Rabu, 16 November 2016

Egoisnya Orang Dewasa



Pernah ada yang mengatakan bahwa orang dewasa adalah anak-anak dalam ukuran lebih besar. Apakah bisa sebaliknya, mungkin dalam konteks kelakuan, oleh karenanya kerap kita dengar orang dewasa yang kekanak-kekanakan. Tapi dalam hal pengetahuan dan pengalaman tentu tidak bisa dilihat sebaliknya seperti itu. Orang dewasa pernah melewati masa kanak-kanak dan tidak sebaliknya, anak-anak belum pernah dan tidak mengetahui seperti apa menjadi dewasa, tetapi mereka akan melewati proses dari anak menjadi dewasa. Sehingga, bagi anak-anak segala sesuatu baru berhubungan dengan segala sesuatu yang mereka alami dengan panca indera mereka. Segala sesuatu akan mereka pelajari, dan orang dewasalah gurunya. Bagaimana caranya?.

Anak-anak merekam sangat baik apa yang mereka lihat dan dengar, sekaligus mereka akan menirukannya dengan sangat baik. Sengaja saya memasang foto ini, untuk mengingatkan diri saya dan orang-orang dewasa lainnya untuk memastikan apa yang mereka lihat dan dengar saat ini tidak akan menjadikan mereka kelak sebagai orang dewasa yang rasis, benci orang yang berbeda dengannya, mengadu domba, membenarkan kezaliman atas apa yang ia anggap benar dan diam bahkan tertawa dan mengambil keuntungan di atas kemalangan saudara-saudaranya.
Image result for Kartun KEbencian
Eddy P. Anggono on Twitter

Tapi, orang dewasa begitu egois. Lihatlah spanduk-spanduk bertuliskan kebencian dan foto-foto berekspresikan kemarahana di jalanan yang tidak mungkin anak-anak kita tutup matanya agar tidak melihat. Beberapa waktu lalu seorang teman yang tinggal di Jakarta menyuarakan kekhawatiran terkait ini dalam status FB-nya. Bagaimana perasaan dan pikiran anak-anak menyaksikan ini?. Lihatlah media mainstream yang dengan keberimbangan informasinya sekalipun perlu kerja keras orang dewasa menjelaskannya. Tulisan headline berita terkadang memikirkan "ear-catching dan eye-catching" versinya orang dewasa, padahal byk pembaca dan penonton anak. Itu baru headline, belum isinya yang saling mengumpat kadang berbungkus analisis ilmiah para pakar, tapi tetap saja ketahuan mengumpat.

Iya, ujaran kebencian berseliweran dimana-mana, di ruang publik sekalipun. Sosial media juga sudah menjadi corong yang lantang sekaligus ruang bergema dari suara-suara orang dewasa saling mengutuk berbasis perbedaan yang sayangnya masih berkutat pada isu rasisme, di negeri yang pluralisme suku, agama, ras dan antar golonganya tidak bisa ditolak. Mayoritas versus minoritas, superior versus inferior, besar versus kecil, begitulah kondisinya. Secara posisi, begitulah sering digambarkan situasinya sesederhana melihat hitam-putih dan benar-salah. Orang dewasa berdebat tentang kebenaran dan memaksakan satu kebenaran absolut. Anak-anak bisa bicara apa tentang benar-salah itu?. Orang dewasa bicara tentang pengetahuan mereka tentang ajaran agama, tapi mereka tidak berani berdampingan dan menerima bahwa ada enam agama di Indonesia. Anak-anak harus seperti apa berlaku dan bersikap terhadap kawan-kawan mereka yang berbeda hanya kebetulan ikut orang dewasa yang adalah orang tua mereka karena toh mereka masih belum bisa memilih. Ini juga berlaku untuk suku atau etnis, Indonesiaku masih berkutat pada membeda-bedakan yang sudah berbeda dari cara berpakaian, bentuk mata, warna rambut, bahasa, warna kulit bahkan nama. Bagaimana anak-anak bisa memahami ini. Sekali lagi mereka tidak punya pilihan dan tidak akan pernah bisa memilih, sama halnya yang orang dewasa alami ketika mereka masih menjadi anak-anak.Itu saja. Aku terlalu lelah dengan cerita memfollow kemudian unfollow, cerita bagi-bagi informasi dari menjamurnya sumber informasi dalam bentuk situs-situs yang isinya bermuatan SARA, cerita perang komentar di media sosial dan cerita tentang "orang kita".

Menunggu arah ini kemana?. Ya tidak perlu dipikirkan. Aku tidak sedang membahas status terperiksa Ahok yang naik menjadi tersangka setelah melalui proses gelar perkara dalam kasus dugaan penistaan itu. Ada hubungannya?. Ya iyalah ada hubungan, karena memang seluruh mata tertuju kepadanya saat ini. Tapi, aku  tidak akan beropini atau menganalisa ini. Sudah cukup banyak ahli ketimbang aku yang memang bukan ahli ini. Biarlah aku menjadi warga negara yang baik, turut serta menghormati proses hukum yang sedang berlangsung sampai nanti digelarnya proses persidangan yang transparan dan rencananya akan digelar dan disiarkan secara live di media televisi mengikuti sidang kasus kopi bersianida yang disiarkan live di beberapa media televisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...