Selasa, 25 April 2017

Mengingat Kembali Kelompok Perempuan Adat "Perompu Natai Sanggo"


Sudah empat tahun lewat tapi entahlah apakah kelompok "Perompu Natai Sanggo" masih ada dan konsisten?!. Atau, bahkan tinggal nama karena memang lebih gampang membangun sesuatu tapi tidak gampang mempertahankan sesuatu yang telah dibangun itu dengan banyaknya dinamika yang dihadapi. Facebook mengingatkanku tentang perjalanan ke Sungai Garong, sebuah kampung di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, Dan, empat tahun yang lalu, aku membuat catatan ini di facebookku. Sebenarnya, aku ingin bertanya kepada kawan-kawan yang memfasilitasi Kempung ini terkait pertanyaanku tentang konsistensi di atas. Sebuah realita bahwa kerap dalam banyak situasi, ketika katakanlah ketika ada pihak seperti NGO mengorganisir dna memfasilitasi berdirinya kelompok (kelompok apapun itu), yang diorganisir begitu bersemangat, banyak sekali gagasan yang seakan mendesak untuk dikongkritkan. Tetapi, sebaliknya ketika Sang Fasilitator "pergi", semangat itupun tinggal sementara, apalagi tidak ada jaminan keberlanjutan suatu program seperti itu yang mengandalkan bantuan donor dan kemandirian dalam masyarakat belum terbentuk.

Aku merasa perlu untuk memanggil kembali ingatan melalui tulisan ketika itu:

Adakalanya seseorang atau komunitas memaksa diri tinggal dalam situasi dan kondisi tertentu dengan dalih tak ada pilihan, padahal hanya tidak berani memilih dan tidak siap dengan konsekwensinya. Saya menemukan keberanian mengambil pilihan yang ekstrim dari kelompok perempuan di Sungai Garong yang beberapa waktu lalu saya fasilitasi bersama dengan dua orang teman perempuan saya (ini sekaligus reunian staff dan mantan staff dari lembaga yang pernah menjadi tempat kami berkarya). Keberanian ibu-ibu ini adalah berhasil membawa warga lain yang sebagian besar adalah laki-laki, untuk mengubah sebuah kesepakatan yang sudah sangat lama mereka buat terkait dengan hewan ternak. Kesepakatan ini ternyata berdampak tidak hanya oada lingkungan yang kotor (karena kotoran ternak tersebar dimana-mana) dan kesehatan (kotoran hewan jika terinjak atau tersentuh dalam keadaan luka bisa menyebabkan tetanus) tetapi juga terhadap akses dan kontrol perempuan atas sumber pangan seperti sayur mayur (tidak bisa berkebun atau menanam di pekarangan karena akan dimakan ternak (sapi, babi dan ayam). Sebagian besar warga bersikukuh untuk tidak mengandangkan ternak dengan dsar kesepakatan yang intinya "bukan salah ternak jika tanaman dimakan", sehingga warga harus berkebun-bertanam jauh dari pemukiman. Melihat keteguhan sebagian besar warga ini (sebagian besar laki-laki), sembilan ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok "Perompu Natai Sanggo" bertekad menambah rutinitas mereka sehari-hari yakni mengumpulkan kotoran ternak yang berceceran di sore hari ke suatu tempat untuk kemudian diolah menjadi kompos. Pilihan ekstrim ibu-ibu kemudian menjadi salah satu pertimbangan warga yang kekeuh tadi untuk mengubah kesepakatan yakni mulai secara bersama-sama mengandangkan ternak. Konsekwensi dari perubahan kesepakatan ini adalah adanya tambahan rutinitas seperti rutin memberi makan ternak yang biasanya mencari makan sendiri serta membersihkan kandang. 

Jika tulisan ini dibayangkan visualisasinya, pasti keren sekali khan ... tapi ya itu, balik ke pertanyaan di atas. Sepertinya, suatu saat aku mesti kembali ke sana. Pergi ke ladang bersama ibu-ibu di sana, melihat kelanjutan kebun yang kami cangkul bersama (meskipun saya mencangkul sebentar saja, biar difoto keren), mandi di riam bersama mereka, dan menyaksikan rutinitas mereka yang kesemuanya itu dalam prosesnya selalu menyelipkan perbincangan-perbincangan tentang realitas, harapan, dan gagasan mereka. Bahwa sebetulnyanya mereka memerlukan penguatan terus menerus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...