadau, Rufinus dan Bapak Dandim (namanya saya lupa).

Ya, itu adalah kedatangan yang tertunda di Sekadau, seharusnya kami merpata di Sekadau menjelang senjha. Namun, beberapa faktor seperti starting yang kelamaan karena agenda pelepasan di Lanjak yang begitu padat, debit air sungai Lanjak yang kecil/dangkal membuat kami harus dilansir dengan gandengan motor bandong kecil dan speed menuju motor bandong besar yang akan kami gunakan, ditambah dengan tiga kali kesasar ndi area Danau Sentarum, membuat perjalanan yang semestinya dua jam menjadi  lima jam. Kamipun tidak bisa menikmati sun set di Danau Sentarum karena sudah malam. Kami tiba di motor Bandong besar menjelang tengah malam untuk memulai perjalanan menyusuri Sungai Kapuas, diawali dengan makan malam pertama di Motor Bandong yang sudah disediakan Chef yang sudah terlebih dahulu berada di sana mendahului kami untuk menyiapkan makanan. Ini berdampak terhadap penundaan jadwal berikutnya di Sintang, Sekadau, Sanggau (Tayan) dan Kubu Raya. Di tambah lagi, hujan badai di perjalanan Sintang - Sekadau membuat kami harus merapat ke daratan sekitar 50 menit dikarenakan terbatasnya jarak pandang motoris dan angin yang sangat kencang.

Ya, namanya juga petualangan. Saya tidak mendapati satupun wajah letih para peserta rombongan. Mereka terlihat menikmati perjalanan.

Selasa, 25 April 2017

Mengingat Kembali Kelompok Perempuan Adat "Perompu Natai Sanggo"


Sudah empat tahun lewat tapi entahlah apakah kelompok "Perompu Natai Sanggo" masih ada dan konsisten?!. Atau, bahkan tinggal nama karena memang lebih gampang membangun sesuatu tapi tidak gampang mempertahankan sesuatu yang telah dibangun itu dengan banyaknya dinamika yang dihadapi. Facebook mengingatkanku tentang perjalanan ke Sungai Garong, sebuah kampung di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, Dan, empat tahun yang lalu, aku membuat catatan ini di facebookku. Sebenarnya, aku ingin bertanya kepada kawan-kawan yang memfasilitasi Kempung ini terkait pertanyaanku tentang konsistensi di atas. Sebuah realita bahwa kerap dalam banyak situasi, ketika katakanlah ketika ada pihak seperti NGO mengorganisir dna memfasilitasi berdirinya kelompok (kelompok apapun itu), yang diorganisir begitu bersemangat, banyak sekali gagasan yang seakan mendesak untuk dikongkritkan. Tetapi, sebaliknya ketika Sang Fasilitator "pergi", semangat itupun tinggal sementara, apalagi tidak ada jaminan keberlanjutan suatu program seperti itu yang mengandalkan bantuan donor dan kemandirian dalam masyarakat belum terbentuk.

Aku merasa perlu untuk memanggil kembali ingatan melalui tulisan ketika itu:

Adakalanya seseorang atau komunitas memaksa diri tinggal dalam situasi dan kondisi tertentu dengan dalih tak ada pilihan, padahal hanya tidak berani memilih dan tidak siap dengan konsekwensinya. Saya menemukan keberanian mengambil pilihan yang ekstrim dari kelompok perempuan di Sungai Garong yang beberapa waktu lalu saya fasilitasi bersama dengan dua orang teman perempuan saya (ini sekaligus reunian staff dan mantan staff dari lembaga yang pernah menjadi tempat kami berkarya). Keberanian ibu-ibu ini adalah berhasil membawa warga lain yang sebagian besar adalah laki-laki, untuk mengubah sebuah kesepakatan yang sudah sangat lama mereka buat terkait dengan hewan ternak. Kesepakatan ini ternyata berdampak tidak hanya oada lingkungan yang kotor (karena kotoran ternak tersebar dimana-mana) dan kesehatan (kotoran hewan jika terinjak atau tersentuh dalam keadaan luka bisa menyebabkan tetanus) tetapi juga terhadap akses dan kontrol perempuan atas sumber pangan seperti sayur mayur (tidak bisa berkebun atau menanam di pekarangan karena akan dimakan ternak (sapi, babi dan ayam). Sebagian besar warga bersikukuh untuk tidak mengandangkan ternak dengan dsar kesepakatan yang intinya "bukan salah ternak jika tanaman dimakan", sehingga warga harus berkebun-bertanam jauh dari pemukiman. Melihat keteguhan sebagian besar warga ini (sebagian besar laki-laki), sembilan ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok "Perompu Natai Sanggo" bertekad menambah rutinitas mereka sehari-hari yakni mengumpulkan kotoran ternak yang berceceran di sore hari ke suatu tempat untuk kemudian diolah menjadi kompos. Pilihan ekstrim ibu-ibu kemudian menjadi salah satu pertimbangan warga yang kekeuh tadi untuk mengubah kesepakatan yakni mulai secara bersama-sama mengandangkan ternak. Konsekwensi dari perubahan kesepakatan ini adalah adanya tambahan rutinitas seperti rutin memberi makan ternak yang biasanya mencari makan sendiri serta membersihkan kandang. 

Jika tulisan ini dibayangkan visualisasinya, pasti keren sekali khan ... tapi ya itu, balik ke pertanyaan di atas. Sepertinya, suatu saat aku mesti kembali ke sana. Pergi ke ladang bersama ibu-ibu di sana, melihat kelanjutan kebun yang kami cangkul bersama (meskipun saya mencangkul sebentar saja, biar difoto keren), mandi di riam bersama mereka, dan menyaksikan rutinitas mereka yang kesemuanya itu dalam prosesnya selalu menyelipkan perbincangan-perbincangan tentang realitas, harapan, dan gagasan mereka. Bahwa sebetulnyanya mereka memerlukan penguatan terus menerus.

Selasa, 21 Februari 2017

Oleh-oleh Danau Sentarum Kapuas River Cruise Adventure 2017

To be noticed ya, saya bukanlah fotografer professional. Foto-foto ini semuanya saya ambil tanpa beban teori-teori fotografi yang baik dan benar. Hanya suka-suka dan tujuannya pun untuk berbagi informasi. Sayang sekali melewatkan beberapa hal yang bisa jadi unil bagi orang tertentu. Semua foto saya abadikan dengan Kamera Canon EOS 60D, lensa makro 100mm (saya salah bawa lensa, kaena terburu-buru, baru nyadar setelah mau dipake take landscape), dengan format RAW baru kemudian saya lakukan editing minimalis dengan hasil akhir dalam format Jpg. Meskipun saya bukan fotografer professional, tapi saya seorang pembelajar, jadi komentar dan masukan sangat diterima. Boleh saja menggunakan foto-foto ini tentu dengan mencantumkan sumbernya atau credit photonya. Foto-foto ini juga bisa dilihat di Instagram saya @ruaimana.


Lemang/Pulut Pansuh
Lemang atau Pulut Pansuh dalam bahasa Ibuku terbuat dari beras ketan yang dimasak dengan bambu jenis tertentu dengan ditambahkan santan kelapa kemudian dipanggang dia api. Di kampung, ini menjadi sajian wajib pesta atau gawai. Di Kota Pontianak, ini banyak dijumpai saat puasa Ramadhan menjadi Ta'jil berbuka. Sajian di foto ini aku jumpai di Rumah Panjang Sumpak Sengkuang, persinggahan pertama sebelum kami memulai "Danau Sentarum Kapuas River Cruise Adventure 2017" bersama dengan 60 wisatawan dari Malaysia dan Brunei yang ditandai dengan acara pelepasan rombongan oleh Bupati Kapuas Hulu, AM. Nasir, SH. Petualangan menyusuri Danau Sentarum dan Sungai Kapuas menggunakan motor Bandong berkapasitas 10 ton ini diorganisir oleh Komunitas Pecinta Alam dan Budaya Kapuas Hulu. Kesempatan ini digunakan olej RuaiTV untuk memproduksi Galeri Khatulistiwa Spesial, berdurasi 30 menit yang tayang setiap Rabu malam pukul 19.30 - 20.00 WIB, dan ditayangkan dalam empay episode.


Lepat Singkong/Lulun Bandung
Lepat Singkong, ya itu, singkong diparut, dilumuri kelapa parut dan gula merah lalu dibungkus daun pisang dan dikukus. Jadi deh. Panganan ini sering tidak susah dijumpai. Kalau aku, seringnya membeli di Ace Kue penjual kue keliling langganan saya sejak belasan tahun lalu.







Amplang
Amplang atau kerupuk ikan. Pertama kalinya, aku tahu bahwa ini makanan khas Ketapang. Tapi, ini bisa dijumpai di banyak tempat utamanya daerah penghasil ikan sungai. Selain di Kalimantan Barat (utamanya di Kapuas Hulu dan Ketapang), ini juga bisa dijumpai di beberapa tempat di Kalimantan Tengah, seperti di Kota Palangkaraya.







The Unknown - menyerupai rambutan kecil
Buah apakah ini?. Bahkan saya sendiri tidak tahu. Mungkin bahkan yang menanamnya sekalipun tidak tahu. AKu menemukannya saat tergesa-gesa setelah melihat-lihat koleksian tenun ikat dan produk kerajinan lainnya di Gallery Kobus Centre Sintang. Buah ini berasal dari tanaman merambat yang menjalar di tangga naik pada jalan masuk menuju galeri. Sepertinya, seperti ini tidak bisa dikonsumi karena aku melihat begitu banyak buah utuh, padahal tidak terelak dari jangkaun. Pun, tidak terlihat sampah kulitnya di sekitar. Ia hanya tanaman hias.







Kote 
Kote, panganan terbuat dari tepung ketan, diisi dengan serundeng sebagai inti, dimakan dengan menggunakan kuah santan putih. Makanan khas sajian Raja dan Ratu Sanggau di Keratonnya pada persinggahan berikutnya rombongan Danau Sentarum Kapuas River Cruise Adventure setelah dari Sintang. 






Sungkui
Sungkui, nasi lontong yang dibungkus dengan daun "lirik", disajikan oleh Raja dan Ratu di Keraton Sanggau bersama dengan Kote. Jika Kote adalah menu hidangan pembuka, maka Sungkui ini adalah menu utama. Oleh karena itu, Sungkui dimakan dengan lauk-pauk seperti opor ayam dan sayur mayur. Ini mengingatkan pada "Lontong Sayur".






Menyulam Kain Part I
Tahu kami mengamatinya dan mulai mengarahkan lensa kamera, pemuda ini terus menyulam di atas kain panjang berwarna hitam dengan benang silver. Entahlah apakah ia terus menyulam begitu kami pergi?!. Ngedangdut dulu yuk, "...untuk apa sih, benang silver kau sulam di kain yang hitam?!."







Menyulam Kain Part II
Jari jemari tangan kanan-kiri saling bekerjasama, kanan di atas dan kiri (tidak kelihatan) menyambut jarum dan benang di bawah untuk dikembalikan ke atas membuat jalinan benang membentuk pola tertentu. Ya, menyulam!. Seorang perempuan manis berkerudung (lupa warna kerudungnya) sedang menyulam benang silver di atas kain merah yang sudah digambar pola.





Cendol Tepung Ketan
Cendol, Kolak  apa Bubur ya?. Whatever. Yang jelas, ini adalah welcoming beverages yang disajikan untuk kami di Dekranasda Sanggau disela-sela kami melihat-lihat aktifitas menyulam yang ditampilkan dan juga melihat-membeli (ini khusus para turisnya) berbagai produk kerajinan dari bahan rotan, kayu dan tanah. Dan, saya kaplingannya melihat dan interview saja, gak beli-beli. Ibu Bupati Sanggau menyambut kami dengan baik sebagai tuan rumah, selain menjelaskan produk-produk koleksi mereka, ia juga memperkenalkan dengan minuman ini. Rasanya seperti rasa kolak karena disajikan dengan santan kental dan gula merah dengan tambahan sedikit garam. Rasa cendol juga, karna memang cetakannya menggunakan cetakan cendol tapi bahan dasarnya dari tepung beras ketan bukan dari tepung sagu atau kanji yang menjadi bahan dasar cendol (dawet).



Pagoda Vihara Tri Dharma Sukalanting
Pagoda bertingkat lima di depan Klenteng Tua, Vihara Tri Dharma, Sukalantig-Kubu Raya ini jika
Sayang sekali, hanya dapat mengabadikan pagodanya saja, sementara bangunan klentengnya sendiri merupakan salah satu bangungan tua peninggalan bersejarah.














Piring Rotan
Is this what we call back to nature?.















Mi Sagu
Disebut Mi Sagu karena terbuat dari tepung sagu. Disajikan dengan kacang tanah goreng, ikan teri goreng, bawang goreng dan taburan daun bawang dan daun seledri. Jangan lupa kerupuk tempenya ya guys!. Di Pontianak, MI Sagu biasanya dijual di warung juadah bersama dengan ta'jil menjadi menu berbuka puasa di Bulan Ramadhan. Yang ini, ia menjadi sajian makan pagi kami di Vihara Tri Dharma Sukalanting-Kubu Raya saat ngetrip bareng dalam "Danau Sentarum Kapuas River Cruise Adventure 2017".



Lampion Kafe GK - Ngopi Yuuuukk
Kota Pontianak merupakan perhentian terakhir rombongan Danau Sentarum Kapuas River Cruise Adventure 2017. Ini masih dalam momen perayaan Imlek, sehingga kami bisa menyaksikan Kota Pontianak yang masih berdandan. Ya, salah satu asesoris wajib di moment Imlek adalah lampion, dan diantara berbagai macam jenis lampion, yang seperti di gambar ini salah satu yang saya sukai karena modelnya yang sangat sederhana namun elegan.

The hung lanterns - need acceptance of the differ to fly these lanterns where we stand for hopes, not the sole one but the hopes of every human with their own colors. 


Pam atau Emping Ketan Kiriman Emak






Musim Pam Tiba. Musim menandai panen akan tiba. Pam adalah bulir-bulir padi yang masih muda, kulitnya maish berwarna hijau bergradasi kekuningan. Proses pembuatannya lumayan rumit, padi ketan disangrai sampai kering dan beraroma khas, lalu ditumbuk sambil diaduk di dalam lesung dengan sutil atau kayu panjang. Sedikitnya, perlu dua orang dalam proses ini, yakni penumbuk dan tukang aduk. Saat ini, ada juga yang melakukan penggilingan dengan kisar terlebih dahulu setelah disangrai, baru kemudian ditumbuk. Biasanya, proses penumbukan tetap menyisakan padi yang masih utuh (antah) sehingga tetap perlu dipilih dan dipilah atau dipisahkan sebagai tahap akhir proses. Terakhir, ya dimakan. Untuk yang fresh (baru habis ditumbuk), enaknya dimakan “original” tanpa campuran apa-apa, utamanya Pam dari padi ketan yang cukup muda, bentuknya gepeng dengan tekstur lembut  dan aromanya wangi. Pilihan sajian lainnya adalah dengan cara dicampur kelapa muda parut yang dikukus terlebih dahulu (biar tahan lama) dengan tambahan gula merah atau gula pasir. Yummmmy betuuuuul. 

Sudah kebayang khan rumitnya. Ini belum tahapan awalnya, yaitu tentu saja tahapan membuka ladang. Karena, musim Pam ini menjadi bagian penting dalam siklus perladangan, mulai dari membuka lahan, membakar, menugal-menanam sampai panen tiba. Saking rumitnya proses membuat Pam, sering diungkapkan sebuah adagium bahwa seorang anak gadis ataupun anak lelaki belumlah bisa dikatakan dewasa jikalau belum bisa dan mampu menumbuk Pam. Tentu saja itu sangat kontekstual di pedesaan atau kampung yang komunitasnya masih mempertahankan tradisi berladang atau bersawah. Untuk komunitas yang masih berladang sekalipun, musim Pam ini dilewatkan saja (tidak membuat Pam) jika diprediksi hasil pananen tidak surplus ataupun mencukupi. Mereka memilih membiarkan dan menunggu sampai padi ketan matang untuk dipanen dan dijadikan beras.

Minggu, 08 Januari 2017

Tentang Pulang dan Rumah

Aku mulai begitu memaknai kata pulang ketika pertama kali aku pulang dari kantor ke rumah, meskipun hanya rumah kontrakan. Itu tahun 2001. Sebelumnya, kata pulang lebih kepada kata perintah dari ayah-ibuku ketika kami , anak-anak mereka masih kecil dan asyik bermain di kebun dan hutan sekitar rumah sampai lupa istirahat dan tidur siang (waktu itu yang aku ingat hanya kami berempat atau berlima bersaudara). Di masa itu kata pulang bisa berarti berhenti bermain, mulai membantu bekerja. Bisa juga berarti berhenti bermain, tapi tidur sianglah. Yang paling berat ketika kata pulang pada masa mulai masuk Sekolah Dasar, khususnya pulang kampung, dimana itu artinya hanya sekali dalam setahun pada saat libur panjang di bulan Juni dengan durasi hanya seminggu. Itu juga artinya tujuh hari atau seminggu dalam setahun bisa berjumpa denga Ibuku, dan biasanya selalu dibarengi dengan perkenalan dengan adik baru (lha iya ... aku masuk SD umur 6 tahun. Ibuku melahirkan setiap tahun. Setiap setahun pertambahan usiaku sama dengan bertambah satu adik kandung). Perjumpaan dengan Bapak juga tidak begitu sering tetapi jauh lebih sering dari perjumpaan dengan Ibuku, setidaknya dua atau tiga minggu sekali sampai sebulan sekali ketika ia turun menjual karet dan belanja. Itupun paling lama hanya semalam dan lebih banyaknya pulang hari (datang pagi, pulang sore atau datang sore, pulang pagi-pagi sekali esok harinya setelah sarapan pagi).

Mengapa kata "pulang" selalu menjadi sesuatu yang mengganjal?. Sesungguhnya, aku tidak pernah benar-benar pulang, tetapi terus berjalan, berjalan dan berjalan sampai pada suatu ketika aku begitu haru mengucapkan kata itu. Bagaimana tidak, ketika masuk SD, pulang dari sekolah artinya aku pulang ke rumah nenek-kakekku, bukan ke rumah bapak-ibuku yang jaraknya satu sampai dua jam perjalanan kaki menyusuri hutan yang masih lebat kala itu. Apakah itu pulang?. Ketika SMP sampai SMA, pulang dari sekolah artinya aku pulang ke rumah om-tanteku tempat aku menumpang selama masa pendidikan menengahku. Yang artinya aku harus siap melakukan banyak pekerjaan (karena menumpang di rumah orang meskipun masih keluarga, artinya harus siap mambantu melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh tiga orang sepupuku waktu itu). Apakah nyaman menyebut kata pulang?. Usai melewati enam tahun pendidikan menengah, akupun tidak pernah bisa memaknai kata pulang. Aku memasuki perguruan tinggi dengan kembali menumpang pada rumah saudara tanteku yang begitu baik selama satu setengah semester atau satu tahun setengah, kemudian tinggal sendirian menunggui rumah omku di Pontianak yang aku tidak jelas berapa lama, kemudian berlanjut tinggal bersama dengan kakakku setelah ia menikah di Jeruju dan kembali lagi tinggal di rumah om, bersama dengan mereka dan nenek serta satu orang adikku yang mereka bawa dari Sintang dengan status menumpang kuliah (setelah mereka pindah dari Sintang ke Pontianak). Ini tidak berlangsung lama, karna aku memutuskan kuliah sambil bekerja di sebuah organisasi non-pemerintah. Aku memutuskan mengontrak rumah di dekat kantorku dan jadilah aku menjalani hidup sebagai seorang aktivis sebuah gerakan sosial paling populer kala itu di Kalimantan Barat sekaligus menjalani hidup sebagai seorang mahasiswa semester akhir yang begitu panjang dan lama. Aku tidak bercerita tentang masa-masa kuiliah tapi kembali ke makna pulang. Bahwa, ketika mengontrak rumah dengan jerih payahku sendirilah, aku begitu memaknai kata pulang. Ketika aku menyelesaikan pekerjaan di kantor atau pulang dari lapangan, aku benar-benar pulang ke "rumah" (kontrakan). Ketika aku pergi ke kampus untuk mengurusi skripsi atau bertemu dosen pembimbing, aku dengan senang hati berteriak kepada kawan-kawanku, "aku pulang dulu, ya!". "Mainlah ke rumahku!."

Ya, aku benar-benar menikmati kata pulang, meskipun aku juga banyak menghabiskan waktu di kantor. Tinggal sendirian di rumah kontrakan membuatku juga tidak terlalu nyaman sehingga suatu hari aku memutuskan mengajak serta adikku. Tetap saja aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, lebih banyaknya tidur di kantor. Tapi, bukan berarti aku tidak lagi memaknai kata pulang itu. Aku masih senang mengatakannya ketika aku ingin pulang ke rumah kontrakan. Persoalannya, aku mulai tidak bisa memisahkan konsep pulang ke rumah, pulang ke kantor karena rumah kadang menjadi seperti kantor bagiku dan sebaliknya kantor kadang seperti rumah bagiku dimana aku bisa makan kapan dan dimanapun aku mau, menyeduh berapa gelaspun kopi yang kumau. Toh, di rumah ada adikku yang menempatinya.

Pulang begitu lekat dengan rumah (tinggal). Apapun itu, tergantung bagaimana memaknainya. Aku semestinya sudah sangat terbiasa memaknai kata pulang tanpa melihat status sebuah rumah tinggal atau tempat tinggal. Kemampuan mencari kenyamanan dan kepuasaan sendirilah sebetulnya yang menentukan apa makna yang diberikan. Dulu, pulang berarti aku bisa berkumpul dengan adik-adikku (yang pada prosesnya, aku tidak hanya tinggal berdua saja tapi berempat dengan tiga orang adikku), bisa berkumpul dengan teman-temanku. Dimana, tidak begitu penting biarpun di rumah kontrakanku dan terkadang titik kumpul justeru di rumah temanku. Saat ini, pulang bearti,berkumpul dengan keluargaku; para kurcaciku dan si Bapak. Bedanya, bukan lagi rumah kontrakan tapi rumah sendiri yang dibangun dengan jerih payah dan kecintaan untuk bisa membesarkan anak-anak dengan tidak harus berpindah-pindah mencari rumah kontrakan ketika habis masanya dan harus selalu siap menghadapi kenaikan uang sewa setiap tahunnya.

Seiring berjalannya waktu, aku tidak lagi sibuk memaknai kata pulang dan prosesnya tetapi lebih melihat esensi dari rumah. Rumahpun bukan sekadar bangunan fisik tempat tinggal tetapi pusat komunikasi, pendidikan, mencurahkan perhatian dan kasih sayang serta menemukan dan melakukan hal-hal baru bersama sebagai bentuk mewadahi kreatifitas setiap orang di dalam rumah. Akupun mulai menanamkan sedini mungkin konsep pulang dan rumah kepada anak-anak agar mereka tidak gamang seperti aku dulu ketika mencari makna kata pulang dan menemukan konsep rumah sampai aku merasa bahwa aku tak ubahnya seperti pengembara yang tidak tahu dimana perhentian akhir. Aku ingin anak-anakku merasa aman-nyaman dan bahagia di dalam rumah sehingga dimanapun dan kemanapun mereka kelak mereka tahu jalan pulang. Pulang yang sesungguhnya adalah ketika kita dinyatakan “selesai” dalam pengembaraan di dunia ini. Benar, hidup ini adalah pengembaraan. Rumah sejati ternyata bukanlah di dunia ini. Karenanya, sebagus apapun dan berapapun rumah di setiap jengkal tanah di dunia ini, tidaklah abadi. Kapanpun kita bisa kehilangannya. Aku memahami bahwa apa yang kusebut sebagai kenyamanan dan kebahagiaan sendiri itu lekang oleh waktu karena sifat manusiawi manusia. Semakin dalam aku memaknai kata pulang dan rumah bukan sekedar tubuh dan jiwa di suatu tempat dimuka bumi ini, adalah ketika satu persatu anggota keluarga, sahabat dan orang-orang yang kukenal berpulang. Mereka benar-benar pulang. Dan, akupun akan benar-benar pulang. Apa yang harus aku analisis lagi tentang proses ynag  kujalani selama ini. Kesimpulan, aku masih mengembara, menelusuri jalan pulang yang aku tidak tahu dimana perhentian terakhir. Mari menyiapkan jalan pulang yang indah dengan bahagia. 


Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...