Rabu, 23 November 2016

Titik Perspektif

Lama aku tidak beranjak dari rutinitas wajib dan menjalani pekerjaan yang lebih kuanggap seperti keisenganku yang lain karena ternyata tidak cocok kusebut sebagai hobby. Kenyataannya, sudah berlalu setingkat satu tahapan sekolah tingkat lanjut bahkan lebih (baca: lebih dari tiga tahun). 

Dua hari ini, mencoba bergeser sedikit dari titik yang selalu menjadi tempat yang sama dalam waktu hampir satu tahun, hanya satu titik hingga aku seakan tidak memiliki perspektif lain. Bergeser, bukan membangun perspektif baru tapi menjejaki kembali mungkin pada titik yang sama seperti yang sudah-sudah. Mungkin juga menghadirkan objek baru meski dari perspektif dan titik yang sama. 
Bingung ya. Akhir-akhir ini aku memang sedang hanya ingin membuat orang lain berpikir, berpikir dan berpikir. Memikirkan yang tidak berat, tapi bermain kata-kata karena sesungguhnya, apapun yang ada dimuka bumi ini begitu bebas untuk kita terjemahkan. Kekuatan kata-katalah yang mampu melakukan semua itu dan keinginan untuk melihat dari berbagai sudut yang berbeda (yakni perspektif) sangat diperlukan. 
Sudah dua hari aku di Bogor mengikuti sebuah Kongres sebagai salah satu bentuk kewajibanku dalam sebuah perkumpulan. Semuanya terlihat sama dan berulang-ulang. Ibarat film, saat ini aku sedang bermain peran untuk film yang sama dalam sekuel yang beda, aktor-aktirs yang sama dengan pembedaan di model fashion dan setting (latar) baru. 

Di hari pertama, aku tertarik pada objek yang penderita di ruangan pertemuan, yakni bunga segar yang menjadi pajangan di atas meja. Yah, namanya juga pajangan, siap2 dibuang kl tak menarik lagi dilihat dan digantikan dengan yang baru. Hush, bukan kamu. Maksudnya bunga ini. Pajangan pemanis meja peserta Konferensi Ekosistem Gambut utk Keselamatan & Kesejahteraan Rakyat. Yah, sebelum ia dibuang pelayan hotel dan diganti dengan yang baru. 

Intinya, tidak ada yang benar-benar tak tergantikan di muka bumi ini. Kecuali kamu di hatiku. Inilah celotehan sekaligus bentuk perspektif berbedaku di atas sibuknya orang-orang bicara asap, kebakaran lahan, gambut dan penegakan hukum. Ada waktu bertanya, tapi kuenggan, pertanyaan itu berhenti pada catatan kecilku saja. Aku bergumama, "aku malas bertanya, bertanya itu pekerjaanku, sementara aku ingin libur dari pekerjaan dan hanya ingin menjalankan kewajiban yang lain." Berakhirlah cerita dan jepretan ponselku dengan objek bunga di salah satu sosmed yang kuikuti. Ada komentar, tapi aku yakin tidak ada yang tersakiti. Inipun hanya pajangan. JIka ingin menterjemahkannya berbeda, tentu sangat mungkin ketimbang menyamakan persepsi, yang bisa-bisa bablas seperti "ngekor", gak kreatif, dan ada versi lebih parahnya lagi bahkan bisa berbuntut perkara, yakni jika plagiat. Jangan sampai. 


Red Zenia dan White Krysan
Foto diambil olehku dengan HP sendiri

Bunga disediakan oleh pelayan hotel sebagai fasilitas pertemuan. 

Lokasi Foto di IPB Convention Center, persisnya di meja bundar tempat aku dan peserta lainnya. 

Coretan disosmed kupublished di IPB Convention Hotel, sedangkan;
Tulisan ini kubuat untuk mengundang kantuk di hotel Padjajaran Suits (aku selalu susah tidur di tempat baru di awal kedatangan).


Selamat malam pengagum hal-hal yang unik, anti-mainstream dan pengagum kata-kata. 

Rabu, 16 November 2016

Egoisnya Orang Dewasa



Pernah ada yang mengatakan bahwa orang dewasa adalah anak-anak dalam ukuran lebih besar. Apakah bisa sebaliknya, mungkin dalam konteks kelakuan, oleh karenanya kerap kita dengar orang dewasa yang kekanak-kekanakan. Tapi dalam hal pengetahuan dan pengalaman tentu tidak bisa dilihat sebaliknya seperti itu. Orang dewasa pernah melewati masa kanak-kanak dan tidak sebaliknya, anak-anak belum pernah dan tidak mengetahui seperti apa menjadi dewasa, tetapi mereka akan melewati proses dari anak menjadi dewasa. Sehingga, bagi anak-anak segala sesuatu baru berhubungan dengan segala sesuatu yang mereka alami dengan panca indera mereka. Segala sesuatu akan mereka pelajari, dan orang dewasalah gurunya. Bagaimana caranya?.

Anak-anak merekam sangat baik apa yang mereka lihat dan dengar, sekaligus mereka akan menirukannya dengan sangat baik. Sengaja saya memasang foto ini, untuk mengingatkan diri saya dan orang-orang dewasa lainnya untuk memastikan apa yang mereka lihat dan dengar saat ini tidak akan menjadikan mereka kelak sebagai orang dewasa yang rasis, benci orang yang berbeda dengannya, mengadu domba, membenarkan kezaliman atas apa yang ia anggap benar dan diam bahkan tertawa dan mengambil keuntungan di atas kemalangan saudara-saudaranya.
Image result for Kartun KEbencian
Eddy P. Anggono on Twitter

Tapi, orang dewasa begitu egois. Lihatlah spanduk-spanduk bertuliskan kebencian dan foto-foto berekspresikan kemarahana di jalanan yang tidak mungkin anak-anak kita tutup matanya agar tidak melihat. Beberapa waktu lalu seorang teman yang tinggal di Jakarta menyuarakan kekhawatiran terkait ini dalam status FB-nya. Bagaimana perasaan dan pikiran anak-anak menyaksikan ini?. Lihatlah media mainstream yang dengan keberimbangan informasinya sekalipun perlu kerja keras orang dewasa menjelaskannya. Tulisan headline berita terkadang memikirkan "ear-catching dan eye-catching" versinya orang dewasa, padahal byk pembaca dan penonton anak. Itu baru headline, belum isinya yang saling mengumpat kadang berbungkus analisis ilmiah para pakar, tapi tetap saja ketahuan mengumpat.

Iya, ujaran kebencian berseliweran dimana-mana, di ruang publik sekalipun. Sosial media juga sudah menjadi corong yang lantang sekaligus ruang bergema dari suara-suara orang dewasa saling mengutuk berbasis perbedaan yang sayangnya masih berkutat pada isu rasisme, di negeri yang pluralisme suku, agama, ras dan antar golonganya tidak bisa ditolak. Mayoritas versus minoritas, superior versus inferior, besar versus kecil, begitulah kondisinya. Secara posisi, begitulah sering digambarkan situasinya sesederhana melihat hitam-putih dan benar-salah. Orang dewasa berdebat tentang kebenaran dan memaksakan satu kebenaran absolut. Anak-anak bisa bicara apa tentang benar-salah itu?. Orang dewasa bicara tentang pengetahuan mereka tentang ajaran agama, tapi mereka tidak berani berdampingan dan menerima bahwa ada enam agama di Indonesia. Anak-anak harus seperti apa berlaku dan bersikap terhadap kawan-kawan mereka yang berbeda hanya kebetulan ikut orang dewasa yang adalah orang tua mereka karena toh mereka masih belum bisa memilih. Ini juga berlaku untuk suku atau etnis, Indonesiaku masih berkutat pada membeda-bedakan yang sudah berbeda dari cara berpakaian, bentuk mata, warna rambut, bahasa, warna kulit bahkan nama. Bagaimana anak-anak bisa memahami ini. Sekali lagi mereka tidak punya pilihan dan tidak akan pernah bisa memilih, sama halnya yang orang dewasa alami ketika mereka masih menjadi anak-anak.Itu saja. Aku terlalu lelah dengan cerita memfollow kemudian unfollow, cerita bagi-bagi informasi dari menjamurnya sumber informasi dalam bentuk situs-situs yang isinya bermuatan SARA, cerita perang komentar di media sosial dan cerita tentang "orang kita".

Menunggu arah ini kemana?. Ya tidak perlu dipikirkan. Aku tidak sedang membahas status terperiksa Ahok yang naik menjadi tersangka setelah melalui proses gelar perkara dalam kasus dugaan penistaan itu. Ada hubungannya?. Ya iyalah ada hubungan, karena memang seluruh mata tertuju kepadanya saat ini. Tapi, aku  tidak akan beropini atau menganalisa ini. Sudah cukup banyak ahli ketimbang aku yang memang bukan ahli ini. Biarlah aku menjadi warga negara yang baik, turut serta menghormati proses hukum yang sedang berlangsung sampai nanti digelarnya proses persidangan yang transparan dan rencananya akan digelar dan disiarkan secara live di media televisi mengikuti sidang kasus kopi bersianida yang disiarkan live di beberapa media televisi.

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...