Rabu, 16 September 2015

What Is A Name? Apalah Artinya Sebuah Nama?!

Coba tebak, apakah ini?.

Jika pertanyaan ini kuberikan, banyak orang akan menjawab ini adalah gambar jantung pisang. Mereka menyimpulkan demikian karena warna dan bentuk yang menyerupai jantung pisang. Tapi, ini bukan jantung pisang. Rekayasa salah satu program editing photo telah mengelabui. Kitapun seringnya menilai sesuatu hanya dari apa yang kita lihat, atau tidak utuh. Sekalipun demikian tidak penting apakah benar atau tidak (bukan salah, karena tebakan tidak pernah mengenal salah tapi tepat atau tidak, apalagi untuk sesuatu yang tidak awam bagi pandangan dan pengetahuan banyak orang, dan jika ditambah lagi sesuatu itu adalah hasil kreatifitas.

Blooming FLo In My House Yard
What's a name?, demikian kata pujangga dari England William Shakespeare. Jadi, tidak perlu terperangkap mencari nama atau gambar apa ini. Aku hanya ingin mengatakan beberapa hal tentang penilain. Subjektifitas terhadap sesuatu sering membuat kita tidak mau berpikir, hanya berhenti pada "ya" dan 'tidak", "benar" dan "salah", "tepat" dan "tidak tepat". Padahal, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi menuntut lebih dari itu. Sebagai contoh, tidak lagi penting sebuah teori memiliki banyak pengikutnya (yang meyakininya) tetapi bagaimana pengikut suatu teori mampu melahirkan teori-teori baru yang tidak mesti mendukung atau membantah teori sebelumnya. Disitulah tantangan dari berpikir kritis terhadap segala sesuatu, yakni tidak berhenti pada satu titik, melain mencari dan mencari dan mendapatkan penemuan baru. Saya tidak merasa penting mengklarifikasi pendapat tiga orang yang saya tanyai tentang gambar ini dalam satu hari, dan ketiganya mengatakan ini jantung pisang. Baiklah mereka dengan pikiran mereka. Toh, jika mereka betul-betul ingin mengetahui yang sesungguhnya, mereka semestinya tidak hanya sekedar menjawab melainkan bertanya balik dan aku akan menjelaskan proses bahwa tak pernah terpikirkan untuk membuat objek menyerupai jantung pisang untuk mengelabui orang lain. Ini hanya proyek uji coba program editing baru dalam rangkaian proyek belajar photographyku.

Bagi manusia, tentang sebuah nama, di dalamnya selalu melekat jati diri. Nah, jati dirimu bisa melampui sekedar nama yang diberikan oleh orang tua meskipun orang meyakini nama dari orang tua memuat doa dan harapan akan segala yang baik. Ada banyak juga pemberian nama hanya betul-betul sekedar identitas, dan memang, jati diri memang tidak selalu sejalan dengan nama. Contoh sederhana adalah kehebohan orang-orang di media akan beberapa nama unik seperti Andy Go To School, Rudy Good Boy, Happy New Year, Syaiton, dan Tuhan. Tiga serangkai dan bersaudara Andy, Rudy dan Happy ini diklaim oleh orang tua mereka sebagai bentuk harapan akan kebaikan pada sifat dan nasib anaknya, tapi bagaimana dengan Syaiton dan Tuhan?. Teman spesialku bergurau seperti ini, "ya, ga apa-apa juga namanya Syaiton yang penting bukan Syaiton ya Rojin (Setan yang terkutuk)." Aku punya keyakinan bahwa tidak terpikirkan apa makna dan apa yang mungkin dipikirkan orang lain akan nama tersebut oleh orang tua Syaiton, apalagi mendoakan anaknya menjadi setan. Bisa saja karena phonetic syaiton yang kedengaran indah atau ada alasan lain, itupun tidak penting. Bagaimana dengan Tuhan?. Nah, yang ini yang lumayan serius karena sampai ada protes dari lembaga pemberi fatwa, karena dianggap melecehkan Tuhan. Aku juga yakin sekali, orang tua Tuhan tidak bermaksus demikian ketika memberikan nama itu, pun tidak untuk menyaingi Tuhan atau men-Tuhan-kan anak mereka. Toh, banyak sekali orang-orang lain yang sering mengatasnamakan Tuhan, mengatasanamakan kebenaran lalu sampai mengingkari ke-Tuhan-annya Allah dan ke-Allah-annya Tuhan, dan Ke-Esa-annya Tuhan Allah dengan menyerukan kebesaran nama Tuhan untuk memerangi orang lain yang mereka anggap tidak benar karena tidak sesuai dengan keinginan dan aturan mereka. Bukankah orang-orang seperti ini yang melecehkan Tuhan, menghinakan Tuhan??!!!


Senin, 03 Agustus 2015

JURNAL DUA MALAM: Menembus Negeri di Atas Awan dan Napak Tilas Dongeng Negeri Buah Kana



Sebuah jurnal perjalananku menembus negeri di atas awan untuk pertama kalinya melewati rute dari Kota Pontianak ke Kota Sintang sejak dibukanya jalur udara. Aku mengawali bulanku, ya bulan Juni adalah bulanku karena ini adalah bulan dari tanggal lahirku. “Juni, kau masih setia saja, ya!”. Tapi, ulang tahunku masih beberapa pekan lagi. Entah, semoga ada lagi hal yang menggugahku mengisi laman tengah ruaiku ini. Kadang merasa bersalah padanya ketika ia mulai sepi bisu dan kaku. Kaku disini bukan hanya tak ada tulisan tapi juga gambar-gambar yang bisaku narasikan. 
Moderating Daniel Banai, M. Afen dan Munaldus Nerang

Kali ini, aku memenuhi undangan tugas yang sering kusebut “doing a hobby instead of job’. I won’t going too far with this statement. Let’s say just “work” to make it more general in intepretation. Lha piye tho...kog jadi speaking English. Ini tanda-tanda bahwa aku sebetulnya lagi bingung mulai darimana. Intinya, ada dua hal yang kuceritakan disini dalam bingkai Jurnal Dua Malam. Pertama, ini adalah cerita tentang reuni dengan teman SMP, SMA dan Kuliah meski ini sebetulnya tidak disengaja, termasuk cerita tentang kesan pertama untuk rute penerbangan Pontianak-Sintang.  Kedua ini adalah cerita part of the work, dimana aku “membantu” menjadi Moderator peluncuran buku novel seorang  penulis yang kebetulan adalah saudara kandung dari teman akrabku ketika kuliah, ya ... komentar umumku tentang Novel Keling Kumang. 

Negeri di Atas Awan dan Reuni Tak Disengaja
Sintang bukan tempat yang asing bagiku. Enam tahun aku menghabiskan waktu di masa-masa pertumbuhan karena memenuhi hakku atas pendidikan di sekolah lanjutan pertama (di SD Pancasetya I) dan menengah (SMAN 1).
Sayangnya, tidak banyak Golden Memoryku di masa-masa itu. Ini hanya sekedar mengambil hak atas pendidikan dan kebutuhanku untuk menimba ilmu pengetahuan, karena enam tahun dijalani hanya dengan rutinitas sekolah-pulang (bekerja membantu urusan rumah tangga dan mengasuh saudara sepupu, anak dari om-tante tempat aku dan saudara-saudaraku yang lain tinggal menumpang). Sementara, diusia segini, mestinya anak seusiaku masih dalam pengawasan dan kontrol orang tua dan tentu penuh dengan kasih sayang orang tua, dijaman sekarang disebut dengan usia ABG. Tapi, kebutuhan akan kasih-sayang, peluk hangat dan perhatian lain dari orang tua pun sudah jauh sebelumnya tak kudapat karena sejak usia 6 tahun saat masuk SD saja, aku sudah berpisah dengan orang tua, tinggal dengan nenek-kakek di pusat desa, untungnya dalam pengasuhan yang begitu membekas penuh dengan kasih-sayang meski ya ...tetap saja beda dengan orang tua. Sudahlah ... ini bisa menjadi sub cerita tersendiri lagi kalau diceritakan. 

Aku akan mencoba runut saja, tanpa menggebu-gebu. Bagaimana ya menggambarkan tentang kekaguman terhadap ciptaan Tuhan. Ya, aku selalu mengagumi berbincang-bincang dengan Gustiku atas bahagianya aku menyaksikan tumpukan-tumpukan mega (awan putih bersih) di langit biru sepanjang perjalanan di udara. Sering aku terbang, tapi tak selalu kutemui mereka yang begitu kontras biru (light blue)-putih bercahaya (bright white) ditambah lagi pelangi kembar yang biasa ku lihat dario bawah, kini terlihat dari atas awan berkilau di satu spot menjelang pendaratan persis di satu area saja.Itu pertanda habis hujan. 

“Wow, pelangi!!!”.
“Bukan satu tapi dua”. "Double MeJiKuHiBiNiU (Merah-Jingga-Kuning-Hijau-Biru-Nila-Ungu)."
"Gusti, apalagi yang kupinta selain bisa melihat indahnya lukisan ini."
"Beri lagi aku langit biru itu, ya."

Tak henti aku berterima kasih pada Gustiku atas keindahan ini. Entahlah, kenapa aku menjadi peragu untuk mengambil kamera EOS 60D ku untuk mengabadikannya, dan akan tercipta syair-syair indah pujian atas-Mu. Tak henti aku bersyukur, karena di pendaratan aku sudah dijemput oleh sahabatku, Neneng. Hampir dua puluh tahun sejak 1996 kami tidak bertemu. Aku memang menelponnya sesaat sebelum berangkat, dan ia menawarkan menjemput di airpot dan memintaku tidak menolak tawaran makan siang di rumahnya. Semua aku iyakan karena memang belum kesampaian bertemu sejak ia menelpon keacara  talk showku yang sedang on-air dimana aku sedang nge-host. Dan, ia menelpon hanya untuk meminta nomorku ke stasiun TV tempat aku bekerja. I was thinking she might be "gone" already, karena dia sering sekali pingsan plus pake kerasukan segala waktu kami masih di SMA dulu. Ternyata kami masih sangat saling mengingat jelas perawakan masing-masing, hingga singkat saja pertemuan setelah hampir dua puluh tahun itu membuat aku tak “tertangkap” oleh Even Organizer acara yang mengundangku yang juga menjemputku (ternyata) ke air port. Tapi, berhubung EO tidak pernah konfirmasi adanya jemputan, singkat saja aku melaju diboncengan Neneng. Kami menuju ke rumahnya. Makan siang sudah siap dan aku menyempatkan untuk berkenalan dengan suami dan dua anaknya, mengagumi rumahnya yang besar berkesan alami karena dikitari pohon-pohon karet. 

Devi, Neneng and Me
Perjumpaan dengan Neneng membuahkan agenda lain untuk bertemu dengan teman kami yang lain, Devi. Kami wara/i mencari alamat Devi yang kami sendiri tidak tahu bahkan tidak ada sedikitpun petunjuk untuk sekedar bertanya kepada orang lain misal tetangganya, kami hanya tahu dia di Alai. Tapi, akhirnya kami dipertemukan juga dengan nge-track ke tempat Devi pernah bekerja (berdasarkan info dari suami Neng). Cerita romansa, ngarol ngidul, aku lebih banyak mendengar karena sebagian besar teman-teman SMA aku lupa nama mereka. 

Reuni ini berlanjut lagi (tanpa sengaja) ketika aku sudah mulai siap dengan agenda, berkah keawalan datang di acara, aku bertemu dengan pemilik katering acara yang ternyata adalah teman SMP-ku, Cori. 

Turun dari mobil, aku menyaksikan perempuan "berbobot' sedang mengatur tataan sajian makan malam di atas meja prasmanan. Aku merasa mengenalnya dan menepuk bahunya.
 
"Hai...", sapaku lembut. 
"Apa kau masih kenal aku?," tanyaku ragu bercampur penasaran.
" Waaaiii, Iwi ... !!!".
Sambil berangkulan denganku ia segera berujar, "tentu saja aku ingat, gimana bisa lupa dengan Iwi, Si Mata Kucing. Mata kucingmu itu lho, masih juga sampai sekarang, gak berubah.". 

Sesi saling bertanya kabar berlanjut dengan cerita tentang hidup dan pekerjaan. Ternyata, kami sama-sama pernah menjadi aktivis dan juga sama-sama terpaksa mendaftar PNS "demi" orang tua. Bedanya, aku mundur setelah dinyatakan lulus dan merasa begitu mencintai kemerdekaanku dan dia memilih menjalani saja keinginan orang tuanya dan mencoba menikmati "kepegawaiannya" dia dengan nyambi usaha katering bersama saudara-saudaranya. Ia bahkan mesti melanjutkan sekolah S2 yang sebetulnya tidak ia sukai demi karir pegawainya, sedang aku, bertahun-tahun bermimpi mau ambil S2 di luar negeri belum kesampaian dengan bermacam alasan. Itulah hidup.
Cori and Me

Belum lepas bernostalgia dengan teman di SMP dan SMA, dan sembari menunggu acara, aku mendapat SMS dari Bang Masri Sareb, sang Penulis buku Keling Kumang yang sebentar lagi akan di launching dan dibedah, dan aku akan menjadi moderator di bedah bukunya. 

SMS diterima ...
"Iwi, Fidel and our dad are otw from Sanggau to Sintang now."
"Really?!, tanyaku menegaskan. 
"Yup." Jawab Bang Masri. 
"Sounds good to me after been long."

Ya .... Fidel memang datang setelah acaraku sedang running, aku bisa menyaksikan dari panggung tempat aku sudah bertugas menjadi moderator bedah buku yang menghadirkan tiga orang pembahas. Mereka ini adalah Munaldus Nerang (Boards dan Founder CU Keling Kumang), Daniel Banai (Narasumber Utama buku Keling Kuman), dan M. Afen (Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Sintang). 

Fidel and Me
Aku dan Fidel juga bercerita tentan kehidupan dan pekerjaan masing-masing. Tidak banyak karena perbincangan ini mesti diselingi dengan foto-foto bareng, say good bye dan juga basa-basi karena sudah penghujung seluruh rangkaian acara launching dan bedah buku. I'm so proud of him for he is now being the real teacher as what exactly we have to be, while I'm not. Fidel is a headmaster at school now. 


 



Keling Kumang, The Historical Work of My Young Age
Ini hanya sekedar komentar umumku terhadap novel Keling Kumang. Bagiku pribadi, hadirnya novel yang diklaim oleh sang penulis, Masri sebagai sebuah novel berlatar sejarah menjadi sedikit ruang untuk napak-tilas ke masa dimana aku masih mendengarkannya sebagai sebuah cerita lisan pengantar tidur atau ritual bercengkrama dengan almarhum kakek yang ketika itu begitu kukagumi bagaimana begitu detilnya alur cerita lengkap dengan mantra-mantra pujian (syair dalam bahasa Iban 'dalam' yang aku sendiri tidak paham hanya memahami beberapa konteks seperti pujian terhadap manusia dan alam serta kidung perasaan sedih-bahagia yang menggambarkan dinamika kehidupan di sebuah negeri "Buah Kana" atau yang umum dikenal sebagai kayangan. Keling dan Kumang adalah dua tokoh sentral dalam cerita ini. 
With Hetty and Angel, Staffs of KK, Photo: Hetty

Novel ini juga sudah mengisi kerinduanku pada sosok seorang kakek sang pendongeng. Aku bahkan tidak pernah sekalipun mendengar Ayah-Ibuku berdongeng untukku, apalahi tentang Keling Kumang karena mereka merasa tidak punya kemampuan untuk melakukan itu sepeti kakekku. Itu yang kusebut sebagai napak-tilas, seolah-olah almarhum kakek kembali hadir. Aku senang sudah memiliki satu referensi dalam bentuk novel untuk mengingat kembali momen bersama kakek dan juga inti cerita Keling Kumang, meski itu semua dalam ruang dan waktu yang jauh berbeda. Ya, di jaman digital, kultur bercerita lisan seperti yang dilakukan orang tua dahulu mesti mulai bergeser-meluas-bertransformasi (aku tidak ingin mengatakan berubah) dalam hal tekhnik. Visualisasi dalam bentuk novel atau mendokumentasikan "folklore" atau cerita rakyat yang seringnya dituturkan lisan. Dengan menuliskan tentu akan memperkaya pengetahuan banyak orang tentang cerita itu sendiri, baik tentang alurnya, nilai-nilai (moral), pesan serta relasi (atau jika ada, kaitan bahkan keterikatan) dari cerita itu sendiri dengan masa sekarang. Persis seperti ketika saat ini orang Indonesia sedang menggilai film Mahadewa, Mahabrata dan Khrisna dalam berbagai kemasan ceritanya tanpa menghilangkan inti dari cerita itu sendiri serta tokoh-tokoh sentralnya. Cerita Mahadewa contohnya, sebetulnya hanyalah cikal-bakal lahirnya kitab Wreda umat Hindu tetapi ia menjadi sangat universal dalam hal penikmat karena mengangkat soal budaya lampau dan juga mengajarkan nilai-nilai pengorbanan serta keikhlasan. 

Secara substansi, aku belum meluangkan waktu membaca detil Novel Keling Kumang. Toh, buku itu kemudian kujadikan hadiah untuk kakakku. Akan tetapi, ada beberapa poin penting bagiku dari novel itu sendiri secara spesifik dan cerita Keling Kumang sebagai sebuah cerita lisan popular di kalangan Dayak Iban secara umum. 

With Cori, Angel and Masri, Photo: Masri
Novel Keling-Kumang memang tidak (akan) mampu menyajikan utuh sebuah cerita lisan popular Dayak Iban yang memiliki berbagai macam versi berdasarkan penuturnya. Namun, tokoh-tokoh sentral, termasuk tokoh lain disamping Keling dan Kumangpun membutuhkan eksplorasi lebih jauh dan mendalam. Salah satu pembahas sekaligus narasumber utama, Daniel Banai, misalnya mengingatkan Sepunti sebagai salah satu tokoh sentral yang selalu ada bersama Kumang atau asisten Kumang, sebagai tokoh perempuan yang begitu kuat dan setia. Demikian juga dengan tokoh yang disebut sebagai Inai Bujang. Sepertinya, timeline menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi penulis. Terlihat dengan hanya ada satu narasumber utama, padahal ada banyak orang tua yang juga memahami betul cerita ini. Tentu akan menjadi lebih kompleks jika mencari lebih dari satu narasumber tetapi sebetulnya dengan mengambil lebih banyak narasumber, novel ini akan lebih kaya melalui proses sinkronisasi dan lebih mampu menggambarkan dinamika yang dihadapi masing-masing tokoh sentral. Tapi, baru-baru ini aku mendengar bahwa novel ini akan dibuat trilogi dan juga sebuah miniseri TV. Semoga proses menuju pencapaian berikutnya ini bisa lebih menggambarkan beberapa hal yang kusampaikan di atas. 

Novel Keling-kumang dan cerita Keling-Kumang mengingatkan kita akan adanya keterikatan masa lampau dan masa sekarang diantaranya nilai-nilai kultural dan filosofis. Sebagai contoh, CU (Credit Union) Keling-Kumang yang menjadikannnya cikal-bakal dalam sejarah  yang tidak hanya terpusat pada aspek keuangan saja tetapi juga pada aspek sosial (di sektor pendidikan dengan adanya SMK Keling-Kumang yang baru berdiri tahun 2015). Hal ini disampaikan oleh Munaldus Nerang, Pendiri dan Pengurus Keling-Kumang pada saat peluncuran Novel Keling-Kumang di Aula CU Keling-Kumang Juni lalu. 

Penulisan cerita Keling-Kumang ke dalam Novel menunjukan bahwa tradisi lisan (budaya bertutur) sudah mulai bergeser menjadi budaya menuliskan atau mendokumentasikan. Ini diakui oleh seorang pembahas, pak M. Afen, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sintang (diungkapkan pada acara peluncuran buku). Menurut saya, "pergeseran" ini sebaiknya dilihat sebagai perkembangan dalam proses transformasi dan transfer pengetahuan dengan tesis sederhana bahwa budaya membaca sudah semakin membaik dan masyarakat bahkan di kampung-kampung sudah melek media (media literacy). 

Dan, aku ingin menutup tulisan ini dengan kutipan yang kukutip dalam penutupan sesi peluncuran dan bedah buku Novel Keling-Kumang. Kutipan dari seorang maestro sastra, tapol Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer, yang sudah seperti menjadi keharusan buatku. 
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian". 


*** 

FYI: ini adalah tulisan yang sudah tersimpan lama sekali sebagai draft sejak bulan Juni, dan baru statusnya "finish" dalam hitungan bulan.









Kamis, 28 Mei 2015

Ketika Semua Bicara Senja

Photo: Iwi S
ku pernah bilang...

Gagap syukur dan gagal paham itu akan seperti penyakit akut yang bisa disembuhkan dengan membuka mata selebar dunia dan hati seluas samudera. Lalu berpijak pada keberanian menggugat ketidakadilan. Kritis!.

Isi pundi-pundi ilmu untuk pengetahuan yg tak hanya berhenti pada secarik kertas putih dan pena bertinta hitam, hitam-putih.
Atau kelihaian jemari menari menaklukan detak detik waktu


Ketika itu, kau bilang, "Apa!?".

Kaubilang, "Aku hanya peduli sang bayu yang membelai rambutku saat melintasi sungai kapuas, ha, ha, ha."

Baiklah, jangan sekadar desahan. Ijinkan ia menyusup & diam sejenak. Pada dada yg gemuruh melampui ombak sore. Jangan sekadar belaian. Pandu ia berlagu tak tentu irama. Tarikan gemerisik gesekan dedaunan olehnya. Ada kita; kau, aku, sang bayu, dan dedaunan. 

Padahal aku hanya ingin bilang, aku resah kawan. Gundah pada banyak fakta, berita, dan semakin dalam gundah itu ketika senja. Kenapa?. Senja selalu menggiring pada malam saat aku selalu berbisik pada Tuhan setelah sebelas dua belas malam, "Ya Tuhanku, Ya Allahku, Kasihanilah Aku dan Seluruh Makhluk di Muka Bumi Ini." (Istilah Tuhan setelah 11/12 malam hanya karena tidak boleh sama dengan Tuhan Jam Sepuluh Malamnya Ine Febrianti, tapi terinspirasi tidak salah, toh, aku selalu tidur dan bicara dengan-Nya sehabis menonton acara Panji Pragiwagsono, Sebelas-Dua Belas itu).

Apa yang kugundahkan?
Pada setiap kata yang bisa menusuk lebih tajam dari belati di banyak media sosial
Pada berita tentang mati-mematikan, hina-dihinakan, tipu-menipu, KW-kawean
Pada kepulan asap ruang belakang
Pada banyak detak-detik waktu yang terus berputar tanpa henti dan manusi tak begitu, terkadang mesti berhenti sejenak. 

Tapi banyak rupa pencinta senja
Kupancing hanya dengan dua helai foto senja tepian Kapuas di tugu Equator yang tak pernah selesai diperbaiki itu. Dan mereka bersuara...

Sang Novelis, Masri Sareb Putra bilang, "senja, sesekali cahaya kuning keemasan membias sinarnya memendar liar antara permukaan air laut. mungkin, ada yang tertaut lalu tinggal di sana: sekeping hati meski matahari kan tenggelam, meski matahati kan padam untuk terbit lagi."

Seorang aktivis, Abdias Sami bilang, "Senja memberi pesan bahwa semua ada akhirnya."

Sang Peneliti, Chatarina Pancer Istiyani bilang, "Ingin kuprotes ... mengapa senja berlalu begitu cepat. Namun aku gak jadi protes ... justru karena sebentar itulah, rasa ini jadi begitu dalam, dalam pelukannya."

Seorang Jurnalis Senior Budi Miank bilang, "Ah, senja itu kamu. Ya, kamu!."

"Jangan pernah memotong senja. Ia bukan tart yang kau suguhkan di meja berwarna jingga. Senja juga bukan barisan puisi yang bisa kau penggal menjadi bait-bait romantik. Senja itu setia. Ia datang membuka gerbang malam."


Mereka semua pengagum senja!. Karena itu aku pikir, egois sekali Seno Gumira Adjidarma yang membawa sepotong senja untuk pacarnya (Novel Sepotong Senja Untuk Pacarku). Aku bilang saja pada para pengagum senja, "Untukmu...ya untukmu para pengagum senja." Mengapa tak kalian ambil saja sepotong senja untuk kekasih atau mantan kekasih seperti Seno Gumira Adjidharma yg egois." "AKu juga tak perlu gundah.". 

Ah...terserah, bagiku senja itu alarm "pulang", agar tak tenggelam, agar tak mabuk bayangan silluete malam.
Buatku senja selalu menggiring kita untuk ingat jalan pulang. Mari minta para penabuh gendang bekerja dan kita menarikan selamat datang malam!. 

*Untuk Para Pengagum Senja 

 

  

Selasa, 26 Mei 2015

Penyakit Musim Pancaroba



Haiii... Tengah Ruai....

 Ini hanya coretan kecil obrolan di Beranda pada Sabtu, 23 Mei 2015. Bersama dengan dr. Nursyam Ibrahim, aku dan Bennie melewatkan obrolan dengan diselingi penelepon dari Landak, Bengkayang dan Sambas. Perbincangan ini berakhir dengan selfie bersama dengan tiga deretan penghargaan untuk RuaiTV dalam ajang KPID Kalbar Award 2015, mulai dari TV Favorit  Pilihan Pemirsa, Program Wisata Galeri Khatulistiwa episode Wisata Pulau Lemukutan dan Program Perbatasan (investigasi) episode NKRI Harga Mati. 
 Tadinya, aku menuliskan komen yang panjang pada posted status-nya Bennie yang juga men-tag foto selfie kami ke aku (yang sebenarnya di-capture dengan smartphone-ku). Yah, seperti biasa, aku tergoda untuk menarasikan setiap foto talkshowku berdasarkan tema karena tanpa itu semua akan terlihat sangat kaku; dengan orang yang hampir sama setiap saatnya, setting dan desain ruangan studio yang sama dan juga ekspresi yang juga selalu hampir sama baik duduk maupun berdiri. Tapi kemudian komentarku hilan begitu saja setelah siap dipost-entahlah, tapi itu jamak terjadi padaku sehingga aku sering memaki diriku bahwa se-smart apapu smartphone, jariku yang menulis dengan pena lebih smart. Dan, ya...jadilah terpikirkan untuk menuliskannya ulang ke dalam blok meski rasanyapun sudah tidak sama dan sedikit kehilangan momentum. Dan ta...raaaa...


***

Waspada Penyakit di Musim Pancaroba


Musim pancaroba disebut juga musim peralihan dari musim panas atau kemarau ke musim hujan atau 
sebaliknya. Peralihan musim ini juga dikenal dengan perubahan iklim yang dalam aspek kesehatan masyarakat sering dikaitkan dengan tingkat kerentanan manusia terserang oleh penyakit-penyakit pandemik seperti penyakit dengan vektor (pembawa parasit atau virus penyakit) nyamuk, diantaranya penyakit Malaria (oleh nyamuk anopeles) dan Demam Berdarah Dengue (baca: denggi, yang disebabkan nyamuk aedes aegypty). Malaria menjadi penyakit yang umum terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, sehingga menjadi perhatian dunia dengan menargetkan penurunan kasus malaria atau angka kematian karena malaria yang menempati peringkat kelima sebagai penyakit yang mematikan. Millenium Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium) di bidang kesehatan direspon pemerintah Indonesia dengan target Indonesia bebas Malaria di tahun 2015. Di Kalimantan Barat, WHO pernah memberikan predikat pulau Malaria kepada dua pulau yaitu Pulau Maya dan Pulau Karimata pada tahun 2012 karena dituding sebagai pulau wisata yang menyebarkan malaria. Namun, tahun 2015, keduanya dinyatakan bebas penularan nyamuk malaria (http://wartakesehatan.com/47241/dari-predikat-pulau-malaria-who-nyatakan-bebas-malaria-di-2015). 

Demikian pula dengan penyakit Demam Berdarah Dengue atau DBD yang memiliki sikus lima tahun sekali menjadikan beberapa daerah di Indonesia pernah menetapkan sebagai kejadian luar biasa, termasuk di Kalimantan Barat, dengan kasus DBD merata (ada kasus di setiap Kabupaten). Menurut data Dinas Kesehatan Kalbar, untuk tahun 2014 saja, tercatat 2546 kasus dengan korban jiwa/meninggal dunia 42 orang, adapun data tersebut antara lain untuk di Kota Pontianak sebanyak 186 kasus 2 meninggal, Kabupaten Pontianak 387 kasus 2 meninggal, Landak 36 kasus 1 meninggal, Sambas 227 kasus 5 meninggal, Bengkayang 81 kasus, Sanggau 149 kasus 5 meninggal, Sintang 366 kasus 8 meninggal, Kapuas Hulu 118 kasus 1 meninggal, Ketapang 345 kasus 3 meninggal, Singkawang 228 kasus 5 meninggal, Sekadau 88 kasus 3 meninggal, Melawi 24 kasus 2 meninggal, Kubu Raya 292 kasus 5 meninggal, Kayong Utara 19 kasus (http://beritakalimantan.co/di-kalbar-42-meninggal-dunia-akibat-dbd/). 

Beberapa penyakit lain yang sering mengkhawatirkan berkaitan dengan musim adalah penyakit yang berhubungan dengan saluran pernafasan atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut dan TBC di musim kemarau. Partikel debu dan abu beserta polutan lain gampang tersapu dan terbawa angin terbang kemudian dihirup manusia mengakibatkan persoalan pernafasan. Persis sama ketika orang dengan TBC meludah atau membuang dahak sembarangan, angin akan dengan sangat cepat membantu bakteri basil berpindah dan menginfeksi orang lain. 

Dari kesemuanya ini, faktor lingkungan dan manusia dalam hal menjaga keseimbangan begitu penting. Keduanya tidak bisa dilepaskan. Lingkungan yang sehat dengan campur tangan manusia untuk berprilaku baik dengan memelihara lingkungan bersih adalah pencegahan penyakit begitu pula dengan penerapan hidup sehat (makan makanan bergizi dan cuci tangan sebelum makan adalah contoh sederhana) oleh manusia yang mampu membantu mekanisme kekebalan tubuh agar tetap stabil menghadapi berbagai macam penyakit. 

***

Itu saja ...sepenggal kisah tentang mendadak narsis, dan menakjubkan...jago juga dokter Nursyam ini berpose ketika diajak selfie (lihat ekspresinya acungin jempol dan menyandarkan manja tangannya di plakat penghargaan untuk RuaiTV dari KPID). Kereeen....khan!. Beliau ini sangat sibuk tapi selalu meluangkan waktu berbagi bersama kami di tengah susah cari narasumber dokter yang lain karena sibuk "cari duit terus...", begitu istilah beliau.









Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...