Senin, 04 Maret 2024

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penuh dengan tekanan, membuat banyak tanya dan keraguan akan hasil akhir apakah sesuai dengan yang diinginkan. Sangat manusiawi. Lumrah pula. Pada situasi tertentu, khususnya situasi yang tidak sedang dalam dikejar target tertentu atau menjalankan dalam durasi tertentu, kita bisa menikmati saja suatu proses dengan "nothing to loose", tidak banyak ekspektasi alias "jika hasil akhir sesuai keinginan ya syukuri, jika tidak ya tidak apa-apa, tidak ada yang dirugikan". 

Sekitar 5 tahun lalu, saya membersihkan halaman. Salah satu yang saya kerjakan adalah memangkas daun-daun rimbun Peace Lily di halaman rumah. Bisa jadi lebih dari 5 tahun lalu sepertinya. Saya tidak ingat dan tidak mencatat detil, karena di kala itu, saya tidak pernah membayangkan dan tidak pula memiliki ekspektasi hasil akhir tertentu. Ya, rutinitas membersihkan halaman dengan memangkas tanaman tentu tujuannya jelas biar lebih rapi dan enak dipandang. Satu kebiasaan saya, saya merasa tidak nyaman memotong atau memangkas daun muda yang masih terlihat bagus, namun tetap harus dipangkas agar tidak terlalu rimbun dan invasif. Saya mengambil beberapa helai daun Peace Lily dari tumbuhan yang masih belum terlalu dewasa, karena masih terlihat sangat mengkilap dengan hijau tua yang mengkilap. Saya meletakan 5 helai daun ke dalam toples kecil yang sudah saya isi air dengan tangkai daun tercelup ke dalam air dan helai daun menyembul keluar dari toples. Lima helai daun cantik itu menjadi penghuni kamar mandi dan toliet. Sekali-kali air diganti untuk menghindari sebagai wadah berkembang jentik dan bersarangnya nyamuk. Seiring waktu, dengan rutinitas mengganti air, tidak ada sinar matahari, saya juga paham bahwa yang sangat mungkin terjadi adalah daun-daun itu satu persatu akan menguning atau coklat, mati dan saya buang. Kemudian, saya akan ganti baru. Benar, persis seperti yang saya yakini, daun satu persatu berwarna coklat dan mati, tidak indah lagi. Namun, mereka membutuhkan waktu yang sangat lama untuk sampai pada proses berubah warna sampai membusuk dan dibuang. Prosesbta dalam hitungan bulan bahkan tahun. Dan, dari lima helai, 3 daun masih bertahan dengan pasti, sampai suatu hari, sekitar 3 tahun helai daun menghuni toples. Saya menemukan ujung tangkai dari 3 helai daun mengeluarkan serabut halus panjang yang semakin hari semakih banyak. Proses mengeluarkan serabut ini terus saya amati tanpa saya tahu apa berikutnya. Saya menikmati saja. 


Peace Lily (Spathiphyllum)

Sekitar tahun 2021, saya melihat serabut itu semakin banyak, dan saya tetap tidak memikirkan apa-apa tentang apa berikutnya. Saya menikmati saja. Sampai pada awal 2022, saya melihat muncul warna hijau dari serabut dengan ukuran yang sangat kecil. Semakin hari semakin memanjang dan membentuk batang dan daun mungil sekali berada di dalam air di dasar toples diantara akar serabut yang semkain banyak. Dan, saat itu saya sudah berani mengatakan kalau serabut banyak itu adalah akar yang berkembang dalam air, mengalami proses propagasi atau perbanyakan alami. Warna hijau daun dan tangkai mungil dari dasar air di dalam toples terus bertambah banyak dan bertambah tinggi sampai melewati permukaan air di dalam toples dan berakhir dengan menyembul sebagai anakan Peace Lily dari helai daun, seperti yang terlihat di gambar. Gambar itu saya ambil pada February 2024. Lima helai daun itu sudah bermetamorfosis menjadi anakan Peace Lily.  Setelah lima tahun lebih, saya baru tahu, bahwa secara sengaja tanpa maksud atau tujuan tertentu, saya sudah melakukan perbanyakan/propagasi secara alami. Saya sangat bahagia telah melewati proses dari helai daun menjadi banyak anakan. Dari proses ini, saya berpikir, kebahagiaan itu hadir membutuhkan kerelaan dan ketekunan menjalani pilihan tanpa merasa tertekan, melainkan menikmati saja. Apakah itu terlalu sederhana atau receh?. Tidak. Terlihat sangat sederhana apabila kita hanya mengandalkan apa yang terlihat pada foto, tanpa mengikut bagaimana proses saya selama 5 tahun lebih. 

Oh ya, dalam tulisan ini ada 'gap' antara bagaimana setiap helai dari 5 helai daun itu kemudian tertinggal hanya satu yang bertahan sampai sekarang. Sebenarnya, sampai awal 2024 (mungkin January akhir) hanya dua helai daun yang bertahan sampai semua anakan itu menyembul keluar dari dalam toples. Satu helai saya "pensiunkan" January 2024. Dan, tinggal satu seperti terlihat di gambar, tinggal menunggu waktu. Namun, seandainya bisa bicara, satu helai daun tersisa ini mungkin akan berkata, "Sudah tiba waktuku, sudah lunglai dengan tabah, bahwa tunas-tunas telah mengambil alih masa dengan bangga".

Bagi saya, inilah sebuah analogi kehidupan. Tidak ada yang sia-sia di muka bumi. Yang sia-sia hanyalah ketidakmampuan kita menumbuhkan rasa bahagia dan damai dalam diri karena banyak "ingin" yang tak berakar kuat. Seharusnya kita mengenali akar, percaya saja bahwa bibit unggul tertanam seperti benih bernas yang tersembunyi pada setiap diri kita. Hanya ketekunan dan ketangguhan berproseslah yang dibutuhkan. Namun, itu juga tidak sederhana. Komitmen pada diri untuk keluar dari tekanan apapun, tapi bukan yang dari luar, melainkan dari dalam diri. Apa tekanannya?. Merasa cukup, sehingga tidak mau terus belajar. Merasa penuh, sehingga mengabaikan saja proses karena sudah menyimpulkan dini hasil dari proses. Daaaan...banyak lagi. 


Pontianak, 4 Maret 2024 


Jumat, 23 Februari 2024

CLBK (Camera Lama Bersemi Kembali)

"Mungkin aku akan mulai dengan share pengalamanku menghadapi situasi pandemi mulai dari ikut-ikutan mencoba berbagai resep kue, merawat koleksi tanaman di halaman lengkap dengan foto-foto cantiknya - mesti akrab lagi dengan kamera dan lensaku yang sudah lama nganggur, dan mungkin juga share tentang pekerjaan baruku. Kita lihat saja nanti. "


2022 saya menulis (tak terselesaikan dan tersimpan di draft):

Saya terpaksa membayar "hutang" omongan sendiri seperti pada kutipan di atas dari tulisan saya pada tanggal 6 Agusutus 2021 (hari ini sudah satu tahun lebih tepatnya). Hutang menulis di blog singkatnya. Namun, sekaligus hutang untuk akrab lagi dengan lensa alias motret. Sulit sekali ya ternyata. Ya, CLBK itu tidak gampang sesungguhnya. Jika ada yang menjalaninya dengan gampang, pastilah pada prosesnya ada masa untuk penyegaran atau sekedar kepo-kepoin. Hush...ini bukan tentang Cinta Lama Bersemi Kembali, lihat judul. Jika ilustrasinya pas, percayalah itu hanya kebetulan. 

Karena topiknya adalah Camera Lama Bersemi Kembali, saya ingin berbagi tentang bagaimana peroses bersemi kembalinya itu butuh usaha yang tidak gampang. Bagian ini memang sepertinya cocok ilustrasinya dengan tema cinta. Bukan berarti aku pernah ngalamin lho, makanya ada kata "sepertinya". Kameraku sudah lama tidak kusentuh sejak bulan Juli 2020. "Udah belumot kali bende tu," mungkin begitu istilah dalam bahasa Melayunya ATAU "nyau jadi jukut utai nyak", istilah dalam bahasa Dayak Demam.

Aku tidak tahu persis kapan mulai memegang kamera Canon EOS 60D ini. Yang jelas, ini kamera longsoran dari Mr. Husband yang sudah punya gebetan baru tipe 5D dan 7D dari product yang sama. Pada tulisanku kali ini, aku ingin berbagi foto saja deh yang pernah kuintip melalui lensa kamera ini. Tujuannya, sekedar memberi apresiasi kepada jerih payah diri dan juga shutter si kamera. Setidaknya, bekas ia pernah berjasa mengabadikan moment dan cerita dalam gambar tersimpan jika suatu saat aku harus merelakan ia karena tidak mampu lagi merekam semua karena uzur. Berikut adalah foto-foto yang pernah saya ambil dengan kamera ini, dengan lensa 18-200 mm bawaannya, kadang-kadang menggunakan macrolens 100mm untuk object mungil.  Kadang, saya suka mengambil panorama dengan lensa fix 50mm. Beberapa foto pernah tayang di sosial media saya. 

2023 saya lupa dengan omongan saya sendiri kepada saya sendiri dalam bentuk tulisan

Tahun yang sangat sibuk kesannya sampai saya tidak meninggalkan sedikitpun jejak di halaman ini. Padahal, 2023 adalah tahun aku paling konsisten tidak kemana-mana dalam artian bepergian jauh dari rumah, namun justeru saya tidak punya waktu untuk menulis karena saya menghabiskan waktu untuk menulis. Maksudnya, saya tidak punya waktu menulis di blog ini, karena saya menghabiskan wkatu untuk menulis mereivew dan menulis laporan sebagai bagian dari pekerjaan utama. Saya mengalami proses penyesuaian yang cukup sulit dari bekerja secara "remote" dari tahun 2019 kemudian harus manut dengan jam kerja "nine to five" dari Senin - Jumat sejak tahun 2022. Inti sebenarnya adalah saya sulit mengatur waktu, atau tidak memberi waktu mungkin lebih tepatnya. dan....zonk!!!. see...nothing!!!

dan...time flies, waktu serasa cepat sekali berlalu. Hari ini, 23 Februari 2024. Saya teringat, sering seklai saya merasa membawa kembali "ransel Dora Emon' saya, ransel penuh saya. Istilah yang paten saya gunakan untuk mengilustrasikan kepala saya yang sudah terasa penuh dan sampai merasa tidak bisa berpikir lagi. Sepertinya, saya tidak akan menuliskan apa2 juga pada hari ini. Hanya sekedar untuk tidak membiarkan draft ini berusia 3 tahun saja. Saya teringat, ada foto-foto yang saya ambil pertama kalinya setelah sekian lama seperti yang saya tulis di paragraf awal, sekitar tahun 2020, saya tidak pernah lagi menggunakan kamera saya. Tahun 2022, saya kembali menggunakannya, dan menemukan tangan ini sudah sangat kaku, belajar lagi dari awal soal tekhnik dasar yang tidak pernah naik level, tetap di dasar da kemudian belajar dasar lagi. Selain soal tekhnis, yah karena faktor "U' juga barangkali baik buat saya maupun kameranya, saya mendapati view screennya befungsi dengan baik, demikain pula lensanya tidak lagi jernih. Untungnya, hasilnya masih lumayan. Daaan...di bawah ini adalah foto-foto yang saya ambil pertengahan 2022, mungkin Agustus. Sebuah perjalanan kerja ke Ende-Flores, dimana saya dan bersama tim menyempatkan pergi ke Kelimutu. Ehm...mau nulis tentang trip ini khusus enggak ya .... entahlah, sepertinya lebih baik tidak berjanji lagi. Nikmati saja foto-fotonya deh. 


Ini salah satu danau yang airnya berwarna hitam, persis di sebelah kiri jalan naik ke puncak


Ini adalah danau/kawah yang berdampingan warna hijau (bagian bawah yang sedikit saja terlihat) dan warna biru (bagian tengah). Tidak terltihat jelas beda warnanya, karena saat foto diambil ia ditutupi kabut putih. Untuk mendapatkan objek bisa terlihat jelas, saya harus naik di pagar yang saat itu riskan sebab angin juga kencang. 



Pada akhirnya, hanya dalam waktu kurang dari 5 menit, sempat terlihat di atas danau kabut mulai menipis, sehingga saya bisa mendapatkan dua gambar di atas. Cahaya matahari yang mulai naik membantu lighting alami. Sayang sekali, angin masih kencang dan saya tidak ingin kehilangan moment. Yang tadinya saya ingin mengganti lensa tapi memutuskan tidak. Semua foto ini saya ambil dengan lensa fix 50mm



Dua gambar ini adalah gambar kesukaan saya dan pernah sangat lama berada di wallpaper desktop, bahkan foto di atas masih menjadi wallpaper default browser yang saya gunakan. 

Baiklah, sepertinya untuk pemgingat sudah cukup. Setidaknya, ada foto-foto ini yang tidak membuat muram halaman ini ya. Semoga diriku kembali menjadikan menulis sebagai healing, releasing system atau clear management or whatever. 









Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...