Seandainya aku punya mesin waktu dan punya kuasa untuk
memutarnya balik. Hari ini aku akan lakukan itu untuk sekedar mengenang
peristiwa tersulit dalam hidupku secara pribadi bahkan keluarga besarku.
Peristiwa kehilangan, bukan sekedar kehilangan sesuatu, tetapi sebuah nyawa dan
raga yang telah bernafas selama 54 tahun memberi kan suka duka padaku, memapah
di masa kecilku, menjadi kepercayaan Tuhanku berkontribusi kepada seorang
perempuan hebat untuk menghadirkanku dan 12 mahkluk hidup lain yang disebut
manusia ke dalam dunia ini. Ya, dialah seorang ayah, bapak atau kerap kami
sebut ‘apak’.
Suatu subuh yang kaku, 5 tahun lalu tepatnya 13 Agustus
2007, selang beberapa hari aku mendengar berita kebakaran tempat kerjaku, aku
harus menerima kenyataan pahit lain. Kenyataan pahit karena memang pahit,
itulah kata yang sering digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang tidak
kita harapkan atau segala sesuatu yang sulit diterima atau terlalu menyakitkan
serta menggugah begitu dalam rasa kemanusiaan yang sulit. Kenyataan ‘apak’
telah pergi, ketika fajarpun belum sempat tiba. Bayang-bayang hitam atau
kegelapan kematian itu aku tahu sudah dekat menghampiri kami namun rasa
kemanusiawian ini sudah mulai berkompromi dengan banyak cara. Aku tidak
menolaknya namun aku berusaha memahami kondisi dengan terus mengajari diriku
untuk memahami kondisi ini, belajar menerima kenyataan bahwa aku tak punya
kuasa atas apapun di dunia ini, apalagi sebuah nyawa. Berkompromi dengan
kematian itulah tepatnya. Sekali lagi aku tahu persisi ‘apak’ akan pergi satu
Minggu sebelumnya, hanya saja aku bukan tukang ramal yang bisa tahu persisi
kapan waktunya, karena itu misteri yang hanya yang Maha Tahu itu yang tahu.
Batas kompromiku sebetulnnya sudah hampir sampai pada kerelaan atau ‘ikhlas’
setelah melihat kondisi ‘apak’ yang menderita sakit sekian lama. Aku juga tahu
bahkan dirinyapun sulit untuk berkompromi dengan kematiannya sendiri. Aku
diberitahu oleh seorang teman untuk
terlebih dahulu ikhlas untuk bisa membantu ‘apak’ sendiri agar ikhlas pula
menerima takdirnya yang hanya sebatas pada digit 5 dan 4, usia yang dikatakan
masih sangat muda untuk seorang ayah dengan anak terkecil yang masih sangat
muda (adikku yang paling kecil masih kelas 4 SD kalau tidak salah). Tapi,
sekali lagi itu ranah dan kuasa Tuhan, bukan siapapun.
Aku mengikuti kata temanku, mencoba ikhlas dengan mencoba
khusuk meminta keikhlasan yang penuh (rasanya aku tidak pernah berdoa se-khusuk
kala itu selama hidupku). Mengikuti saran seorang teman, akupun mencoba membuka
banyak informasi di internet di website-website yang menuliskan banyak hal
tentang kematian, mencoba memahami dan mengetahui seperti apa kira-kira ayahku
menghadapi kematian itu dan seperti apa seharusnya aku dan keluargaku
menghadapinya. Aku sampai harus menuliskan beberapa baris permohonan kepada
Santo Rafael yang dianggap sebagai Dokter surgawi dan diberi kuasa oleh Tuhan
untuk menyembuhkan orang sakit dan berkompromi dengan kematian. Aku sudah tak
sanggup lagi untuk langsung memohon kepada Tuhan karena ketakberdayaanku dan
seolah-olah aku mengingkari kuasanya. Dan, akhirnya ‘apak ‘ juga pergi. Tak
pernah kusesali kepergiannya. Tak pernah kukutuk Tuhan atas peristiwa itu. Tak
pernah pula aku menyalahkan siapapun karena setiap orang akan pergi dengan
caranya sendiri yang sudah digariskan oleh Tuhan.
Aku tidak punya waktu menuliskan banyak hal mengenang
peristiwa itu karena hari ini harus pergi ke Surabaya, tetapi aku rindu untuk
ngeblog lagi dan mungkin menulis sosok seorang ‘apak’ yang tangguh bagiku dan
keluargaku.
Oh ya, ada peristiwa bahagia juga yang telah hadiahkan Tuhan
bagi keluargaku, dan disadari atau tidak sesungguhnya aku yakin itu adalah cara
Tuhan mengajari kami sekeluarga untuk tetap bersyukur dalam kondisi yang sulit.
Peristiwa lahirnya ponakanku Jojo yang bertepatan sekali dengan (kalau tidak
salah) satu Tahun mengenang kepergian bapak. Jojo lahir pas tanggal 13 agustus
2008. Hari ini, 13 Agustus 2012 adalah 5 tahun kepergian Bapak dan genap 4
tahun ponakanku Jojo.
Aku percaya bapak bahagia dan tenang di sana. Aku mencintai
bapak, kami mencintai bapak. Terima kasih atas relasi yang indah, bukan hanya
sekedar ayah-anak tetapi kau seorang sahabat.
Selamat ulang tahun ponakanku Jojo. Bertumbuhlah menjadi
anak cerdas, sehat dan mencintai sesama terutama orang tua dan Tuhan serta
cintai dirimu sendiri. I love you.